image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, December 5, 2018

Gerbong Kereta Makna


Ritme musik nampak bersemangat menggeliat telinga untuk membisikkan sesuatu, berkelana merengkuh sesuatu, meragukan hal-hal baru yang kadang tak kalah semunya. Jalma sedang muak melampiaskan rindu serta amarahnya pada langit, guratan-guratan baru soal waktu kadang berjumpalitan seenaknya dibilik bawah sadar. Gemerisik rerimbunan daun bambu membawa sayup-sayup nada pelog dan slendro dari kejauhan. Anak-anak berlarian memeluk sepi.
Pusaran angin nampak menggoncang anak-anakku, geliat pertarungan ambisi hidup, kesehatan sosial, kemurnian akal berfikir, serta gempa-gempa doktrinasi, menggiring mereka pada rasa bodoh, kalut serta beragam bujuk rayu pada glamor dan ketimpangan hidup yang terus mengurai keluh dan iri atas kepemilikan harga.
Manusia terus kehilangan dirinya, terus melacur pada kepalsuan jalma menangisinya dari kejauhan. Bagaimana tiap tatap dan pertemuan akhirnya hanya berisi formalitas, basa basi yang akhirnya seperti nasi berjamur setahun. Degradasi makna atas kata terus berlanjut, membuncah kemudian meledakkan isi kepala setelah ruang-ruangnya hanya menari dan menyeret jalma pada arus masalah tanpa tepi. Namun bukankah demikian hidup, seolah membersamai samudera adalah kekekalan siti yang terus diinjak dan memeluk mayat-mayat manusia. Manusia sampai kapan dan akan paripurna?
Manusia kemudian menaiki kapal-kapal yang tambal sulam kayunya, bobrok lunasnya, dan bocor lambungnya seolah lengkaplah sudah ketidaksempurnaannya. Lalu raksasa-raksasa membuat sendiri gerbongnya, rel aliran dan ideologinya, menciptakan sendiri kawasan real estatenya. Kereta yang lewat memaksa pemulung sekali lagi menjilat bekas eskrim di tempat sampah sisa dia berdiri, kekayaan material yang jadi Tuhan baru ternyata sama sekali barang yang tak bisa teraih. Optimisme akan merengkuh bulan kalah dengan ditutupnya tirai kereta tempat sang nata muak dan jijik melihat kumal yang duduk disamping tempat sampah. Laju membawa kepada impian keabadian, sementara kaum papa hanya duduk menunggu kematian jasad yang menyempurnakan.
Kita lalu berbondong-bondong mencari keabadian, menghilangkan sendiri esensi, otentisitas dan potensial energi dari manusia yang terpendam jauh yang selama ini hanya kalah oleh jargon pendidikan. Kesataraan kesempatan dikubur lewat lorong-lorong label, profesionalisme, serta arogansi ketidakpercayaan sekaligus langkah preventif mereka yang mempertahankan status quo disela ekstraksi yang terus mereka lakukan. Distraksi kaum useless ditengah Ekstraksi Manusia super.
Beragam kecerobohan akhirnya menimbulkan penyakit sesak nafas psikis, akal selalu kalah dengan surga neraka, doktrin kemudian menjadi bagian tak terelakkan atas pembodohan yang berjalan. Renaissance dan abad industri membawa angin kelam bagi mereka yang duduk mengusahakan idealnya sebuah tatanan. Jalmapun menangkapnya menjadi bagian-bagian penting dari doktrinasi, yang akan menimbulkan kemarahan hebat bagi manusia yang telah memujanya sebagai satu-satunya kebenaran. Gerbong terus membawa manusia pada laju zaman.
Jalma terus menyusuri peredaran malam, menemui manusia-manusia dengan ragam. Di edar tertentu kematian-kematian segera datang, menyusul kita yang benar-benar lupa pada hakikat manusia sebagai manusia, sebagai ciptaan yang terus selaras pada bumi. Ada ikan-ikan besar mati karena budaya instan yang mengglobal, plastik yang rejeki buat kawan saya pemulung di pasar bunder atau uang beli rokok buat teman saya yang mengumpulkan rosokan, akhirnya secara paradoks adalah pembunuh hewan-hewan yang lahir sebelum jalma. Mengerikan dan harus bersyukur.
Di pojokan senja, gemerincing amarah tak lagi meluap sebagai sebuah aksi, dalam diam perlahan merambat menjadi doa-doa dalam rakaat panjang mereka yang terus menangis di jubah panjang, diujung kaki nabiNya. Ledakan diujung jaman memang tidak bisa dielak, meski lumut di emperan rumah jalma yang sudah retak kini menunjukkan pribadinya sesuatu yang hidup di musim hujan menjelang. Memang menjadi ideal adanya sebuah harapan ditengah kemuraman. Alam yang kau rusak akan memakanmu, dan udara yang terjal menusuk hidup kaum lemah akan membusukkan seisi gerbong keretamu.
Kerajaan Ayodya yang menjadi tujuan gerbong kini sedang musim kontestasi, namun membiarkannya sebagai parameter ideal adalah kebisuan atas sikap, dan kebodohan sekaligus bebal. Lihat diantara kaca-kaca jendela kita saling ejek satu sama lain diantara kereta-kereta kebenaran kita. Anak kecil masih lugu pun diajak masuk gerbong, sambil menempelkan lidahnya dikaca gerbong, berharap itu akan dimaknai sebagai ejekan dimensi lain. Sedang suara parau menghabiskan waktu, tangan anak kecil ditempelkan di tirai lalu disebelah tirai gerbong lain ada senyum. Dan kita sudah lupakah menjadi anak kecil tanpa pretensi dan kepentingan?
Paradigma-paradigma baru mengalir ditengah batu bata merah yang hampir rapat berselimut sulur. Sejenak kemudian langit merona, pada kulminasinya jalma akhirnya mempertanyakan hakikat manusia yang terus bergejolak sekaligus nriman seperti dicocok hidup oleh kereta cepat bawah tanah. Alam bawah sadarnya hadir untuk terus melakukan penghormatan pada ide, tanpa sadari gerakan senam di alun-alun menggerakkan fisiknya mengikuti arus besar, tidak berartikah kita dimasa mendatang? Atau seberapa kita menang melawan arus besar yang dimana ribuan orang berlarian ke utara, kita mencoba untuk diam sambil menguku seberapa kuat untuk melawan lurus, atau bergeser-geser menyadari bahwa tabrakan bisa dikurasi gesekannya dan melawan tanpa merendahkan, kemudian sampai diujung arah lain dan kita kesepian sebagai sesuatu.
Aksi-aksi nyata ditunggu dan kerumunan asik tertidur dibawah kata-kata, tanpa benar-benar mau serius memproduksi makna, menyambut hakikatnya dan mengurai ribuan pola-pola yang tercipta. Atau setidaknya jika anda bukan seorang filsuf hendaklah otentisitas mencampakkan anda pada pada harga diri seorang manusia.
Lihat itu lelaki tua diujung senja, sudah menahan-nahan untuk sampurna namun jaman tak melihatnya sekaligus beberapa akar menambatnya pada angka. Akankah kau ikut serta menahannya, bukankah proses hidup yang sama akan mengantarkanmu pada kesediaanya, pada berbaktimu untuk hidup, pada pengabdianmu akan tujuan, dan prosa-prosa tak lagi menjadi sesuatu yang bahagia.
Aku kemudian memeluk buliran air hujan, seraya mencoba membiarkan asa harus dipenuhi dan tetap tak kehilangan diri sendiri. Realitas harus dijawab sekaligus siapa yang akan menerimaku? Apakah engkau? Atau comberan hitam yang membawa teratai mekar, sekaligus bertahan sebagai ikan dilimbah yang kau racuni?
Modernitas menghilangkan entitas sebagai sosial, norma yang berisi kemajuan akhirnya menghilangkan kepercayaan sekaligus terus menambah kecurigaan, jalma kemudian melihat lalu-lalang manusia tanpa senyum dan kekalnya persaudaraan bernama cinta. Sementara tetangga hanya membual soal kemewahan dan meracuni apa saja dan siapa saja yang harus dihardik yang tak lain kembali kepada kekosongan dan kekalutan hidup di penyaluran yang salah.
Gerbong-gerbong berhenti sejenak, murid romo Mangun itu seraya dalam dialektika personal berkata. Lihatlah apa yang hilang dari stasiun?
Lambaian tangan di kereta.





Stasiun Purwosari, 27 November 2018
Indra Agusta


Monday, November 26, 2018

Pondasi

Setelah semua habis, dan nyawamu diragukan keberhasilannya sebagai manusia karena tak sanggup menjejali keinginan-keinginan,

Lalu dimana ruang yang selama ini nangis getih dibela dan diperjuangkan, Bajingan memang!

Menyandera diri dengan egoisme semu, lalu siapa yang melihat esensi perjuangan. Kalau rumah tak roboh, aku yang memendam diriku sendiri diliat lahat, dan merubuhkan batu diatasnya, Supaya rumah dan lantai yang kau injak tegak, meski kepalaku tertanam dibawah cagaknya dan kakiku adalah inti dari umpaknya.

Yang kau inginkan bangunan lebih mewah, yang kau ingin puja dan puji pengakuan dunia. Namun kau lupa bersyukur pada tanah, dan agama menjadi jaring-jaring konsepsi legitimasi. Lupa "Pilar of Sand" itu Yesus yang mengajarkan, lalu Coldplay yg mendengungkan.

Batasan untuk bersyukur itu bias,semua orang mengejar ambisinya termasuk untuk ambisi terus bersyukur.. Dijaman materialisme memuncak, ambisi untuk memiliki material berjalan sangat hebat. Dan segala jalan ditempuh, untuk memeluk tubuh dunia beserta segala kuasanya. Kehancuran sudah datang.

Indra. A
26 November 2018

Thursday, October 25, 2018

Anak-anak Gamang


Fajar menjelang dan kita sebentar lagi akan kehilangan gelapnya, penatnya. Di bilik-bilik kosong yang dipaksa untuk ditinggalkan penunggunya menyimpan banyak sekali duka. Manusia adalah sebagai sebuah kewajaran meninggalkan dirinya pada eksistensi keduniawiannya namun ternyata terikat oleh jerat-jerat nafsu kegeraman dan angkara murka.

Kemanusiaan sekarang berwarna-warni menjadi bendera, sebuah proses aktualisasi individu yang bersanding dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Anak-anak itu yang menjadikan buih samudera sebagai tumpuan dan keikhlasan sebagai mata untuk melihat semesta, meraung hatinya melihat cucuran air mata, membuncah dirinya pada serambi sukma yang pudar karena kelam.

Kemanusiaan lalu menjadi muram ketika mereka yang didaulat sebagai penentu sebuah rahmat, penjanji sebuah keadilan berteriak-teriak lantang membela benarnya sendiri, dalam hal yang sama kediriannya mengunci untuk tidak pernah ada yang berposisi legowo atau saling mengalah.

Pertarungan apa yang akan menjelang, ketika perasaan beku oleh dogma, hati dibunuh tafsir ayat-ayat Tuhan, tidak mau lagi mereka bersentuhan dengan kejernihan, apa yang mereka lakukan bukan lagi menjadi perenungan batin mendalam. Melainkan anak-anak itu susah hatinya, terhimpit batin dan keadaannya, keruwetan, kegamangan memuncak dalam berbagai aktualitas keadaan. Beraneka peristiwa memusingkan nalar fikirnya, lalu kemana lagi jika bukan ledakan-ledakan amarah, letupan untuk menyalahkan satu dengan yang lain, kapan lagi kalau bukan sekarang, apalagi didukung oleh agama dan terjemahan atas ayat-ayat Tuhan.

Diam-diam aku mendoakan anak-anak itu berjalan bukan karena tekanan tapi kelegaan hati dan ketekunan juga kebebasan-kebebasan menuju jalan-jalan yang nikmat, mensyukuri semua akses dan ucapan syukur atas daun yang memuja dan memuji Tuhan.


Kleco Wetan, 26 Oktober 2018

Monday, August 6, 2018

Ajal Pemenang Ruang

Berdiam-diam ketika memikirkan sesuatu, bergerak-gerak melaksanakan sesuatu.

Manusia jalma yang dikatakan hidup, selalu menyimpan ruang  ketidakpercayaan dan sisanya adalah eksistensi. Eksistensi yang berkembang berlebih menjadi sebuah ego. Ego berubah menjadi monster liar melacurkan melancarkan segala ambisi.

Tatacara pandang manusia selalu ingin dihargai tapi lupa menghargai, dimensi paradoks menjadi sebuah ruang nyaman untuk membela dan menolak sesuatu. Berdiri disatu sisi bersebrangan dengan sisi adalah realitas yang menjadi titik puncak sebuah konsepsi.

Lalu anak yang berpuasa karena tahu di geladak piring rumahnya nasi tersisa segenggam, namun genting rumah meminjam ikan dan telur sebagai hidangan untuk berbuka. Semua baik, mengusahakan yang terbaik namun sudut pandangnya berbeda.

Sementara dijalanan aku makan sisa piring-piring orang, dikumpulkan dalam plastik hitam tak jarang berbau sabun cuci. Namun tak juga membunuhku, justru badan ku semakin sakit.

Diemperan toko dikala dingin akhir-akhir ini menjelang tubuh-Ku kubaringkan, bersama kresek putih yang sama guna besok kukumpulkan bersama sekarung sampah dikala terik baru memilah. Dibalik pintu besi, itu emperan  toko yang kujadikan rumah singgah, ada puluhan tumpuk ranjang mewah didalamnya, namun tak secuilpun Aku merasakannya.

Raung-raung mesin menggilas malam. Kujejakkan lagi malam bersimpuh bersama segenggam angan. Itu bulan sabit menari-nari pertanda si Venus akan  memenuhi ruang pagi. Sekian tapak ku bergegas, eh lihat itu agama kini menjadi pentas.

Rasionalitas kini hanya bertumpu pada materialisme. Rasional belum meloncat ke ruang lebih dalam lagi, ada yang menyemainya namun belum nampak sumber airnya.

Bagaimana dan bilamana anak-anakKu akan melampaui kesesakannya. Batinnya belum siap, akalnya buntu.

Didalamnya batin yang bening, diluarnya fisik yang koyak, ada nafas bertuliskan mutiara-mutiara anak manusia namun siapa yang menorehkan sisa-sisa debu karena kepulan mobil membawa terompah, atau tanah yang harus merelakan diri guna mengalirnya air?

Ruang kebebasan akhirnya sirna, manusia bersanding dengan kesadarannya, bergulat, berpuasa, menjatuhkan dirinya, membungkam mulutnya, menggores nadinya, lihatlah itu langit-langit dibawah alam kubur berfatwa :

Katakanlah manusia berencana, berusaha namun lihatlah Aku (ajal) yang memenangkannya.

Tamansari, 7 Agustus 2018
Indra Agusta

Thursday, July 19, 2018

Penjaga Perlintasan Magrib

PENJAGA PERLINTASAN MAGRIB

Lalu isak tangis berbalut rindu mengetuk pintu kalbuku. Anak-anak menuliskan keluhnya pada langit, berharap lintasan waktu akan mencair mencipratkan embun guna membasahi bahasa kalbunya yang genting.

Roda berputar, bila mana hati mengalirkan gundah. Kebingungan, suam-suam kini tak lagi menorehkan isi batin sang jalma. Rutinitas menjadi tujuan, kemudian jiwa menjadi renta untuk bersikap.

Isak tangis kembali memenuhi dadaku, tapi apa yang akan diupayakan gadis mungil berpayung daun pisang diderasnya hujan. Menoleh dia padaku, sambil menawarkan hasil berburu belut ditanah tuan. Tentu dengan tangan terbuka kupeluk dia, kuusap rambut mungilnya sambil berjalan berganteng menuju teras gubuk, diceritakanlah semua dukanya.

Belut hasil berburu disawah kuambil dan kumasakkan bersama nasi selagi hangat,  daun pisang yang sama sebagai penenuh hujan kujadikan alas bakul nasi dan sekeping bahagianya tersembul.

Hujan mulai reda, digubuk kesunyianku kubiarkan gadis kecil itu memasuki lorong jalan padukuhannya yang semakin sepi, bersama api arang didapurku kusajikan dan kutitipkan secaping arang pendar untuk sangu berjalan dipelik perjalanan hidupnya.

Semburatnya senja sudah telat, hujan reda namun tinggal temaramnya bersama luapan tangis duka menuju urai senyum.

Kutatap dari teras gubuk, anak itu berjalan gontai seraya menaruh angan, ah...sawah semakin sepi namun aku disini menelan semua luka anak-anakku, kelak ketika mereka bersinar, aku akan menangisinya dengan bahagia seperti menjaga perlintasan dimensi magrib senja.

Semoga kebahagiaan-Ku terpancar kesemua mahkluk.

Semarang, 6 Juli 2018
Indra Agusta

Sunday, July 8, 2018

Lelaku Lepet Kupat Papat

Oleh: Indra Agusta

Riyaya Bakdan, Idul Fifri saya pribadi memandangnya sebagai peristiwa magis, sakral sekaligus khidmat.

Tinggal didesa menemani simbah dirumah tentu sangat tahu bagaimana rasanya hati dikoyak habis kemesraan yang tak bertepi.

Jalanan yang biasanya sepi kini riuh, dibeberapa rumah sudah ramai dengan handai taulan yang pulang merantau. Di kompleks pemakaman tempat Ibu saya 'berbaring' juga ramai manusia yang melepaskan sungkemnya meski secara kasat tak bertemu, juga isak tangis sesenggukan karena baru saja 'ditinggal' menjelang lebaran.

Disudut kampung senyum-senyum dibiarkan lepas dan bahagia memadati takbir keras semalaman. Desa yang terasa lengang kini lebih hangat, banyak orang kembali menuju sejatinya, asalnya. Banyak pula yang duduk-duduk merenungi kegelisahan batinnya.

Bakdan akan berlanjut dengan perayaan Bakdan Kecil, bodo kupat kalau orang desa saya bilang, seminggu setelah Sholat Ied. Opor-opor dan rawon di 8 Syawal akan terganti makanan khas yaitu Ketupat dan Lépét. Semua orang pasti tahu, namun seberapa jauh dulur-dulur memaknai makanan khas tersebut? Ini yang saya tangkap dari tutur-tutur simbah-simbah saya.

KETUPAT, adalah ketan yang dibungkus rajutan janur (daun kelapa yang masih muda) membentuk segiempat agak lonjong.

Dalam khazanah Jawa Ketupat disebut dengan Kupat.  Wantun ngaku lepat, kanthi laku papat yang bermakna: Berani mengakui kesalahan, dengan menggunakan 4 jalan.

Laku papat tersebut adalah :
Lébaran, lébar bukan lebar (sisi hitung matematis), lébar adalah bahasa Jawa yang bermakna 'setelah' , atau sekarang orang Jawa lebih familiar dengan istilah 'bubar', nah bubaran ini sama maknanya dengan Lébaran. "Perayaan Setelah" -puasa-  1 bulan. Laku yang dibuka dengan takbir semalaman, lalu biasa didesa dipenghujung subuh mendatangi makam-makam leluhur dan saudara yang sudah mendahului berpulang.

Leburan, lebur bisa dimaknai sebagai hancur, lumat tapi punya sifat menyatu. Maka kupat juga dimaknai sebagai jalinan kesatuan dan kebersamaan semua mahkluk, seperti memadatnya ketan dalam jalinan janur.

Laburan, Labur adalah semacam cat dinding yang digunakan untuk melapisi tembok supaya lebih indah dan kuat. Jaman dulu labur dibuat dari gamping dicampur dengan remukan batubata dan semen, di Pabrik Gula di Jawa masih bisa ditemui labur sebagai pelapis dinding bangunan pabrik, warna putih gamping inilah yang kemudian dimaknai sebagai menutupi, mikul dhuwur méndem jero segala perbuatan handai taulan supaya kalau ada masalah atau dendamnya tidak diwariskan ke anak cucu, generasi penerus. Dilabur dengan kesucian dan kemurnian hati untuk sama-sama ikhlas meredam masalah tanpa perpecahan, rekat rapat seperti putihnya labur.

Luberan, luber itu seperti mengisi genthong yang sudah penuh lalu airnya tumpah-tumpah, seperti itulah prosesi luberan. Dimana hendaknya tresna-katresnan selalu muncul persis disaat jalinan silaturahmi lebaran berlangsung, menghidangkan kupat sebagai hidangan terbaik merupakan salah satu wujud katresnan tersebut.

Selain Kupat pada perayaan Bakdan Cilik/kupat, ada satu makanan khas lagi, namanya Lépét.

LEPET, juga terbuat dari beras ketan direbus namun wadahnya berbeda dengan ketupat, lépét dibungkus daun bambu, biasanya Pring Apus yang makna filosofisnya lampus, Atau ketiadaan, kematian dengan memakan ini kita juga diingatkan bahwa lebaran juga sebagai sarana sesuci bahwa Hanya ada satu jalan menuju kebersatuan dengan Tuhan, yakni Jalan Peniadaan Diri. (red. Tuhan Maha Asyik, Buya Kamba).

Yang persis seperti ditulis Mbah Nun dalam tetes hari ini "Aku tidak punya pernyataan tentang-Mu. Aku tak punya kata tentang Engkau. Hurufku sirna. Diriku musnah. Hidupku fana. Pada-Mu hamba tiada."

Setelah Lepet dipépét menggunakan daun bambu, lantas buntalan tadi akan diikat dengan dhamen (batang padi) sebagai simbol kemakmuran Dewi Sri pada tanah Jawa.

Lalu lengkapnya 8 Syawal menjadi perpaduan dinamis sebagai perayaan, dan perenungan lewat makanan tertentu. Jawa akhirnya terus sarat akan makna, makna-makna yang akan terkubur jika kita tidak mencoba bertanya dan mencatatnya.

Selamat Bakdan,
Lebur salah seleh e, Labur lepas lupute
Lebar poso, Luber pangapuro lan katresnane....

Kleco Wetan, 1 Syawal 1439 H.

Meretas 28

MERETAS 28 EDAR MATAHARI

Bakau tenggelam diparuh panasnya laut, anak-anak bermain riang bersama debu. Suara bising dan deburan ombak memberi kabar tentang kesunyian.

Dijalanan tukang yang terlelap tidur dibak truk bersama semennya, sang preman terminal yang lelah menjaga sudah lama kehilangan dirinya. Kemurnian dan keputusasaan hidup datang silih berganti, memberikan jalan panjang perdebatan tentang hal-hal yang menjadi busa belaka.

Tak berani mewartakan beban, dimana diri mempertanyai diri sendiri, kelaparan kemiskinan masih berlanjut, sang tua renta dengan segala rumitnya masih menjadikan diricsarang segala kesalahan, sebaik dan sesabar apapun. Lalu bagian lain hanya menjadi penonton ditengah karamnya kapal.

Seperti mayat-mayat itu aku, membisu dan beku mencoba mengatasi segala pertanyaannya, mendobraknya dan mungkin mengadukannya "Kenapa jalanku menujumu menyisakan luka?" atau sepahit kopi yang menjelajahi benak kemudian berputar-putar, meliuk dalam tikungan nasib.

Lalu ketetetapan manalagi yang ingin didengungkan, sementara resah akan kepastian tak selalu menjadi jawaban. Justru silang sengkarut dan ketidakpastian mengantarkan jalma pada pendaran iman.

Luapan-luapan merapi tersibak dari kejauhan, namun siapa yang mempelajari  hakikatnya? Malam - malam kini tak lagi sunyi, gelap semakin mencekam didalam diri. Merindukan banyak hal, memuasai banyak hal, menikmati banyak hal, dan memendam serta meledakkan banyak hal.

Di jaman yang semakin materialis, alangkah menarik rasanya untuk kehilangan diri dari pengakuan-pengakuan, seperti sebuah penerimaan yang harusnya ada dan biasa-biasa.

Kini diracuni oleh sebuah logika eksistensialis, mempertanyakan keberadaan dari sebuah trigger itupun hanya seremeh dari yang keliatan mata. Manusia tak lagi menikmati kata apalagi untaian sastra.

Semua semakin rakus, minimal untuk pamer bahwa ada yang dibanggakan dari diri, namun apa yang sebenar-benarnya dimiliki manusia, padahal sejuntai rambutpun manusia tak berkuasa atas jatuhnya, apalagi klaim terhadap bumi dan hancurnya sebuah peradaban yang kian nyata.

Botol mineral kuteguk, ubanku semakin mewabah dan menyarang di kepala.
Ah, siapa yang akan menerima betul-betul sang jalma? Kecuali kepentingan bercumbu didalamnya.

Atau siapa yang akan memeluk udara, sementara luapan dahsyat jaman mendorong keras menjadi sesuatu yang sama sekali bukan dirinya, hanya semu. Tapi Ruang-ruang kini semakin sempit, siapa yang mau menjadi ruang?

Lihatlah itu semesta dan kumpulan angin menampar sekaligus memelukmu. Kekasih.

Lingkaran berputar,
Ngat-nya kembali, momentum mataharinya kembali, masih sama di musim liga bangsa-bangsa. Namun kemenangannya sama sekali belum tercapai, semoga disegerakan.

Untuk kecintaanku padamu semua mahkluk, dan ampunanku atas semua kesalahanmu dan maafku atas segala luka yang kutitipkan padamu...

Kleco Wetan, Ngat Wage 08 Juli 2018.
Indra Agusta.

Tuesday, June 12, 2018

PAHLAWAN LEBARAN

Oleh: Indra Agusta

Dalam sebuah catatan Markesot pernah berlebaran dalam kesunyian. Mengurung diri rapat-rapat menjauh dari hirukpikuk keramaian Idul Fitri. Markesot dalam kesunyiannya nlungsungi. Dikala semua orang pulang ke kampungnya, desanya Markesot malah menjauh dari itu semua.
Sebagai manusia yang tak pernah mudik, kemarin saya mengiyakan ajakan teman untuk menikmati penuh sesaknya bis dari Sragen-Surabaya PP. hanya sekedar menikmati jalanan dipadat liburan ramadhan.

Orang-orang berduyun-duyun membawa tas besar, bersama harapan-harapannya bertemu yang dikasihi di desa. Semua hilir mudik menuju titik-titik tujuan, kabupaten-kabupaten kecil yang jauh dari kota metropolit Jakarta atau Surabaya.
Sebagian pemudik sudah menikmati smartphone sebagai layanan berkabar, sisanya handphone jadul.
Disetiap terminal selalu saja menelfon menginformasikan bahwa tujuan semakin dekat. Ah, lebaran selalu menarik diamati.

Lalu pikiran saya menerawang jauh ke orang-orang dibalik layar ini semua.

Admin Operator seluler, petugas checking ATM, sopir dan kondektur, Satpam atau penjaga rumah di kota metropolit yang merelakan waktunya untuk tak berlebaran demi kelancaran mudik para perantau.

Hal yang sama berlaku buat mereka para jurnalis, reporter yang terus menerus memberikan informasi Arus mudik bahkan sampai Arus Balik, Lalu tentara, polisi dan relawan kesehatan juga memberikan pengabdiannya,  mereka mungkin akan menikmati hangatnya rumah ketika semua sudah kembali ke tanah perantauan.

Yang tak kalah pelik adalah menyaksikan  para karyawan rumah makan yang melayani sampai H-1 lebaran, dibalik semua reuni yang kita adakan, juga kumpulnya keluarga diberbagai restoran mereka masih membanting tulang demi secuil kebahagiaan dirumah sambil menahan kerinduan karena terus menerus melihat kita asik menikmati kekangenan bareng handai taulan.

Akhirnya disetiap gegap gempita keramaian bersamaan itu pula muncul kesunyian.

Libur lebaran melulu menawarkan kebahagiaan, juga tatapan kosong kawan-kawan yang seumur hidupnya mengais recehan dijalanan.

Langkah-langkah jalma menuju sholat id akan segera berdentang, bermuara pada santapan guyonan serta akrabnya kekeluargaan.

Sementara saudaraku baru bangun dari tidurnya, menguap dan menggosok mata, dimana keluarga, siapa ayah ibu? dimana kampung halaman?  Disini tempat mata kalian nanar meludah dijalanan!

Selamat lebaran pejuang-pejuang sunyi.

KlecoWetan, 13 Juni 2018

Sepurane Rek,

Sepurane yo rek yen do ngajak buber ora isa melu, ancen nembe susah iki awak posisine lagi ruwet.

Sepuranen yo rek, yen ponakan-ponakan ora isa menehi pitrah, kaya bakdan wingi-wingi mase nembe ng omah ngancani wong tuo, ra kerja.

Sepurane yo rek, yen bar lebaran akeh undangan nikah ora isa jagong, apa maneh nggo jagong nggo mangan wae sok repot.

Sepuranen yo, mbah yen sik, panggonane salah putumu ki ncen bingung nik ng omah entuk duit seka ndi, yen mrantau kon yo ra gelem ditinggal, kerja ndek kene ming dipaido ra ana duite. Lha liyane do merem ra gelem ngurusi omah.

Lah kene ki yo menungso,abot tenan iki urip, sampe arep ngancani tuku kopi ora kuat.

Sepuranen yo..sepuranen rek..
Lagi mlarat temenan iki,
Ngalah iki sak apa-apane...
Sepurane...

Klecowetan, 30 Ramadhan 1439 H
Indra Agusta


Tuesday, June 5, 2018

ORA KEMARÚK

Membuka lapak pada dini hari. Memanggul dagangan sepanjang jalan dari dan menuju rumah. Bagiku ini Pemandangan fantastis di era kita beli kopi saja gulanya dipisah dan kita disuruh mengaduk sendiri.

Satu sénik besar berisi nasi, dan satu jelai besar berisi kuah kare. Sambal, kecap dan rambak sebisanya diangkut sebagai pelengkap.

Di era kapitalisme dan kita berlomba-lomba mencari keuntungan, Bapak ini berpuasa. Menahan dirinya dari gejolak ambisius mencari laba dan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Bapak ini tak pernah menambah atau mengurangi takaran nasi dan kuah karenya. Berapapun yang terjual itu rejekinya. Jika sudah habis dia tak lantas menambah atau memperbanyak nasinya, tapi mencukupkan dirinya, berpuasa supaya pedagang kare lain disekitar pasar ini sama-sama kebagian rejeki.

Puasanya yg lain adalah dia tidak menjual minuman, teh hangat dipesan dari angkringan disebelahnya. Supaya jalinan sosial terjaga.
Kayu bakar yang dia bawa juga secukupnya, cukup untuk terus memanasi kuah karenya.

Ora kemaruk, tidak serakah adalah nilai yang sangat mahal dimana manusia, masyarakat bahkan negara terus menerus yang ada jaringan otaknya hanya laba, laba dan laba.

Bapak ini otentik, dia ini syahadatnya murni, dia itu saksinya Allah bahwa tiada lain selain dirinya yang memberi hidup rejeki dan kematian. Sekalipun saya tak pernah tau dia berbicara agama, atau dia mengucapkan syahadat tapi menurut saya bapak ini sudah merepresentasikan dari keimanan mutlak pada Sang Khalik, berupa iman akan rejeki, cinta pada sesama, dan puasa dalam menjalani hidup bukan obsesif apalagi ambisius, ya hidup sesederhana berbagi rejeki diantara sesama pedagang makanan di Pasar Matésih ini.

Mencari ilmu Tuhan tak hanya lewat kitab, gunakan hatimu, bacalah sekeliling keadaanmu lihatlah Ayat-Ayat Tuhan bertebaran di udara.

Disemesta cinta-Nya.

Gusti mberkahi jenengan pak..
Pasar Matesih, Kab. Karanganyar.
6 Juni 2018

-Indra Agusta

#agustaisme

Sunday, June 3, 2018

Memaknai Gelap-Terang

Apa yang ada dalam benak ketika saya berkata hitam?

Setiap orang tentu akan punya jawaban berbeda tergantung representasi hitam terhadap input informasi yang tumbuh dan berjejal menjadi alur pikiran lalu mengkotak menjadi dimensi pemahaman seseorang.

Ada banyak jawaban bisa membicarakan kegelapan, warna tulisan ini, atau slogan seperti habis gelap terbitlah terang.

Di luar sana dalam sebuah iklan selalu didengung-dengungkan teknologi baru yang ketika teknologi lain berlomba-lomba memperbanyak warna dalam sebuah layar, vendor ini justru menambahkan intensitas warna hitam dalam teknologi layar mereka,  dan hasilnya memang memukau, karena hitam warna lain terlihat begitu hidup, sebuah kontradiksi yang menjadi teknologi. Menarik memang untuk diamati.

Hitam, seringkali orang menyebutnya sebagai kegelapan, tidak ada cahaya. Namun ketika saya berusaha mengenali kembali ternyata kegelapan itu tidak ada, konsep dasar darkness adalah the absence of light , absennya cahaya tentu akan berbeda dengan tidak ada. Gambaran gampangnya seseorang yang absen tidak masuk sekolah, akan berbeda dengan anak tersebut tidak sekolah.

Kegelapan hadir sebagai bukti terbatasnya indera manusia, dan sekali lagi manusia harus mengakui ketidak sempurnaannya. Meski jika dipaksa didebatkan akan dibalas dengan berbagai teknologi yang dibuat manusia untuk memecahkan kemampuan menangkap cahaya tersebut. Teropong night vision atau cctv inframerah misalnya adalah salah satu inventionmanusia dalam menjawab keterbatasannya terhadap absennya cahaya.

Bagi masyarakat yang sering nyepi tentu akan sangat tahu perbedaan dimensi kegelapan, terserah apapun lakunya, bisa bertapa, semedi, kungkum¸atau sekedar mancing pasti mata mereka terasah untuk lebih jeli menangkap cahaya di kegelapan. Di situ indera mereka diasah untuk peka terhadap sekeliling, bahkan termasuk mahkluk-mahkluk dari dimensi tertentu.

Paradoks memang akhirnya, setiap kegelapan adalah latihan peka terhadap cahaya, over lighting pun terpaksa melatih mata kita untuk mengurangi intensitas cahaya, menutupinya entah dengan kacamata atau sekedar tangan. Manusia terus bergaung-gaung gelombangnya, memadat – meruang dengan berbagai dialektika paradoksnya.

Jika mundur lagi pun, saya sebagai pendaki gunung pun akan bisa bercerita banyak bagaimana tumbuhan bergerak kearah matahari (Cahaya) membimbing mereka, bagaimana mereka melesat menjulang, kadang berdesakan untuk sekedar mendapat cipratan cinta-Nya lewat sang surya. Atau absence of light  adalah waktu terbaik bagi mahkluk nocturnal berburu melangsungkan hidupnya, dan dari hitamnya malam kita manusia justru mampu menangkap rentangan galaxy milky way yang semakin pepat malam hasilnya akan lebih jernih, sekalipun mata telanjang tak mampu menangkapnya, namun teknologi mengejarnya.

Manusia dalam perkembangan peradabannya sebisa mungkin menembus batasan-batasannya, termasuk terhadap cahaya, semuanya bergerak karena cahaya, terbangun hidup menjalani aktivitas karena cahaya, terlelap dan lelah pun ketika cahayanya meredup, meski anomali nocturnal juga terasa tak hanya hewan namun manusia malam juga mencahayai dirinya sendiri dipepatnya malam.

Semua tergerak menuju inti dari semesta yaitu Cahaya diatas Cahaya. Tinggal bagaimana kita merefleksikannya, hitam yang kegelapan ternyata bukanlah sebuah ketakutan seperti yang ditakutkan anak-anak kita. Justru dari malam-malamnya ada banyak obrolan, gurauan, bahkan diskusi serius menyoal bagaimana mewujudkan adanya cahaya-cahaya ‘substansial’ yang bermanfaat bagi semesta sesama, sebagaimana kewajiban kita semua manusia.

Lalu hitam yang dianggap sebagai negasi dari terang, menjadi tringger penentu jumlah cahaya, justru karena hitamlah manusia bisa membedakan mana terang, mana yang samar dan mana yang gelap meski gelapnya ini juga bisa diterawang lebih mendalam.


Cak Nun dalam suluknya lingsir wengi tan kendhat seperti mengisyaratkan bahwa kegelapan yang sangat pepat, entah dari dimensi mana kita melihat kegelapan dalam tembang  tersebut, yang jelas lingsir wengi adalah batas dan selangkah lagi bang-bang wetan  itu akan bersinar menyiratkan kaca benggalan zaman baru. Anak-anak saya yang berlatih berkegiatan speologi dipepatnya gua juga akan memahami betul bagaiman manusia juga sangat punya refleks terhadap cahaya. Dan justru pengenalan akan kegelapan itu menjadikan mereka sangat menghargai cahaya.

Ulang-alik kesadaran, terus menerus mengajar jalma untuk menghargai akal, jaman segera berubah banyak sekali kegelapan akan datang dipenghujung jaman, namun seberapa siap indera menafsirkannya sebagai sebuah terobosan, atau malah justru jatuh kelubang-lubang yang lebih kelam hingga manusia menemukan batas kejeliannya terhadap kegelapan. Tinggal bagaimana mata sang jalma diasah menjawab dan menelisik jaman.

Seperti lirik band Down For Life  :

 “Terbanglah-terbanglah tinggi menuju matahari, “

Selamat melangkah menafsiri berbagai tingkat kegelapan, selamat berburu terang.


 


Kleco Wetan, 08 Mei 2018

Indra Agusta


Gerbang Jaman Baru

Geliat perubahan jaman dibarengi dengan pertarungan politik semakin terasa getarnya. Di sudut-sudut desa riuhnya perkumpulan, konsentrasi massa mulai dicetak menuju rangkaian gerbong dalangnya. Manusia-manusia itu diagitasi, diprovokasi, demi sebuah pencapaian yang gemilang. Lalu polarisasi tercipta, namun kemenangannya untuk siapa?

Di zona luarnya semakin terasa arus pembangunan dan investasi semakin tak keruan ujungnya. Kasus demi kasus korupsi merebak mewarnai layar televisi kita hari-hari ini. Pantaskah kita bertanya kembali sebenarnya kemajuan untuk siapa? Untuk apa? Apakah benar pembangunan yang digadang-gadang ini adalah yang dibutuhkan masyarakat?

Arus laut dari Utara terus mengancam, angkanya dari sektor pekerja terus naik tiap tahun, juga wisatawan yang tinggal di negeri semakin tinggi traffic­-nya. Ini jaman mau digiring kemana, anak-anak kita terus dijejali game online, trending dance dan music, yang juga semuanya dari utara.

Guruku berkata, barat sebentar lagi akan redup, dan negeri akan makmur, namun bukan kita yang menguasai melainkan arus besar dari utara. Namun dengan apakah membendung arus derasnya, sementara kerannya terus dibuka oleh senopati-senopati palsu negeri. Kawula yang butuh masuk pondok sehat saja harus menunggu beberapa hari, ini mereka maksimal 2 hari diperbolehkan senopati bekerja disini.

Seberapa siap negeri menerimanya, atau terkhusus saudaraku maiyah seberapa kuat menghadapinya. Kuda-kuda harus dipasang sekarang, kuncinya sudah diberikan Sang Guru temukan thariqat, minat, bakat, dan Jadilah Ahli. Tinggal bagaimana kita menafsirkan dan mengapresiasi mutiara sang guru.

Arus informasi juga tak kalah derasnya, setiap detik selalu ada informasi baru yang tak kalah perlu lebih jeli dalam mengenalinya, juga tuntutan mutlak untuk saudaraku Maiyah supaya lebih tenang dalam menyikapi berbagai keadaan kedepan, setiap lini pasti akan diserang untuk diarahkan dalam kontestasi dukung mendukung yang tentu tak kalah sengit dengan pertandingan bola akhir-akhir ini.

Sisi lainnya adalah budaya Talbis  akan dibuka kembali  krannya dengan maksud tujuan untuk mendukung, menolak calon tertentu yang sangat mungkin akan bersinggungan dengan rutinitas kehidupan kita juga harus kita waspadai.

Dialektika Ketakutan

Masalah yang akhir-akhir ini timbul tentunya adalah dialektika ketakutan. Massa semakin agresif, dalam kumpulan pendapat berbeda sangat bisa jadi bahan keroyokan dan bualan mereka yang menguasai mayoritas. Atau kasus hashtagyang bisa menimbulkan persekusi berat di media sosial. Diktator Mayoritas ini berbahaya untuk masa depan negara, ketakutan dan teror bagi siapapun yang anti kubu tertentu hanya akan menambah jurang polarisasi kubu, jika semakin memanas outputnya bisa menjadi bentrok bahkan kekacauan yang menimbulkan luka sejarah. Seberapa siap ?

Ketidaksiapan dengan perbedaan, malasnya berfikir, rasialis, dan gampang terprovokasi seperti borok  yang menahun. Akhirnya jika penindasan terhadap pikiran minor hanya berbuntut rerasan dan diakhiri dengan cemooh, ya jangan berharap ada pemikiran dan penemuan baru. Apalagi presiden baru?

Bagaimana mau membuat rumah kuat, sementara membangunnya dari pondasi yang bobrok? Padahal jika kita paham realitasnya, pondasi yang bobrok ini terus menerus dipakai caranya, black campaign, money campaign, agitasi massa, polarisasi, bagaimana masa depan negara jika terus menerus kita ikut diam dengan pondasi sekarang, ditambah lagi dengan teror-teror keberpihakan.

Soal fiksi dan fiktif saja kita begitu hangat, belum lagi peringatan may day hanya digiring menuju percaturan politik, esensi memperjuangkan buruh akhirnya menjadi slogan-slogan yang ditunggangi mereka para calon perebut kursi raja.  Dan di akhirnya kita tahu syarikat buruh terbelah satu mendukung A satu mendukung B.  Lalu siapa yang memperjuangkan nasib buruh? Pengangguran? Gaji rendah, serta kemlaratan seantero negeri? Harus percaya bualan lagi?. Kita sebagai rakyat juga begitu gampang digiring sepersekian derajat saja dari tujuan awal sebuah pergerakan akhirnya muspro nir-pencapaian.

Selamat berjernih-pikir saudaraku, dizaman penuh citra, penuh rekayasa dari alam berpikir sampai struktural kenegaraan. Juga guna memahami kedatangan revolusi besar 4.0 dimana, kenali gelombangnya, kenali perkembangan keadaan dan berbagai transformasi teknologinya, yang terpenting kenali betul titik-titik dimana jangan justru menjadi korban dari revolusi tersebut, jangan sampai tergilas, kuncinya sama sudah dipaparkan Sang Guru tinggal mutiara airnya mau dikemas menjadi wedang  atau air mineral, tergantung bagaimana kita membawanya.

“Begitulah pengetahuan ilmu, pandangan hidup, peta politik, nilai-nilai kebudayaan dan peradaban saat ini: bergelimang talbis.

Namun semua itu berada diujung jalan, kemudian beralih ke Zaman Baru. Anak-anak saya harus menjadi bagian dari fajar terbitnya Matahari Peradaban Baru. “ (EAN, di buku Kiai Hologram)

 

Sragen, 2 Mei 2018

Indra Agusta

Mas Dan, Manusia Pusaka Sastra dari Sukowati

DANARTO, adalah salah satu dari beberapa nama sastrawan yang karyanya saya simpan di rak usang rumah saya. Tulisan-tulisannya sangat kental dengan refleksi ketuhanan, kemanusiaan, memaksa saya yang masih timur ini untuk berulang-ulang membaca satu judul, guna menelaah maksud dari sang begawan.


Sragen kota tanah kelahiran saya, juga merupakan bumi dimana beliau membuka mata, memulai dimensi awal kehidupan. Lahir sebelum republik berdiri, beliau lahir sebagai anak buruh pabrik gula Mojo, menjalani berbagai jaman tentu menjadi jalan panjang menuju kelahiran sebuah perenungan dan kemudian sastra-sastra yang mencengangkan Godlob misalnya.


Dari kesamaan kota kelahiran ini pula saya mencari-cari siapa yang menorehkan nama harum ke bumi sukowati di dunia sastra selain Koo Ping Ho, dan Mas Danarto adalah jawabannya.


Ngunu tapi ya aja ngunu, itulah idiom yang pertama kali saya kenal dari beliau. Idiom jawa yang seringkali hanya dicap sebagai sikap plin-plan oleh manusia modern. Namun tentu tidak demikian bagi kami yang biasa dengan tradisi jawa. Proses begitu tapi begitu tapi mbok jangan begitu adalah proses terus menerus mencari mana yang paling benar, olak alik pendaran pada setiap keputusan, menimbang-nimbang terus menerus setiap efek yang ditimbulkan dari sebuah keputusan atau perbuatan.


Selanjutnya adalah perhatian beliau yang mendalam menyangkut kasus kemanusiaan yang menimpa tanah kelahirannya, Kasus Kedungombo. Penggusuran yang dilanjutkan penenggelaman paksa beberapa desa, menggugat nuraninya untuk menyampaikan kritik pedas pada rezim, melalui tulisan maupun melalui pentas teater sesuatu yang langka dilakukan oleh manusia jaman itu.


Kritik pedasnya tidak berhenti sampai disitu, beberapa kasus seperti Marsinah,Wiji thukul kenaikan harga pokok, perang Iran – Irak juga membuatnya tak bisa diam untuk mengutuk berbagai ketidak adilan.


Soal carut marut negeri memang berkali-kali beliau memberikan referensi gagasan meski sama sekali tidak pernah dielaborasi oleh pemerintah.


Penempatan Sastrawan harus setara Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung dan DPR  misalnya, adalah loncatan pemikiran yang menarik untuk dipelajari, bagaimana sastrawan yang sama sekali tidak punya pamrih material, justru karena itu akan melahirkan pemikiran-pemikiran bening untuk kewibawaan sebuah negara. Namun ide itu juga selama ini hanya semu, tidak pernah menjadi realitas, bahkan manusia modern mengira sastrawan sama dengan penulis, atau menganggap pentas teater hanya sebagai lelucon hiburan, benar-benar degradasi pemahaman.


Kehidupan yang sederhana menikah dengan seorang psikolog yang kemudian berbeda perjalanan keber-agamaan adalah pengalaman hidup tersendiri bagi seorang Danarto, bagaimana istri beliau kemudian memutuskan untuk menjadi pengikut Lia Eden, perceraian tanpa dikaruniai buah hati dan berbagai lakon seperti harus berhutang kesana kemari untuk menjalani hidup sangat tidak pantas rasanya bagi seorang Danarto ditelantarkan negara sedemikian rupa.


Gagasan perlu adanya Semar yang menjadi rujukan permasalahan bangsa juga pernah dituliskan Danarto. Bagaimana ketika jagad gonjang ganjing ada dewa yang mau menemani rakyat. Soal kebegawanan ini dalam tulisan di Republika berjudul Batas kekuatan dan Ajal beliau menyebutkan  ada beberapa tokoh yang layak disebut Semar diantaranya : Harry Roesli, Iwan Fals, Nano Riantiarno, Nurcholis Majid dan tentu adalah guru kita semua Emha Ainun Najib.


Mengutip mbah Danarto:
lima orang Semar ini selalu mengayomi dan memberikan kesadaran sejarah bagi jamaahnya. Mereka menyodorkan pilihan sistem dan budaya yang selama ini dicari-cari. Mereka membentuk ideologi kelas menengah ke atas (dan juga ke kelas bawah) sehingga kelas ini tidak merasa kesepian dalam mengarungi jaring-jaring sosial politik, ekonomi, dan kebudayaan yang sangat ruwet dan berbahaya”


Beberapa sudah meninggal yang tersisa gaungnya tinggal Emha dan Iwan Fals. Memang mereka berdua ini yang menjadi inspirasi bagi banyak orang sekarang. Menyoal Emha tentu Danarto lebih banyak menulis tentang beliau karena kedekatannya soal sastra, teater juga berbagai permasalahan politik negeri.


Di mata Danarto Emha adalah Begawan-nya Indonesia, tempat dimana limpahan masalah dicurahkan kepadanya, terkadang dengan kelakar “Emha tak lelah-lelahnya beredar terus membangunkan para petani gurem, meskipun sandungannya semakin banyak dan fantastis”memang tidak mudah menemani Indonesia. Dan banyak cerita lagi soal Emha, nampak sekali Danarto menaruh harapan masa depan pada Emha yang berumur jauh dibawahnya.


Malam tadi, setelah kecelakaan yang menimpanya  Mas Danarto berpulang. Sedih rasanya karena belum sempat bertemu dan ngobrol dengan beliau. Saya jadi teringat Cak Rusdi Mathari dulu pernah menuliskan ketakutan mas Danarto pada kiamat, Jika semuanya musnah kita jadi mahkluk terakhir, atau takutnya beliau naik ambulan. Tahun ini keduanya sudah kekal, cak Rusdi juga sudah mendahului berpulang, sementara malam ini Mas Danarto diperjalanan terakhirnya justru melewati perjalanan panjang Jakarta-Sragen menaiki ambulan. Begitu namun ya tidak begitu akhirnya.


Maturnuwun mas, selama ini memasuki ruang pemikiran mendalam perenungan saya, banyak ilmu dan goresan makna yang sampai saat ini belum selesai saya serap, namun pelan-pelan semoga waktu menjawabnya.


Sugeng tindak Mas Danarto, selamat lahir dan kembali ke bumimu tercinta. Sukowati.


 Sragen, 11 April 2018


Indra Agusta


Inkonsistensi Logika

Bagaimana mengisi air di gelas yang bocor?
Bukankah cara terbaiknya adalah menambal, atau mengganti yang baru.

Seringkali logika kemiskinan menawarkan kerentanan, kemlaratan menimbulkan rasa haus yang sangat, kebutuhan menjadi jerat, ingin akhirnya sesat.

Terus menerus ingin menuang air lagi dengan gelas, dengan konsekuensi lubang gelas yang semakin besar.

Ini in- konsistensi logika.

Atau karakter ini membudaya,  mau dikasih permen manis namun seisi ladang kalian dirampok dan dijadikan lahan tebu penjajah.

Ini kan teori etis Van Deventer, sekilas kita diberi pendidikan tapi pekerjaan yang diberi hanya sempit,lalu apapun dikejar demi "status" dan cap mentereng "sukses menjadi pegawai".

Berbondong-bondong anak wedana bersekolah, namun hanya satu-dua pekerjaan yang ada di jawatan belanda.

Jumlah lulusan banyak, tapi lapangan kerja yg didamba sedikit. Sebagian berlomba dengn cara apapun, sebagian mburuh, untung sekarang ada anomali pekerjaan kreatif.

Ada jalan keluar bagi mereka yang gagal mendapatkan kesempatan kerja di disiplin ilmu yang mengkacamata kudai mereka. Syaratnya memang harus membuka mata, membaca dan memanfaafkan potensi yang ada, meski tak elak juga harus berhadapan dengan raksasa.

Tapi jaman terus bergeliat "ownering" menjadi "sharing", akhirnya kelak di masa depan ada formula baru menutup gelas yang bocor harus bersama-sama supaya efektif, dan saling terjalin mesra rajutan benang.

Berpuasa, atau minta tolong mereka yang berlebih tanpa menambah kadar 'haus' dalam membenahi segalanya.

Ini jaman sudah pincang, kemana angin berhembus semoga hembusannya tak menambah duka dari semua luka-luka. Justru kalo ada setiap tintanya menjadi senjata untuk menambal kembali bendera kemiskinan yang robek.

Kleco Wetan, 4 Juni 2018
Indra Agusta.

Wednesday, April 4, 2018

Transisi senja

Angin mengusap keningku. Aku melihat sisa-sisa jarahan kota, mayat dan wanita-wanita terluka. Terkoyak-koyak harga dirinya.

Transisi tak melulu soal eksistensi, kemenangan dan gemerlapnya panggung jabatan.

Seperti menatap senja dibukit bersama untaian kabut. Sinarnya temaram, senjanya terkesan begitu muram. Lalu dimanakah orang-orang yang mengumandangkan perdamaian tanpa perang.

Anak-anak diprovokasi, diagitasi untuk membentur dan berbentur. Orang tuanya dijejali koran dan berita tentang korupsi, seakan menjadi hal yang wajar, kalau perlu jika ada kesempatan harus ikut maling.

Bau darah dan mayat masih juga belum pergi dari pusaran kota, sisa panah dan pedang berserakan dijalan-jalan.

Di medan sampyuh, aku melihat tubuhku, tubuh yang kaku ditumpas beribu panah. Tubuh yang gagah menyambut kematian. Srikandi wanita itu begitu tangkas menyempurnakanku.

Perang hanya menambah luka, pertentangan hanyalah lampiasan nafsu sesaat, namun siapa yang berani melawan kehendak Sang Nata?

Semua bisa menghitung, bersiasat menelikung, namun kehendak siapa yang terjadi?

Apakah kelak anak-anakku akan hidup damai Setelah pandawayuda?
Apakah harmoni ini akan terjalin mesra?
Atau justru hanya menambah luka sejarah?
Meningkatkan lagi presentase dendam.

Cinta, dimanakah genggam eratmu,
Atau yang kau sebut cinta hanyalah kebencianmu kepada liyan?

Mari bergegas, bisma, ingsun...

Jogjakarta, 4 April 2018

Wednesday, March 28, 2018

Menggugat Senja yang usang

MENGGUGAT SENJA YANG USANG
Oleh: Indra Agusta

Senja, adalah masa yang sukar diprediksi. Mereka menjadi plin-plan dalam mengambil keputusan, seperti anak kecil dalam semua langkah.

Kebohongan yang berujung pada ketidakpercayaan menggugat, kesempitan yang terstruktur harus dilawan dengan keseimbangan akal.

Arogansi, merasa besar disambung dengan berbagai kehausan material menggiring manusia pada sikap menang sendiri. Berdiri memperebutkan pengaruh melangkahkan diri pada semakin pincangnya pokal dan tingkah.

Gelas-gelas itu retak, airnya tumpah. Namun manusia malah memoles gelas. Emas menjadi pilihan nafsu, sementara atap bocor mengalir air dari langit, dan bahkan merebahpun penuh genangan.

Lalu lihatlah terseok-seok langkah, namun masih juga nalarnya padam. Keangkuhanmu akan patah.
Kepalsuanmu akan pecah,
Dibilik-bilik kematian, kau menjelma memakan segala kerakusanmu sendiri.

Segeralah, songsonglah,
Langit yang sama sekali baru,
Dunia yang sama sekali baru,
Gelas-gelasmu akan diganti wadah baru.
Tunas-tunasmu akan segera tumbuh menjadi jenis tanaman baru.

Hingga semua yang semelang akan dilegakan.
Yang ditengahnya akan melawan dan membuka lawang, mungkin nanti akan mati sampyuh, atau berkalang tanah namun relakan kalau toh memang menjadi bebantén.
Orang-orang jaman tua harus segera berlalu, mereka yang membangun sekaligus merusak harus mati dan disingkirkan.

Dan benih-benih itu lahir dari kemurnian, juga dilimpahi segala kebaikan.

Candi Ceto, 29 Maret 2018

Friday, February 23, 2018

Materialisme Harga Mati

Materialisme Harga Mati

Injil mencatat sebuah nas :
"Akar segala kejahatan adalah mencintai Uang"

Kita tahu Zaman Now memang membutuhkan uang, namun keputusan untuk terlalu mencintai dan memberhalakan uang adalah perilaku yang sangat lain.

Dalam perkembangannya belasan tahun mengamati perilaku jalma.

Adalah manusia yang tak pernah berhenti mengejar kekayaan namun kekayaan tak mendekatinya. Tak puasnya manusia, seringkali ukuran 'cukup' pun bermakna relatif, asal yang penting cukup, namun justru standar kecukupan itu menjadi bias karena berbanding lurus dengan diperluasnya kebutuhan.

Akhirnya memang tidak ada yang berubah sama sekali, tidak ada kekayaan yang ditimbun, lalu hutang menjalar bagai umbi-umbi di ladang.

Dan keputusan selanjutnya adalah kegamangan, kehilangan diri, asal dapat uang pasti senang dan menyalahkan apapun yang tidak terkait dengan uang, kesehatan tubuh misalnya.

Manusia modern bukan petani yang menanam pohon pisang atau trembesi guna peneduh disela-sela sawah. Mereka menempatkan pepatah "sedia payung sebelum hujan" di pojokan emperan rumah pemikirannya.

Kecenderungannya lebih kepada jika sakit pergi ke dokter dan beli obat, jauh lebih laris daripada bagaimana menjaga badan agar terhindar dari segala penyakit. Asal nabrak dulu tiang listrik, urusan bisa diatur belakangan.

Sementara dibelahan lain bahkan untuk membeli obatpun tak mampu. Seperti anak kost yang menahan lapar dengan minum obat maag. Keadaan kronis ini menyampaikan makna, bahwa ketidakadilan itu memang nyata. Melawannya atau membiarkannya semacam balsem yang dioles, masuk anginnya reda sebentar lalu besok masuk angin lagi.

Lalu mencintai uang berubah bentuk dalam berbagai pemujaan perilaku, pemujaan syahwat, pemujaan almamater, pemujaan gelar, pemujaan pangkat, dan segala yang mampu dibeli dengan uang.

Dan ingatlah ada jeda memantik sinar diri, dan menggerogoti diri dari dalam.
Akankah sinarnya tinggal sebentar?
Dan bilamana jalma berjalan ketika hari gelap?

Membasuh air dipematang sawah, namun Air terlanjur keruh.

Sragen, 24 Februari 2018
Indra Agusta

Wednesday, February 21, 2018

Anak-anak Pedang

Oleh: Indra Agusta

Diselumuti duka mereka, dikabarkan kematian demi kematian berbaur dengan asap kembul sang malam.
Sang jalma terdiam dan menulis, siapa dan bilamana mereka berserak, digerakkan lalu tergerak.

Mereka anak-anak Adam yang berkelakar diguyur hujan deras.
Gemetar, gigil tubuh mereka menapaki sisa hidup yang tak kalah dinginnya.
Sebatang rokok, segelas tuak ditenggak memecah kepiluan, keputusasaan dendam.

Aku, dari sudut gelap melihat kegelisagan dan kebuntuan tergores dari hati yang sepi. Namun dimana anak-anak itu melabuhkan peluh, menyandarkan derasnya air matanya?

Anak-anak api, selaksa panah di bahunya , juga bergandewa gugat di tepi maknanya..

Ahh, Anak-anak Pedang.
Matanya nanar melawan,
Pikirannya mendobrak,
Otaknya menguak,
Berontak mereka,

Lalu dimanakah kalbu?

Suram-suram terdengar ketukMu,
dari ruang kosong lelah, Tabah. . .

Klecowetan, 17 Februari 2018

Sunday, February 11, 2018

Gerbang Cahaya

Mengambil peran, adalah suatu posisi lakon yang entah sadar atau tidak dijalankan oleh semua manusia. Manusia yang diawal sudah menuliskan perjalanannya disimpan rapat dalam buku kehidupan, lahir kemudian memperjalani lembar demi lembarnya.

Semuanya berproses menjalani berbagai macam pilihan yang bebas namun sebenarnya terbatas. Ada ruang-ruang yang memadatkan manusia untuk menuju lajur kesempurnaannya.

Di dalam naungan cinta-Nya, tentu ada keluh kesah dan kebuntuan-kebuntuan yang sesak sekaligus pepat, namun jika manusia bisa mengais tanahnya, ada sumber air kehidupan yang menyumbat kegelisahan.

Ketekunan dan keseriusan menjalani laku, menghamburkan lebih banyak lagi pendaran Cahaya Tuhan, untuk kemudian diresapi lagi apa yang merasuk dan menghujam di sanubari.

Pendaran Cahaya kemudian berprogres menjadi apa yang dirasa.
Menjadi Sinar di balkon megah penguasa, lampu untuk menerangi anak-anak kita di kamar yang semakin gelap, menyeruak untuk tegasnya arah lalu kemudian setia menemani pejalan, atau lilin-lilin kecil ditengah-tengah ketersesatannya di belantara dunia.

Semua akhirnya adalah Cahaya, mengalir dari dan menuju Cahaya.
Seperti kisah rumah yang pahatannya puluhan tahun bermakna terang, kini semakin menggenapi wujudnya untuk tidak lagi dinafikan.

Seleret kilat terpandang, sekejap lampu padam. Lihatlah itu anak-anakMu lahir..
Tangis sesenggukan hari menyambut makna kelahiran..

Padhang, padhang, padhang dan semburatnya kian benderang...
Bergegas anak-anak itu dengan airmata memeluk-Nya.

Rumah Cahaya, 11 Februari 2018.
Indra Agusta

Saturday, February 3, 2018

Kehilangan Protestan-isme

500 tahun gereja setelah reformasi yang dibawa Martin luther, apa yang saya temui ternyata malah justru menjauhi dari semangat protes itu sendiri. Dengan tulisan ini semoga protes saya berhasil pedas, supaya gereja kembali kepada kejernihannya sebagai wujud ajaran Cinta-Kasih Yesus sendiri di dunia nyata.

500 Tahun reformasi gereja, sebuah peringatan megah, digaungkan dilangit gereja, kisah-kisah epik soal sindiran keras soal gereja Katolik dizaman kegelapan gereja. Lalu hanya dibumbui sebatas untuk percaya terus menerus Yesus sebagai Tuhan dan Juru selamat.

Selebaran yang sampai kerumah saya soal Reformasi gereja ya hanya berkutat soal inferior gereja, soal yang harusnya tidak perlu dianggap penting, menurut saya. Soal-soal seperti aliran lain yang tidak menganggap Yesus sebagai Tuhan, Yesus bukan satu-satunya harapan dari sebuah doa.

Menyalahkan A lalu menganggap diri sebagai yang paling benar, semuanya sudah berlalu sekarang hampir semua Kristen mayoritas menyembah Yesus sebagai Tuhan, sisanya paling 10% mungkin lebih kecil lagi, toh mereka masih mengganggap Yesus, dan ajarannya sebagai pedoman hidup, mengganggap Yesus sebagai juru selamat di akhir zaman. Kenapa kekristenan harus kembali ke teori ini, kenapa tidak menganggapnya sebagai bagian dari sejarah perkembangan gereja.

Pertanyaannya: whats next after reformation? After saved?

Ada banyak PR diluar sana yang tentu juga harus dijawab Kristen apalagi gereja sebagai rumah, dan berkumpulnya umat yang mengaku kristen.

Sebagai bentuk dari hukum kasih ke-2 mencintai sesama manusia sebagaimana mencintai diri sendiri. Namun yang saya temui justru sebaliknya kalangan mahasiswa kristen, keluarga kristen, keluarga pendeta bisa makan enak di berbagai restoran mahal, di hotel berkelas, main di wahana spektakuler. Namun jangankan dimensi sosial secara luas, banyak dari nasib jemaatnya sendiri yang hidup jauh dibawah garis kemiskinan dibiarkan oleh gereja, oleh agen-agen yang membawa nama cinta,kasih sesama manusia.

Dimana mencintai manusianya? Gerakan kekristenan harus segera berinstropeksi diri dari kenyataan seperti ini, kalau tidak mau ditinggalkan umat.

Tak jarang gereja sekarang hanya sebagai ajang pamer gengsi, dan pamer aktualisasi. Berlomba-lomba memamerkan kemewahan, memamerkan keglamoran, yang justru semakin membawa rentang sosial yang jauh antara jemaat yang finansialnya dibawah rata-rata dengan kelas elit kapitalis.

Belum lagi soal semakin 'sucinya' gereja protestan terhadap jemaat yang dianggap kotor. Mereka yang bekas maling, penjudi  bekas menghamili/dihamili semakin tidak mendapat tempat didalam gereja, tak jarang gunjingan dan cibiran muncul dari mulut pendeta sendiri, gereja yang harusnya menjadi rumah untuk semua orang dengan berbagai kesalahannya malah menjadi bagian dari justifikasi kesucian semakin membuat enggan mereka yang dinafikan untuk datang beribadah atas dasar cinta kasih.

Jadi apa yang menjadi tujuan kekristenan sekarang?
Dimana semangat protestanisme akan digaungkan?

Bagaimana terus menerus menggaungkan orang untuk percaya Yesus, Figur yang menawarkan pembebasan dari kesengsaraan, perjuangan dan perlawanan terhadap penguasa, terhadap ketidakadilan, melawan tirani kekuasan,

Namun kalian justru menutup mata dan kuping kalian dari realitas, sambil mengunyah kemapanan kalian di rumah nyaman? Ironi sekali. Kalian ingin seperti Yesus namun kehilangan harta untuk orang papa saja mikir, mending menghabiskan waktu untuk meet-up , piknik kesana kemari lalu bersaksi "hidup saya diberkati", Oi! itu jemaatmu sudah merasa diberkati belum?

Jangan dijejali janji surgawi melulu, sementara realitas penghidupan mereka didunia kalian biarkan, bahkan kalian nafikan asal ada pundi-pundi yang mengalir dari kantong kolekte kalian.

Lalu dimana Kekristenan yang penuh welas asih itu?
Dan kembali kepertanyaan awal, bagaimana kedepan arah gerakan Protestanisme?
Jika tidak segera berbenah, jangan disalahkan jika kekristenan tidak relevan dan akan semakin ditinggalkan.

Selamat Hari Minggu.
Kleco Wetan, 4 Januari 2018

Indra Agusta

Friday, February 2, 2018

AKTUALISASI RUANG


Oleh: Indra Agusta

Manusia sebagai mahkluk ciptaan terus menerus mengikuti aktualisasi dirinya, yang nantinya akan ditabrakkan pada rengkuh jaman

Berbagai peran dijalani manusia, berbagai pencapaian dari lini kekuasaan hingga bertumpuk-tumpuknya emas raja brana mengisi hari-hari kita sepanjang hidup. Sisi lainnya adalah pilihan-pilihan ideologis, konsentrasi metode berpikir, juga harmonisasinya terhadap ciptaan lain. Demikian manusia terus berjalan mengikuti jumlah detak jantung yang dititipkan oleh-Nya.

Adakalanya diriuhnya zaman, manusia lalu berlomba-lomba memuja kebutuhan primernya. Di jaman yang dibilang modern ini entah berjuta manusia berlomba-lomba mengisi, menghiasi perutnya. Esensi makan tidak lagi sebagai pemenuh kalori dan enzim yang dibutuhkan tubuh, namun berkembang menuju ragam makanan yang menjamu mata untuk terlalu senang dibelai warna.

Pakaian, juga demikian ada evolusi dan pengulangan dalam tren berpakaian, tapi alurnya sudah melebihi apa esensi sebuah pakai dibumbui akhiran -an.

Apalagi  rumah, jelas sudah berkembang demikian pesatnya, teknologi dan proyek infrastruktur terus berjalan, pasar hunian merajalela disemua titik-titik l dianggap prospek oleh pengembang, dilengkapi berbagai kemudahan, fasilitas transportasi, yang semakin memuja manusia dikeriuhan koneksi relasi.

Lalu dimanakah yang masih berjuang untuk sebuah esensi?

Negeri yang sama yang menjamu para penikmatnya, juga memberi kemiskinan dan nasib sial bagi orang lainnya.

Jutaan mereka yang tidur di emperan toko, mengais sampah mereka makan kudapan debu. Pakaian hanya 1 cuci kering pakai, atau bahkan tidak pernah diganti. Bukan karena mereka tidak berusaha, namun perjuangan menuju titik balik tentu sangatlah berat. Coba eksplorasi berapa jerat yang mengunci kaki mereka, membunuh kecerdasan mereka, plat merah kadang juga turut andil membebani dalam proses administrasi, tapi disisi lain mereka inilah yang menggurui saya soal kembali pada esensi hidup. Apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam hidup?

Saya tau gelak tawa renyah mereka dari setiap keping yang dihasilnya, dari nasi bungkus yang dimakan sambil berkeringat bersama anak yang mengikutinya menjarah jalanan, atau seberapa romantisnya tukang kelontong yang duduk-duduk dipojokan alun-alun kota sambil menikmati jagung bakar bersama cucunya.

Keromantisan lain adalah guyon penjual semangka didekat trowong, yang meski lelap ketika truk buah datang, saya mencoba menyamar mengemispun semangka diberikan oleh ibu-ibu itu. Betapa sempurnanya hidup mereka, dijalanan sepi tukang-tukang sapu juga terus menerus membersihkan kota, meski adipura bukan atas nama mereka. Hisapan rokok sehabis hujan sudah memberi bahagia ditengah nasib yang tak kalah muramnya, segurat tipis dari kejauhan aku memandangnya.

Sebentar lagi pagi menjelang, disudut kota sepi akan hingar kembali. Dan perebutan aktualisasi akan berjalan lagi, rebutan jalan, rebutan kepintaran, rayahan proyek, atau mendermakan diri sebagai tenaga kesehatan. Semua mengisi rumah besar bernama bumi, semua menjadi perabot-perabot, pepat tanpa jeda.

Aku pernah menjadi bagian dari itu semua, dan kini aku melukiskannya, sambil memilah apa yang ada diluar ini semua, apa makna dari semua peredaran ciptaan ini.

Akhirnya semua proses ini menjadi kalam hidup, dan manusia hanya dianggap ada bila mengaktualisasi dirinya sebagai sesuatu.

Presiden maupun pengemis, harus jelas dari perangai, tingkah sampai model alaskakinya. Supaya memudahkan pengenalan aktualisasi.

Dan dimana saya sekarang?
saya sedang tidak menjadi apapun, hingga banyak orang bingung menafsirkannya.

Hanya melakoni peran sejenak, sembari menikmati lakon yang dituntun selanjutnya.
Kadang Penganggur tanpa pekerjaan, kadang penulis, kadang instruktur pencinta alam, kadang pengayuh sepeda dikesunyian, kadang tukang kritik di medsos, kadang ngobrol bersama akademisi, kadang ngopi sama tokoh, kadang berbagi nasi dengan pengemis, kadang join kopi dengan tukang pel stasiun, kadang mabuk bersama tukang parkir restauran, kadang penunggu rumah yang setia, kadang menyendiri di belik-belik sepi, kadang menjadi teolog, kadang pembantu tanpa gaji, kadang penafsir gelombang kelakuan manusia, kadang begitu suka dengan bangunan tua yang sarat dengan apapun, dan akhirnya bukan siapapun untuk siapapun.

Menjadi segalanya dan bukan segalanya dalam waktu yang bersamaan.
Lalu dimanakah saya akan berpijak? Dan dimana Aktualisasi saya yang paling pas seperti yang dilakukan orang-orang? Nampaknya memang bukan ditataran itu, sementara tingkat langit terbuka dan ada loncatan perabot menjadi ruang.

Manusia menyepi menuliskan lakonnya.
Selamat bertarung!

Lawang Abang, 6 Februari 2018

Saturday, January 27, 2018

Solusi Jaga Jarak

Oleh : Indra Agusta

Dalam menyikapi berbagai masalah yang terus silih berganti terkadang menarik jarak dari sumber masalah tersebut bisa sedikit lebih menenangkan, melegakan.

Daripada terus menerus berhadapan  dengan masalah yang menguras energi, fikiran, emosi dan tentu juga resiko-resiko sosial maupun finansial.

Banyak mereka yang kabur dari masalah kadang bisa membangun dirinya lebih maksimal  tidak bersentuhan  dengan  konflik, dan mendekati apa yang menunjang segala impian manusia tersebut

Yang tidak mudah mereka yang tidak mau melewatkan  jarak menghadapi tantangan semuanya justru malah menambah rentetan kegagalan menurut "standar material".

Akhirnya berapapun yang dilumat oleh  keadaan tidak mampu  menjadikannya  berharga sebagai manusia, manusia  seutuhnya sejujurnya.

Sidorejo , 28 Januari 2018

Friday, January 26, 2018

Ilmu ki ra penting su!

ILMU KI RA PENTING SU!
Oleh : Indra Agusta

Semakin mengamati banyak orang tua, entah sudah berapa ribu nyakruk semakin gamblang dan semakin jelas bahwa sisa-sisa feodalisme itu masih. Dan arus materialisme semakin menghujam memasuki pintu-pintu rumah.

Entah berapa juta anak yang didorong-dorong oleh orang tuanya untuk bisa dapet nilai terbaik, ranking terbaik, kalo perlu les, disekolahkan disekolah terbaik, kemudian dikuliahkan dijurusan dan universitas terbaik menurut perhitungan orang tuanya. Dari sekian berapa presentase anak yang jujur menjadi dirinya sendiri sesuai apa yang dia suka?

Yang pada akhirnya hanya geliat gengsi, dan sombong orang tua untuk dipamerkan kepada orang tua anak-anakyang lain.

Sebagai anak yang tidak kuliah saya kadang merasa gagal sebagai anak ketika tidak ada pencapaian apapun yang sanggup keluar dari bibir bapak saya ketika jagong dan berkelakar dengan teman-temannya. Karena bapak-bapak yang semuanya jebolan universitas itu tidak tahu kebanggaan akan anak yang punya ilmu.

Belum lagi ketika ada dismanajemen otak dari beberapa orang tua yang berpikir bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghasilkan uang dan kekayaan. Saya tidak tahu bagaimana logikanya, padahal segala pencapaian akademis adalah penguasaan ilmu, apapun yang mereka pelajari, di bidang mana mereka expert bukan menghasilkan uang.

Uang, pekerjaan, kekayaan adalah akibat dari penguasaan ilmu yang mungkin dari beberapa orang membutuhkan ekpertasi mereka dibidang tertentu, sebagai ucapan terima kasih atas keberlangsungan ilmu dalam menyelesaikan masalah disitulah uang akan muncul sebagai akibat, bisa jadi dalam bentuk imbalan yang lain. Relatif.

Kembali ke output sekolah adalah ilmu. Seharusnya harus berhenti disitu, tujuan belajar itu ilmu! Dan anak bukan komoditas finansial orang tua!. Dititik ini masih banyak orang tua yang selalu berkilah dengan berbagai dalih yang berujung pada "kemapanan" orang tua di masa senja. Anak-anak setelah diperas otaknya untuk berjuang demi nilai terbaik sampai SMA akhirnya ketika kuliah diatur-atur lagi, disuruh memasuki "jurusan-jurusan yang basah, yang mampu menghasilkan gundukan emas".

Kalau si bocah mau tak masalah, kalau memang lahan basah itu adalah keinginan si anak, kecenderungan anak, tak masalah, lalu bagaimana dengan anak-anak yang menyukai bidang yang sama sekali bertolak belakang dengan passionnya Sastra, sejarah atau filsafat apa yang akan dibanggakan mereka jika semua orang tua pencapaiannya hanya yang terlihat?

Perasaan mereka, seperti dilacurkan oleh orang tua mereka sendiri, demi kegagahan dan kebanggan orang tua.

Lalu betapa seringnya saya melihat anak-anak yang goncang jiwanya karena tekanan tersebut, stressnya mereka karena tak punya daya melawan orang tua mereka sendiri.

Pemarah mereka terkadang, ada yang seperti anak kecil suka merajuk, ada yang tak kalah  adigang, adigung persis seperti orang tua mereka, ada yang sama sekali tidak dewasa, ada yang ingin kelihatan akademis meski otaknya dan kemampuan analisisnya tidak mampu mengejar, karena bukan itu bidang yang mereka senangi. Ketidakseimbangan demi ketidakseimbangan berjalan sistematis membunuh spektrum alam berpikir anak-anak itu.

Anak-anak jaman now itu goncang, terseret-seret budaya yang menggores semua kepribadian aslinya, anak-anak itu lupa siapa sejati dirinya, anak-anak itu kosong seperti zombie-zombie ditelan gemerlapnya lampu diskotik, atau muram menghabiskan hidupnya habis ditelan dendam.

Wahai orang tua yang terhormat kalau memang anak-anak itu hanya dituntut untuk kaya, mbok ya tidak perlu kau sekolahkan tinggi-tinggi. Kalau pingin cepet ajari mereka maling, ajari mereka mbegal , ajari mereka membunuh secara profesional, tak perlu kau ajari ilmu. Percuma!.

Ilmu ki ra penting su! Kanggomu, sing penting sugih, sing penting gagah, sing penting anakmu isa nggo pamer, ning matamu picek, kupingmu budek, ora kenal sejatine anak-anakmu sapa, anak-anakmu ilang uripe. Nanging kowe ora isa ngerti sejatine.

Sragen, 27 Januari 2018

Wednesday, January 24, 2018

Rakjat yang menjadi korban

Oleh : Indra Agusta

Sore ini merampungkan buku berat soal PKI 1948 di Madiun, karya Dr. Harry A poeze sejarawan senior ki KITLV.

Akhirnya pemaksaan Ideologi, aliran, keyakinan, apapun menganggap diri paling benar sementara yang lain pasti salah. Tidak mau mencari apa yang bisa dirundingkan. Selalu gampang terprovokasi, main tabrak, arogansi, agitasi yang berbuah panjang pada disharmoni kerukunan rakyat.

Madiun 1948 adalah contoh nyata bagaimana sebuah ideologi bertabrakan, didukung dengan situasi politik Republik yang belum matang, akhirnya Batalyon bisa berhadapan dengan batalyon, Laskar bisa berhadapan dengan laskar, sampai akhirnya Rakyat harus Berhadapan dengan rakyat sendiri. Dari Madiun ini pula disimpan luka-luka yang akan meledak di 1965.

Bunuh membunuh terjadi begitu saja diantara sesama kita, anak-anak bangsa, Darah mengalir deras ke haribaan ibu pertiwi.

Yang rugi siapa?
Ya kita sendiri siapapun yang terlibat dalam konfrontasi mereka anak-anak Republik baik TNI, PKI, laskar Hisbullah, Laskar Merah, Barisan Banteng, tentara pelajar dst. Mereka orang-orang  kita sendiri berseragam atau tidak.

Rakyat yang membunuh dan dibunuh adalah rakyat kita sendiri manusia-manusia Indonesia, Jawa terutama.

Dan sejarah untuk dipelajari dan diambil makna  mendalam supaya tidak ada lagi perpecahan, pertengkaran hingga permusuhan karena pandangan politik.

PKI dan komunisme sudah dilarang, tapi Indonesia tetap saja terdiri dari berbagai aliran keyakinan, ideologi yang sangat mungkin jika dipaksakan akan mengulang2 lagi kesalahan yang sama. Disinilah sejarah harus diajarkan sebagai pemersatu bangsa, supaya sama-sama dewasa menghargai perbedaan.

Juga supaya tidak menambah lagi luka-luka sejarah yang belum selesai kasusnya sampai sekarang..

Tuesday, January 23, 2018

Tangis Tuhan untuk mereka yang lupa

Tangis Tuhan untuk mereka yang lupa
Oleh : Indra Agusta

Selasar berdinding tembok dingin, beratap langit. Hamparan segala debu menyelimutinya dari embun pagi. Wajah-wajah itu, tatapan-tatapan muram, namun percikan matanya tak mau menyerah meski kalah telak dengan nasib.

Di emper itu tiap hari selepas tengah malam kau sandarkan harapan-harapanmu tentang hidup yang tak dapat kau rayu. Kais demi kais sampah menempati relung plastik tua yang tersampir di sepeda yang tak kalah tuanya.

Teh hangat yang mungkin sedari pagi menggantung dibotol bekas air mineral, botol yang mungkin tidak berguna bagi mereka yang membelinya, hanya sekilas diminum botol itu dibuang, namun menampung segala dahaga dikerongkonganmu.

Engkau adalah samar itu, raut-raut yang dititik itu mata ini, mata anak manusia mendalam menyayanginya, meski nasib anak manusia tak kalah punahnya.

Engkau mungkin titik-titik api yang diredupkan jaman, engkau adalah debu yang dilindas getir sengkala perubahan.

Engkau barangkali lapar,
Engkau barangkali haus,
Namun lihat itu umat Tuhanmu bisu bibirnya, tuli telinganya, picak matanya,
melihat engkau tergeletak diemperan sepanjang malam, menunggu matimu, dan nyaris terlupa. Mungkin lewat tulisan ini engkau takkan dilupa, tulisan yang menuliskan sejarah pepat jalma.

Yang orang tuaku dengan sesak menangisimu, mendalam tangisnya dihadapan kami anak-anaknya, semua adalah soal orang-orang malam sepertimu, manusia malam yang menggenggam rembulan, yang mimpinya berhamburan ketika subuh menjelang, yang jangan-jangan engkau adalah Engkau, Engkau yang menyamar menjadi engkau....Engkau yang dilupakan, dibiaskan....

Yang Yesus, Isa sang Anak Manusia melukiskan
"Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan;
ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum;
ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan;
ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku."

atau Muhammad Manusia Suci itu menuliskan :

Wahai anak Adam Aku meminta minum padamu sedang engkau enggan memberi-Ku minum.
Ia berkata: Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?

Allah menjawab: Seseorang meminta minum padamu dan engkau tak memberinya, sekiranya engkau memberinya minum niscaya engkau dapati Aku di sisinya.” (HR. Muslim)

Demikianlah ada tangis sesenggukan pagi itu, untukmu manusia-manusia malam yang selalu dalam lintasan cintanya dan cinta-Nya.

Sukowati,  24 Januari 2018
Untuk semua manusia malam,
dan untuk tangis sang guru bagi semua mahkluk yang lupa mencinta-Nya.

Sunday, January 21, 2018

Rumah Tanpa Sekam

Rumah Tanpa Sekam
Oleh : Indra Agusta.

Diujung padi yang menghijau, ada gugusan-gugusan bintang menjelang malam. Anak manusia masih duduk-duduk dipematang membayangkan masa depan negeri yang semakin kelu seperti masa depan jasadiyahnya.

Angin datang membawa Air, saudara yang dari kandungan semesta, yang berhembus menghampiri nusa. Ada geliat  embun yang makin menusuk di pagi menjelang, juga dekapan-dekapan membeku dikala resah memandang sisa terakhir susu anaknya yang masih terhutang.

Di jalanan jutaan manusia bergerak, memperjuangkan dirinya, mengaktualisasi dirinya, menjadi meja,kursi, lemari, TV, dipan bahkan kompor supaya dilihat orang bahwa mereka ada memenuhi seisi rumah.

Lalu mereka menghamba pada pilihan-pilihan, pada keputusan-keputusan. Keputusan yang membuat petani tertawa girang beserta katak di penghujan, sementara semalam ratusan rumah terendam pesan murah, dimana air mulai menghujam.

Cacing-cacing menggelepar ketika surut gelombang, para alim ulama dan sufi meneriakkan lantang, Siapa yang akan menghalau perang?

Perabot-perabot mengklaim dirinya yang paling berguna, sebagai alat masak, sebagai alat transportasi, sebagai pengisi kursi sang tuan, berebutan mereka mengambil langkah menuju gagasan "Menjadi Panglima".

Emas-emas digali dari seisi rumah, disepanjang jalan tanah, tawar-menawar dalam gelap begitu rapat, memikat sekaligus mengikat.

Ada apa dirumahku?
Tampak merah warnanya, berbau darah, berebut bilah.
Semua kembali pada nyala, namun si La Nyalla dihilang kan atau menghilang

Rayap-rayap dikonsepsi, diagitasi, diintimidasi, direkayasa cintanya, dimanipulasi batinnya, hingga lupa kepada siapa yang layak meraja?

Aku duduk diam dipinggir kolam, melihat mereka yang layak menjadi imam dihitamkan, mereka yang layak jadi guru malah diburu, mereka yang jadi cendekia dirayu dibuatkan sanggar petapa.

Apa ini yang terjadi?
Arus mana yang akan mendominasi?
sementara bau hadap-hadapan kian tegang,
Siapa yang mau merindukan "Rumah tanpa sekam"?

arus banjir masuk dari belakang rumah, sementara seberapa siap, manusia mengkhalifah?
laron-laron itu bergerak menuju cahaya, dan Waspada....

Kedungombo, 21 Januari 2017

Monday, January 15, 2018

Menikah, Cinta manusia atau Ambisi Keluarga?


Oleh : Indra Agusta

Memasuki usia 27 tahun pemuda seperti saya pasti mengalami 'turbulensi' alam berpikir sebagai seorang manusia otentik juga sebagai bagian dari keluarga.

Menikah, adalah part yang harus dilalui setiap manusia jawa, yang tak jarang diusia yang demikian krusial ada banyak tekanan yang dialami manusia supaya segera mengalaminya.

Saya sendiri mengamati berbagai banyak pokal manusia soal ruwetnya proses perjodohan. Bagi saya pribadi pernikahan adalah perjalanan satu kali jalan yang tidak ada tiket kembali. Saking demikian seriusnya hingga harus benar-benar memilih mana yang bisa saya ajak "piknik selamanya". Dan pernikahan harus merupakan proses saling mengenal yang mendalam hingga terciptalah keyakinan dan komitmen untuk bersama.

Selain umur yang menuju tua, tak jarang dalam berbagai pengamatan saya adalah terlalu ikut campurnya orang tua dalam menentukan siapa "jodoh yang layak" untuk kita. Yang hasilnya kebanyakan standar yang diberikan oleh orang tua hanya berhenti pada standar Material.

Orang tua hanya akan setuju bila kita mencari jodoh yang kaya (secara material), pangkat (secara kekuasaan, punya jabatan,punya gelar, punya power) ,sisanya adalah euforia orde Baru, cari jodoh harus PNS, jodoh PNS ini masih seperti berhala baru yang dipuja kalangan keluarga feodal (maupun yang ingin menjadi feodal).

Dipengamatan yang lain, cari jodoh harus yang punya usaha mapan (perusahaan, toko, atau bisnis lainnya. Materialistis. itu pointnya.

Soal un-material seperti Akhlak, kelakuan, tingkat penguasaan ilmu, cinta-kasih, kedekatan emosional, hingga sekedar teman sharing seumur hidup. Hal-hal ini sedikit sekali yang dipertimbangkan sebagai landasan inti sebuah perjodohan.

Lebih edan lagi, ada pernikahan-pernikahan tertentu yang hanya menjadi pemanis ikatan bisnis keluarga, mempertahankan feodalisme, hingga pernikahan politis untuk kelangsungan dinasti politik tertentu.

Jadi kembali ke esensi pernikahan, Apa yang menjadi inti dari sebuah pernikahan,  orang-orang dahulu akan menyebut "Nambut silaning Akrama" yang sekarang menjadi "akrami" dibeberapa undangan pernikahan.

Nambut adalah nampani (proses menerima dengan tangan terbuka, seperti memegang nampan), Silaning adalah (duduk bersila), Akrama/Palakrama inilah pernikahan.

Diterjemahkan bebas sebagai proses penerimaan Sang Lelaki oleh orang tua Wanita, untuk sila (duduk bersila) lalu melangsungkan ikatan janji pernikahan mereka yang sudah saling mencintai.

Itu saja tanpa tendensi apapun, tanpa kepentingan apapun, tresna. Titik. Proses sederhana menjadi manusia yang sewajarnya tanpa bedak polesan keglamoran semata.

Dalam bahasa yang lebih radikal, saya akan bilang mending anak-anak yang pacaran saking cintanya + tanpa kontrol lalu hamil, dinikahkan plus mendapat cacian masyarakat lebih baik. Karena mereka menjalani hidupnya jujur, berani mengambil keputusan, berani bertanggung jawab.

Daripada mereka yang memperlakukan cinta kasih dan bahkan nafsu seksual sebagai tumpangan, tunggangan keleanggengan dan kemapanan eksistensi keluarga. Mengaku cinta tulus namun syarat kepentingan, pernikahan sangat megah namun pelaku pernikahan bahkan sama sekali tidak kenal baik dengan calonnya. Ambisi keluarga.

Kalau meminjam tetes mbah Nun :

"Jauh lebih tinggi derajat para perampok yang ia sendiri dan semua orang melihatnya sebagai perampok, dibanding para perampok lain yang orang-orang dan diri mereka sendiri melihatnya sebagai pemimpin bangsa dan kyai masyarakat."

Akhirnya kejujuran, ketulusan, kemurnian itu menjadi barang langka dalam sebuah hubungan.

Dan anak-anak yang diperjodohkan seringkali dalam kesesatan berpikir karena ditabrak juga oleh usia dan tekanan keluarga, akhirnya mengalah atau mencari jodoh " seadanya, seketemunya ".

Yang dalam pengamatan berikutnya ada rentetan masalah yang panjang didalam keluarga mereka, mereka yang beruntung akan stress dan merasa tersiksa karena perjalanan hidupnya  penuh topeng gula pemanis keadaan.

Sisanya hanya merekalah yang meneruskan proses feodalistik ini, menikmati keuntungan, kekuasaan, proyek, hasil lacur korupsi dari apa yang direncanangan oleh keluarganya.

Lalu kembali ke pertanyaan awal
Menikah itu karena ketulusan cinta?
Atau ambisi keluarga?

Kleco Wetan, 6 Februari 2018

Thursday, January 11, 2018

Kedasih Mawar Republik

Kedasih,
Ini malam jang begitu sendu.
Teringat Semerbak kopi dan rokok yang tersulut dimulutmu belum jua padam. Gerimis dikala jam malam, ah, seonggok kenangan, yang diantaranya ada sekam. Jaman dulu desamu masih tenang.

Suara burung kedasih, melambungkan angan.

Tuak dari bambu terakhir belum selesai kuminum, namun tak kunjung reda jua amarah-amarah dari geliat Republik. Ada sisi-sisi yang seakan tidak mau berbenah,  Api Revolusi nampaknya belum segera padam.

Kedasih,
Di lorong-lorong malam nampak pemuda-pemuda laskar sedang melucuti senapan. Ada lainnya yang berembug, mengundi siapa yang pantas memakai sepatu Lars si kulit putih.

Sudut-sudut kota masih hangus kerana agresi, namun dimanakah hati akan bertepi.

Aku, tentara rakjat yang bingung menentukan arah setelah Republik berdiri. Ketika sudah tak ada mesiu yang meledak, dimanakah medan juang?

Kedasih,
Aku sudah lupa guratan wajahmu, wajah yang kerap mengantarkan teh manis di pos jaga. Jaman kini sudah benar merdeka, namun kau tertelan asa.

Setelah api membakar seluruh desamu. Yang terngiang hanya truk laskar yang mungkin kau masuk didalamya bersama penduduk desa lain.

Kampil kain berisi jimat masih kusimpan, dan ternyata sakti melangsungkan hidupku melawan ketidakpercayaan diri.

Kedasih,
Mereka sudah pergi, sudah tumpas.
Kini, Aku juga bukan lagi pahlawan.
Aku menepi kembali kedesaku yang sunyi.

Jika kelak lewat mampirlah,
Mungkin ada segelas teh melati yang kupetik sendiri.

Kalaupun tak bersisa, mungkin bunga mawar didepan gubuk akan kusebar, dimanapun kau menjadi bakti.

Kedasih,
Langit-langit pagi nampak akan segera tiba, namun segera muram. Republik ini sedang merekah, atau mungkin  tumbang. luka-luka di Kaki gunung Wilis belum selesai mengering.

Ah, semoga revolusi semoga tak berbau bangkai, bebanten nya sudah cukup.

___________

Indra Agusta


Tuesday, January 9, 2018

Topeng Zaman

Mencermati setiap ragam, berdecak, berguman takjub dan mengernyitkan muka. Bagaimana alur hidup mampu benar-benar mengubah seseorang. Bagaimana waktu menjawab apa yang sebenarnya dibutuhkan sang jalma. Mengejawantahkan apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari makna sebuah pencarian, lalu melukisnya pelan-pelan seperti guratan pohon.

Sisanya adalah mereka yang kehilangan dirinya, mati dalam kehidupan, buntu dalam perenungan, membusuk dalam kebisuan, kebosanan, serta beraneka macam wajah dari topeng tekanan, ancaman, kebutuhan, ego, ambisi, eksistensi.

Perlahan seperti sajak rindu keluJalanan, sang sapi dibawa ke jagal. Demikianlah anak-anak manusia menjadi sayu, cermin-cermin memantulkan wajah-wajah penuh debu bedak dan lipstik 'pengakuan'.

sesunyi malam di kolong langit, emperan toko penuh sesak oleh mereka yang tidur merajut mimpi dijalan.

Subuh menjelang, mengantar sang jalma ke peraduan..

Jalanan Kota Sragen, 10 Januari 2018
Indra Agusta

Sunday, January 7, 2018

SISTEM BESAR DAN JERAT SALAH TANGKAP

Alkisah dari sebuah Negeri di antah berantah,
Proyek-proyek berjalan sistematis, hutang-hutang demikian deras mengalir, pencapaian gengsi jadi jerat akademis, namun tatapan sang jalma menemukan si tua renta hidup ngemis dijalanan.

Lalu diseantero negeri Kepala rumah tangga berlomba membangun, hingga masyarakat semua kemudian berlomba membangun, ada geliat nafsu membangun sebagai patokan kemajuan sebuah bangsa,  namun dari jerat hutanglah biaya pembangunan tersebut berasal dan dalam analisis Gareng, akan jadi PR mendalam 20-30 tahun mendatang.

Disudut lain Anak-anak dibuai eskrim manis bernama eksistensi media, sementara ladangnya, sawahnya, perlahan direkayasa supaya bisa diambil alih oleh Gurita besar. Orang tua diiming-imingi TV, didoktrin bawah sadarnya untuk mengamini bahwa ia punya kebutuhan seperti yang TV iklankan. Dan dibelilah kebutuhan yang sebenarnya 'muspro' itu, kalau perlu hutang, jika  tak mendapat pinjaman ada perusahaan bernama bank yang menjadi solusi "iklan" tadi, lalu bank sebagai penyedia jasa otomatis menawarkan segala bentuk penyelesaian kebutuhan finansialnya. 
Tapi ini bukan soal banknya, saya yakin bank juga ikut terseret arus besar yang tidak bisa mereka bendung, apalagi kawan-kawan saya yang bekerja di bank pasti tidak terlibat apapun dalam hal demikian ini, kawan2 saya hanya karena keadaan hidup memaksa mereka bekerja disitu, berjuang upaya bisa menafkahi keluarganya. Perkara pekerjaan yang dilakukan ini mendukung sistem besar, tentu lain soal.

Perkara Hutang ini terjadi dalam skala rumah tangga hingga negara, bank nya pun variatif dari bank pedesaan sampai bank dunia. Dan jeratnya lalu mengikat segala kebutuhan rumah tangga, memangkas gaji, menggilas jatah makan, air susu sikecil dirumah, sampai dinaikkannya pajak, hingga privatisasi lembaga-lembaga negara. Iklan melahirkan hegemoni kebutuhan, lalu melahirkan hutang menyeret sebuah rumah tangga ke ujung kehancuran, Rumah tangga sekelas didesa maupun sampai sebuah bangsa. 

Lalu lingkungan melahirkan anak-anak dengan dendam kepada kepala rumah tangganya yang lupa, sibuk mencari uang guna menyumbat lobang hutang. Anak-anak hidup membawa kepahitan, dendam, kegamangan dan ketidakpastian hidup. Anak-anak kehilangan sikap hidup, kehilangan dirinya sendiri bahkan, menjadi mahkluk yang mati, zombie yang makan dan minum tanpa punya perenungan mendalam soal siapa dirinya sendiri.

Kemudian jalan pencarian anak-anak ini kabur, asal-asalan, kadang meledak seperti bom amarahnya, tanpa tahu atau mau tahu fokus dari suatu masalah, rangkaian panjang gerbong masalah hidup, gampang diombang ambingkan trend, keadaan, atau sesepele memuja TV dan internet sebagai rujukan gaya hidup yang sangat berbanding terbalik dengan realitas hdupnya.
Kehilangan diri mewabah secara meluas, mengakibatkan masalah disemua lini, di berbagai level, menghancurkan peradaban kemanusiaan yang selama ini dibangun, berganti dengan manusia-manusia buas yg memikirkan dirinya dan lingkungannya sendiri.

Ketika semua tersusun rapi, kebuntuan, kegamangan, distraksi anak-anak ini jadi rayahan pasar, budak konsumerisme, bidak trend dan brand. Lantas darimana uang untuk memuja nafsu yang digerakkan tersebut? Ya dari hutang-hutang tadi.

Sampai suatu saat anak-anak ini kehilangan kepalanya, anak-anak inilah yang menanggung hutang yang tak mampu dibopongnya, berhutang lagi sampai jeratnya terus mendalam ke pelacuran, perselingkuhan, candu dll
Dan negara memberikan pidana dan penjara dengan anak-anak ini, mereka yang melacur (baik secara politis, intelektual maupun jasadiyah), mereka yang selingkuh, ataupun korban candu (baik miras, narkoba, psikotropika) tapi lupa mencermati, bagaimana skema berlangsung, mengurai benang kusut, memotong rantai sistem besar ini.


Anak-anak malang mereka tidak tahu apakah arti dari tahu, lalu menjadi korban dari kegilaan sistem , sistem besar  yang negaranya sendiri membiarkan lingkaran-lingkaran ini terus berlangsung, Tersandung tapi menyalahkan batu.


Kleco Wetan, 8 Januari 2018
Indra Agusta


Thursday, January 4, 2018

Retorika Kematian


Kematian,
Sebuah kata yang mengandung berjuta persepsi dan misteri. Kata yang mewakili proses penting dalam rangkaian perjalanan jalma menuju Tuhannya.

Yang paling banyak ditemui tentu adalah mereka yang ketakutan mengalaminya. Dengan berbagai alasan baik kelasnya hardware maupun software kebanyakan mereka tidak siap jika ditawarkan pada datangnya mati.

Ketakutan akan kehilangan, disinilah sebenarnya hakikat dasar manusia, karena manusia memang tidak mampu hidup berpisah dengan orang lain maupun hal-hal yang dekat dengan mereka. Selanjutnya bentuknya bisa variatif salah satunya takut mati.

Bagi orang yang mendalami Jawa, tentu akan sangat tahu bahwa mendalami kematian adalah satu paradigma perenungan yang dalam. Kita bisa menganalisisnya bagaimana orang-orang tua kita menyiapkan sebaik-baiknya matinya. Dari soal jasadiyah, misalnya semakin mengurangi jumlah makanan ditubuh, menurunkan kadar 'pingin kadonyan' , sampai memantabkan hati untuk bertemu Sang Pemilik Sejati.

Jadi terciptalah term bahwa jika orang modern bilang 'hidup itu menunggu mati' orang Jawa akan sangat tenang berkata Mati harus disongsong dengan kemuliaan hidup.

Kematian kadang juga disebut sebagai keniscayaan yang masih berupa misteri. Semua orang tahu kematian adalah kepastian namun waktunya menjadi misteri.

Sama seperti kelahiran, semua orang tahu jika kehamilan akan mengakibatkan kelahiran, namun siapa yang berani jamin sang bayi menghembuskan nafas hidup? Disitulah Misteri Tuhan.

Hingga ketika sang bayi lahir, dan hidup orang baru bisa menerka, ini waktunya misteri itu dipecah.

Demikian pula dengan waktu mati, orang baru akan tahu setelah terjadi, setelah kita mati mereka baru dibukakan tabir misteri Tuhan, berupa kematian, yang kalau direnungi lagi juga merupakan proses kelahiran menuju dimensi lain, dimensi yang lebih sempurna daripada dunia yang lapuk dan fana ini..

Kelahiran dan kematian akhirnya menjadi retorika tersendiri,

Mengutip Nabi Daud bahwa perjalanan manusia hanyalah dari Debu menuju kembali ke Debu..

Atau perkataan Tuhan yang diwahyukan ke Muhammad.

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (Al-Baqarah: 28).

Selamat merenung, menyongsong kematian..

Kleco Wetan, 5 Januari 2017.
Indra Agusta.