Sejak ketika kesadaran itu ditanam di benak saya sejak itu pula saya mulai merekam banyak hal. Makin banyak data yang terekam makin banyak pula pola tergambar, segala sesuatu yang tidak pernah selesai dan menemui kebenarannya dari hari ke hari.
Selepas melewati apa yang oleh orang Jawa dinamai "tumbuk alit" atau tiga puluh dua tahun Jawa, rasanya sebagai pribadi makin tenang dan tidak begitu lagi dengan ambisi-ambisi. Masalahnya mungkin sama, tetapi tensi untuk mengarungi masalah itu jauh lebih landai. Sesekali memang terlihat ombak hidup itu menghantam begitu besar, berkali-kali pula rasanya kayak mau tenggelam namun selalu saja ada hal lain memicu untuk bertahan.
Bertahan di tengah krisis kata berita, ah, aku sendiri mengalami seumur hidup krisis. Masalah itu gak pernah berhenti, dari urusan sederhana seperti perihal makan, atau hutang-hutang keluarga hingga masalah sendiri di sirkel, dan berbagai urusan privat lainnya. Semakin tua dengan kewaspadaan yang cukup makin matang pula keharusan untuk menerima keadaan diri, kemenangan, kekalahan serta kesempatan-kesempatan juga hadir persis seperti ombak. Ada yang datang cepat kemudian pergi, adapula yang menetap kemudian menjadi bagian daripada hidup, tinggal beberapa lama di sekeliling kita lalu pergi.
Adapula hal-hal yang bagi umum telah terlewat. Sebutlah usia melamar pekerjaan, usia menjadi fresh-graduate kampus, usia menikah atau usaha memberikan hal-hal normal, lumrahe bagi sebagian besar orang Jawa. Karena aku tak tinggal dalam spasial itu, dan sepanjang hidup seperti pertaruhan makin ke sini makin melupakan apa yang "normal"
Tak apalah tak menjadi normal, toh dalam hidup ini apa yang normal?
Ada yang hari-hari ini terpikirkan yaitu perkara geseran. Ternyata sampai umur ini akupun telah mengalami banyak sekali perubahan. Uniknya aku selalu berposisi antara. Bisa menjadi akademisi tapi tidak punya gelar., bisa menjadi pembicara tapi karena posisi belajarnya general akhirnya tidak menjadi ahli tertentu, bisa menguasai sedikit tentang banyak hal tapi tidak ada yang menjadi sarana kapitalisasi kerap segala hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan ini hanya berakhir di meja akvitisme, atau diberikan cuma-cuma kepada anak-anak lain. Akhirnya memutar otak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sambil terus meluaskan jaringan.
Pola ini kerap mengalami badai hebat, ketika tekanan datangnya keras akhirnya "musim geseran" itu tiba. Switch kalau bahasanya anak sekarang. Hidup sebagai orang miskin yang cukup tahu banyak hal kadang juga menyakitkan, kita tahu bisa mengerjakan ini itu tapi terhalang akses, terhalang kursi-kursi jatah preman dari para penguasa.
Hari-hari ini makin runyam, dengan segenap keadaannya masalah terus dihadapi sambil terus member apa yang kita miliki.
Hidup hanya terus jalan, jika mau menyerah dalam hati harus bilang: tidak hari ini! kalau mentok geser!
No comments:
Post a Comment