image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Sunday, January 7, 2018

SISTEM BESAR DAN JERAT SALAH TANGKAP

Alkisah dari sebuah Negeri di antah berantah,
Proyek-proyek berjalan sistematis, hutang-hutang demikian deras mengalir, pencapaian gengsi jadi jerat akademis, namun tatapan sang jalma menemukan si tua renta hidup ngemis dijalanan.

Lalu diseantero negeri Kepala rumah tangga berlomba membangun, hingga masyarakat semua kemudian berlomba membangun, ada geliat nafsu membangun sebagai patokan kemajuan sebuah bangsa,  namun dari jerat hutanglah biaya pembangunan tersebut berasal dan dalam analisis Gareng, akan jadi PR mendalam 20-30 tahun mendatang.

Disudut lain Anak-anak dibuai eskrim manis bernama eksistensi media, sementara ladangnya, sawahnya, perlahan direkayasa supaya bisa diambil alih oleh Gurita besar. Orang tua diiming-imingi TV, didoktrin bawah sadarnya untuk mengamini bahwa ia punya kebutuhan seperti yang TV iklankan. Dan dibelilah kebutuhan yang sebenarnya 'muspro' itu, kalau perlu hutang, jika  tak mendapat pinjaman ada perusahaan bernama bank yang menjadi solusi "iklan" tadi, lalu bank sebagai penyedia jasa otomatis menawarkan segala bentuk penyelesaian kebutuhan finansialnya. 
Tapi ini bukan soal banknya, saya yakin bank juga ikut terseret arus besar yang tidak bisa mereka bendung, apalagi kawan-kawan saya yang bekerja di bank pasti tidak terlibat apapun dalam hal demikian ini, kawan2 saya hanya karena keadaan hidup memaksa mereka bekerja disitu, berjuang upaya bisa menafkahi keluarganya. Perkara pekerjaan yang dilakukan ini mendukung sistem besar, tentu lain soal.

Perkara Hutang ini terjadi dalam skala rumah tangga hingga negara, bank nya pun variatif dari bank pedesaan sampai bank dunia. Dan jeratnya lalu mengikat segala kebutuhan rumah tangga, memangkas gaji, menggilas jatah makan, air susu sikecil dirumah, sampai dinaikkannya pajak, hingga privatisasi lembaga-lembaga negara. Iklan melahirkan hegemoni kebutuhan, lalu melahirkan hutang menyeret sebuah rumah tangga ke ujung kehancuran, Rumah tangga sekelas didesa maupun sampai sebuah bangsa. 

Lalu lingkungan melahirkan anak-anak dengan dendam kepada kepala rumah tangganya yang lupa, sibuk mencari uang guna menyumbat lobang hutang. Anak-anak hidup membawa kepahitan, dendam, kegamangan dan ketidakpastian hidup. Anak-anak kehilangan sikap hidup, kehilangan dirinya sendiri bahkan, menjadi mahkluk yang mati, zombie yang makan dan minum tanpa punya perenungan mendalam soal siapa dirinya sendiri.

Kemudian jalan pencarian anak-anak ini kabur, asal-asalan, kadang meledak seperti bom amarahnya, tanpa tahu atau mau tahu fokus dari suatu masalah, rangkaian panjang gerbong masalah hidup, gampang diombang ambingkan trend, keadaan, atau sesepele memuja TV dan internet sebagai rujukan gaya hidup yang sangat berbanding terbalik dengan realitas hdupnya.
Kehilangan diri mewabah secara meluas, mengakibatkan masalah disemua lini, di berbagai level, menghancurkan peradaban kemanusiaan yang selama ini dibangun, berganti dengan manusia-manusia buas yg memikirkan dirinya dan lingkungannya sendiri.

Ketika semua tersusun rapi, kebuntuan, kegamangan, distraksi anak-anak ini jadi rayahan pasar, budak konsumerisme, bidak trend dan brand. Lantas darimana uang untuk memuja nafsu yang digerakkan tersebut? Ya dari hutang-hutang tadi.

Sampai suatu saat anak-anak ini kehilangan kepalanya, anak-anak inilah yang menanggung hutang yang tak mampu dibopongnya, berhutang lagi sampai jeratnya terus mendalam ke pelacuran, perselingkuhan, candu dll
Dan negara memberikan pidana dan penjara dengan anak-anak ini, mereka yang melacur (baik secara politis, intelektual maupun jasadiyah), mereka yang selingkuh, ataupun korban candu (baik miras, narkoba, psikotropika) tapi lupa mencermati, bagaimana skema berlangsung, mengurai benang kusut, memotong rantai sistem besar ini.


Anak-anak malang mereka tidak tahu apakah arti dari tahu, lalu menjadi korban dari kegilaan sistem , sistem besar  yang negaranya sendiri membiarkan lingkaran-lingkaran ini terus berlangsung, Tersandung tapi menyalahkan batu.


Kleco Wetan, 8 Januari 2018
Indra Agusta


No comments:

Post a Comment