Kemarin hari menonton kembali Iwan Fals di Mangkunegaran. Untuk kedua kalinya di tahun ini setelah beberapa waktu lalu Iwan membuat konser berbayar. Karena gratis tentulah konser kali ini menunjukkan pemandangan berbeda, tipikal penontonnya, euforia serta energi yang ditangkap sama sekali lain. Disetujui atau tidak Iwan besar karena lagu-lagunya lantang menyuarakan nurani, menjadi saluran dari mampat-buntunya kehidupan. Sebagian lain adalah potret dari masyarakat dimana ia hidup, Iwan lalu jadi simbol sebuah jaman.
Satu-dua lagu pertama rasanya biasa saja sampai ketika Belum Ada Judul dimainkan. Merinding sekujur tubuh saya melihat dan mendengar Iwan memainkan lagu ini nyaris sendirian. Genjrengan gitar, harmonika dan suara lantangnya itu cukup untuk meledakkan atmosfer penonton. Saya sendiri turut merasakan cipratan energi itu, ini yang saya cari, kata saya dalam hati. Tidak banyak penyanyi Solo punya "gondo" berbahaya ketika lagunya memang mewakili dinamika sosial tertentu.
Cukup lama aku jalan sendiri, tanpa teman yang mampu mengerti...
Setelah chorus, dengan progresi nada yang menukik naik ditambah gelegar suara Iwan sontak bapak-bapak di belakangku berteriak sangat keras ketika lirik itu sampai pada momentumnya. Anjirr, ini mengerikan, saya sampai menengok ke belakang untuk memastikan apa yang terjadi.
Seorang bapak, berbaju kucel, perawakannya tinggi tapi layu, rambut putih dan kerut di dahi dan datang sendirian itu cukup menjelaskan sedikit tentang garis hidup yang ia lalui. Bukan yang "mapan" mungkin hidupnya kusut seperti bajunya, dan tentu saja ia mungkin hanya bisa datang ke konser-konser gratisan seperti ini, apalagi Iwan Fals kapan lagi nonton idola tanpa bayaran sekaligus meluapkan penat.
Sampai ketika saya menulis ini, saya masih terpikir bapak tadi, juga terpikir kepada lirik yang dibuat Iwan Fals. Betapa lagu itu memang bisa menciptakan tensi, gairah kerap pula menjelma menjadi hulu-ledak dari hidup yang butuh saluran.
Teringat pula kata-kata Abah Iwan Abdurrachman; kalau Iwan Marah kita semua bisa ikutan marah, kalau Iwan berkata cinta kita semua turut mencintai.
Lagu "belum ada judul" ini bagi saya sendiri tentulah istimewa, dengan kualitas begitu mungkin yang kejadian malah mirip "..." (tiga titik hitam)-nya Burgerkill. Sulit memang untuk mendapatkan judul, karena malah membanting diri sendiri pada penghayakan akan kata itu sendiri.
Kembali ke bapak tadi saya jadi kepikiran apakah semakin tua lirik ini akan semakin relate? di umur segini saja, saya sendiri mengalami perubahan itu kian nyata. Meski awalnya sama, bahkan mungkin secara kualitas pemikiran dan pengetahuan saya lebih unggul tapi nasib itu beneran bisa berbeda. Ada kawan-kawan yang kurang begitu pandai kini malah jadi pengajar, dosen, ada pula yang bisa jauh lebih kaya secara moral dan finansial daripada saya.
Momen-momen seperti lagu tadi akan terjadi. Saya menemui kawan-kawan lama tadi, sebagian kecil mereka "jadi", sebagian lainnya jatuh tersungkur dalam kegelapan nasib dan hidup. Tentulah ingin kita menolong tetapi saya akhirnya juga harus mengukur baju lagi, bahwa kemampuan saya-pun tentu takkan mungkin menyelesaikan perkara nasib ini. Akhirnya ada hal yang harus kita nikmati dan tangisi bersama dari balik tenggak bir, ciu atau wine.
Mungkin wataknya dunia, selalu saja ada yang menakjubkan dari hidup. Kita dalam beberapa kali waktu harus mengucap selamat tinggal kepada kawan kita dan nasibnya, juga kawan-kawan kita pun demikian pada saya. Semakin tua makin jauh jalan hidup makin terang pula pilihan-pilihan ini membawa konsekuensi, dan mencipta jarak yang makin jauh dengan orang-orang di masa lalu, yang suatu hari mungkin kembali, namun tak sama lagi.
Pikiran-pikiran senada inipula yang mungkin dipikirkan dari bapak di belakangku tadi, sekilas setelah lagunya selesai, saya melihat dia mengusap matanya. Ia menangis. Magis! memang Iwan Fals ini, lagunya bisa membuat orang yang merasa terwakilkan. Mungkin sama seperti saya yang merasakan sedikit kelegaan seusai menonton konser karena ternyata lirik-lirik itu membawa tenaga untuk kembali menghadapi keadaan yang diam-diam harus kita sembunyikan kesukarannya dari orang lain.
Malam ini seperti malam-malam Iwan Fals sejak saya pertama kalinya menonton ketika masih duduk di kursi SMP. Selera saya mungkin terlalu tua, tapi jaman terus merekam kemungkinannya.
Malam ini saya turut menyaksikan pula banyak orang yang hidup bersama Iwan Fals, entah mereka hanya pendengar atau ikut Oi! (fans Iwan Fals) tetapi mereka membawa anaknya, bahkan cucunya. Beberapa suami-istri yang tidak mau terpisah harus di-screening di pintu masuk yang berdekatan supaya anaknya tidak hilang. Mungkin anak-anak ini suatu hari akan seperti pemuda-pemudi di samping kiri saya, bersama pacarnya menyanyikan Mata Indah Bola Ping-pong dengan bersemangat, sambil merangkul dan lirik-lirikan.
Ah, Indahnya dunia remaja.
Sepanjang perjalanan pulang saya terus merenung dan makin teguh isi hati saya bahwa, jika seseorang bernasib menjadi patron, tokoh, atau pohon yang menjulang tinggi yang jelas nasibnya berbeda dengan orang kebanyakan, ia telak harus menyuarakan suara-suara yang terpinggirkan itu. Panjang umur be, kapan-kapan nonton lagi.
Makasih terus memberi cinta pada banyak orang.
Solo, 26 April 2025
No comments:
Post a Comment