Ritme musik nampak bersemangat menggeliat telinga untuk membisikkan
sesuatu, berkelana merengkuh sesuatu, meragukan hal-hal baru yang kadang tak
kalah semunya. Jalma sedang muak melampiaskan rindu serta amarahnya pada
langit, guratan-guratan baru soal waktu kadang berjumpalitan seenaknya dibilik
bawah sadar. Gemerisik rerimbunan daun bambu membawa sayup-sayup nada pelog dan slendro dari kejauhan. Anak-anak berlarian memeluk sepi.
Pusaran angin nampak menggoncang anak-anakku, geliat pertarungan ambisi
hidup, kesehatan sosial, kemurnian akal berfikir, serta gempa-gempa doktrinasi,
menggiring mereka pada rasa bodoh, kalut serta beragam bujuk rayu pada glamor
dan ketimpangan hidup yang terus mengurai keluh dan iri atas kepemilikan harga.
Manusia terus kehilangan dirinya, terus melacur pada kepalsuan jalma
menangisinya dari kejauhan. Bagaimana tiap tatap dan pertemuan akhirnya hanya
berisi formalitas, basa basi yang akhirnya seperti nasi berjamur setahun.
Degradasi makna atas kata terus berlanjut, membuncah kemudian meledakkan isi
kepala setelah ruang-ruangnya hanya menari dan menyeret jalma pada arus masalah
tanpa tepi. Namun bukankah demikian hidup, seolah membersamai samudera adalah
kekekalan siti yang terus diinjak dan
memeluk mayat-mayat manusia. Manusia sampai kapan dan akan paripurna?
Manusia kemudian menaiki kapal-kapal yang tambal sulam kayunya, bobrok
lunasnya, dan bocor lambungnya seolah lengkaplah sudah ketidaksempurnaannya.
Lalu raksasa-raksasa membuat sendiri gerbongnya, rel aliran dan ideologinya,
menciptakan sendiri kawasan real estatenya. Kereta yang lewat memaksa pemulung
sekali lagi menjilat bekas eskrim di tempat sampah sisa dia berdiri, kekayaan
material yang jadi Tuhan baru ternyata sama sekali barang yang tak bisa teraih.
Optimisme akan merengkuh bulan kalah dengan ditutupnya tirai kereta tempat sang
nata muak dan jijik melihat kumal yang duduk disamping tempat sampah. Laju
membawa kepada impian keabadian, sementara kaum papa hanya duduk menunggu
kematian jasad yang menyempurnakan.
Kita lalu berbondong-bondong mencari keabadian, menghilangkan sendiri
esensi, otentisitas dan potensial energi dari manusia yang terpendam jauh yang
selama ini hanya kalah oleh jargon pendidikan. Kesataraan kesempatan dikubur
lewat lorong-lorong label, profesionalisme, serta arogansi ketidakpercayaan
sekaligus langkah preventif mereka yang mempertahankan status quo disela
ekstraksi yang terus mereka lakukan. Distraksi kaum useless ditengah Ekstraksi Manusia super.
Beragam kecerobohan akhirnya menimbulkan penyakit sesak nafas psikis, akal
selalu kalah dengan surga neraka, doktrin kemudian menjadi bagian tak
terelakkan atas pembodohan yang berjalan. Renaissance
dan abad industri membawa angin kelam bagi mereka yang duduk mengusahakan
idealnya sebuah tatanan. Jalmapun menangkapnya menjadi bagian-bagian penting
dari doktrinasi, yang akan menimbulkan kemarahan hebat bagi manusia yang telah
memujanya sebagai satu-satunya kebenaran. Gerbong terus membawa manusia pada
laju zaman.
Jalma terus menyusuri peredaran malam, menemui manusia-manusia dengan
ragam. Di edar tertentu kematian-kematian segera datang, menyusul kita yang
benar-benar lupa pada hakikat manusia sebagai manusia, sebagai ciptaan yang
terus selaras pada bumi. Ada ikan-ikan besar mati karena budaya instan yang
mengglobal, plastik yang rejeki buat kawan saya pemulung di pasar bunder atau
uang beli rokok buat teman saya yang mengumpulkan rosokan, akhirnya secara
paradoks adalah pembunuh hewan-hewan yang lahir sebelum jalma. Mengerikan dan
harus bersyukur.
Di pojokan senja, gemerincing amarah tak lagi meluap sebagai sebuah aksi,
dalam diam perlahan merambat menjadi doa-doa dalam rakaat panjang mereka yang
terus menangis di jubah panjang, diujung kaki nabiNya. Ledakan diujung jaman
memang tidak bisa dielak, meski lumut di emperan rumah jalma yang sudah retak
kini menunjukkan pribadinya sesuatu yang hidup di musim hujan menjelang. Memang
menjadi ideal adanya sebuah harapan ditengah kemuraman. Alam yang kau rusak
akan memakanmu, dan udara yang terjal menusuk hidup kaum lemah akan membusukkan
seisi gerbong keretamu.
Kerajaan Ayodya yang menjadi tujuan gerbong kini sedang musim kontestasi,
namun membiarkannya sebagai parameter ideal adalah kebisuan atas sikap, dan
kebodohan sekaligus bebal. Lihat diantara kaca-kaca jendela kita saling ejek
satu sama lain diantara kereta-kereta kebenaran kita. Anak kecil masih lugu pun
diajak masuk gerbong, sambil menempelkan lidahnya dikaca gerbong, berharap itu
akan dimaknai sebagai ejekan dimensi lain. Sedang suara parau menghabiskan
waktu, tangan anak kecil ditempelkan di tirai lalu disebelah tirai gerbong lain
ada senyum. Dan kita sudah lupakah menjadi anak kecil tanpa pretensi dan
kepentingan?
Paradigma-paradigma baru mengalir ditengah batu bata merah yang hampir
rapat berselimut sulur. Sejenak kemudian langit merona, pada kulminasinya jalma
akhirnya mempertanyakan hakikat manusia yang terus bergejolak sekaligus nriman seperti dicocok hidup oleh kereta
cepat bawah tanah. Alam bawah sadarnya hadir untuk terus melakukan penghormatan
pada ide, tanpa sadari gerakan senam di alun-alun menggerakkan fisiknya
mengikuti arus besar, tidak berartikah kita dimasa mendatang? Atau seberapa
kita menang melawan arus besar yang dimana ribuan orang berlarian ke utara,
kita mencoba untuk diam sambil menguku seberapa kuat untuk melawan lurus, atau
bergeser-geser menyadari bahwa tabrakan bisa dikurasi gesekannya dan melawan
tanpa merendahkan, kemudian sampai diujung arah lain dan kita kesepian sebagai
sesuatu.
Aksi-aksi nyata ditunggu dan kerumunan asik tertidur dibawah kata-kata,
tanpa benar-benar mau serius memproduksi makna, menyambut hakikatnya dan
mengurai ribuan pola-pola yang tercipta. Atau setidaknya jika anda bukan
seorang filsuf hendaklah otentisitas mencampakkan anda pada pada harga diri
seorang manusia.
Lihat itu lelaki tua diujung senja, sudah menahan-nahan untuk sampurna namun jaman tak melihatnya
sekaligus beberapa akar menambatnya pada angka. Akankah kau ikut serta
menahannya, bukankah proses hidup yang sama akan mengantarkanmu pada
kesediaanya, pada berbaktimu untuk hidup, pada pengabdianmu akan tujuan, dan
prosa-prosa tak lagi menjadi sesuatu yang bahagia.
Aku kemudian memeluk buliran air hujan, seraya mencoba membiarkan asa harus
dipenuhi dan tetap tak kehilangan diri sendiri. Realitas harus dijawab
sekaligus siapa yang akan menerimaku? Apakah engkau? Atau comberan hitam yang
membawa teratai mekar, sekaligus bertahan sebagai ikan dilimbah yang kau
racuni?
Modernitas menghilangkan entitas sebagai sosial, norma yang berisi kemajuan
akhirnya menghilangkan kepercayaan sekaligus terus menambah kecurigaan, jalma
kemudian melihat lalu-lalang manusia tanpa senyum dan kekalnya persaudaraan
bernama cinta. Sementara tetangga hanya membual soal kemewahan dan meracuni apa
saja dan siapa saja yang harus dihardik yang tak lain kembali kepada kekosongan
dan kekalutan hidup di penyaluran yang salah.
Gerbong-gerbong berhenti sejenak, murid romo Mangun itu seraya dalam
dialektika personal berkata. Lihatlah apa
yang hilang dari stasiun?
Lambaian tangan di kereta.
Stasiun Purwosari, 27 November 2018
Indra Agusta
No comments:
Post a Comment