image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Sunday, July 8, 2018

Meretas 28

MERETAS 28 EDAR MATAHARI

Bakau tenggelam diparuh panasnya laut, anak-anak bermain riang bersama debu. Suara bising dan deburan ombak memberi kabar tentang kesunyian.

Dijalanan tukang yang terlelap tidur dibak truk bersama semennya, sang preman terminal yang lelah menjaga sudah lama kehilangan dirinya. Kemurnian dan keputusasaan hidup datang silih berganti, memberikan jalan panjang perdebatan tentang hal-hal yang menjadi busa belaka.

Tak berani mewartakan beban, dimana diri mempertanyai diri sendiri, kelaparan kemiskinan masih berlanjut, sang tua renta dengan segala rumitnya masih menjadikan diricsarang segala kesalahan, sebaik dan sesabar apapun. Lalu bagian lain hanya menjadi penonton ditengah karamnya kapal.

Seperti mayat-mayat itu aku, membisu dan beku mencoba mengatasi segala pertanyaannya, mendobraknya dan mungkin mengadukannya "Kenapa jalanku menujumu menyisakan luka?" atau sepahit kopi yang menjelajahi benak kemudian berputar-putar, meliuk dalam tikungan nasib.

Lalu ketetetapan manalagi yang ingin didengungkan, sementara resah akan kepastian tak selalu menjadi jawaban. Justru silang sengkarut dan ketidakpastian mengantarkan jalma pada pendaran iman.

Luapan-luapan merapi tersibak dari kejauhan, namun siapa yang mempelajari  hakikatnya? Malam - malam kini tak lagi sunyi, gelap semakin mencekam didalam diri. Merindukan banyak hal, memuasai banyak hal, menikmati banyak hal, dan memendam serta meledakkan banyak hal.

Di jaman yang semakin materialis, alangkah menarik rasanya untuk kehilangan diri dari pengakuan-pengakuan, seperti sebuah penerimaan yang harusnya ada dan biasa-biasa.

Kini diracuni oleh sebuah logika eksistensialis, mempertanyakan keberadaan dari sebuah trigger itupun hanya seremeh dari yang keliatan mata. Manusia tak lagi menikmati kata apalagi untaian sastra.

Semua semakin rakus, minimal untuk pamer bahwa ada yang dibanggakan dari diri, namun apa yang sebenar-benarnya dimiliki manusia, padahal sejuntai rambutpun manusia tak berkuasa atas jatuhnya, apalagi klaim terhadap bumi dan hancurnya sebuah peradaban yang kian nyata.

Botol mineral kuteguk, ubanku semakin mewabah dan menyarang di kepala.
Ah, siapa yang akan menerima betul-betul sang jalma? Kecuali kepentingan bercumbu didalamnya.

Atau siapa yang akan memeluk udara, sementara luapan dahsyat jaman mendorong keras menjadi sesuatu yang sama sekali bukan dirinya, hanya semu. Tapi Ruang-ruang kini semakin sempit, siapa yang mau menjadi ruang?

Lihatlah itu semesta dan kumpulan angin menampar sekaligus memelukmu. Kekasih.

Lingkaran berputar,
Ngat-nya kembali, momentum mataharinya kembali, masih sama di musim liga bangsa-bangsa. Namun kemenangannya sama sekali belum tercapai, semoga disegerakan.

Untuk kecintaanku padamu semua mahkluk, dan ampunanku atas semua kesalahanmu dan maafku atas segala luka yang kutitipkan padamu...

Kleco Wetan, Ngat Wage 08 Juli 2018.
Indra Agusta.

No comments:

Post a Comment