![]() |
Senjanya merekah Pad, ketika sang kala membawamu kembali.
Angan-angan dari sebuah bis tua, hujan, dan badan separuh basah. Langitnya berubah menjadi sangat cantik, bening, emas kemerahan. Ingatkah kamu? Kita pernah ada di situ, sebuah momen magis di tengah belantara, menawarkan secangkir teh dan biskuit, meneguknya dan menarik nafas panjang diantara kabut dan akar-akar.
Tangan kita menggenggam, tubuh kita saling berpelukan dan seolah harapan itu ada, padahal sejatinya kita tahu banyak hal yang terjadi ketika senja itu lewat.
Malam-malam sunyi kemudian datang.
Kegelapan itu menyeruak mengintai kita dengan banyak mata. Setiap drama dibereskan, setiap kali itu pula muncul drama baru dan kita melenggang di jalan gelap menuju puncak itu.
Di persimpangan kita berpandangan, mengedarkan mata sekeliling, pada gemerlap lampu kota nun jauh di sana. Merenungi segala yang terjadi.
Lakon wayang anak manusia seperti takdir yang tak satu setan-pun tahu. Konstelasinya berubah, sangat acak, variabelnya terus bertambah, meski begitu aku tahu suatu hari pada garis edar tertentu di simpang jalan yang sama langkah-langkah itu akan kembali.
Pada tanjakan, kita merebahkan diri lagi. Mengusap keringat dan berkelakar sejenak. Rasanya hidup ingin berhenti pada momen bahagia itu saja, ketika nafas tersengal dan dingin makin merayap kita tetap memandangi lampu² kota itu.
Apakah ini rima hidup? Jalanan panjang penuh bahaya namun juga tak kalah menawari banyak hakikat kebahagiaan.
Dari jauh memang terlihat, kelokan-kelokan tajam itu tengah menanti di ketinggian sana, dimana waktu dan umur berkejaran supaya kita semua dianggap lumrah oleh kasunyatan. Supaya kita bisa selamat dari 'saringan' naiknya kadar entropi.
Senjanya lenyap, tapi setelah kamu pergi bertahun-tahun sinarnya terus berpendar di hatiku. Sinar yang terus memberi pendar harapan, nyala pada mata, memberi setumpuk bara api pada rindu.
Sejak saat itu, kehidupan tak lagi sama Pad. Bermalam-malam aku tidur dengan syair, dan entahlah malam ini rasanya makin menjadi², malam jadi melankolis. Enam tahun sejak gunung-gunung itu berbicara. Seharusnya saya harus bahagia, karena memang itulah yang lumrah terjadi. Tapi keraguannya tidak bisa dipungkiri.
Di dalam hati senja merah keemasan ith mengembang lagi, aku hanya terus berdoa semoga kebaikanmu menjadi banyak kebaikan lain.
Terimakasih untuk cintamu yang tulus.
Selamat, dan panjang umur rasa bahagia.
Sampai jumpa lagi Padma.
#agustaisme
No comments:
Post a Comment