image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, March 6, 2017

Malati

Oleh : Indra Agusta
Menjumpai Seorang tua dari Padukuhan Kresnapati, hidupnya tak banyak keluh dan kesah, tinggal di sebuah gubuk sederhana. Perabot didalam rumahnya-pun tak banyak memikat maling untuk mengambilnya. Raut wajahnya nampak sayu, dengan garis-garis kerut wajah yang kian kentara.  Asap tembakau mengepul dari tangannya yang kotor karena pulang dari tegalan menyapa beberapa tetangganya yang umurnya sudah terpaut jauh darinya.

Istrinya yang meninggal sewindu yang lalu tak meninggalkan seorang anak, dan keadaan seperti itu tak menyurutkan semangatnya untuk menikmati dan menjalani hidup, karena dia tahu betul hidup ini hanyalah titipan untuk dilakoni, untuk dijalani. Karena memang sepanjang laku hidup simbah memang tirakat, dia telah mengalami tiga jaman, dari Penjajahan Belanda, Jepang, dan Era Kemerdekaan di sisa hidupnya.

Langit mulai gelap, dikayuhnya sepeda menyusuri jalanan sepi padukuhan, dalan ampyang demikian kata orang sekitar, yang merujung pada makanan khas Jawa bernama Ampyang (larutan gula jawa dan jahe yang kemudian dipadatkan ditaburi kacang tanah). Memang dijalan padukuhan ini belum diaspal, hanya daerah Kotapraja yang sudah diaspal.

Ditengah jalan, mengikuti laju sepeda onthel simbah tadi melintaslah  Pak mandor karet dari bukit Jago, dengan motor Suzuki TS yang suaranya sangat nyaring, Berdandan necis memakai baju kurjasena, tiba-tiba menyrempet simbah tadi, dan terjatuh disisi jalan, tanpa tanpa menghiraukan simbah, Pak Mandor ini dengan angkuh terus melaju.

Tertatih-tatih simbah bangun, tak kuasa mengayuh sepeda, dituntunlah sampai ke gubuknya diujung padukuhan. Magrib berkumandang, bersucilah simbah dengan luka-luka kecil ditubuhnya, tampak kulit yang memerah, namun tak dihiraukannya. Bersujud dia menghadap Sang Khalik. 

Selesai sembahyang, diambillah daun jarak dihalaman rumahnya, dibubuhkan pada luka-lukanya, sambil mbatin semoga Pak Mandor, diampuni kesalahannya oleh Gusti Kang Murbeng dumadi. 

Menjelang malam, sontak padukuhan ramai,  suara kentongan berbunyi satu - satu, 
"hmm Rajapati" guman simbah dalam hati.
lalu keluarlah simbah dari rumah, menuju ndalem pak Lurah, beberapa warga kampung sudah disitu. Sepeda motor TS yang berbalut lempung nampak dipinggirkan dihalaman, di Pendapa, sesosok tubuh dibaringkan, berbalut jarit warna cokelat, Pak Mandor yang menabrak simbah tadi meninggal menabrak pohon didekat sendang.


Malati.
Dalam khazanah Jawa terdapat istilah seseorang yang Malati, yang artinya seseorang yang sudah melakoni banyak hal dalam hidupnya, sangat total iklas menjalani hidup, seumur hidupnya ngalah (Menuju Allah) tidak begitu banyak punya ambisi, namun jika ada orang yang hendak menyalahi, Tuhan langsung yang akan melaknat orang yang akan menyalahi, berbuat jahat terhadap beliau,  Dibeberapa pelosok pedesaan Jawa masih terdapat orang-orang yang malati, ini juga membuktikan kualitas "pandhita" atau "resi" dalam laku hidupnya tindakan dan kebijaksanaannya patut untuk didengarkan dan ditaati, supaya tidak menimbulkan bebendhu bagi masyarakat dan negara.



1 comment:

  1. Ternyata Ngalah itu Nge Allah menuju Allah. Sebelumnya saya kira ngalah itu mengalah atau mengaku kalah ternyata salah anggapan itu. Terima kasih.

    ReplyDelete