Bagaimana mengisi air di gelas yang bocor?
Bukankah cara terbaiknya adalah menambal, atau mengganti yang baru.
Seringkali logika kemiskinan menawarkan kerentanan, kemlaratan menimbulkan rasa haus yang sangat, kebutuhan menjadi jerat, ingin akhirnya sesat.
Terus menerus ingin menuang air lagi dengan gelas, dengan konsekuensi lubang gelas yang semakin besar.
Ini in- konsistensi logika.
Atau karakter ini membudaya, mau dikasih permen manis namun seisi ladang kalian dirampok dan dijadikan lahan tebu penjajah.
Ini kan teori etis Van Deventer, sekilas kita diberi pendidikan tapi pekerjaan yang diberi hanya sempit,lalu apapun dikejar demi "status" dan cap mentereng "sukses menjadi pegawai".
Berbondong-bondong anak wedana bersekolah, namun hanya satu-dua pekerjaan yang ada di jawatan belanda.
Jumlah lulusan banyak, tapi lapangan kerja yg didamba sedikit. Sebagian berlomba dengn cara apapun, sebagian mburuh, untung sekarang ada anomali pekerjaan kreatif.
Ada jalan keluar bagi mereka yang gagal mendapatkan kesempatan kerja di disiplin ilmu yang mengkacamata kudai mereka. Syaratnya memang harus membuka mata, membaca dan memanfaafkan potensi yang ada, meski tak elak juga harus berhadapan dengan raksasa.
Tapi jaman terus bergeliat "ownering" menjadi "sharing", akhirnya kelak di masa depan ada formula baru menutup gelas yang bocor harus bersama-sama supaya efektif, dan saling terjalin mesra rajutan benang.
Berpuasa, atau minta tolong mereka yang berlebih tanpa menambah kadar 'haus' dalam membenahi segalanya.
Ini jaman sudah pincang, kemana angin berhembus semoga hembusannya tak menambah duka dari semua luka-luka. Justru kalo ada setiap tintanya menjadi senjata untuk menambal kembali bendera kemiskinan yang robek.
Kleco Wetan, 4 Juni 2018
Indra Agusta.
No comments:
Post a Comment