image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, April 4, 2018

Transisi senja

Angin mengusap keningku. Aku melihat sisa-sisa jarahan kota, mayat dan wanita-wanita terluka. Terkoyak-koyak harga dirinya.

Transisi tak melulu soal eksistensi, kemenangan dan gemerlapnya panggung jabatan.

Seperti menatap senja dibukit bersama untaian kabut. Sinarnya temaram, senjanya terkesan begitu muram. Lalu dimanakah orang-orang yang mengumandangkan perdamaian tanpa perang.

Anak-anak diprovokasi, diagitasi untuk membentur dan berbentur. Orang tuanya dijejali koran dan berita tentang korupsi, seakan menjadi hal yang wajar, kalau perlu jika ada kesempatan harus ikut maling.

Bau darah dan mayat masih juga belum pergi dari pusaran kota, sisa panah dan pedang berserakan dijalan-jalan.

Di medan sampyuh, aku melihat tubuhku, tubuh yang kaku ditumpas beribu panah. Tubuh yang gagah menyambut kematian. Srikandi wanita itu begitu tangkas menyempurnakanku.

Perang hanya menambah luka, pertentangan hanyalah lampiasan nafsu sesaat, namun siapa yang berani melawan kehendak Sang Nata?

Semua bisa menghitung, bersiasat menelikung, namun kehendak siapa yang terjadi?

Apakah kelak anak-anakku akan hidup damai Setelah pandawayuda?
Apakah harmoni ini akan terjalin mesra?
Atau justru hanya menambah luka sejarah?
Meningkatkan lagi presentase dendam.

Cinta, dimanakah genggam eratmu,
Atau yang kau sebut cinta hanyalah kebencianmu kepada liyan?

Mari bergegas, bisma, ingsun...

Jogjakarta, 4 April 2018

No comments:

Post a Comment