image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Friday, January 26, 2018

Ilmu ki ra penting su!

ILMU KI RA PENTING SU!
Oleh : Indra Agusta

Semakin mengamati banyak orang tua, entah sudah berapa ribu nyakruk semakin gamblang dan semakin jelas bahwa sisa-sisa feodalisme itu masih. Dan arus materialisme semakin menghujam memasuki pintu-pintu rumah.

Entah berapa juta anak yang didorong-dorong oleh orang tuanya untuk bisa dapet nilai terbaik, ranking terbaik, kalo perlu les, disekolahkan disekolah terbaik, kemudian dikuliahkan dijurusan dan universitas terbaik menurut perhitungan orang tuanya. Dari sekian berapa presentase anak yang jujur menjadi dirinya sendiri sesuai apa yang dia suka?

Yang pada akhirnya hanya geliat gengsi, dan sombong orang tua untuk dipamerkan kepada orang tua anak-anakyang lain.

Sebagai anak yang tidak kuliah saya kadang merasa gagal sebagai anak ketika tidak ada pencapaian apapun yang sanggup keluar dari bibir bapak saya ketika jagong dan berkelakar dengan teman-temannya. Karena bapak-bapak yang semuanya jebolan universitas itu tidak tahu kebanggaan akan anak yang punya ilmu.

Belum lagi ketika ada dismanajemen otak dari beberapa orang tua yang berpikir bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghasilkan uang dan kekayaan. Saya tidak tahu bagaimana logikanya, padahal segala pencapaian akademis adalah penguasaan ilmu, apapun yang mereka pelajari, di bidang mana mereka expert bukan menghasilkan uang.

Uang, pekerjaan, kekayaan adalah akibat dari penguasaan ilmu yang mungkin dari beberapa orang membutuhkan ekpertasi mereka dibidang tertentu, sebagai ucapan terima kasih atas keberlangsungan ilmu dalam menyelesaikan masalah disitulah uang akan muncul sebagai akibat, bisa jadi dalam bentuk imbalan yang lain. Relatif.

Kembali ke output sekolah adalah ilmu. Seharusnya harus berhenti disitu, tujuan belajar itu ilmu! Dan anak bukan komoditas finansial orang tua!. Dititik ini masih banyak orang tua yang selalu berkilah dengan berbagai dalih yang berujung pada "kemapanan" orang tua di masa senja. Anak-anak setelah diperas otaknya untuk berjuang demi nilai terbaik sampai SMA akhirnya ketika kuliah diatur-atur lagi, disuruh memasuki "jurusan-jurusan yang basah, yang mampu menghasilkan gundukan emas".

Kalau si bocah mau tak masalah, kalau memang lahan basah itu adalah keinginan si anak, kecenderungan anak, tak masalah, lalu bagaimana dengan anak-anak yang menyukai bidang yang sama sekali bertolak belakang dengan passionnya Sastra, sejarah atau filsafat apa yang akan dibanggakan mereka jika semua orang tua pencapaiannya hanya yang terlihat?

Perasaan mereka, seperti dilacurkan oleh orang tua mereka sendiri, demi kegagahan dan kebanggan orang tua.

Lalu betapa seringnya saya melihat anak-anak yang goncang jiwanya karena tekanan tersebut, stressnya mereka karena tak punya daya melawan orang tua mereka sendiri.

Pemarah mereka terkadang, ada yang seperti anak kecil suka merajuk, ada yang tak kalah  adigang, adigung persis seperti orang tua mereka, ada yang sama sekali tidak dewasa, ada yang ingin kelihatan akademis meski otaknya dan kemampuan analisisnya tidak mampu mengejar, karena bukan itu bidang yang mereka senangi. Ketidakseimbangan demi ketidakseimbangan berjalan sistematis membunuh spektrum alam berpikir anak-anak itu.

Anak-anak jaman now itu goncang, terseret-seret budaya yang menggores semua kepribadian aslinya, anak-anak itu lupa siapa sejati dirinya, anak-anak itu kosong seperti zombie-zombie ditelan gemerlapnya lampu diskotik, atau muram menghabiskan hidupnya habis ditelan dendam.

Wahai orang tua yang terhormat kalau memang anak-anak itu hanya dituntut untuk kaya, mbok ya tidak perlu kau sekolahkan tinggi-tinggi. Kalau pingin cepet ajari mereka maling, ajari mereka mbegal , ajari mereka membunuh secara profesional, tak perlu kau ajari ilmu. Percuma!.

Ilmu ki ra penting su! Kanggomu, sing penting sugih, sing penting gagah, sing penting anakmu isa nggo pamer, ning matamu picek, kupingmu budek, ora kenal sejatine anak-anakmu sapa, anak-anakmu ilang uripe. Nanging kowe ora isa ngerti sejatine.

Sragen, 27 Januari 2018

No comments:

Post a Comment