image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Thursday, September 28, 2017

Bertemu Sang Guru

Bertemu Sang Guru
oleh : Indra Agusta

Suatu pagi, dalam suasana yang sangat tenang. Matahari belum menjelang, namun tetesan embun di langit-langit belum mau usai.

Tetiba dalam nuansa yang syahdu, ingin sekali sang jalma mengutarakan seluruh isi hatinya kepada Sang Guru, seorang pemegang kunci akhir jaman itu.

Lalu tiba-tiba sang jalma membawa dirinya pada sebuah sastra,duduk berhadap-hadapan dengan Sang Guru, bercengkrama tentang semua hal, apa yang terjadi diBumi setelah Sang Guru naik ke surga. Demikianlah cengkrama bercerita....

Guru, jaman sudah banyak berubah setelah kau tinggalkan welas asih semakin tidak terpancar dari umatmu, atau yang mengaku umatmu. Banyak dari  mereka lebih memikirkan dirinya sendiri, memikirkan keluarganya, ambisi pribadinya daripada mengasihi sesama manusia seperti dirinya sendiri, seperti yang Kau biasa ceritakan pada kami.

Guru, ketamakan demi ketamakan membius lalu menajiskan jubah-jubah keimaman yang mereka kenakan. Tidak jarang aku melihat mereka yang berdiri diatas mimbar hanya dekat dengan umat emas, menafikan kaum papa, membiarkan kemiskinan terjadi dimana-mana asal bukan mereka dan keluarga mereka.

Guru, mereka meneriakkan namamu, mencatut perkataan-perkataanmu namun hidup mereka, segala tingkah mereka jauh dari apa yang perbuat, Peperangan, Penjarahan, Perampasan semuanya dilakukan bertameng demi menegakkan namamu.

Dimana welas asih, cinta, empati,simpati dan rasa kemanusiaan mereka?
butakah mereka?
tulikah mereka?
bisukah mereka?
Atau merekalah orang bebal?

Lalu kau tersenyum kepadaku, Ndra...
demikian nadamu selalu menenangkan, barangkali kamu lupa bahwa ;

Tidak semua orang yang memanggilku, meneriakkan namaku, berkotbah bahkan berdoa demi namaku akan masuk kedalam Kerajaan Surga,

Hanya mereka yang melakukan kehendak, yang melakukan apa yang berkenan dihadapan Dia yang mengutus aku. yang akan memasukinya.

lalu Kau menghilang, sekejap dari pandangan batinku, dan aku berhadapan kembali dengan Arcapada.

Sukowati, 29 September 2017

Tuesday, September 12, 2017

Ateisme Substansial

Ateisme Substansial
oleh : Indra Agusta

Membaca dan Menerka Jaman, nampaknya adalah inti dari proses pengembaraan sang Jalma bagaimana kehidupan mengalir di setiap hilirnya.

Berbagai macam perubahan jaman telah menggiring masyarakat benar-benar lepas dari apa sejatinya dirinya sangkan-parannya, Rentetan arus jaman yang mengalir sejak Kekaisaran Romawi, Renaissance, Revolusi Prancis dan Industri hingga berakhir pada kolonialisme, semakin membawa manusia pada arus kepalsuan dirinya.

Arus yang membawa kita khintir lebih dalam lagi diriak-riak kemunafikan, kebohongan, talbis, ketamakan,  materialisme dan konsumerisme.

Seperti jerat kuku-kuku Batara Kala kita ini dikekang, dibuai dengan berbagai kenyataan yang arusnya sistemnya hanya bermuara pada Batara Kala itu lagi, dalam semua sendi. Dan dalam arus deras inilah  manusia nusantara semakin kehilangan dirinya, semakin  dikuasai alam pemikiran dan sudut pandangnya. Mind Control.

Manusia semakin terjerat untuk mamaterialkan dirinya, puncak puncak pencapaiannya bukan lagi ketenangan, kedamaian hidup, tapi adalah ambisi pribadinya, inipun akan berujung pada rentetan panjang peristiwa diatas.

Arus berikutnya adalah atheisme, kita mulai menghilangkan Tuhan dengan memberikan ruang untuk dimana dia berkehendak, ditembungi, dielokne, sebagai wujud sujud kita atas kebebasan pilihan yg kita jalani di dunia, bukan hanya cenderung kalo sudah terjadi baru mendukung/menyalahkan Tuhan.

Agamapun kemudian menjadi rutinitas belaka, berbagai ketaatan kita kepada Tuhan akhirnya bukan pada keikhlasannya, tapi lebih pada penekanan akan hasil, itupun hasilnya hanya material-material belaka. Dalam bahasa Guru saya, Tuhan hanya dijadikan pelengkap penderita.

Ateisme ini menyebar ke ilmu pengetahuan, keruang2 kenegaraan, ruang-ruang pekerjaan, dan mulai masuk ke pintu-pintu rumah Sang Jalma.

Hingga ketika sang Jalma pulang dari pengembaraan Spiritualnya, pintu rumah takkan bertanya :

Mana saripati hidup yg kamu dapatkan? Cahaya Tuhan mana lagi yang kamu temukan pendarnya?

tetapi,
Sudah menghasilkan uang berapa kamu? bisa dapat kekuasaan seperti apa?
atau serendah, mana calon istri yang anaknya orang kaya?

Tangerang, 13 September 2017

Wednesday, August 30, 2017

Keadaan, Martabat dan Standar

Pertapaan e-Max 1/10 
KEADAAN, MARTABAT DAN STANDAR
Oleh : Indra Agusta

Keadaan
Proses yang tidak mudah adalah bagian yang mungkin pelik, dimana saya akhirnya hanya seorang jalma biasa, bukan anak dari tokoh terkenal dan punya keris.  Bukan pula seseorang yang punya kebebebasan tak terbatas dalam melakukan semua hal, semau-gue. 

Saya hanyalah seorang lulusan SMA yang mungkin jadi sekolah favorit untuk anak-anak muda dikota kecil saya, yang ketika teman-teman saya sudah menikmati enaknya punya sepeda motor, saya masih setia dengan sepeda kecil saya, bertahun-tahun. Atau ketika kawan-kawan sekolah saya tengah asik memperbincangkan bayangan masa depan mereka, entah melanjutkan kuliah atau mengecup manis janji-janji orang tua mereka yang siap mendaftarkan mereka diinstansi tertentu, dengan kekuasaan tertentu saya cuman duduk dibangku sepi, tanpa sepatah katapun, dengan sebuah kepastian bahwa saya tidak bisa kuliah.

Orang tua yang hanya pegawai rendahan dibumi walisongo, ternyata tak mampu menyekolahkan saya pada jenjang yang lebih tinggi. Ada semacam kegelisahan, kekecewaan yang mendalam ketika apa yang menjadi cita-cita saya terkubur begitu saja oleh keadaan. Ledakan-ledakan amarah begitu rupa, akhirnya membawa kembali ke sebuah kata yang saya cetuskan dan saya ugemi sendiri Manusia tidak bisa memilih dari rahim dan keadaan seperti apa.

Hidup harus terus berjalan, menikmati sesaknya kontradiksi-kontradiksi yang mau tidak mau harus saya alami setiap harinya, setiap sendinya. Sebagai seorang yang lumayan punya banyak teman, dan menjadi teman bicara banyak orang seringkali dalam banyak kesempatan saya harus ngempet  menetralisir diri ketika banyak teman-teman saya bercerita tentang hal-hal yang mereka alami namun saya bahkan tidak tahu arti dari itu semua, obrolan panjang soal ospek, UKM, soal senat, cinlok,kampus, IPK, diskusi-diskusi yang membuat saya kadang merasa rendah diri dengan mereka, hanya karena saya tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Martabat
Namun ternyata hati saya, jiwa saya yang memenangkan itu semua, ruang kosong tentang kehauasan saya akan ilmu dan pemikiran ternyata tidak terbendung, mulai dari main ke perpus, pinjam buku, sampai ketika berkenalan intens dengan internet, saya semakin tidak bisa diam untuk tidak membaca sesuatu.

Ternyata hal ini pula yang membuat saya semakin tua setiap harinya, banyak pemikiran-pemikiran berbeda, terkikislah sedikit demi sedikit rasa rendah diri itu, hingga saya terus menerus semakin yakin bahwa kalau memang ini lakon yang harus saya jalani, maka baiklah saya akan menjalaninya. Dan saya harus menggali kedalam diri saya sendiri siapa saya sebenarnya?

Standar
Dari berbagai pemikiran akhirnya terciptalah berbagai standar, yang akhirnya akan berbeda dengan standar anak seusia saya, seperti saya yang memilih untuk tetap tinggal di kota kecil ini, hidup seadanya demi simbah putri saya yang sudah tua, dan selama simbah tidak merestui saya kerja dimanapun disitulah saya akan melangkahkan kaki. Restu orang tua adalah hal yang krusial bagi standar hidup saya, karena dari merekalah sebenarnya Amanat Tuhan berasal, meski hal ini akan beraneka ragam variabelnya, namun pointnya tetap berbeda pendapat boleh, tapi jangan sekali-kali berani dengan orang tua!
Lalu standar lain mungkin adalah otentifikasi diri, merumuskan diri sendiri apa yang jadi dirikita sendiri, bukan karena sebuah euforia, hegemoni, atau stigma mayoritas. Hingga dari berbagai lautan ilmu, yang menyaring untuk diiyakan-ditidakkan hanyalah diri kita sendiri, disitulah yang menurut saya membawa saya pada perenungan lebih tinggi soal hidup.

Dan e-max, warnet mungil ini menjadi salah satu ajang untuk mewujudkan itu, disini saya bisa menjawab tantangan masa muda saya, berhadap-hadapan dengan berbagai wacana ilmu dari internet, untuk melengkapi sumber-sumber ilmu lainnya yang sudah saya miliki sebelumnya, juga sebagai ajang untuk ngabekti  kepada simbah, menerima keadaan, mengasah hati, dan memperdalam perenungan diri.


Bersambung...................Pertapaan e-max Jilid 2/10 - Pekerjaan Pengabdian

Thursday, August 24, 2017

Pertapan Emax - Kidung Pambuka

Akeh tuladha kang dhemen cidra, uripe rekasa milih sawiji, endi kang suci? Tangguh bisa mukti.
PERTAPAN EMAX - KIDUNG PAMBUKA
Oleh : Indra Agusta

9 Tahun memang bukan waktu yang singkat, ada ribuan cengkrama yang mengalir dari mulut jalma, ada ratusan peristiwa mengisi setiap harinya, seperti tidak pernah habis tinta-tinta mengisi pena kecil, jalma yang juga bukan siapa-siapa. Jalma yang hanya menetapi laku sebagai manusia, dengan berbagai dinamika dan percaturan keadaan yang begitu tidak menentu. 

e-Max, secara kasat mata adalah tempat biasa, yang ribuan orang pernah lewat didepannya, sekedar melihat atau ikut bercengkrama didalamnya. Sebuah warnet yang sekarang semakin kusut karena memang usianya yang sudah sangat tua, namun ada berjuta kisah didalamnya.

Bagi saya pribadi secara filosofis bukan lain ya karena esensi nama ini adalah emak, Ibu, mamak, atau terserah belahan Nusantara bagian mana yang akan menyebutnya. Bagaimana warnet ini didirikan, sebagai tanda cinta seorang anak kepada Ibunya, seorang anak yang kemudian menjadi bapak yang kemudian juga mengajarkan cinta neneknya pada sang bapak. 

Dan ternyata juga saking cintanya emak saya, pada saya, karena kebaikannya dan ketulusan hidupnya membuat Gusti tidak sabar untuk menanti kekasihnya, ibu saya ini 'pulang' keharibaannya,  ah, tentu ini hanya ke-GR-an saya, meski saya juga tidak bisa menampik ternyata memang tidak ada manusia setulus mamak saya. Dan akhirnya nama emax, emak punya tempat tersendiri disanubari saya.

Dan waktupun berlalu semenjak Ibu saya disuwun kapundhut, kasedan jati , seperti lama namun sebentar, seperti kemarin namun ternyata sudah berlalu lama, demikian saya pula dibilik ini, diruangan sempit yang menawarkan keluasan, seperti jaman yang sudah berlalu bertahun-tahun, namun saya terus menerus setia bertapa dibilik ini, bahkan sampai 8 tahun, entah Energi apa yang membuat saya kuat untuk  berlama-lama disini, jelas ini bukan soal finansial dan material, dalam intepretasi saya, akhirnya saya lukiskan lewat tembang diatas,

akhirnya harus memilih, retorika semua dimana mengambil kemungkinan terbaik dari berbagai kemungkinan yang sudah baik, atau mana kemungkinan buruk, dari berbagai macam yang terburuk.

Dan saya mulai seperti melukis foto slow-speed, blub menikmati cahaya-cahaya Tuhan dari berbagai gemerlapnya arus muda saya, arus zaman yang semakin luas saya tidak mampu menangkap kemana jalannya sang jalma.

Ternyata bukan gereja, rumah, keluarga, sekolah  ataupun institusi ini itu yang mengukir jiwa saya, justru emax-lah yang akhirnya menjadi suatu mozaik dalam penempaan batin, nurani, dan pribadi saya, dan dengan tulisan inilah saya merayakannya, semoga kalian mampu menangkap luapan batin saya dari nuansa tulisan ini.

..........milih sawiji endi kang suci, tangguh bisa mukti
- ki nartosabdo.


Bersambung.........








Wednesday, August 23, 2017

Syair Laku Buntu

Malam meninggalkan jejak-jejak kebisingan
Diantara geram dedaunan yang hambar karena buaian debu, 
gemericik jenuh kabut kota mengantarkan manusia pada Titik Nadir Kepalsuannya.
tingkap-tingkap kulminasi kebuntuan, keabsurd-an, 
Ada sangat banyak jalma yang merasa kesepian, sangat-sangat kesepian.
Agama yang ditelannya dengan rutinitas ibadah tak menjawab dinamika kosong hatinya,
Dititik pelampiasan langkahnya, tak membawanya pada sebuah oase, kegersangan meraja.
Ditelannya wibawa dan rupa dunia, kelam semu beradu, nasib mengayun tanpa langkah.
Berharap sang jalma pada ujung jalan penantian, 
Namun ujung perjalanannya diisi kesepian, seperti Syair Laku  Buntu di terjalnya jalan setapak desaku.

Kepalsuanmu merekah,
Amarahmu meledak,
Kebuntuanmu menjadi,
Kepalsuanmu tak mau bertepi,

Mengais-ngais tanah kau ratapi,  berharap kekosonganmu terpenuhi.
Kepenuhan ternyata mengoyakkan, kantung "air hidup" mu.
dari selasih sesak, terucaplah jerit sesakmu.

Hingga lepaslah, lepaslah semua, lepaslah dirimu, lepaslah sejatimu...
terombang-ambing dilautan tiada bernama.......
lelakumu, laku kebuntuan.....




untukmu, supaya tidak kehilangan dirimu, 
kesejatian dirimu sebagai jalmayang sejati.

ditulis dari bilik sepi, ketika mendengar Adzan Subuh memanggil sang jalma untuk bersujud
Kemis, 24 Agustus 2017







Ngajeni

Oleh : Indra Agusta

Di era modern, dalam berbagai pengamatan saya menemukan fakta bahwa ternyata Seseorang dengan Pendidikan yang tinggi, gelar yang seabrek, kekayaan yang menumpuk, dan berbagai macam predikat materialisme lainnya. tak menjamin seseorang berattitude setinggi pencapaian kasat matanya. 

Bisa saja seorang  mahasiswa sangat memandang rendah tukang becak, tukang kelontong, bakul sambel tumpang langganan saya hanya karena mereka merasa belajar, bertitel, mengeluarkan uang banyak untuk kuliah, seolah-olah semua orang yang tidak bertitel hanyalah remah-remah, atau sampah yang mereka ludahi.

Atau mentalitas tukang perintah yang ditanam dalam chip sanubari mereka, semenjak mereka sekolah hanya dididik untuk menerima tugas, mengerjakan tugas, menerima soal dsb, hingga ketika mereka sudah purna diperintah, himpitan tumpukan emosi, kepenatan dan kurangnya kebebasan menggiring mereka untuk seenak mereka memerintah orang-orang yang menurut mereka tidak layak dihargai, dihormati dsb.

Dalam hal ini bolehkah saya berpendapat kalau institusi pendidikan ternyata gagal mendidik anak-anak supaya berkarakter lebih baik, mengerti adab, unggah-ungguh, tahu dengan siapa dia berbicara, belajar memilah-milah kata, belajar empan-papan. 

Atau apakah ini salah si anak? anak-anak yang dari kecil mungkin sangat polos hingga mereka menelan mentah apapun yang disampaikan guru, dari sejak kecil sampai menuju dewasa.

Atau fenomena apa ini? ada banyak kekalutan dan kekosongan anak-anak itu, semakin tua mereka tidak menjadi semakin dewasa dalam bersikap dan berpikir, justru malah seperti anak kecil yang dibuai oleh tombol refresh sosmed, atau kebuntuan kita yang mengantarkan kebahagiaan kita pada memutar fidget spinnner, bahkan menginstal aplikasi fidget spinner di smartphone yang ternyata tidak membuat kita menjadi smart user.

Belajar Ngajeni adalah hal yang ingin saya utarakan disini, dimana anak-anak sekarang hampir kehilangan sama sekali sikap ngajeni, ngajeni  berasal dari kata Aji, Ngajeni itu hakikatnya adalah menghargai orang lain, menghormati Aji-nya orang lain.

dan Aji ini tidak harus selalu punya titel, tidak selalu harus punya kekuasaan, kekayaan, maupun jabatan, tapi Aji ini bisa punya kewaskitaan, punya ilmu, kebijaksanaan, atau talenta-talenta yang diberikan Tuhan, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mampu membuka "tabir-tabir Tuhan" ini.

Disini harusnya sikap setiap orang kepada orang lain adalah membuka dirinya, kalau bisa menemukan apa yang menjadi Aji dari seseorang. Dan pasti semua orang punya Aji-nya sendiri-sendiri, tiap orang tentu akan berbeda, dan pengenalan akan Aji seseorang-pun kadang kita harus menggali terus software  kita.

Jika dalam bercakap dengan seseorang kita bahkan tidak menemukan sari-pati  apapun dari orang tersebut, jangan terburu-buru menjudge bahwa orang tersebut tidak ada gunanya, dan halal untuk di ejek, dihina, disepelekan, tapi siapa tahu ternyata software , ilmu kita yang belum compatible untuk membuka ilmunya.

Maka semua orang harus berhati-hati dalam menilai seseorang, melihat seseorang bukan hanya dari luarnya, tapi juga menemukan isinya. sikap seperti ini yang harusnya diajarkan pada anak didik.

Atau kita, saya, sebagai sesama orang yang belajar dan terus belajar dibelantara ilmu, harus menuai kebuntuan, kekosongan, yang berujung pada luapan-luapan emosi yang sebenarnya tidak perlu.

Sukowati, 23 Agustus 2017



Thursday, June 29, 2017

Bakdan, perayaan cinta kasih untuk semua mahkluk

Oleh : Indra Agusta

Gegap gempita takbir mulai berkumandang dari pengeras suara di masjid-masjid di kampungku. Megah menjelma dalam berbagai lantunan ucapan syukur dengan mengagunkan kebesaran-Nya. Anak-anak mulai berjalan mengelilingi kampung dengan menggunakan oncor (obor dari bambu) sambil meneriakkan Allahu Akbar, Tuhan yang Maha Besar. 

Saya memang bukan seorang pengikut Muhammad, tapi saya selalu senang melihat anak-anak kecil itu berlari kecil, atau bercanda dengan kawan sebayanya merayakan Bakdan. Atau sujud-sujud tulus keluarga besar saya yang berduyun-duyun pergi kemasjid terdekat.

Idul Fitri, atau Bakdan istilah didesa kami, selalu menawarkan cerita tersendiri. Selain seperti yang saya tuliskan kemarin bahwa ibadah puasa ternyata efektif menekan ujaran kebencian di media sosial.

Hari kedua Idul Fitri sudah menjadi tradisi di desa kami untuk berbondong-bondong datang ke masjid mengikuti tradisi Halal-bihalal, disitu tumpek-blek semua orang dari semua usia, laki dan perempuan  dan tidak hanya umat Islam, namun penganut keyakinan lain seperti saya yang kristen, hindhu, beberapa orang tua yang memilih jalan Kejawen juga ikut datang. Memang ini bagi saya adalah perayaan cinta-kasih untuk semua Mahkluk. 

Bagaimana tidak, saya bisa bertatap muka dengan seluruh penduduk desa, dengan kerabat-kerabat yang merantau dan jarang bertemu. kami bersalaman satu sama lain, saling minta maaf dan memaafkan.

Ada perasaan bercampur baur yang terlukis, senyum bahkan gelak tawa lepas dari mereka yang berkelakar, hingga tangis yang pecah karena ada dari keluarga mereka yang sudah dipundhut lebih dulu oleh Sang Khalik.

Namun semuanya berjalan beriringan penuh kedamaian, dan saya tidak menemukan adanya permusuhan seperti yang didengung-dengungkan media sosial. Desa kami rukun satu dengan yang lain.

Perayaan berikutnya saya bersama keluarga mengunjungi makam ke orang-orang yang sudah mendahului, meski ada beberapa orang yang tidak setuju dengan prosesi nyekar ini. Tapi hal ini bagi keluarga kami merupakan tradisi wajib, untuk mengenang jasa-jasa leluhur dan mengajari anak-anak kecil supaya tahu bagaimana menghormati orang tua, meskipun sudah meninggal.

Lalu mengunjungi orang-orang yang sudah sepuh, meminta restu dari mereka supaya diberi wejangan untuk menghadapi hidup, lebih lanjut adalah melanjutkan tradisi tutur-tutur. Bercerita soal sejarah keluarga dan masa lalu, hal-hal yang hanya orang-orang tua itu tahu, dan kita menimba ilmu nya untuk dijadikan memori supaya kelak kita juga bisa menceritakan sejarah ini kepada generasi penerus. Mengambil yang baik, dan melupakan yang buruk, mikul dhuwur , mendem jero.
Makanan tentu tidak lepas dari perayaan ini, Makan adalah syarat wajib jika berkunjung ke semua keluarga, dan siap-siap overload kenyang.

hal-hal yang lain selain Tradisi, nostalgia tentu adalah pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan yang beraneka macam, dari urusan sekolah, pekerjaan sampai jodoh. Tentu dengan berbagai sudut pandang dan standar tiap-tiap orang tua berbeda, Dan saya sebagai yang masih timur harus pintar-pintar menangkap nuansa pembicaraan, supaya jawaban yang saya lontarkan berkenan di hati orang-orang tua.

Seperti masalah jodoh, ada yang saya jawab dengan guyonan, ada yang jawab jujur, ada yang saya jawab dengan sasmita-sasmita tertentu. hal-hal seperti ini yang biasanya ingin diturunkan orang tua kepada anak-anaknya yang diperantauan. Apalagi yang dikota, biasanya software rasa-pangrasa  ini ditutupi oleh logika kaku karena orang-orang modern juga tidak mengenal software ini. mereka tidak tahu lagi mana yang kelakar, yang serius, mana yang mancing, mana yang mbombong, mana yang pasemon dll.

Atau masalah pekerjaan yang bisa saya jawab kelakar dengan guyon "alah kerja asal-asalan cuman mburuh" atau ketemu orang serius yang saya bisa menjawabnya dengan kritik pedas bahwa hidup tidak sekedar asal kaya, asal sugih material tapi juga psikis dan spiritual, sementara banyak dari orang tua hanya berpatok pada pencapaian Material, tanpa pencapaian psikis apalagi spiritual. dialektika kehidupan terus berlanjut.

Hari ini Idul Fitri sudah berlalu, namun cerita-cerita tentang hangatnya Bakdan masih dilanjutkan yang kelak nuansa ini akan menjadi magnet yang sangat besar, untuk menarik mereka yang jauh diperantauan untuk kembali ke jatidirinya, ke desanya, tempat dimana siapa sejatinya dirinya.

Dan saya sebagai orang yang berada dijajaran penunggu rumah, tetap berjalan dikesunyiannya, tanpa ada apapun cerita tentang perantauan, meski bukan berarti tidak mengalami  luasnya kehidupan.

Mereka yang pergi akan menyimpan kenangan kampung halaman di pusara ingatan mereka dan menikmati rasa kangen tersebut.

Mereka yang dirumah, akan menyimpan kerinduannya pada kepulangan mereka yang merantau. 

Demikian getaran-getaran tersebut berpendar, dan dipendarkan, sebagai bukti cinta-Nya kepada hambanya, dan cinta hamba dengan sesama hambanya, sesama mahkluk.



Kleco Wetan, 
Jumat Legi, 5 Syawal 1438 Hijriah.

Nuwun.







Tuesday, June 20, 2017

"Kasta" Rasa Ramadhan

Oleh : Indra Agusta


Ramadhan, bulan suci yang dinanti-nantikan semua umat muslim diseluruh dunia. Ibadah Puasa wajib yang harus dijalankan ini membawa pengaruh sangat besar, pada tampilan med-sos saya, yang berbulan-bulan berisi hujatan, cacian, dukungan, kontra, meng-kafirkan, me-makarkan menjadi adem. santun. dan penuh kelembutan. Ah, ini bulan damai di negara muslim terbesar di Dunia. 


Buka bersama, adalah salah satu tradisi yang bisa ditemui disepanjang bulan, intensitasnya akan semakin padat ketika mendekat dengan hari raya Idul Fitri. Hal ini juga menjadi puncak eksistensi warung makan, berbagai promo, teori marketing digelar, juga menjadi awal yang bagus bagi mereka yang ingin membuka warung/cafe, karena membludaknya pengunjung yang ingin berbuka puasa bersama. Menarik memang, ada begitu banyak perputaran ekonomi sepanjang ramadhan. 

Lalu ada mereka yang berderma, dari memberikan takjil gratis di jalan-jalan utama, berbuka puasa di pondok pesantren, sampai memberi bantuan kepada pondok anak yatim-piatu dan pondok untuk orang2 tua yang renta.

Pengalaman saya yang hampir 3 tahunan hidup menggelandang dijalanan, setelah sekolah tidak langsung pulang tapi duduk-duduk dengan mereka di jalan, dengan pengamen, pengemis dan kondektur bis/angkuta yang mencari penumpang. Memberikan sudut pandang lain.

Ramadhan bagi mereka juga merupakan surga dunia, dimana omset ngamen-ngemis mereka akan naik drastis, karena banyaknya orang yang tiba-tiba menjadi baik. bapak-bapak kondektur angkot maupun bis dipasar pun demikian, intensitas belanja ibu-ibu yang kepasar naik seiring dengan dekatnya hari raya.

Namun ada secuil nada minor  dibalik megahnya Ramadhan, ada semacam batas tipis yang tidak pernah diamati banyak orang. kasta tipis yang mengesankan bahwa mereka anak-anak jalanan ini bukan bagian dari mereka, bapak-bapak tukang becak itu bukan manusia biasa seperti mereka, hanya karena orang-orang yang berderma ini dalam posisi memberi.

Hal ini akan diperparah ketika program bantuan sosial atau berbagi bersama hanyalah sebuah pencitraan, atau aktualisasi pribadi , ajang eksis untuk memamerkan kesantunan mereka. Santun kok pamer, berarti memang bukan santun.

Dan garis ini benar-benar sangat tipis, hanya anak-anak yatim, orang-orang tua jompo yang tahu, atau mereka yang mau merenung lebih dalam akan menemukan ini.

Lalu esok akan berlalu seperti biasanya. Dan anak-anak ini ternyata memang belum dianggap menjadi manusia sepenuhnya.


Friday, June 9, 2017

HAKIKAT PENDIDIKAN

Perlu diingat bahwa dalam pola perkembangan seorang anak berbeda-beda dan tidak bisa digeneralisir.
Ada anak yang secara sistematis dididik dengan baik oleh orang tuanya menjadi orang, tahap demi tahapnya sesuai keinginan anak itu.
Ada pula yang keluarganya broken-home, pertengkaran pecah terus dalam lingkungan internal keluarga justru malah menjadikan seorang anak lebih santun, lanthip dan waskita menghitung segala sesuatunya.
Lalu ada yang sama sekali tidak pernah mendapatkan perhatian dari orang tua, entah karena meninggal, ditinggal kerja jadi TKI, atau keadaan apapun, justru menjadi titik keberangkatan anak tersebut untuk mandiri dan otentik menjadi dirinya sendiri.

Akhirnya proses pendidikan bukanlah hak mutlak orang tua, atau pengajar tapi seluruh rangkaian perjalanan seorang manusia itu dibimbing dan diantarkan oleh Tuhan, Sang Khalik sendiri. Semuanya adalah campur tangan Tuhan menuju ke-otentik-an seseorang menjadi dirinya, yang benar-benar dirinya seperti blueprint yang sudah disiapkan Tuhan sebelum dia lahir.
Karena anak juga bukan korban keegoisan orang tua.
Kata Cak Nun malam tadi di Padhangmbulan mengutip sebuah
Hadist ” Man ‘Arafa Nafsahu Faqad ‘Arafa Rabbahu
"Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya"
Pengenalan akan diri ini penting. Untuk jalan menuju apa yang sudah disiapkan Tuhan menjadi jalan hidup seseorang. Saya jadi teringat dalam sebuah nas di Injil, ketika Yesus/Isa mengatakan 'Sebab aku tahu darimana aku datang dan kemana aku akan pergi'
Otentisitas inilah juga yang akhirnya menjadikan karakter seseorang kuat. Kalau lahir di Jawa hidup di Jawa ya harus benar-benar menjadi orang Jawa, belajar segala ilmunya, kalo jadi orang batak, dayak, flores, asmat dll ya harus benar-benar otentik menjadi dirinya sendiri, supaya tidak terjebak hal-hal yang justru akan menenggelamkan diri seseorang pada arus yang tidak bisa dia bendung.

"Sekolah yang baik hanya 'mengantar' anak didik untuk menjadi diri mereka sendiri. Mengantarkannyapun tak perlu jauh-jauh, karena tiap anak telah membawa bakat masing-masing"  Toto Rahardjo.
Tadabbur Padhangmbulan Juni 2017..
Nuwun.

Wednesday, June 7, 2017

Jalan Sunyi menuju Cahaya



Jalan Sunyi Menuju Cahaya
Oleh : Indra Agusta


Berlalu-lalang anak-anak manusia menggeluti nasibnya, pegawai, berdagang, tani, pengemis, tukang batu, atau tukang ketik seperti saya. Manusia selalu bergerak kearah mana yang dia ingin tuju, berkumpul menjalani kehidupan bersama orang lain, senang, sedih, tertawa, konflik dan berbagai hal yang berkecamuk dalam setiap pribadi manusia. 

Namun dalam dimensi yang lain kita juga tak mungkin menafikkan bahwa sebenarnya kita hidup sendiri, mengalami berbagai hal sendiri, secara penuh hanya diri kita sendiri yang tahu betul siapa ini 'sang jalma' kemana langkah yang dipilih, rintangan, hambatan, sanjungan apa saja yang terjadi didalamnya bagai sebuah perjalanan panjang yang entah bermuara atau tidak, semuanya cenderung sunyi dan gelap.

Seperti saya yang bertemu dengan berbagai macam jalma lain dengan berbagai karakter dan pembawaannya, namun seberapa kadar kejujurannya, munggah-midhunke itu kan yang menjadi software saya sebagai orang Jawa. kalau pembicaraan mereka tinggi ya saya merendah, kalau pembicaraannya merendah bahkan cenderung rendah diri saya yang akan membombong hati mereka supaya tidak kecewa-kecewa amat terhadap hidup. Tapi benarkah saya menjadi diri saya sendiri seutuhnya? tentu tidak. Dan disitulah letak hakikat kesunyian manusia.

Akan selalu ada banyak hal yang disimpan Anak Manusia baik-buruknya, jika ketemu orang tua apa yang kira-kira pas untuk diobrolkan, dengan berbagai gestur dan khazanah dalam benak saya yang mungkin akan mencoba menguak cakrawala pengalaman batin mereka, untuk saya alami dan pahami dalam menjalankan hidup. Tapi bisa juga kita benar-benar dalam pembicaraan hanya basa-basi, basi, yang memang basi, pembicaraan berlabel topeng yang hambar hanya sekedar untuk patut-patut jika bertemu dengan seseorang. Lalu ada kadar obrolan yang sangat mendalam, berat jika bertemu dengan seseorang yang kadar ilmunya mampu kita serap bersama-sama. Dan tetap saja kita tetap tidak bisa sejujur-jujurnya kepada semua orang, Lalu kemanakah arah kejujuran itu?

Seperti semua ketidakjujuran baik kepada orang lain, atau kepada diri sendiri, sikap cenderung memaksakan atau  meng-iyakan orang lain padahal dalam batin kita tidak setuju, secara otomatis akan menumpuk kekalutan, kepenatan, kebuntuan, stuck, dan berbagai ke-absurd-an lainnya. Ujungnya adalah relung-relung kosong dari bilik kamar perbendaharaan kerajaan pribadimu yang paling dalam, yang kemudian meraung-raung meminta dipenuhi. Tapi Apa? Siapa? Kemana? Dimana? 

Demikian lalu manusiai terjebak kepada aliran deras kehidupan yang berbentuk beraneka ragam, mereka mengira dengan segala kesibukan, rekreasi, luapan eksistensi, pemenuhan hasrat material, bisa membunuh rasa kosong itu namun aliran sungai deras tersebut menghanyutkannya untuk semakin kosong, kosong dan kosong.

Barangkali memang hidup selalu lengkap dengan berbagai misterinya, kesunyiannya, namun akhirnya naluri kita tanpa sadar digerakkan oleh sesuatu, kita selalu mencari kepenuhan dalam kekosongan, kelonggaran dalam berbagai kepenatan, kesumpekan, mencari Cahaya dalam kegelapan. 

Cahaya, demikian berbahagianya kita akan cahaya, seusai mati lampu, lilin yang berpendar, atau gempita kembang api yang membuat kita yang "material" jasad dan psikis kita terpenuhi kekosongannya.

Lalu bagaimana dengan hidup? Bagi saya pribadi hidup merupakan kegelapan, benar-benar kegelapan sebagaimana saya benar-benar tidak pernah tahu dilahirkan dikeluarga yang bagaimana, dengan kondisi finansial, struktural yang bagaimana tiba-tiba lahir begitu saja, dan menyitir kata Gie,  "Terimalah, Hadapilah". Demikian saking gelapnya hidup hingga tak ada kesempatan untuk menawar, semuanya mutlak, diterima untuk dihadapi itu saja. titik.

Kegelapan demi kegelapan berikutnya terus menyambar mulai dari masa depan yang tidak jelas, pekerjaan yang tak jelas, kondisi ekonomi yang tidak stabil, pendidikan yang tidak jelas semuanya serba tidak jelas, kalau boleh saya akan mengklaimnya sebagai kegelapan.

Demikian akhirnya menerka-nerka sesuai dengan pengalaman hidup kita yang terus bernjenjang levelnya, untuk meraba-raba bagaimana harus menjalani hidup secara jujur dan seimbang, namun tetap saja akan berujung pada kegelapan, dan disitulah saya lebih mantap untuk mencari Cahaya,  menangkap cahaya-cahaya itu dari mereka yang terpantul cipratan Cahaya, mengumpulkan titik demi titiknya, hingga akhirnya bermuara pada samudera Cahaya diatas Cahaya. Sang Khalik. Tenang, aman rasanya. Seolah saya ingin menceritakan pengalaman ini pada kalian semua, meski kalian tentu punya pengalaman sendiri, kegelapanyna sendiri-sendiri, dan

Akhirnya  ini seperti perjalanan sunyi saya, yang mutlak bisa merasakan akhirnya saya sendiri bersama Cahaya, tidak engkau tidak mereka, karena engkau atau mereka mungkin sudah, atau akan menemukan Cahaya yang tenang itu dalam kalbumu masing masing. Hingga akhirnya larut, dan memendarkan sedikit-demi sedikit cahaya itu, ketenangan, ketentraman itu untuk orang lain, supaya cipratan pantulannya ditemukan orang lain, meski untuk berjumpa dengan Cahaya itu hak mutlaknya Sang Cahaya, kita hanya mengembara, berjalan untuk menelisik semburat warna-Nya. Karena memang ini Jalan Sunyi menuju Cahaya.
Langit timur mulai memerah, anak-anak manusia mulai kembali dari tidurnya.

 

Sukowati, 8 Juni 2017
dalam 'perjumpaan hangat' dengan Sang Cahaya.

 

Wednesday, May 31, 2017

Yesus dan Pancasila

Oleh : Indra Agusta

Kekristenan
sebagai sebuah ajaran bahkan menjadi gaya hidup bagi banyak orang tentu tak lepas dari sosok Yesus, Isa Almasih. Tokoh sentral yang berani mendobrak zaman, tokoh yang anti-mainstream menjebol beberapa liturgi keagamaan yahudi yang dinilai memberatkan masyarakat, terlepas memang masyarakat juga sudah susah karena penjajahan Romawi. 


Berabad-abad berikutnya kekristenan dilegal-kan menjadi agama kerajaan, bahkan dianut sampai sekarang oleh berjuta-juta penduduk dunia. Dari mereka ada yang hanya 'berlabel' kristen, ikut aktif dalam semua kegiatan di gereja biar terlihat aktivis, atau benar-benar memahami cara hidup Yesus, bertingkahlaku, bertindak seperti yang Yesus contohkan, dan terus menggalinya dalam berbagai pemikiran termasuk dalam pemikiran spiritual.

Jaman terus berlalu seperti tidak ada gading yang tak retak maka kekristenan pun pernah mengalami masa-masa gelap, dari perburuan kaum bidah, skisma, inkuisisi sampai Perang Salib. semua berjubah kristen namun didalam hatinya sama sekali tidak ada belas kasih, yang ada hanyalah nafsu kekuasaan. Keserakahan.

Mereka pasukan templar, dan pembunuh-pembunuh ini juga menggunakan simbol Tuhan, ayat-ayat alkitab, diplintir untuk doktrin pembenar tindakan mereka, juga janji-janji pengakuan  nampaknya hanya sebagai legitimasi saja.

Lalu apakah kekristenan hanya tekstual? dimanakah menjadi kristen secara substansial?
Menjadi kristen sebagai esensi gaya hidup, menjadi kristen sebagai wujud kasih yang pernah Yesus pancarkan untuk diteruskan kita yang mengaku sebagai pengikut setianya. ?

Dulu ketika Pembangunan Waduk Kedungombo, 37 Desa itu mau ditenggelamkan, Romo Mangun, Kiai Hamam Jafar, Gus Dur, Cak Nun, Yayak Yatmaka  semua ikut terlibat didalam aksi -kontra terhadap rezim orde baru.

Penenggelaman paksa ini mau tidak mau berdampak pada masyarakat sekitar, mereka semua  ini penuh welas asih membaktikan dirinya untuk membantu masyarakat yang menjadi korban penenggelaman, berhadapan dengan aparat waktu itu, untuk memasukkan bantuan kedalam waduk.

Jika hanya tekstual mungkin hanya Romo Mangun, jemaat gereja dan mahasiswa yang kristen yang benar-benar menjadi kristen. Padahal inti dari mengikut Yesus soal welas asih dan kemanusiaan, tapi bukankah tokoh lain juga seperti itu,? sama seperti Yesus, mereka tidak mengaku kristen, tapi tingkahnya, sikapnya sangat kristen karena sangat penuh welas asih pada sesama. Karena itu juga yang diajarkan Nabi Muhammad semasa hidup, menjadi Islam harus rahmatanlil'alamin.

Hari ini gaung-gaung kebhinekaan, Pancasila, NKRI diunggah lagi meski saya tidak begitu setuju dengan penggunaan 'saya' karena lebih baik menggunakan 'kita' , nuansa kolektifnya akan lebih terasa menurut saya.

Baik memang menjadikan hari libur nasional, upacara, mengingatkan kembali falsafah dan Dasar negara. Setelah berbulan-bulan temperatur persatuan kita retak karena pemilihan kepala daerah, baik ditingkat kabupaten sampai provinsi, sampai negara tahun-tahun ke depan.

Tapi balik seperti menjadi kristen tadi, perlu disadari juga apakah orang-orang ini hanya mengaku-ngaku saja, saya ini Kristen lho, saya ini pengikut Yesus lho, saya ini penuh belas kasih lho, akankah lebih baik jika mereka benar-benar mengikut Yesus, menjadi manfaat untuk keluarganya, teman-temannya, lingkungannya, bahkan untuk bangsa dan negaranya, tidak hanya terjebak sentimen saya kristen akan membela yang kristen saja, dan paradigma sempit lainnya, karena hakikatnya akan berujung pada hilangnya keluasan berpikir.

Demikian pula harus menyadari pula bahwa ada mereka yang secara substansial kristen, semua tingkah lakunya mencontoh Yesus, tapi mereka tidak pernah, bahkan sengaja ditutupi bagaimana  caranya agar orang lain tidak perlu tahu bahwa dia beragama apa, identitasnya apa.

Seperti guru saya  Emha Ainun Najib, menekankan "bahwa yang penting output nya kebaikan, kebersamaan, kemanusiaan, manfaat. Masalah kebenaran itu letaknya didapur, tidak perlu orang lain tau, tidak perlu didebatkan apalagi dipaksakan. "

Dan yang paling saya tahu Yesus tidak pernah memamerkan segala mujizat yang dia punyai, dia diam saja, menolong sesama ya menolong saja, dan sangat rendah hati, seberapa tinggi karunia Tuhan yang diwariskan ke dia, bahkan sampai mampu menghidupkan orang mati, dia tetap rendah hati, tetap penuh welas asih, menolong orang tanpa peduli latar belakangnya, tetap sederhana.

Demikian pula dengan Pancasila, saya juga tidak perlu berkoar-koar bahwa saya seorang Pancasilais, Falsafah itu bagi saya substansial. bagaimana mengamalkan 5 sila di kehidupan sehari-hari.
untuk tetap Ber-Tuhan, punya welas asih dan kemanusiaan, menjaga persatuan bukan menambah sekam keretakan, musyawarah nyakruk ngobrol bareng supaya tidak menambah keruwetan bangsa yang sakit ini, lalu Adil.

lalu Perlukah seorang yang pancasilais memamerkan dirinya seorang pancasilais?
tentu jawabannya akan berbeda-beda.

Bagi saya sendiri tidak perlu karena ini hanya sekedar euforia, obor-obor blarak, latah mayoritas dan Dilegalkan, padahal hampir setiap hari ketika saya bertemu kawan saya obrolan tentang negara pasti mengisi ruang-ruang diskusi saya, dan kecintaan saya terhadap bangsa ini tidak perlu saya ungkapkan,  karena saya lahir, makan, hidup, bekerja, punya keluarga, di tanah ini kok, betapa jahatnya saya jika saya tidak mencintai Tanah Air, tentu dengan Dasar Negaranya wong  saya saja 100% hidup didalamnya.

Tekstual akhirnya kurang lengkap tanpa substansial.

Lantas, Bagaimana mereka yang mengeruk kekayaan negeri ini, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan keluarganya, perusahaannya, golongannya, hari ini mereka juga mengaku Pancasila lho, tapi secara substansial mereka Makar terhadap Pancasila, terhadap Negara. Dan negara juga perlu menindak tegas mereka yang substansial melawan Pancasila!

Nuwun.



Kleco  Wetan, 1 Juni 2017









Wednesday, May 17, 2017

Buku, penemuan transisi, dan Cahaya Tuhan.

Dari bibir-bibir yang bergerak melahirkan cuitan-cuitan mesra, lalu disudut lain ada nada-nada serak dari pipi yang sedikit lebam, gelak tawa, kekaguman serta kerinduan atau kesunyian yang hampa, tanpa suara namun kita mencoba mengurai maknnya.

Berbagai pokal yang tersemat di milyaran bibir, korelasi dan koneksi yang terjalin akhirnya mampu melahirkan gagasan, ide, kreativitas, hingga mengungkap ilmu, bahkan wahyu yang sama sekali tak perlu kata-kata namun juga melahirkan kata.

kata-kata ini selanjutnya menjadi bias dalam setiap teritorinya melahirkan makna dan suasana yang berbeda, kencenderungan untuk berkata-kata terus lahir di setiap insan, selain karena memang sudah diberikan software & hardware, kreativitas kata ini terus berubah disetiap jaman yang akhirnya kita bisa menemukannya dibalik buku-buku dari setiap tahun dan waktunya.

PENEMUAN TRANSISI PSIKIS-FISIK
ya, buku adalah penemuan spektakuler yang "abadi" dalam mengarungi jaman, ada banyak perubahan teknologi peradaban, ada yang punah, mulai ditinggalkan, ada juga yang baru datang.  

tapi kenapa buku selalu peka jaman? 
kenapa buku selalu ada ditiap jaman? 
bahkan bisa jadi isinya melampaui jaman? 
atau kenapa buku selalu menemukan peminatnya,pencintanya ?

Menurutku karena isi dari buku itu siftnya abadi, interpretasi ilmu dan isi dari buku sangat relatif, imaginatif dan subjektif kadar wawasan pembaca, tingkat linguistik dan intelektual pembaca menjadi tolak ukur seberapa isi tulisan berhasil diantarkan buku kepada pembaca.
buku bagi saya lebih ke sebuah penemuan yang bukan hanya fisik tapi juga transisi ke alam pikiran, adanya konektivitas antara fisik buku dengan alam pemikiran pembuat, yang kemudian secara tidak langsung  disalurkan ke pembaca inilah yang kekal. 

Daya imaginasi yang hadir dalam setiap kata inilah yang mampu menggerakkan pikiran manusia, nalar, untuk berbuat sesuatu, atau justru malah menggoncangkan dirinya sendiri jika kadar materi dari dalam buku tersebut melampaui batas-batas nalar pembacanya. 

Lalu apa sebenarnya Kata, hingga sedemikian hebatnya? 
Saya teringat kisah penciptaan manusia yang  ditiupkan nafas-Nya Tuhan, saat itulah manusia hidup, dan kemudian berkata-kata.
Lalu juga dari cerita penciptaan lainnya kita akan ingat dari kata "Jadilah" atau "Kun" lalu terjadilah semua ledakan alam semesta yang entah sampai kapan, sampai hari ini prosesnya masih berlangsung.

Kata yang utama akhirnya adalah representasi dari Tuhan sendiri, dan batin kita akan dibawa kemanapun kata-kata itu bermaksud.  Wahyu-wahyu yang diturunkan pada semua utusan-Nya, kemudian dituliskan dalam bentuk kata, yang entah berapa ribu tahun kemudian kata-kata itu masih mampu menjawab berbagai persoalan umatnya, disitulah letak akal dan hati manusia, tarik menarik antara Firman dengan sanubari manusia, yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan jaman yang ditangkap oleh sang jalma.

bahkan ada yang berkata segala tingkah manusia juga adalah "kitab hidup-Nya" yang bermacam, seperti Dia Yang Maha segala-galanya. hingga tanpa disadari kita sehari-hari akan sangat bergairah dengan kata-kata, buku, ide, ilmu atau pendaran Cahaya-Nya sendiri yang ditebarkan di Alam semesta, dimimbar-mimbar rumah ibadah, atau di gang-gang sempit tempat pelacur menawarkan jasanya pun, asal dengan perenungan yang mapan bisa kita temukan kata-kata Tuhan.

Selamat hari Buku Nasional 2017
selalu ada makna dari huruf yang digoreskan, demikian pula dengan pendar kasih-Nya.
yang selalu digoreskan pada sanubari mahkluk-Nya.


Kleco Wetan, 17 Mei 2017
Indra Agusta

Thursday, April 27, 2017

Ke-Kristen-an bukan identitas KTP, dogma, dan liturgi.

Oleh : Indra Agusta

KRISTUS DAN KRISTHOSES

Berbicara tentang kekristenan memang tidak akan lepas dari sosok yang bernama Kristus atau Yesus atau Isa Almasih. Seorang yang  hidup 2000 tahun yang lalu, seorang yang dikasihi oleh Tuhan sendiri, seseorang yang lemah lembut, rendah hati dan memiliki banyak pengetahuan, ajaran dan mukjizat-mukjizat bahkan orang mati-pun bisa dibangkitkannya, atas ijin dari Allah sendiri.

Sebagai seorang yang fenomenal dan berpengaruh tentu Yesus mempunyai pengikut-pengikut, mereka yang mengikuti apa yang diajarkan Yesus, apa yang dirubahnya dari hukum-hukum Yahudi, disederhanakan dan 'dimanusiakan' membumikan Taurat Musa, yang terkenal keras hingga disederhanakan Yesus dengan bahasa yang lebih halus yaitu Kasih. Mengasihi sesama dan Mengasihi Tuhan beserta seluruh ciptaannya. 

Pengikut-pengikut inilah yang kemudian orang menyebutnya dengan istilah 'kristhoses' yang artinya Pengikut-pengikut Kristus, mereka mengikut, belajar dan menerapkan apa yang sudah Yesus ajarkan dan contohkan. Di Indonesia Kristhoses inilah yang kemudian dikenal dengan umat Kristiani.

Ada juga orang menyebut istilah "Nasrani" karena mengambil istilah dari kisah para Rasul tentang sekte orang Nasrani , Nasrani ini yang dimaksud Nazaret, sebuah kota dimana Yesus berasal. Artinya sama saja Pengikut-pengikutnya Yesus.

Jadi memang sebenarnya kekristenan bukan sebuah agama, tapi sebuah nilai. Dimana mereka mencontoh Yesus dan ajarannya dalam menjalani kehidupan. Baru tahun 300an ketika Paganisme Romawi kalah Pamor dengan Kekristenan, akhirnya Kekristenan menjadi agama legal. sampai sekarang.  Jadi yang melegalkan kristen sebagai agama itu Romawi bukan Yesus. 

Kekristenan berkembang dengan berbagai aliran, hingga ada yang pro bahwa Yesus itu Tuhan, ada yang pro bahwa Yesus itu bukan Tuhan, dan terjadilah perdebatan-perbebatan soal keilahian Yesus. 

Lalu diadakanlah rapat bersama untuk memutuskan liturgi-liturgi kristen, sebagai standar baku untuk seluruh dunia. disinilah Dogma-dogma mulai harus diamini dan dipercaya. 

Hingga orang akhirnya mulai lupa esensi nilai dari kristen, banyak yang menyalahgunakan Kristen sebagai dalih pembunuhan, perampokan, pemenjaraan, mencap sesat selain Kristen dll sampai sekarang.

HILANGNYA KEKRISTENAN SEBAGAI NILAI DI ERA MODERN

Semakin kesini, saya melihat kekristenan semakin ekslusif, mereka yang sibuk di gereja menjadi jauh dengan masyarakat, sibuk dengan berbagai macam acara di gereja, pelayanan gereja,  dan berbagai kesibukan lainnya.

Atau kalaupun keluar sibuk mengiklankan Yesus supaya orang menerima agama kristen, menambah jemaat, jualan surga. tapi lupa apa yang benar-benar Yesus kerjakan, bagaimana Yesus menjadi berkat buat semua orang. 

Orang mulai lupa bahwa seorang yang mengikut Yesus harus menjadi Terang dan Garam, sebagaimana lampu atau garam yang akan berpengaruh untuk lainnya, tanpa peduli dari golongan mana, agama mereka apa, kasta sosial mereka apa, dsb.

Yang saya lihat dari potret orang Kristen sekarang mungkin hanya materialisme, berbagai acara digelar megah ditiap-tiap gereja, bahkan sampai menyewa gedung-gedung, punya dekorasi yang megah, set lampu dan alat musik yang mewah. Tapi jika sudah keluar, mereka cuek saja ketika ada orang-orang yang kesusahan, atau kalaupun membantu biasanya ada embel-embel "keselamatan".

Bukankah Yesus pernah bersabda "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"
atau 

"
Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya"
tapi dimana saya bisa menemukan itu, apalagi dikalangan remaja dan pemuda Kristen, mereka bisa nongkrong dicafe - cafe yang mahal, makan di restauran, foodcourt, pamer tidur dihotel ini hotel itu, tapi kok tidak melihat saya mereka terjun di berbagai bencana alam, diberbagai misi sosial, dimana mereka?  apakah demikian tidak boleh saya mencap mereka ekslusif?

Atau dikalangan pendeta sibuk memperkaya dirinya sendiri, bisa beli mobil banyak, untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya, anak-anaknya bisa kuliah dimana-mana, bisa les apa-apa dimana, semau dia,  tapi jemaatnya nyari kerja saja susah, untuk sekolah saja susah, untuk makan saja susah, mereka datang ketika kesusahannya sudah dititik kulminasi penderitaan, mereka kemudian datang sebagai penolong, tapi setelah itu mereka diam saja. 

Jadi dimana kasihnya untuk sesama,? jika untuk sesama jemaat saja demikian, apalagi untuk orang luar.
Atau kalo mau lebih radikal siapa yang mau memberikan Nyawanya untuk orang lain? boro-boro nyawa, hartanya diminta aja belum tentu mau, mereka biasanya hanya mencari safe untuk keluarganya dulu baru memberi orang lain, bukankah demikian yang terjadi dikalangan pendeta-pendeta kita? Katanya mau mengikut Yesus, kok malah menggunakan Yesus sebagai dalih untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. 

Lalu mana ini yang katanya Kristen, pengikut-pengikutnya Yesus, kok akhirnya menjadi materialistis, pencapaiannya kok orang jadi beragama Kristen KTP, pencapaiannya kok selalu hanya angka berapa banyak orang "diselamatkan? atau pencapaiannya kok, bisa berdiri di mimbar, cerita kesuksesan-kesuksesan material individu, ?

Mana pencapaian sosialnya? mana katanya jadi berkat buat tetangganya? Mana katanya jadi berkat buat negaranya? urusan politik saja masih setengah-setengah, menilai seseorang saja tidak adil, masih buta, asal kristen asal seiman dipikir itu paling baik, padahal kan tidak demikian.  Bukankah menilai seseorang tidak bisa dari apa identitasnya, tapi harus melihat gambar besar dari semua eskalasi yang terkait padanya.

lalu sabda Yesus lainnya "Mengasihi Tuhan, Allah"  
Kok mayoritas 'framing' berpikirnya hanya sekedar memberi persembahan maupun persepuluhan di Gereja. Bukankah Tuhan, Allah itu luas tidak hanya memberi uang untuk kegiatan internal gereja, bisa mencintai lingkungan, bisa mencintai ciptaan Tuhan yang lain.

Kok tidak banyak mereka yang peduli lingkungan? Kok tidak banyak yang peduli negaranya lebih daripada hanya berdoa untuk negara?

Dan jumlah ini semakin bertambah setiap tahunnya, semakin banyak mereka yang ekslusif, hidup untuk dirinya sendiri dan golongannya, atau teman-teman dekatnya saja.  Tidak banyak saya melihat mereka menjadi terang atau menjadi garam. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak ada  yang berkesadaran untuk menuju kasih terbesar itu.

saya hanya takut kalian cuman membual soal keselamatan, tapi kalian sendiri sebenarnya bukan mencari keselamatan, tapi menggunakan doktrin keselamatan itu untuk keuntungan kalian sendiri, seperti logika semakin banyaknya jemaat yang datang ke gereja semakin banyak pundi-pundi persembahan dan persepuluhan yang masuk kekantong gereja. 

balik lagi, Materialisme. 

jangan lupa di akhir-akhir injil Yesus berkata bahwa tidak semua orang masuk ke Kerajaan Sorga.

"Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan!  akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga,  melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku  yang di sorga"

Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu,
dan mengusir setan demi nama-Mu,
dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?

Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan! "

Cuman mereka yang melakukan kehendak Bapa di Sorga, yang bisa masuk kerajaan Sorga, semua yang dituliskan di Hukum Taurat, Hukum Kasih dan apa yang Yesus sendiri ajarkan, dan terapkan pada hidupnya. 

Lalu apa kehendak Bapa yang telah kalian lakukan? tanyalah pada dirimu sendiri.
tidak semua orang yang percaya Yesus mendapatkan keselamatan. Sorga hanya untuk mereka yang benar-benar menjadi seperti yang Bapa, Allah Sang Khalik kehendaki. 

Dan kita terus berusaha untuk sebaik mungkin menjadi orang yang baik menurut Allah Bapa. 

Selamat merenung.
Maafkan kritik pedas yang terlontar.











Sunday, April 16, 2017

Pesakh, Paskah, Idul Adha dan Perjanjian Baru




UJIAN ABRAHAM

Dalam tiga keyakinan besar didunia Yahudi,Kristen dan Islam tersebutlah seorang Nabi yang sering disebut "Bapa dari semua orang percaya" Siapa orang percaya ini tentu orang-orang yang beribadah menyembah satu Tuhan, yakni Allah. Namanya Abram, seorang yang rela meninggalkan tanahnya di ur-Kasdim, di selatan Mesopotamia untuk menuju panggilan Tuhannya, juga janji keturunannya yang seperti Pasir dilaut maupun bintang dilangit.

Abraham, atau Ibrahim seorang yang sangat saleh itu keimanannya diuji oleh Tuhan dengan mengorbankan anaknya sendiri untuk disembelih di Puncak Gunung Moria)*, hingga ketika si anak disembelih Tuhan kemudian menggantikannya dengan domba. Dari situlah Korban ini menjadi Perayaan ibadah di tiga agama besar ini.

*(saking istimewanya tempat ini kemudian dijadikan Temple of Solomon, Bait Allah, tempat berdoa para Nabi, dari Daud sampai  Yesus, Muhammad sendiri menempuh perjalanan menuju Sidratul Muntaha- nya pun disini) 

PESAKH

Pengorbanan Abraham tersebut masuk kedalam ritual "Pesakh" dimana Hari pertama dimulai dari Perayaan makan Roti yang tidak beragi, penyampaian cerita Exodus Keluarnya bangsa Israel dari Mesir, yang dipimpin Nabi Musa, kemudian  Penyembelihan domba paskah, hari esoknya. Lalu memakan domba tersebut sampai habis, sebelum lewat hari setelahnya.

Perayaan ini dilakukan tanggal 14 - 21 bulan Nissan (bulan dalam Kalender Yahudi) 

(Source, Taurat Musa : Leviticus 23:4; Numbers 9:3-5, & 28:16)PASKAH
Umatnya Isa/Yesus yang dikenal dengan umat Kristiani-pun melanjutkan tradisi Pengorbanan Abraham ini, sekaligus untuk mengingat hari Dimana Yesus akan disalibkan, yang kebetulan sama dengan perayaan Pesakh Yahudi.

Yesus sendiri dalam Injil ditulis Perjamuan Malam, terakhirnya yang semakin terkenal setelah Da Vinci Melukisnya (the last supper) sedang merayakan hari roti tidak beragi, menggenapinya dengan meminum cawan berisi anggur dan roti tidak beragi perlambang tubuhnya yang akan disalibkan besok, sebagai pengganti domba yang disembelih oleh umat Yahudi biasanya. Dan tradisi meminum cawan anggur dan roti ini masih dijalankan oleh sebagian besar umat Kristiani untung mengenang Yesus, tentu juga mengenang Abraham.

Tidak ada penanggalan yang tetap untuk Perayaan Paskah bagi umat Kristiani, yang tetap adalah harinya Dimulai dari Rabu Abu, Kamis Putih sampai Jumat Agung, dan ditutup dengan Minggu Paskah. (Meski tidak tetap tanggalnya, namun biasanya selalu didalam ring kalender Paskah Yahudi 14 - 21 bulan Nissan, tinggal mengkonversi ke kalender Masehi)

(Source Injil : Matthew 26:17, Mark 14:12, Luke 22:7)

IDUL ADHA/HARI RAYA QURBAN
Islam sebagai keyakinan terakhir yang bersumber dari sumur yang sama-pun merayakan Pengorbanan Ibrahim ini dalam sebuah perayaan besar bernama Idul Adha, dimana Umat Islam seperti umat Yahudi menyembelih domba atau sapi, sebagai peringatan Ibrahim menyerahkan anakknya kehadapan Allah. Lalu daging kurban ini dibagi rata ke semua orang dalam sebuah masyarakat, tanpa peduli apapun agama, suku, ras, seperti ajaran yang diajarkan Muhammad, Islam sebagai rahmat bagi semua mahkluk.
Idhul Adha, dalam islam dimulai tanggal 10 Dzulhijjah (Kalender Hijriyah), Selain untuk mengingat pengorbanan Ibrahim, juga untuk memulai Ibadah Haji, dari Mina menuju Mekkah.
(Source Quran :  Ash Shaaffaat  ayat 102-107 ; Al Kautsar ayat 2)
Selain perayaan, Paskah sendiri bagi saya adalah bagaimana Yesus/Isa Almasih sebagai seorang Tokoh, guru, panutan yang berpengaruh saat itu, dengan segala kebaikannya dia selalu lembut dalam menyelesaikan semua permasalahan.

Dia meringkas 10 hukum taurat Musa yang terkenal keras itu, dengan konsep kasih, Mengasihi Allah dengan segala ciptaannya, juga tentunya mengasihi sesama manusia, asalkan mampu mengamalkan konsep tersebut pasti tidak akan melanggar Hukum Taurat. Konsep ini yang kemudian oleh gereja disimbolkan sebagai "Salib" yang vertikal hubungannya dengan Tuhan, yang Horizontal hubungannya dengan sesama manusia.

sekitar 700an tahun kemudian, Konsep ini pun dipakai oleh Muhammad, untuk mencintai Tuhan dan mencintai sesama "
Hablumminallah dan Hablumminannas"

Yesus sendiri juga pernah menolong seorang PSK, yang hendak dirajam oleh masyarakat Yahudi waktu itu, dengan membalikkan pernyataan, siapa yang tidak berdosa boleh melakukan hukuman rajam pada wanita pezinah tersebut.

PERJANJIAN BARU
Dalam tradisi Yahudi yang Yesus juga pelajari, jika seorang berdosa harus melaksanakan Korban bakaran sebagai bentuk permintaan maaf kepada Tuhan,  seperti yang pernah dilakukan Yakub ayah dari Yusuf (Genesis 31:54) dan Nabi Musa (Leviticus 4:1-4)

Karena dari sosio politik waktu itu umat Israel tengah dalam penjajahan Romawi, hidup serba berkekurangan, jangankan untuk membeli hewan ternak yang dikorbankan, untuk hidup sehari-hari pun sudah sangat susah. Yesus berani menawar kepada Tuhan, tentu dan dia sendiri yang akan berkorban menjadi korban persembahan kepada Tuhan, dengan disalib.
Pada Perjamuan Terakhir , malam sebelum disalib Yesus memberikan "Perjanjian Baru" itu pada murid-muridnya (Al-Hawariyun)

dalam sebuah nas Injil Lukas dituliskan demikian : "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku."
Demikian juga, setelah makan, Yesus mengambil cangkir anggur dan berkata, Cangkir yang dituangkan bagimu ini adalah Perjanjian baru"
dan perbuatan Yesus ini menawar semua korban ternak tersebut,  hingga manusia tidak perlu menyembelih hewan untuk meminta maaf atas dosa, namun dengan niat yang tulus ungkapkan dosa-dosa itu pada Allah, Sang Khalik. Dia akan mengampuni dosa-dosamu.

Lalu Yesus pun, menjadi seperti wahyu yang diturunkan Kepada Yohanes Pembabtis (Nabi Yahya dalam Islam) 

"dilihatnya Isa lewat, lalu katanya, “Lihatlah Anak Domba Allah"
John 1:38 Demikianlah Pengorbanan Yesus, tokoh yang diramalkan sebagai  Mesias di Jaman para Nabi sebelumnya, juga menjadi Nabi bagi umat Islam, juga dikisahkan sebagai pembawa Jalan yang lurus menuju Allah.  Seperti yang tertulis di Alquran surat Ali Imram Ayat 50-51
Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) daripada Tuhanmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.  (3: 50)

Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus".  (3: 51)Kedatangannya di Akhir Jaman pun dinantikan tiga Agama besar ini, Sebagai Mesias, Juru Selamat, juga Al-Masih yang akan berperang dengan Dajjal di Akhir Jaman.

Dan Perayaan sebagai bukti Keimanan seseorang kepada Allah itu masih berlangsung sampai sekarang, entah Pesakh, Paskah, ataupun Idul Adha.


Selamat Paskah..........
Kleco Wetan, 16 April 2017
Nuwun.