Oleh : Indra Agusta
Ramadhan, bulan suci yang dinanti-nantikan semua umat muslim diseluruh dunia. Ibadah Puasa wajib yang harus dijalankan ini membawa pengaruh sangat besar, pada tampilan med-sos saya, yang berbulan-bulan berisi hujatan, cacian, dukungan, kontra, meng-kafirkan, me-makarkan menjadi adem. santun. dan penuh kelembutan. Ah, ini bulan damai di negara muslim terbesar di Dunia.
Buka bersama, adalah salah satu tradisi yang bisa ditemui disepanjang bulan, intensitasnya akan semakin padat ketika mendekat dengan hari raya Idul Fitri. Hal ini juga menjadi puncak eksistensi warung makan, berbagai promo, teori marketing digelar, juga menjadi awal yang bagus bagi mereka yang ingin membuka warung/cafe, karena membludaknya pengunjung yang ingin berbuka puasa bersama. Menarik memang, ada begitu banyak perputaran ekonomi sepanjang ramadhan.
Lalu ada mereka yang berderma, dari memberikan takjil gratis di jalan-jalan utama, berbuka puasa di pondok pesantren, sampai memberi bantuan kepada pondok anak yatim-piatu dan pondok untuk orang2 tua yang renta.
Pengalaman saya yang hampir 3 tahunan hidup menggelandang dijalanan, setelah sekolah tidak langsung pulang tapi duduk-duduk dengan mereka di jalan, dengan pengamen, pengemis dan kondektur bis/angkuta yang mencari penumpang. Memberikan sudut pandang lain.
Ramadhan bagi mereka juga merupakan surga dunia, dimana omset ngamen-ngemis mereka akan naik drastis, karena banyaknya orang yang tiba-tiba menjadi baik. bapak-bapak kondektur angkot maupun bis dipasar pun demikian, intensitas belanja ibu-ibu yang kepasar naik seiring dengan dekatnya hari raya.
Namun ada secuil nada minor dibalik megahnya Ramadhan, ada semacam batas tipis yang tidak pernah diamati banyak orang. kasta tipis yang mengesankan bahwa mereka anak-anak jalanan ini bukan bagian dari mereka, bapak-bapak tukang becak itu bukan manusia biasa seperti mereka, hanya karena orang-orang yang berderma ini dalam posisi memberi.
Hal ini akan diperparah ketika program bantuan sosial atau berbagi bersama hanyalah sebuah pencitraan, atau aktualisasi pribadi , ajang eksis untuk memamerkan kesantunan mereka. Santun kok pamer, berarti memang bukan santun.
Dan garis ini benar-benar sangat tipis, hanya anak-anak yatim, orang-orang tua jompo yang tahu, atau mereka yang mau merenung lebih dalam akan menemukan ini.
Lalu esok akan berlalu seperti biasanya. Dan anak-anak ini ternyata memang belum dianggap menjadi manusia sepenuhnya.
No comments:
Post a Comment