image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, June 7, 2017

Jalan Sunyi menuju Cahaya



Jalan Sunyi Menuju Cahaya
Oleh : Indra Agusta


Berlalu-lalang anak-anak manusia menggeluti nasibnya, pegawai, berdagang, tani, pengemis, tukang batu, atau tukang ketik seperti saya. Manusia selalu bergerak kearah mana yang dia ingin tuju, berkumpul menjalani kehidupan bersama orang lain, senang, sedih, tertawa, konflik dan berbagai hal yang berkecamuk dalam setiap pribadi manusia. 

Namun dalam dimensi yang lain kita juga tak mungkin menafikkan bahwa sebenarnya kita hidup sendiri, mengalami berbagai hal sendiri, secara penuh hanya diri kita sendiri yang tahu betul siapa ini 'sang jalma' kemana langkah yang dipilih, rintangan, hambatan, sanjungan apa saja yang terjadi didalamnya bagai sebuah perjalanan panjang yang entah bermuara atau tidak, semuanya cenderung sunyi dan gelap.

Seperti saya yang bertemu dengan berbagai macam jalma lain dengan berbagai karakter dan pembawaannya, namun seberapa kadar kejujurannya, munggah-midhunke itu kan yang menjadi software saya sebagai orang Jawa. kalau pembicaraan mereka tinggi ya saya merendah, kalau pembicaraannya merendah bahkan cenderung rendah diri saya yang akan membombong hati mereka supaya tidak kecewa-kecewa amat terhadap hidup. Tapi benarkah saya menjadi diri saya sendiri seutuhnya? tentu tidak. Dan disitulah letak hakikat kesunyian manusia.

Akan selalu ada banyak hal yang disimpan Anak Manusia baik-buruknya, jika ketemu orang tua apa yang kira-kira pas untuk diobrolkan, dengan berbagai gestur dan khazanah dalam benak saya yang mungkin akan mencoba menguak cakrawala pengalaman batin mereka, untuk saya alami dan pahami dalam menjalankan hidup. Tapi bisa juga kita benar-benar dalam pembicaraan hanya basa-basi, basi, yang memang basi, pembicaraan berlabel topeng yang hambar hanya sekedar untuk patut-patut jika bertemu dengan seseorang. Lalu ada kadar obrolan yang sangat mendalam, berat jika bertemu dengan seseorang yang kadar ilmunya mampu kita serap bersama-sama. Dan tetap saja kita tetap tidak bisa sejujur-jujurnya kepada semua orang, Lalu kemanakah arah kejujuran itu?

Seperti semua ketidakjujuran baik kepada orang lain, atau kepada diri sendiri, sikap cenderung memaksakan atau  meng-iyakan orang lain padahal dalam batin kita tidak setuju, secara otomatis akan menumpuk kekalutan, kepenatan, kebuntuan, stuck, dan berbagai ke-absurd-an lainnya. Ujungnya adalah relung-relung kosong dari bilik kamar perbendaharaan kerajaan pribadimu yang paling dalam, yang kemudian meraung-raung meminta dipenuhi. Tapi Apa? Siapa? Kemana? Dimana? 

Demikian lalu manusiai terjebak kepada aliran deras kehidupan yang berbentuk beraneka ragam, mereka mengira dengan segala kesibukan, rekreasi, luapan eksistensi, pemenuhan hasrat material, bisa membunuh rasa kosong itu namun aliran sungai deras tersebut menghanyutkannya untuk semakin kosong, kosong dan kosong.

Barangkali memang hidup selalu lengkap dengan berbagai misterinya, kesunyiannya, namun akhirnya naluri kita tanpa sadar digerakkan oleh sesuatu, kita selalu mencari kepenuhan dalam kekosongan, kelonggaran dalam berbagai kepenatan, kesumpekan, mencari Cahaya dalam kegelapan. 

Cahaya, demikian berbahagianya kita akan cahaya, seusai mati lampu, lilin yang berpendar, atau gempita kembang api yang membuat kita yang "material" jasad dan psikis kita terpenuhi kekosongannya.

Lalu bagaimana dengan hidup? Bagi saya pribadi hidup merupakan kegelapan, benar-benar kegelapan sebagaimana saya benar-benar tidak pernah tahu dilahirkan dikeluarga yang bagaimana, dengan kondisi finansial, struktural yang bagaimana tiba-tiba lahir begitu saja, dan menyitir kata Gie,  "Terimalah, Hadapilah". Demikian saking gelapnya hidup hingga tak ada kesempatan untuk menawar, semuanya mutlak, diterima untuk dihadapi itu saja. titik.

Kegelapan demi kegelapan berikutnya terus menyambar mulai dari masa depan yang tidak jelas, pekerjaan yang tak jelas, kondisi ekonomi yang tidak stabil, pendidikan yang tidak jelas semuanya serba tidak jelas, kalau boleh saya akan mengklaimnya sebagai kegelapan.

Demikian akhirnya menerka-nerka sesuai dengan pengalaman hidup kita yang terus bernjenjang levelnya, untuk meraba-raba bagaimana harus menjalani hidup secara jujur dan seimbang, namun tetap saja akan berujung pada kegelapan, dan disitulah saya lebih mantap untuk mencari Cahaya,  menangkap cahaya-cahaya itu dari mereka yang terpantul cipratan Cahaya, mengumpulkan titik demi titiknya, hingga akhirnya bermuara pada samudera Cahaya diatas Cahaya. Sang Khalik. Tenang, aman rasanya. Seolah saya ingin menceritakan pengalaman ini pada kalian semua, meski kalian tentu punya pengalaman sendiri, kegelapanyna sendiri-sendiri, dan

Akhirnya  ini seperti perjalanan sunyi saya, yang mutlak bisa merasakan akhirnya saya sendiri bersama Cahaya, tidak engkau tidak mereka, karena engkau atau mereka mungkin sudah, atau akan menemukan Cahaya yang tenang itu dalam kalbumu masing masing. Hingga akhirnya larut, dan memendarkan sedikit-demi sedikit cahaya itu, ketenangan, ketentraman itu untuk orang lain, supaya cipratan pantulannya ditemukan orang lain, meski untuk berjumpa dengan Cahaya itu hak mutlaknya Sang Cahaya, kita hanya mengembara, berjalan untuk menelisik semburat warna-Nya. Karena memang ini Jalan Sunyi menuju Cahaya.
Langit timur mulai memerah, anak-anak manusia mulai kembali dari tidurnya.

 

Sukowati, 8 Juni 2017
dalam 'perjumpaan hangat' dengan Sang Cahaya.

 

No comments:

Post a Comment