Oleh : Indra Agusta
Di era modern, dalam berbagai pengamatan saya menemukan fakta bahwa ternyata Seseorang dengan Pendidikan yang tinggi, gelar yang seabrek, kekayaan yang menumpuk, dan berbagai macam predikat materialisme lainnya. tak menjamin seseorang berattitude setinggi pencapaian kasat matanya.
Bisa saja seorang mahasiswa sangat memandang rendah tukang becak, tukang kelontong, bakul sambel tumpang langganan saya hanya karena mereka merasa belajar, bertitel, mengeluarkan uang banyak untuk kuliah, seolah-olah semua orang yang tidak bertitel hanyalah remah-remah, atau sampah yang mereka ludahi.
Atau mentalitas tukang perintah yang ditanam dalam chip sanubari mereka, semenjak mereka sekolah hanya dididik untuk menerima tugas, mengerjakan tugas, menerima soal dsb, hingga ketika mereka sudah purna diperintah, himpitan tumpukan emosi, kepenatan dan kurangnya kebebasan menggiring mereka untuk seenak mereka memerintah orang-orang yang menurut mereka tidak layak dihargai, dihormati dsb.
Dalam hal ini bolehkah saya berpendapat kalau institusi pendidikan ternyata gagal mendidik anak-anak supaya berkarakter lebih baik, mengerti adab, unggah-ungguh, tahu dengan siapa dia berbicara, belajar memilah-milah kata, belajar empan-papan.
Atau apakah ini salah si anak? anak-anak yang dari kecil mungkin sangat polos hingga mereka menelan mentah apapun yang disampaikan guru, dari sejak kecil sampai menuju dewasa.
Atau fenomena apa ini? ada banyak kekalutan dan kekosongan anak-anak itu, semakin tua mereka tidak menjadi semakin dewasa dalam bersikap dan berpikir, justru malah seperti anak kecil yang dibuai oleh tombol refresh sosmed, atau kebuntuan kita yang mengantarkan kebahagiaan kita pada memutar fidget spinnner, bahkan menginstal aplikasi fidget spinner di smartphone yang ternyata tidak membuat kita menjadi smart user.
Belajar Ngajeni adalah hal yang ingin saya utarakan disini, dimana anak-anak sekarang hampir kehilangan sama sekali sikap ngajeni, ngajeni berasal dari kata Aji, Ngajeni itu hakikatnya adalah menghargai orang lain, menghormati Aji-nya orang lain.
dan Aji ini tidak harus selalu punya titel, tidak selalu harus punya kekuasaan, kekayaan, maupun jabatan, tapi Aji ini bisa punya kewaskitaan, punya ilmu, kebijaksanaan, atau talenta-talenta yang diberikan Tuhan, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mampu membuka "tabir-tabir Tuhan" ini.
Disini harusnya sikap setiap orang kepada orang lain adalah membuka dirinya, kalau bisa menemukan apa yang menjadi Aji dari seseorang. Dan pasti semua orang punya Aji-nya sendiri-sendiri, tiap orang tentu akan berbeda, dan pengenalan akan Aji seseorang-pun kadang kita harus menggali terus software kita.
Jika dalam bercakap dengan seseorang kita bahkan tidak menemukan sari-pati apapun dari orang tersebut, jangan terburu-buru menjudge bahwa orang tersebut tidak ada gunanya, dan halal untuk di ejek, dihina, disepelekan, tapi siapa tahu ternyata software , ilmu kita yang belum compatible untuk membuka ilmunya.
Disini harusnya sikap setiap orang kepada orang lain adalah membuka dirinya, kalau bisa menemukan apa yang menjadi Aji dari seseorang. Dan pasti semua orang punya Aji-nya sendiri-sendiri, tiap orang tentu akan berbeda, dan pengenalan akan Aji seseorang-pun kadang kita harus menggali terus software kita.
Jika dalam bercakap dengan seseorang kita bahkan tidak menemukan sari-pati apapun dari orang tersebut, jangan terburu-buru menjudge bahwa orang tersebut tidak ada gunanya, dan halal untuk di ejek, dihina, disepelekan, tapi siapa tahu ternyata software , ilmu kita yang belum compatible untuk membuka ilmunya.
Maka semua orang harus berhati-hati dalam menilai seseorang, melihat seseorang bukan hanya dari luarnya, tapi juga menemukan isinya. sikap seperti ini yang harusnya diajarkan pada anak didik.
Atau kita, saya, sebagai sesama orang yang belajar dan terus belajar dibelantara ilmu, harus menuai kebuntuan, kekosongan, yang berujung pada luapan-luapan emosi yang sebenarnya tidak perlu.
Sukowati, 23 Agustus 2017
No comments:
Post a Comment