Oleh : Indra Agusta
Kekristenan sebagai sebuah ajaran bahkan menjadi gaya hidup bagi banyak orang tentu tak lepas dari sosok Yesus, Isa Almasih. Tokoh sentral yang berani mendobrak zaman, tokoh yang anti-mainstream menjebol beberapa liturgi keagamaan yahudi yang dinilai memberatkan masyarakat, terlepas memang masyarakat juga sudah susah karena penjajahan Romawi.
Berabad-abad berikutnya kekristenan dilegal-kan menjadi agama kerajaan, bahkan dianut sampai sekarang oleh berjuta-juta penduduk dunia. Dari mereka ada yang hanya 'berlabel' kristen, ikut aktif dalam semua kegiatan di gereja biar terlihat aktivis, atau benar-benar memahami cara hidup Yesus, bertingkahlaku, bertindak seperti yang Yesus contohkan, dan terus menggalinya dalam berbagai pemikiran termasuk dalam pemikiran spiritual.
Jaman terus berlalu seperti tidak ada gading yang tak retak maka kekristenan pun pernah mengalami masa-masa gelap, dari perburuan kaum bidah, skisma, inkuisisi sampai Perang Salib. semua berjubah kristen namun didalam hatinya sama sekali tidak ada belas kasih, yang ada hanyalah nafsu kekuasaan. Keserakahan.
Mereka pasukan templar, dan pembunuh-pembunuh ini juga menggunakan simbol Tuhan, ayat-ayat alkitab, diplintir untuk doktrin pembenar tindakan mereka, juga janji-janji pengakuan nampaknya hanya sebagai legitimasi saja.
Lalu apakah kekristenan hanya tekstual? dimanakah menjadi kristen secara substansial?
Menjadi kristen sebagai esensi gaya hidup, menjadi kristen sebagai wujud kasih yang pernah Yesus pancarkan untuk diteruskan kita yang mengaku sebagai pengikut setianya. ?
Dulu ketika Pembangunan Waduk Kedungombo, 37 Desa itu mau ditenggelamkan, Romo Mangun, Kiai Hamam Jafar, Gus Dur, Cak Nun, Yayak Yatmaka semua ikut terlibat didalam aksi -kontra terhadap rezim orde baru.
Penenggelaman paksa ini mau tidak mau berdampak pada masyarakat sekitar, mereka semua ini penuh welas asih membaktikan dirinya untuk membantu masyarakat yang menjadi korban penenggelaman, berhadapan dengan aparat waktu itu, untuk memasukkan bantuan kedalam waduk.
Jika hanya tekstual mungkin hanya Romo Mangun, jemaat gereja dan mahasiswa yang kristen yang benar-benar menjadi kristen. Padahal inti dari mengikut Yesus soal welas asih dan kemanusiaan, tapi bukankah tokoh lain juga seperti itu,? sama seperti Yesus, mereka tidak mengaku kristen, tapi tingkahnya, sikapnya sangat kristen karena sangat penuh welas asih pada sesama. Karena itu juga yang diajarkan Nabi Muhammad semasa hidup, menjadi Islam harus rahmatanlil'alamin.
Hari ini gaung-gaung kebhinekaan, Pancasila, NKRI diunggah lagi meski saya tidak begitu setuju dengan penggunaan 'saya' karena lebih baik menggunakan 'kita' , nuansa kolektifnya akan lebih terasa menurut saya.
Baik memang menjadikan hari libur nasional, upacara, mengingatkan kembali falsafah dan Dasar negara. Setelah berbulan-bulan temperatur persatuan kita retak karena pemilihan kepala daerah, baik ditingkat kabupaten sampai provinsi, sampai negara tahun-tahun ke depan.
Tapi balik seperti menjadi kristen tadi, perlu disadari juga apakah orang-orang ini hanya mengaku-ngaku saja, saya ini Kristen lho, saya ini pengikut Yesus lho, saya ini penuh belas kasih lho, akankah lebih baik jika mereka benar-benar mengikut Yesus, menjadi manfaat untuk keluarganya, teman-temannya, lingkungannya, bahkan untuk bangsa dan negaranya, tidak hanya terjebak sentimen saya kristen akan membela yang kristen saja, dan paradigma sempit lainnya, karena hakikatnya akan berujung pada hilangnya keluasan berpikir.
Demikian pula harus menyadari pula bahwa ada mereka yang secara substansial kristen, semua tingkah lakunya mencontoh Yesus, tapi mereka tidak pernah, bahkan sengaja ditutupi bagaimana caranya agar orang lain tidak perlu tahu bahwa dia beragama apa, identitasnya apa.
Seperti guru saya Emha Ainun Najib, menekankan "bahwa yang penting output nya kebaikan, kebersamaan, kemanusiaan, manfaat. Masalah kebenaran itu letaknya didapur, tidak perlu orang lain tau, tidak perlu didebatkan apalagi dipaksakan. "
Dan yang paling saya tahu Yesus tidak pernah memamerkan segala mujizat yang dia punyai, dia diam saja, menolong sesama ya menolong saja, dan sangat rendah hati, seberapa tinggi karunia Tuhan yang diwariskan ke dia, bahkan sampai mampu menghidupkan orang mati, dia tetap rendah hati, tetap penuh welas asih, menolong orang tanpa peduli latar belakangnya, tetap sederhana.
Demikian pula dengan Pancasila, saya juga tidak perlu berkoar-koar bahwa saya seorang Pancasilais, Falsafah itu bagi saya substansial. bagaimana mengamalkan 5 sila di kehidupan sehari-hari.
untuk tetap Ber-Tuhan, punya welas asih dan kemanusiaan, menjaga persatuan bukan menambah sekam keretakan, musyawarah nyakruk ngobrol bareng supaya tidak menambah keruwetan bangsa yang sakit ini, lalu Adil.
lalu Perlukah seorang yang pancasilais memamerkan dirinya seorang pancasilais?
tentu jawabannya akan berbeda-beda.
Bagi saya sendiri tidak perlu karena ini hanya sekedar euforia, obor-obor blarak, latah mayoritas dan Dilegalkan, padahal hampir setiap hari ketika saya bertemu kawan saya obrolan tentang negara pasti mengisi ruang-ruang diskusi saya, dan kecintaan saya terhadap bangsa ini tidak perlu saya ungkapkan, karena saya lahir, makan, hidup, bekerja, punya keluarga, di tanah ini kok, betapa jahatnya saya jika saya tidak mencintai Tanah Air, tentu dengan Dasar Negaranya wong saya saja 100% hidup didalamnya.
Tekstual akhirnya kurang lengkap tanpa substansial.
Lantas, Bagaimana mereka yang mengeruk kekayaan negeri ini, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan keluarganya, perusahaannya, golongannya, hari ini mereka juga mengaku Pancasila lho, tapi secara substansial mereka Makar terhadap Pancasila, terhadap Negara. Dan negara juga perlu menindak tegas mereka yang substansial melawan Pancasila!
Nuwun.
Kleco Wetan, 1 Juni 2017
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments:
Post a Comment