image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Thursday, June 29, 2017

Bakdan, perayaan cinta kasih untuk semua mahkluk

Oleh : Indra Agusta

Gegap gempita takbir mulai berkumandang dari pengeras suara di masjid-masjid di kampungku. Megah menjelma dalam berbagai lantunan ucapan syukur dengan mengagunkan kebesaran-Nya. Anak-anak mulai berjalan mengelilingi kampung dengan menggunakan oncor (obor dari bambu) sambil meneriakkan Allahu Akbar, Tuhan yang Maha Besar. 

Saya memang bukan seorang pengikut Muhammad, tapi saya selalu senang melihat anak-anak kecil itu berlari kecil, atau bercanda dengan kawan sebayanya merayakan Bakdan. Atau sujud-sujud tulus keluarga besar saya yang berduyun-duyun pergi kemasjid terdekat.

Idul Fitri, atau Bakdan istilah didesa kami, selalu menawarkan cerita tersendiri. Selain seperti yang saya tuliskan kemarin bahwa ibadah puasa ternyata efektif menekan ujaran kebencian di media sosial.

Hari kedua Idul Fitri sudah menjadi tradisi di desa kami untuk berbondong-bondong datang ke masjid mengikuti tradisi Halal-bihalal, disitu tumpek-blek semua orang dari semua usia, laki dan perempuan  dan tidak hanya umat Islam, namun penganut keyakinan lain seperti saya yang kristen, hindhu, beberapa orang tua yang memilih jalan Kejawen juga ikut datang. Memang ini bagi saya adalah perayaan cinta-kasih untuk semua Mahkluk. 

Bagaimana tidak, saya bisa bertatap muka dengan seluruh penduduk desa, dengan kerabat-kerabat yang merantau dan jarang bertemu. kami bersalaman satu sama lain, saling minta maaf dan memaafkan.

Ada perasaan bercampur baur yang terlukis, senyum bahkan gelak tawa lepas dari mereka yang berkelakar, hingga tangis yang pecah karena ada dari keluarga mereka yang sudah dipundhut lebih dulu oleh Sang Khalik.

Namun semuanya berjalan beriringan penuh kedamaian, dan saya tidak menemukan adanya permusuhan seperti yang didengung-dengungkan media sosial. Desa kami rukun satu dengan yang lain.

Perayaan berikutnya saya bersama keluarga mengunjungi makam ke orang-orang yang sudah mendahului, meski ada beberapa orang yang tidak setuju dengan prosesi nyekar ini. Tapi hal ini bagi keluarga kami merupakan tradisi wajib, untuk mengenang jasa-jasa leluhur dan mengajari anak-anak kecil supaya tahu bagaimana menghormati orang tua, meskipun sudah meninggal.

Lalu mengunjungi orang-orang yang sudah sepuh, meminta restu dari mereka supaya diberi wejangan untuk menghadapi hidup, lebih lanjut adalah melanjutkan tradisi tutur-tutur. Bercerita soal sejarah keluarga dan masa lalu, hal-hal yang hanya orang-orang tua itu tahu, dan kita menimba ilmu nya untuk dijadikan memori supaya kelak kita juga bisa menceritakan sejarah ini kepada generasi penerus. Mengambil yang baik, dan melupakan yang buruk, mikul dhuwur , mendem jero.
Makanan tentu tidak lepas dari perayaan ini, Makan adalah syarat wajib jika berkunjung ke semua keluarga, dan siap-siap overload kenyang.

hal-hal yang lain selain Tradisi, nostalgia tentu adalah pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan yang beraneka macam, dari urusan sekolah, pekerjaan sampai jodoh. Tentu dengan berbagai sudut pandang dan standar tiap-tiap orang tua berbeda, Dan saya sebagai yang masih timur harus pintar-pintar menangkap nuansa pembicaraan, supaya jawaban yang saya lontarkan berkenan di hati orang-orang tua.

Seperti masalah jodoh, ada yang saya jawab dengan guyonan, ada yang jawab jujur, ada yang saya jawab dengan sasmita-sasmita tertentu. hal-hal seperti ini yang biasanya ingin diturunkan orang tua kepada anak-anaknya yang diperantauan. Apalagi yang dikota, biasanya software rasa-pangrasa  ini ditutupi oleh logika kaku karena orang-orang modern juga tidak mengenal software ini. mereka tidak tahu lagi mana yang kelakar, yang serius, mana yang mancing, mana yang mbombong, mana yang pasemon dll.

Atau masalah pekerjaan yang bisa saya jawab kelakar dengan guyon "alah kerja asal-asalan cuman mburuh" atau ketemu orang serius yang saya bisa menjawabnya dengan kritik pedas bahwa hidup tidak sekedar asal kaya, asal sugih material tapi juga psikis dan spiritual, sementara banyak dari orang tua hanya berpatok pada pencapaian Material, tanpa pencapaian psikis apalagi spiritual. dialektika kehidupan terus berlanjut.

Hari ini Idul Fitri sudah berlalu, namun cerita-cerita tentang hangatnya Bakdan masih dilanjutkan yang kelak nuansa ini akan menjadi magnet yang sangat besar, untuk menarik mereka yang jauh diperantauan untuk kembali ke jatidirinya, ke desanya, tempat dimana siapa sejatinya dirinya.

Dan saya sebagai orang yang berada dijajaran penunggu rumah, tetap berjalan dikesunyiannya, tanpa ada apapun cerita tentang perantauan, meski bukan berarti tidak mengalami  luasnya kehidupan.

Mereka yang pergi akan menyimpan kenangan kampung halaman di pusara ingatan mereka dan menikmati rasa kangen tersebut.

Mereka yang dirumah, akan menyimpan kerinduannya pada kepulangan mereka yang merantau. 

Demikian getaran-getaran tersebut berpendar, dan dipendarkan, sebagai bukti cinta-Nya kepada hambanya, dan cinta hamba dengan sesama hambanya, sesama mahkluk.



Kleco Wetan, 
Jumat Legi, 5 Syawal 1438 Hijriah.

Nuwun.







No comments:

Post a Comment