image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Thursday, December 31, 2020

2020 : bertahan melawan kematian

 

Kematian, sebuah hal yang ditakutkan banyak orang karena dibalik peristiwanya rasa perpisahan terasa sangat dalam, gelap dan mencekam. Kabar-kabar yang tersebar kemudian juga membolak-balikkan hati mereka yang sedang dalam lingkar edar dekat dengan sang jalma. Betapa ketakutan akan berhentinya nafas, kerongkongan yang tersengal, serta tubuh yang mengejang hebat setiap detiknya adalah lenguh abadi yang pasti dialami.

Tetapi bagaimana dengan mengakhiri hidup?

Menjemput mati itu sendiri, seni yang butuh keberanian sangat besar kata kawanku. Mengambil alih putusan hidup melampaui ketakutan itu sendiri, dengan lantang menceraikan jasad dari ruh. Dari surau dan media kabar kemudian terdengar isak tangis pilu, mempertanyakan tanya yang sudah terlambat sama sekali.

Bukankah tahun ini adalah tahun kematian? Atau kematianlah yang menjadi kala?

Mahkluk asing datang menghentikan semua roda manusia, mencerabut segala rezeki, lalu perlahan mengenalkan kita pada kematian yang angkanya terus naik. Orang-orang yang bejibaku didalamnya juga tak luput dari maut. Tapi kita belajar mengalami, dan ini mahal entah berapa ratus tahun lagi manusia diajak untuk merasakan sesuatu secara kolektif seluruh dunia. Lalu kita cerna lagi respon masyarakat, tokoh dan kebijakan penguasa wilayah terhadap mahkluk asing ini.

Kematian menjadi sangat dekat, beberapa kawan dekat berpulang, juga diambilnya banyak orang-orang sepuh yang menjangkepi kehidupan itu sendiri. Tidak ada jaman baru, dunia yang begini-begini saja, proses pertumbuhan segera berlangsung, tunas baru tumbuh, dan raksasa harus lapuk demi memberikan ruang bagi yang baru untuk bersemi. Dialektika jaman kemudian membawa manusia pada pengalaman lain yang akan mengubah banyak hal di masa mendatang.

Kegamangan hidup, kewarasan ditengah risau-ruwetnya jalan nasib kerap menghantarkan anak manusia kepada kebisuan, juga perasaan enggan dan menutupi yang berujung pada kematian ekspresi. Berapa yang sangat biasa menerima kepahitan akhirnya menjadi mayat yang hidup?

Mereka yang tiba-tiba menjadi dingin, pragmatis bahkan sangat berfikir pendek. Hantu-hantu kecemasan, pilu luka, sayatan batin masa lalu, juga realitas kabur di masa kini menjadikan anak manusia menjadi hambar ruang hidupnya, segala sesuatu diperbuat hanya untuk melanjutkan hidup, mengendapkan pundi-pundi yang katupnya melebar karena kisruh keluarga, sanak-famili atau hubungan yang tidak baik.

Kematian menerka siapa saja, membuat yang hidup menjadi mati, dan membuat mereka yang mati semasa hidup menjadi mahkluk buas seperti binatang yang hanya berhenti kepada fantasi tapi melupakan esensi inti manusia, yaitu menjadi manusia itu sendiri. Manusia yang secara utuh, punya gairah, empati, simpati, rahsa, emosi, akal, karep,  dan beragam aktualisasi intuitif sebagai Sapiens. Mereka mengambil tujuan hidup, dan membawa tujuan tersebut sebagai arah perjalanan. Dan absurd bagi mereka yang kehilangannya.

Segalanya terpenuhi, tercapai ambisinya tapi kemana? Hidup lalu kosong karena tidak pernah tahu kemana dan apa yang sebenar-benarnya dicari. Jalan manusia kemudian menyusuri lorong-lorong waktu itu semakin gelap, semakin gelap.

Deru dan nyaring bising kota-kota disinggahi dengan hati kosong. Entah kemana lagi, asalkan tidak dirumah. Rumah? Dimana sebenarnya rumah anak manusia, apakah dibawah genting usang dengan tembok yang nyaris beku seperti kebekuan obrolan didalamnya? Rumah justru menjelma pada sosok-sosok yang kepadanya pipi menjadi merah dan degup-debar kian getar? Pada wajah yang panas dan mata yang nanar karena menahan air tumpah oleh ucapan syukur.

Angin gelap mengantarkan anak manusia pada kepulangan, kepulangannya yang kilat pada kesejatian batal, ditampar oleh mereka yang ingin dikaruniai hidup. Melintas kembali dalam langit yang masih gelap dan kaki yang terus mencari.

Lalu ruang-ruang sunyi hadir membawa kelegaan, membawa diorama sejumlah berkah. Seutas kapas yang digunakan anak manusia untuk meletakkan kepalanya. Ribuan tahun matanya tak pernah tertidur, dan kepalanya hanya sibuk memberi tumpangan. Santuary itu penuh dengan perenungan, menata ulang banyak sekali relasi, dan mempertemukan hati kepada hati. Seperti cermin besar dengan meja dan lentera di dalamnya.

Ya, lentera itu, semacam sinar sepercik untuk terus berbicara tentang makna hidup dan didandaninya bunga bakung. Pada pelukan hangat, kecup bibir yang mesra. Anak manusia hidup dalam jala-jala kalbu, kebekuannya pecah, sekaligus mengingatkan kembali banyaknya darah yang tercecer karena luka-luka yang tak pernah kering darimasa lalu.

Dalam setiap genggam, tatap dan derai cemara udang dari langit-langit Ndalem duka itu mengalir, dan kebahagiaan tergenggam, erat. Padamu kuucapkan terimakasih orang-orang baik yang terus hadir dikala malam gelap.

ah, kini aku lengkap sudah..

Selamat memasuki lingkar edar matahari yang baru,


 

Yogyakarta, 31 Desember 2020

Indra ‘Jalma’ Agusta

Monday, December 28, 2020

Soto Ayam Lempuyangan

Pukul setengah tiga pagi, lipatan waktu menukik tajam ke edar pertama kali menyusuri sudut-sudut sepi sekitar stasiun ini. Banyak sekali memang yang berubah di malam sedini ini. Aroma sampah sudah tidak begitu terasa, tak ada lagi penjaja rokok ketengan dan air mineral, tukang ojek masih tetap terkantuk-kantuk di tempat mangkalnya, yang lainnya sibuk bercengkrama di emperan warung 24 jam yang penjual yang menahan kantuk yang sama. 

 Sudut timur dibawah jembatan layang sekarang, penuh dengan tukang ojek digital. Tempat yang dulu tidak akan mungkin demikian sepinya karena sering dijadikan ajang nongkrong dan tawuran anak muda. Segala perkelahian, cekcok karena urusan percintaan hingga mencorat-coret tembok sebagai aksi kebanggaan.

Pasar kembang kini juga sudah lengang, tak tampak lagi sampai di jalan besar wanita-wanita yang bergelut dengan hidupnya, hingga tubuh satu-satunya yang dimiliki dijadikan komoditas untuk dirinya sendiri. Sebuah pilihan-pilihan sulit yang mengunci manusia, yang nasib menggariskannya juga jauh pintu keluar dari genggam. 

Teracung genggam tangannya, seorang lelaki tua di dekat pintu keluar, bertopi warna orange lusuh, kulit yang legam terpanggang matahari menyiratkan kebuasan hidup yang dialaminya, juga rambut memutih yang sama sekali tak terawat. Matanya tertunduk ketika bertemu mata orang-orang yang dengan tangan diatas melemparkan koin-koin ke bekas kaleng cat yang tak kalah rapuh. 

Sekilas aku berani lagi menatap mata itu, dua biji mata yang kalah oleh kahanan, entah mengalami kepahitan hidup seperti apa kegetiran dan kesedihan tampak, hingga akhirnya menyerah. 

Lalu lalang seperti tiada henti kepergian-kepulangan nampak seperti tarian mesra sepasang kekasih yang bahagia, pekerja harian nampak lebih sigap meskipun tetap saja tak mungkin terlepas dari suasana kebosanan menjalankan rutinitas. 

Di depan pintu keluar kuli panggul adalah pekerjaan yang tak pernah hilang sejak pertama kali aku kesini, mereka yang dengan segala cara menawarkan fisik dan kekuatan mereka untuk membawakan barang sekedar ke pintu taxi atau mobil keluarga yang sudah menunggu, atau bagai gayung bersambut kemudian dioper ke tukang becak yang sudah bekerja sama jika ingin segera bergeser ke penginapan atau tujuan. 

Orkestrasi semarak nampak bagai dendang lagu Iwan Fals dari pengamen. Pengamen yang seorang anak, lelaki, sandalnya swallow biru, separoh diikat dengan tali rafia ujungnya, persis seperti nafas hidupnya yang tersengal, putus-putus menjalani nasib.

Matanya sangat tajam, bahkan penuh kemarahan, mungkin tersengat oleh bentrokan keadaan setiap harinya. Dengan gitar triplek sederhana yang juga berwarna biru, stangnya sudah melengkup di strap pada fret ke-5 menggunakan pensil yang diberi karet supaya kunci-kunci nada jauh lebih empuk di tangan yang sudah kumal karena nasib. 

Sambil menyeruput soto ayam di tikar yang sudah buram seperti spanduk lesehan, seorang bapak menunggu kereta bersama anaknya yang masih kecil. Anak kecil pengamen ini hanya memandangi dari kejauhan, kerongkongannya kelu akan kenikmatan soto kuah, namun recehan yang dia dapat tak cukup untuk membeli. Anak kecil pengamen ini pergi memutar lagi deretan ruko di depan stasiun ini. 

Satu demi satu, keping demi keping didapatkan diwadahi bungkus plastik biru relaxa yang entah dapat darimana. Celana jeans-nya sudah robek, sama mungkin dengan luka di hatinya yang tiada terkira sayatan-sayatannya. 

Sementara setiap sayatan ayam di soto bapak tadi disuapkan perlahan ke mulut sang anak, satu demi satu tampak sedikit kesusahan namun akhirnya tertelan juga. Sesendok kuah soto dibenamkan lagi ke mulut sang anak. Seperti udara kasih-kasih orang tua kepada anaknya, di ruko sebelahnya anak pengamen ini terus bernyanyi, bapaknya bukan orang tua, tetapi udara-udara panas dan bising dari kereta inilah orangtuanya, yang kasihnya meneduhi disetiap langkahnya. 

Jauh jalan yang harus kau tempuh, mungkin samar, bahkan mungkin gelap 

Kereta menuju timur sudah datang, dengan tergesa berniat membeli semangkuk soto tadi, tapi ini waktunya pulang kembali ke asalnya. Sambil menahan lapar, berharap kereta akan ramai dan banyak orang yang akan memberikan rejeki kepadanya, sambil menelan ludah dia menyiapkan lagi lagu-lagunya. 

Duduk sini nak, dekat pada bapak, Engkau lelaki kelak sendiri.... 

Dan kereta tidak begitu ramai, jatah untuk rokok polsuska sudah diberi, kesempatan mengamen digerbong selesai, di dekat kamar mandi antar persambungan gerbong, anak kecil ini menghitung recehannya, keping demi keping berharap masih ada sisa untuk menyambung hidup dirumah, diam-diam memberikan separuh lebih hasilnya untuk rumah, dan tentu semangkuk soto ayam. 

Namun semuanya tak sempat dimilikinya, karena terburu dipalak preman stasiun berikutnya. Lapar makin mendera, ingin melawan tapi kalah tua. 

Lelaki di warung kopi berjaket kulit, kumisnya tebal mirip Gombloh mengamitku. 

“Sini-sini dek, kata preman yang lain, sudah makan?” 
“belum, mau makan malah dipalak ten mrika” 
“Yu, soto ayam satu,” sambil tangannya mengacung pada lelaki necis yang berdiri tak jauh dari warung, lelaki inilah yang memalak hasil ngamen anak kecil. Lalu uangnya dikembalikan. 

 “Besok lagi kalo ngamen di daerah sini, bilang kamu anakku, namaku Jono, wes pokoe ngko aman.. ” 

Delapan belas tahun berlalu, kereta api sudah semakin bersih keadaannya dan lepas dari preman. Pak Jono entah kemana. Anak kecil pengamen ini kembali ke stasiun ini, dengan nasib yang jauh berbeda, memesan semangkuk soto ayam, yang dibalut dengan kelopak mata yang pedas karena waktu menggiringnya kepada kenangan, untuk mengucap syukur dan berucap sabar.

Lempuyangan, 26 Desember 2020 
I. Agusta

Wednesday, December 2, 2020

laguku?

Lagu-lagu seperti abadi di alam berfikir Jalma. Meskipun pelantun, penggubah maupun pembuatnya sudah bosan bahkan lupa.
.
Pendar ingat itu yang kemudian jadi memori mendalam bagi kita. Tema-suara dari sebuah peristiwa penting yang dengan kuat kita genggam supaya tidak ada dalih untuk membiarkannya hilang. 
.
Lihatlah semua lagu mendapatkan pendengarnya, setiap pertemuan menjumpai peluk insan yang berdendang.
.
Lagu kemudian menjadi tonggak waktu, ada yang kemudian berlalu, ada yang tetap tinggal. Dan banyak orang yang mencecap kenikmatan kata dan nada atas berartinya sebuah romansa.
.
Panggung-panggung riuh, dalam kaca mata dan mata berkaca-kaca, lihat itu anak manusia takut berlari, dan bertahan menggenggam kebaikan dan kebahagiaan yang terlewat.
.
Apakah kamu laguku selanjutnya?.
.
Sepasang mata itu memejam, dalam genggam, doa-doa akan waktu bermuara di ranjang suci Tuhan.
.
.
Indra Agusta 
Yogyakarta, 1 Desember 2020
#agustaisme

Thursday, August 13, 2020

Rumah ke Rumah

Rekamam ketika sebelum pandemi anak manusia minggat pergi ke rumah dan banyak lagi rumah. Ketika rumah sudah tak lagi menjadi rumah dari rumah yang diimpikan, dan didambakan. 

Tuesday, July 28, 2020

Matahari dan kehilanganmu,

Anak manusia kini kehilangan segalanya, kalau sampai kehilangan cinta dari dalam dirinya sendiri, manusia bisa apa selain jadi buih, meskipun tiada sesal, selain menerima banyak kemungkinan dengan keterbatasan ruang.

Ruang-ruang terdalam yang dimilikinya sendiri, yang terhidupi dari cinta itu sendiri, bersama sedih juga hati yang patah, namun cawan-Nya penuh berisi kejujuran sekaligus kelegaan. Dalam setiap keputusan, langit selalu menjadi pisau, dan apalagi yang lebih mahal selain menjadi diri, dan diri kemudian kehilangan dirinya, lagi.

Bahagia rasanya, dan segala rahsa tersampaikan dengan baik, karena rahsa pula yang selama ini membuat bertahan, tenggelam dalam samudera peluk, dan kaki-kaki yang duduk bersimpuh di bibir pantai, angin sepoi, serta hilangnya rasa cemas, dimana sungai cinta mengalir bersemi. Dibawah alirannya menghijau tumbuh subur pohon-pohon harap, dan tebing keyakinan dan memancar kembali kebun-kebun subur Tanah Tuhan. 

Jalma menitipkan kembali hujan kepada awan-awan, dan semua memori yang tergenang dalam kenang,

Aku dan bayangan tentangmu duduk diatas batu di pinggir sungai itu, menyaksikan betapa kebahagiaan tersembul seperti perahu berwarna merah muda dengan lunas kembang diujungnya, kecupan bibirmu di malam itu, atau kita yang tertidur bersama, dalam pelukan yang hangat dan kecupan di kening, seperti membiarkan malam berlalu untuk selamanya. 

Kepada pelukku, lelap tidurmu tak pernah membohongi itu, ada ketenangan yang memancar,
lalu dalam mimpi, kita membicarakan tentang ingatan dan harap, segalanya dalam bunga teratai yang mengembang di dalam mimpi panjang.  Lalu kau menampik segala, dan hujan deras muram mengucur diseluruh jiwa, seperti hilang diri.. 

Maka tiada lagi yang terucap, begitupun soal harap, awannya jadi mendung, sementara bayangan tentangmu sirna dalam riak banawa sekar, aku melukisnya dalam genggam, bahwa tiada kebahagiaan yang sendiri, namun rahsa bisa disimpan rapat

Gelombang laut diselatan menawarkan banyak guncangan, aku sadar betul kenyataannya, aku terima, berirama seperti tunas cinta yang sedang mekar, dan tiada duka, selain memupus rasa bahagia, dan menyimpan sendiri rahsanya bersama Alina. 

Senja-senja di tanah Tuhan mengingatkan kembali bahwa manusia menari-nari bersama bunga, namun iramanya mungkin berubah begitu nada lain tercipta, anak manusia menyimpan rapat-rapat senja itu, meski pantulannya seperti riak-riak sungai yang hendak diluapkan kepada siapa saja

Menyimpan memang bukan sifat dari bunga cinta, begitu anak manusia menyimpannya, sinar-sinar kemilauan menerobos dari dinding rumahmu yang lapuk, pecah kembali rasa senang sekaligus sedihnya,

Bilamana langit tak ubahnya adalah kanvas yang terwarnai sinarnya,

Anak manusia tidak perlu diajari membenci, dan tak perlu membuatnya benci jika  engkau menginginkannya agar pergi, cukup menyitirnya agar menyimpan bunga-bunga itu rapat didalam gubuk pertapaannya, dan didalam kesunyiannya, dalam tangis dia akan menari bersama bayangmu, dalam nada sendu dan nada-nada minor yang berlarian tak berkesudahan.

Anak manusia bukan buih, lalu memunguti bunga-bunga jatuh, tiada pengharapan dan keyakinan, namun tetap menyimpan sendiri bunga yang koyak, mendekap sendiri kepiluannya, sebagai alasan bahwa dia bukan buih yang kehilangan dirinya, terus berharap bunga-bunga itu mekar mewangi di dalam biliknya sendiri.

Ah, muara Sungai-sungai menuju pantai menjadi tenang Padma, gemilang sinar memantulkan segala keindahan dibalik diam, anak manusia tidur lelap mendekap bunga di tangan kanannya, dan tentramnya menjelma menjadi mimpi panjang tentang sebuah pondasi kebahagiaan yang kini terenggut karena duka mendalam, sangat dalam jauh diluar kekuatan anak manusia untuk mengatasinya

Sebersit ingin menenggelamkan diri lagi ke laut, namun lihatlah cahaya kasih-Nya begitu terang, pantulan dari riak-riak mengkilat putih, dan cahaya itu, cahaya yang turun bersama temaram, menggedor-nggedor kalbu kepada bisik rindu juga pilu yang tajam mendalam.. 

Terimakasih, sudah memaksaku mencintaimu sepenuhnya.... 
Sepenuhnya...
Padma, ~




Ruang Tapa, 28 Juli 2020
Jalma

Monday, July 27, 2020

Kamar Gelap

Anak manusia duduk meratapi nasibnya, ketika menjelang senja hari-hari semakin berat. Kepala seperti diremuk lagi dan lagi, pada harapan anak manusia menumpu, disitu pula harapan apakah layu?

Anak manusia menikmati ulang-alik cintanya, semua terus bergerak mengitari edar matahari, sayap-sayapnya patah terseok oleh taifun menghantam sebuah batu besar di tanah makam impian.

Hatinya sangat sakit, terluka batinnya sangat dalam, betapa apa yang menjadi harapan anak manusia kini tiada lagi, rahsa yang bersemi menjelma menjadi hujan deras, kuyup, menggigilkan badan, yang setiap taburan airnya. 

Gontai, seperti kehilangan arah, kemana dan apalagi yang hendak dituju, anak manusia tersesat dalam kepedihannya, matanya kosong melihat kamar gelap, entah segalanya menjadi seperti gelap, tak bersemangat, kelu. 

Anak manusia tak kuasa lagi menahan banyak gejolak batinnya, segala kepenatan memuncaki ruang pikirannya, 

Seperti menjadi lengkap penolakan demi penolakan yang membunuh perlahan anak manusia, cahaya  meredup berpindah ke padang sabana gelap kaki manusia, sendirian, kedinginan, gelap.. 

Dimana terang? 
Dimana tambatan jiwa? 
Dimana tangan-tangan yang bisa kugapai? 
Dimana, 
Dimana lagi... 

Aku kesepian, aku sedih, aku sakit, dan mati... 






Thursday, July 23, 2020

Katamata

Katamata, 
Saling mencintai dan menyayangi lalu hati berdebar. 

Katamata,
Diammu dan diamku adalah ungkapan paling puitis tentang rahsa

Katamata,
Mencuri pandangmu adalah sebuah laku, mencuri pandangku adalah sebuah laju,
 
Katamata, 
Seperti dekap, hati kita semakin pepat, kerlingan dan kedipan menjadi rindu buta

Katamata, 
Kasih adalah palung sedalam-dalamnya,
Kasih adalah lautan seluas-luasnya,

Katamata, 
Dalam dingin malam, dalam singup rembulan, dalam sunyi sepi, dalam ruang terang 

Katamata, 
Aku mencintaimu, dan Kau mencintaiku 
Aku mengasihimu dan Kau mengasihiku

Katamata, 
Katamata, 
Katamata, 
Rahsa tercipta dari Tuhan, dan janma menyimpan, pada letih dan sedih, mengapa rahsa tumbuh, sementara janma tak bisa jumbuh

Katamata,
Bila aku tiada, akankah kau meniada?
Bila aku pergi, akankah kau kesini?
Diruang sepi, tempatku merindu tiada henti.. 

Katamata,
Berat sekali cinta janma tercipta, hanya untuk bila.. 
Lantas, kemana lagi rupa jika langit penuh lara.. 

Katamata, 
Langit menjadi beku, dingin menghampiri, 
Tapi tak kurelakan engkau pergi, 

Katamata, 
Arep golek apa, arep nggayuh apa, arep nemoni apa, arep entuk apa, arep ketemu apa

Katamata, 
Jika rasaku salah, kenapa Kau titipkan rahsa sebesar ini?
Jika hidupku cacat, kenapa Kau beri kesempatan melanjutkan?
Kemana lagi pundakku akan bersandar?
Kemana lagi pelukku akan menemui dekap?
Kemana lagi tangis akan bercucuran hebat?
Kemana lagi kucari harap?
Kemana lagi ku dendangkan nada Iman?
Kemana lagi manusia jika, hanya jika, kehilangan tresna dalam hidupnya?
Kemana lagi, 
Kemana lagi Katamata?
Kemana lagi, 

Aku, 
Aku hancur sehancur-hancurnya,
Aku tiada, aku meniada, aku tiada 
Katamata,.. Oh, katamata.. 




Makam emak menampung banjir air mata.
Jemuah Legi, 1 Besar, 1953 Wawu

Wednesday, July 8, 2020

Tridasawarsa, refleksi 30 tahun


Cahaya sinar senja turun ke peraduannya, seorang anak manusia  mengejar cahaya namun terus gagal menyemai segala edarnya, anak manusia terus kalah melawan putaran Bhumi kepada Surya, hari-hari lalu berganti, rupa kita melambat, menuju beragam sonya. Tiga dasawarsa anak manusia berjalan, ingatannya terbenam akan banyak rekam, banyak sekali kejadian yang datang silih berganti. 

Semakin banyak masalah, semakin banyak kesedihan, semakin banyak pula kekecewaan dan tentu hadir pula masa-masa manis, bahagia, juga kebingungan, abu-abu, nafas-nafas yang tersengal. Masa gelappun datang, puncak-puncak kehancuran datang belum pernah seperti sebelumnya, anak manusia pegat ingin mengakhiri hidupnya, nyaris di awal putaran tridasawarsa. 


Angin-angin segar dari pematang sawah-Nya, datang bersama tetes embun untuk memberikan beragam kesejukan untuk bertahan lagi dari kematian. Gemericik air disebelah timur pondokan terbuat dari bambu, dengan papringan apus tumbuh lebat diatasnya menawarkan sebuah jalinan menarik, embun-embun mengkristal di daun bambu. 

Pukul tigapagi lebih tigabelas, suara kentongan bernada daramuluk sayup-sayup terdengar dari desa disebelah sawah. Udara basah semakin terasa, anak manusia duduk-duduk diteras pertapaannya, menggapai segala ruang kerinduan akan beragam kebahagiaan yang pernah menyambanginya, hatinya kelu, batinnya rindu, namun kemana lagi tidak tahu menuju.

Apakah kita tak bisa tidak menua?
Rasanya masih selalu saja kurang , perasaan untuk terus membantu lebih banyak lagi manusia, menemani banyak sekali yang sedang punya masalah, duduk-duduk bersama mereka yang berat hati, terus mencintai dan saling membasuh. Rasa-rasanya hanya itu perasaan yang timbul kuat dari dalam diri, sebuah hentakan untuk tetap mengikuti rasa hati. Anak manusia sudah lama tidak pernah meminta dalam doa, segala hening tapanya hanya untuk menyebut nama dari nama-nama, yang berasal dari sebuah Nama, nama-Nya pula.

Tridasawarsa, anak manusia kemudian takut pada suatu hari hidupnya tak berguna hanya karena tak lagi punya kala, kemana lagi garam-garam jika sudah tidak lagi asin, atau kemana lagi cahaya lampu thintir yang berpendar jika suatu ketika redup. Pada Nama diatas nama, kumbul dupa terunggah, asapnya membubung kepada langit, abunya kembali ke tanah, seperti sebuah hatur sujud pada beragam benih, pada tetumbuhan yang sudah dititipkan didalam diri anak manusia. 

Lalu dinaikkanlah sebuah permintaan, permohonan atas nama cinta yang mendalam, supaya Khalik memberi lagi banyak kekuatan, banyak lagi kuda untuk menjangkau lebih banyak, memberi lagi banyak kekuatan untuk mereka yang sesak hati, dan punya lebih banyak lagi kewajaran untuk menempuh hidup.

Anak manusia berjalan dalam banyak pilihan, banyak kalkulasi didalam fikirannya, banyak asumsi dan analisis subjektif tentang banyak hal, tentang segala efek jangka panjang bagi semua teman-teman disisinya. Terkadang disalahpahami sebagai sebuah sifat  jahat, sebagai egoisme, sebagai tamparan, hasutan, trik, dan berbagai simulasi yang menyakitkan. 

Pilihan-pilihan harus ditempuh supaya banyak orang menikmati manfaat, mendidik, menghardik, berakibat? Tentu. Lalu kebanyakan membekas seperti dendam, dan  luka terasa lebih pilu dari segala kebahagiaan. Anak manusia tetap manusia yang juga menyakiti banyak orang, sekalipun membahagiakan banyak orang. Tentu tak semua, namun semampunya, supaya banyak orang naik level, supaya anak-anak terus tumbuh dari dalam, pemikirannya menjadi kritis dan tangguh menghadapi banyak polah. Banyak sembah dan maaf dihaturkan anak manusia kepada sekelilingnya.

Pola-pola terbentuk bersama waktu, anak manusia tak banyak berubah, keberadaannya lebih mudah ditebak oleh sekelilingnya. Ya secara garis besar anak manusia tetap jalma biasa, seperti manusia lain yang juga biasa namun pasti memiliki sisi-sisi yang tidak biasa dan luar biasa. 

Soal kepastian juga demikian, apa yang pasti dan dimiliki anak manusia saat ini? Segalanya masih suam, tidak ada yang dianggap mapan dalam pandangan awam di bumi anak manusia hidup. Berpegang pada ayunan waktu, anak manusia hanya terus ingin memberi, sekaligus dalam beragam keterbatasan akhirnya bias lagi apa sebenarnya arti dari memiliki, apa yang sudah dimiliki anak manusia?. 

Beberapa pertanyaan mendasar, kemana setelah kemana, apa yang dikejar lagi? Apa yang di hembuskan supaya beragam kekuatan yang masih tersisa bisa dioptimalkan lebih lagi, atau apa lagi yang dicari?.

Tidak banyak keinginan anak manusia untuk diri pribadinya, ingin hidup sedikit tenang, dan punya banyak lagi berkah untuk memberkati, lebih punya banyak lagi wadah yang luas untuk menampung, punya banyak alternatif lagi supaya mampu menjadi jalan kebermanfaatan, dan banyak hal lain yang cenderung untuk orang lain. Jikalau diberi kesempatan untuk mendapat benih-benih lagi, pada tanah yang anak manusia miliki benih-benih akan dibiarkan bertumbuh, sempurna dan berguna.

Sementara keinginan pribadi mungkin punya banyak waktu untuk merenung dan menuliskan apa saja seperti ini. Sesekali menyempatkan diri untuk berdua bersama adik, dia yang satu-satunya menemani sejak dalam rahim, rahim yang kini tumbuh subur sebagai tanah yang membuat rekah bunga-bunga kamboja. Atau duduk-duduk bersama dengan orang terkasih, menikmati banyak waktu supaya tidak kehilangan diri, sebisa mungkin disela-sela lelah, punya keajaiban untuk saling rangkul dan melegakan diri dengan cinta yang dialami. Cukup, itu menurut anak manusia yang lebih esensial daripada terlalu memburu. 

Pagipun membuncah, menyembul seperti rembulan kali ini berwarna jingga, sawah yang sepi, dan bilik dinding kayu yang mulai mendekap embun. Ah, semua berharap kepada sinar terang petani berkelakar, sepasang pemuda dan pemudi duduk-duduk mencumbu teh manis bersama rimbun daun pring apus. Anak manusia mulai menggenapi rasa kantuknya, merayakan dan berpuasa bersama sekali edar matahari.

Aku mencintaimu bunga-bunga berwarna ungu,
Aku mencintaimu bebatuan dan aliran sungai,
Aku mencintaimu setiap tetes air pada batu granit,
Aku mencintaimu pada semua hening dan sepi,
Aku mencintaimu bersama sepanjang umur, mentari kian memburu, kemudian berlalu.

Pada bilik yang diam, ranjang yang beku, secangkir wedhang uwuh yang dingin, terseliplah sebuah penerimaan akan diri yang lebih besar daripada sebelumnya. Terbenamlah keikhlasan yang sangat luar biasa, anak manusia duduk dilantai kayu, membakar dupa dan membuka pintu ruang pertapaannya, burung-burung tampak membersamai Tuhan, dan anak manusia lebih merasa rendah diri bahwa dirinya sudah dan bukan menjadi, namun memberi, menjadi luapan banyak kebaikan, dan di dalam segala cinta, bersemayamlah pula nadi dan sendi-sendi kasih Semesta Tuhan yang nyaris tak berbatas.

Pancuran air hangat mengucur, dibasahi rambut panjang yang sama kusutnya dengan anak manusia, lantas kelegaan demi kelegaan mengalir bersama suara sapu lidi yang berserak dari kejauhan.

Segelas teh hangat tersaji didepan rumah, dengan senyum ramah tentunya. Anak manusia kemudian memandangi padi menghijau dikejauhan, damai rasanya. Laptop pemberian kasih sayang Tuhan dibuka pada nyala, lalu bersama banyak kebahagiaan anak manusia menyemai aksara, dan menjadi petani, ya seorang petani kata-kata.

Indra Agusta
Omah Tembi, Bantul, Yogyakarta
08 Juli 1990-2020

Tuesday, June 30, 2020

Romo Fiatlux (catatan hari bapak)


Duduk-duduk didepan teras menunggu hujan deras reda. Atap seng yang mulai keropos mengucurkan beberapa bulir air ke ubin-ubin yang mulai retak terpapar waktu. Seorang anak kecil duduk bersila didepan lincak didepan rumahnya. Menikmati bau-bau tanah basah beserta rahim pertiwi yang terus saja menyerap segala deras air yang turun. Gundah hatinya dengan beragam kenyataan hidup, namun air saja menetes dari mega-mega kelabu.

Hari ini peringatan hari bapak sedunia, media sosial mewartakan beragam pujian, sanjungan juga ingatan kepada ayah dan sesosok lelaki yang turut serta menemani semua anak-anak sepanjang hidup mereka. Lalu kisahpun dihidupkan kembali dalam beragam peringatan, tentang cinta, tentang rasa nikmat dalam ayunan dekapan bapak, juga tentang beragam kepiluan bagi mereka yang sudah ditinggalkan.

Anak kecil diteras rumah hanya melamun bersama hujan deras, gawai di tangan kirinya seperti sebuah sinyal akan kebisuan semu. Membayangkan betapa menyenangkannya mempunyai orangtua yang genap, orang tua yang mau bertukar pendapat dan duduk bersama dalam satu meja makan. Lalu rekaman-rekaman akan masa silam. Yah, dengan bibir bergetar sulit menjelaskan kepada kawan betapa banyak bapak-bapak yang berlalu lalang di hidupnya. Lelaki yang mondar-mandir memenuhi sela-sela hidupnya.

Anak kecil duduk mengutuki nasibnya, marah, meluapkan segala kebenciannya akan hidup kepada hujan. Namun hujan pula enggan, dan diam, serasa meletup dan meledak kepalanya mengingat segalanya tiba-tiba berantakan. Kepergian ibunya setelah berbaring dua tahun dan kekacauan 98, lalu menikahlah lagi bapak biologis sang anak dengan wanita lain yang dicintainya. Serasa ingin menunda segala, namun ajal yang memenangkannya.

Hidup menjadi tak mudah bagi anak kecil di kemudian hari, sang anak mencari jalan dan jatidirinya sendiri, berjuang dan bertahan dengan caranya, dengan pola pikir yang dia bangun bertahun-tahun, dengan banyak hal yang diperhitungkan, banyak yang dikorbankan dengan menghitung segala resiko dan berpacu dengan ajal. 

Usianya sekarang menjelang kepala tiga, masih tidak jelas memang, namun sang anak menjadi lebih terang fikirnya untuk lebih menjadi dewasa, syukur dan terimakasih yang mendalam lalu terucap bersama banyak kesusahan dan disitu pula bersemayam segala keajaiban, sukacita dan beragam nikmat keberkahan.

Cakra manggilingan berhenti di titik bawah, meskipun tidak dengan hidup, segala rutinitas sehari-hari harus berjalan, waras dan seimbang. Tentu banyak sekali yang dikorbankan agar tetap waras, tidak terlalu bergeser untuk menjadi rakus dan berada pada kewajaran. Seperti idealitas manusia pada disemua titik dimana dia bela, dimana segala kebaikan dirasa oleh sekeliling dan kebahagiaan terpancar dari situ.

Rasa bahagia tidak lahir sendiri, sepanjang jalan anak kecil ditemani bapak-bapaknya, orang-orang yang nyaris mempengaruhi anak kecil ini menjadi Altruis, setidaknya menjadi sosialis. Tidak punya banyak ambisi untuk dirinya selain ambisi untuk memperdayakan segenap hidupnya supaya banyak orang yang tidak berkesempatan mencecap kebahagiaan, jika mendekat dengan anak kecil ini punya kelegaan, dan bisa lebih punya banyak waktu untuk tetap hidup, berbahagia dan menikmati segenap arti dalam segala petualangan hidupnya (yang tentu tidak gampang).

#1
Krisis 1998 melanda, banyak yang terkena PHK banyak dari orang kampung yang pendapatannya berasal dari pabrik-pabrik terpaksa kembali ke desa, dan memantapkan hidup apa adanya didesa. Demikian juga dengan orangtuaku, bapak di PHK dan sedikit menjarah kain untuk menyambung hidup dan glamor masa mudanya, ibukku dirumahkan. Kehidupan tidak pernah membaik sejak saat itu, banyak sekali permasalahan datang silih berganti mengisi hidup anak kecil ini.

Tiba saatnya anak kecil beranjak dewasa, mengikuti segala kebiasaan yang turun menurun diajarkan dan dilakukan keluarga besar. Sunat. Dulu banyak kawan anak kecil ini mengira bahwa terlahir dikeluarga pengikut Isa tak apa tak bersunat, namun tidak dengan keluarga anak kecil ini, semuanya harus sunat, sebagai syariat agama maupun sebagai sarana kesehatan, tahun-tahun berlalu ketika anak kecil ini besar dia juga tahu bahwa Isa, anak manusiapun disunat sebagai ritual Yahudi.

Ketiadaan biaya untuk anak kecil yang terus merengek ini, tak mungkin lagi menambah beban hutang keluarga yang tak terbayar pula. Anak kecil ini dititipkan ke seorang bapak, Eko Suparno namanya. Seorang dari Pengging, yang kemudian menjadi anak mantu adik simbah kakung dari ibuk. Tukang reparasi sound sekaligus elektronika ini mau bikin hajatan sunat untuk anak lelakinya yang seumuran dengan sang anak. Lalu anak kecil ini masuk di mobil yang sama bersama bapak satu itu, menuju klinik disebelah barat desanya, dibiayai, diragati dan akhirnya kecipratan juga keberkahan hajatannya.

Kudapat mengalir lezat, sarung bermotif cokelat kotak-kotak bermerek sebuah gajah diberikan untuk dibawa pulang, ahh lalu anak kecil tersipu malu menahan sakit jahitan yang belum kering.

#2
Turun dari angkot di palang kereta api di sebelah selatan alun-alun, anak kecil berjalan kaki menuju sekolahnya, sebuah SMP Katolik, sepatunya merek rieker sudah sejak SD belum ganti, untuk mengakali robekan di sepatu, anak kecil hanya memakai kaos kaki berwarna hitam setiap waktu. Duduk, bermain dengan teman sekelasnya, lalu pulang mengamen di pasar, stasiun dan bis ke bis sampai malam menjelang, berpindah ke warung disisi selatan alun-alun demi beberapa recehan untuk membeli soto di tempat mas Parmin, tukang kebun SMP katolik tersebut.

Di sekolah anak kecil mendirikan ekstra palang merah dan melanjutkan pramuka, lalu menghasilkan beragam piala yang tak pernah didapat selama beberapa tahun. Betapa bangganya yayasan, juga romo kami, romo Pri.

Ketika ibadah pelajar anak ini juga turut serta mengisi harinya dengan ikut tim paduan suara, seperti biasa. Dengan sepatu butut, beberapa kali mengikuti misa dan menciumi tangan romo sebelum pulang ke pasar dan mabuk lagi. Sangat kontradiktif.

Hari berikutnya, sampai di kelas lebih pagi, karena memang tidak pulang, mandi di stasiun Sragen lalu berjalan kaki menyusuri rel dan pasar. Tetiba di kolong meja, ada kardus dibungkus plastik kresek hitam, cukup mengagetkan. Lalu setelah kubuka, isinya sepatu, merek rieker yang sama hitam dengan ukuran kaki yang sama persis. Tidak ada tulisan pengirim, cuman ada kertas putih didalam sepatu bertuliskan “FIAT LUX”. Anak kecil ini menangis, dia tahu betul ini hadiah dari Romo yang berkali-kali melihat sepatu butut itu tampil di depan altar, ya, anak kecil memang miskin dan tidak kuat melayakkan sepatunya dihadapan Tuhan di gereja, lalu romo melayakkannya. Maturnuwun. 

Meskipun tidak jelas tapi aku yakin itu Romo Pri, yang entah sekarang berpindah tugas dimana.

#3
Masih di SMP Katolik, sang anak tidak pernah punya uang saku sepanjang 3 tahun masa sekolahnya. Uang dijatah hanya Rp. 7000/minggu di tahun 2002-2005. Hanya cukup untuk naik angkot PP. Untuk makan dan beli sarapan memang tercukupi dari mengamen, untuk mengerjakan tugas si anak harus menginap di rumah teman, namanya Artha, rumahnya di kecamatan Ngrampal dekat terminal. Keterbatasan dilengkapi dengan teman baik, yang cukup kaya. Indah bukan?. 

Tahun itu sudah punya komputer  Intel Pentium 2, berangkat diantar jemput menggunakan mobil dan keluarga yang sangat terpandang. Sayang, Artha ini memang tidak begitu mumpuni kualitas akademisnya, hanya kebetulan berbagai fasilitas tercukupi.

Dengan si anak yang beberapa kali kerumahnya, Artha bisa mengkopi kerjaan si anak, lalu Artha yang terlelap tidur, si anak ini hanya duduk-duduk menemani bapak Artha menonton wayang kulit di TV sampai menjelang pagi.

Tidur sebentar, lalu dibuatkan sarapan, makan semeja bersama sebagai keluarga, bersama adik Artha yang masih TK. Banyak hal yang selalu membuat si anak canggung, karena tak pernah diperlakukan demikian sopan oleh banyak orang. Si anak terbiasa sebagai  anak jalanan, mengais sampah dari jalanan dan punya keluarga tak kalah hancurnya dirumah. 

Dirumah Artha, si anak belajar sedikit demi sedikit cara makan di meja, yang sunyi, penuh aturan dan sopan santun. Elegan. Lalu selalu disisihkan uang saku dari Ibu Artha untuk anak kecil ini, nyaris selama sekolah selama mau menginap di rumah beliau.

Kenaikan kelas datang, Artha mengalami lonjakan nilai yang signifikan. Diundang kerumahnya untuk perayaan, lalu sang bapak mendekatiku.
“dek, kalau dek Indra mau, tinggal disini seterusnya saja, jadi anaknya bapak, nanti bapak urus pindah Kartu Keluarganya, adek mau sekolah setinggi apapun bapak siap biayain, adek mau motor tinggal pilih, dan bapak terimakasih, Artha jadi mau sekolah serius’

Si anak hanya bengong, tak bisa menjawab, tau betul kalau mau ‘nggragas’ bisa saja si anak berpindah keluarga, punya segala akses material maupun akses lainnya. Dan tidak perlu nyambi ngamen demi semangkuk soto atau segelas es teh. 

Si anak juga tahu betul jika keadaannya sekarang sangat kacau, tidak banyak  kemungkinan keluarga bisa utuh, bahkan jauh dari nol, semuanya masih minus. Ayah Artha tahu potensi si anak kecil ini, namun juga sedikit banyak tahu kondisi keluarga anak kecil ini. Bimbang, lalu dengan berat hati, niat tulus dari bapak Artha ini akhirnya ditampik dengan ucapan banyak terimakasih.

#4
Yang terakhir tentu bapak biologis sang Anak, si pemabuk, perokok berat dan jawara pada masanya. Terlahir dari anak dewa, seorang bayan yang berpengaruh, sakti dan kaya. Kematian Bayan dan kelahiran si anak kecil ini membuatnya kalut bahwa hidup harus dijalani demikian berat. Namun, justru mabuk-mabukan, membeli vcd porno dan membeli PSK, entah nampaknya juga tidak pernah berhenti hobi si bapak ini, seperti menjadi candu ketika seseorang sudah terbiasa “jajan”. Belum hobinya berkelahi, merusuh di setiap hajatan di beberapa kampung, terkenal oleh orang-orang sekitar.

Dirumah, berkali-kali anak hanya mendengar dikamar gelegar konflik, tamparan dan pukulan yang dilayangkan oleh bapak kepada istrinya, ibu si anak. 

Dulu yang difikirkan si anak cuman ingin besar dan membunuh dengan cara yang sangat keji sang bapak, namun keluar dan pergi dari rumah adalah jalan keluar segala puncak stres. Sampai si Istri meninggal dunia, dengan menyisakan banyak tagihan dan hutang.

Lalu bapak tak pernah pulang kerumah, si anak hidup dari jalanan masih saja menyisakan recehannya untuk nenek dirumah ketika SMP. Supaya bisa membeli sayur dan bertahan hidup. Ledakan amarah demi amarah hanya menumpuk, ketika bapak tidak becus menjadi bapak yang baik, setidaknya duduk diam bersama mengusahakan dan menyelesaikan masalah. 
Tetapi si anak masih terlalu kecil untuk tahu bahwa manusia punya kapasitas untuk menahan diri dari masalah.

Si bapak ini sangat emosional dan tak bisa duduk diam tenang, lalu jalan salurannya adalah segala luapan akan ketidakberdayaannya. Mabuk, pergi, gampar istri, meledak, jajan psk, hingga berkelahi.

Masa yang paling indah mungkin setahun sebelum si ibu meninggal. Bapak jobless dan ditagih banyak hutang, akhirnya mau jualan keripik pisang, ngambil batu dari sungai dan dipecahi di latar rumah untuk kemudian dijual. 

Masa-masa itu tidak lama, berubah drastis ketika ibu pergi, dan bapak justru mendapatkan kelayakan menjadi pegawai negara. Merasa punya uang, sendiri dan meracuni lagi ego-egonya yang belum selesai. Lalu menikah lagi setelah seribu hari si ibu pergi dan pergi tanpa pernah kembali sebelum kemiskinan kemudian datang lagi dan mengemis meminta rumah. 

Ingatan yang terbaik bagi si anak adalah membungkusi keripik pisang ini, menawar pisang, ke pasar, menitipkan keripik ke warung demi warung. Indah namun tidak lama.

Jauh rasanya untuk memaafkan, dendam juga terus membatu, namun si anak akhirnya membiarkan dirinya dimanfaatkan berkali-kali oleh si bapak, membantunya dengan cintanya yang mengalir begitu saja. Cinta yang mustahil kata orang lain, namun ternyata justru cinta itu yang membuat bertahan.

Tentu banyak lagi bapak-bapak si anak, bapak dari teman-temannya yang menerimanya seperti keluarga jauh melebihi apa yang diperbuat saudara sang anak. Juga untuk rumah  dibawah Lawu, yang setia menanti kapan akan datang, dan rumah tak pernah terkunci. Dengan segala keheningan dan ketenangannya meredakan banyak amarah, si anak bisa terus hidup, dalam beragam pilihan dan dalam berbagai kesempatan.

Si Anak dengan penuh amarah pergi dari rumah, mabuk berat, tertidur di emperan warung yang sudah tutup disebelah selatan alun-alun, karena lingkaran masa sekolahnya adalah pengamen dan preman pasar, sekaligus sebagai upaya bertahan hidup. Menjelang pagi dibangunkan seorang bapak, "dek pindah tidur". 

Ternyata Romo Pri yang sedang jalan-jalan pagi. Ditunggu sampai terbangun lalu,. si anak nakal ini diijinkan tidur dipastoral gereja katolik, tentunya membolos sekolah. Dan Romo bergegas misa pagi. 
---------------------------------------------------------------------------------------------
Maturnuwun untuk semua bapakku, bapak biologis, bapak ideologis, bapak-bapak sosialis yang banyak memberi ruang supaya si anak juga menjadi ruang tampungan untuk banyak orang. Bapakku akeh, keluargaku akeh. Selamat hari Bapak sedunia.

FiatLux (jadilah terang)
Surakarta, 30 Juni 2020

Sunday, June 7, 2020

Nangis 'ngguguk' di makam ibuk

Pernah enggak sih kamu sudah mengusahakan banyak hal, mempertimbangkan banyak hal, banyak keputusan, mengkalkulasi beragam kemungkinan, mendesak ribuan kemungkinan beserta resikonya, tetiba justru orang-orang terdekat itulah yang tidak mengerti sama sekali. Mereka yang benar-benar kamu bela justru berbalik seolah tak menjumpai apa-apa.

Akankah selesai?

Seberapa jauh langkah yang ditempuh hanya berujung diam, pada akhirnya memang mengecewakan berharap kepada manusia, dan yang tau dirimu sendiri adalah dirimu sendiri, tanpa mempertimbangkan orang lain diluar lingkar dekat, yang justru malah menekan untuk ikut menyalahkan.

Dan setelah laripun, tidur dimanapun rasanya hambar, tidur dihotel manapun terasa capeknya, niat mengunci ingatan juga harus berbayar mahal dengan cacian dan paradigma “lepas dari tanggung jawab rumah”. Berusaha menghibur diri dengan beragam metode yang terjadi hanya kebosanan dan kengerian akan sebuah penat.

Idealitas kabur, tanpa membawa beragam analisis akan beragam masalah. Semua menudingku tidak melakukan sesuatu, membungkam semua mulut yang hanya berisi ruang-ruang material dan ambisi. 
Lalu mengembalikannya untuk melupakan masa lalu dan menghadapi beragam konflik hari ini, 

Memang mudah melupakan?

Bahkan semua konflik yang terjadi hari ini, setiap hari, adalah rentetan perpanjangan dari segala kondisi dimasa lalu. Semuanya. Bagaimana caranya melepas rantainya dengan masalalu, bukankah sebuah kemustahilan. Menyeret beragam kondisi kepada kestabilan, sebelum meninggalkannya dengan baik, dengan tebusan kehilangan diri, menceburkan diri ke dalam ketiadaan itu sendiri. Bukankah ini yang terbaik, tidak ada yang rugi, semua menang, semua mengambil keuntungan dari apa yang telah dikorbankan.

Pagi-pagi terasa kaku oleh gejolak batin, dengan malas menghadapi rutinitas yang mencekat, yang terus menerus mengeringkan, tanpa tahu kapan akan berakhir. Sementara semua orang menetapkan target, semua juga terus ingin mengambil keuntungan dari beragam situasi.

Semua teman-teman baik, semua memberi ruang tapi memang tidak mungkin mengerti betul, betapa dalamnya kekacauan menghantui, ya karena memang semua orang bergelut dengan hantunya masing-masing.

Luka-luka kian terbuka, dan menjadi pecah dalam tangis yang tersedu-sedu seperti anak kecil. Bermalam-malam hanya habis untuk makan dan menenangkan diri. Sedangkan tangan tak pernah tahu kemana akan bersimpuh, 
Duka-dukaku melangit, tidak pernah secapek ini dalam hidup, kebosanan akan hidup dan mengerjakan sesuatu selalu hadir memenuhi ruang kedirian. 
Apa lagi, harus berbuat apa, bagaimana lagi, ketika pikiran sudah tak jernih, menjernikan butuh waktu, sementara waktu penjernihan dibantai habis oleh tumpukan masalah yang juga sama buramnya. Jam demi jam, detik demi detik.

Sementara corong mikrofon hanya berbual : semangat, tabah, kamu pasti kuat.

Dan jangan lagi meluapkan kesedihan di media maya dan hadirlah seperti sosok yang terus membahagiakan diluar, dan abai terhadap semua sakit. Dan jangan hadir tanpa membuat orang lain senang, karena sesakmu tak dibutuhkan orang lain. 

Sakitlah untuk dirimu sendiri, dan mampuslah bersama tanah-tanah makam ini sebagai sebuah keharusan akan banyaknya kehausan.

Kuciumi makam ibuku, dan air mata mengalir deras ingin menjelaskan semuanya, namun buntu, buntu, buntu.. 


Mak, kangen. . 



7 Juni 2020



Wednesday, March 25, 2020

Corona, sebuah realitas simbolik

Malam ini purnama berada tepat diatas kepala Jalma. Malam selasa kliwon ini rembulannya bercincin, sedangkan angin bertiup jauh lebih dingin dan kencang seperti biasanya. Sembari duduk di pinggir jalan, menyeruput secangkir teh. Tetiba notifikasi handphone berbunyi, seseorang mengirim chat, berisi pertanyaan :
“ Romo*, ada apa dengan bursa saham siang tadi?, semuanya anjlok grafiknya turun, bahkan saham di wallstreet, ada informasi apa dengan kondisi sekitar?”
“ Woh iya to mas, saya kurang begitu mengerti tapi mungkin ada rentetan antara penyebaran virus Corona dan Kepanikan Investor, lalu efek panjangnya menimbulkan kepanikan pula dalam bursa saham”
“Kira-kira apa yang akan terjadi romo, adakah yang harus dipikirkan ulang soal kondisi akhir-akhir ini?”
“Untuk dikalangan bawah seperti kita mas, saya kita tidak perlu terlalu panik, toh dari progresi persebaran wabah Corona belum meluas, meskipun terus waspada, tetapi untuk terus seimbang dari kepanikan ini mas, yang harus sembari bikin Save As and Backup Plan”
“Apa lagi itu romo? …”
“mmm… nanti ya, kalau sempat coba saya tuliskan, tunggu saja ya dek,”
Jalma kemudian meneruskan lamunannya, mengamati lalu-lalang perjalanan. Teh belum habis, chat tadi kemudian mengantarkannya untuk pulang menuliskan sesuatu.
Ora reti, merga durung winarah
Sejatinya dalam pengalaman yang sederhana manusia secara umum akan berposisi demikian. Mereka tidak tahu karena sensor indrawinya tidak melihat, atau informasi tentang sebuah realitas itu belum sampai ke otak mereka. Semisal berita proklamasi kemerdekaan Indonesia, baru sampai ke tanah papua 31 Agustus 1945. Persoalan ini tentu karena masalah jarak, teknologi komunikasi, juga peristiwa lain yang menghambat proses pengantaran informasi kepada intel maupun surat kabar. Setiap jaman kemudian membawa kemungkinannya masing-masing.
Jika dibalik, andaikata proklamasi terjadi hari ini kemungkinannya-pun tentu berbeda. Dalam hitungan detik bisa tersebar keseluruh dunia, dengan percepatan teknologi yang lebih mampu melipat jarak. Tetapi nanti yang jadi persoalan adalah validasi dari informasi tersebut. Di era ’45 koran atau radio bisa jadi rujukan validasi sebuah berita, informasi. Tetapi di era kini yang semua orang boleh membuat koran dan radio versinya sendiri entah berbentuk akun facebookinstagram atau podcast. Situasi yang malah semakin menambah keruwetan proses validasi, karena informasi tersebar bebas tanpa filter.
Indonesia bagian penting desa saya sebuah tulisan kritis ketika Emha muda menangkap bahwa pergeseran teknologi ini selalu merekam ketidaksiapan sebuah masyarakat. Sebenarnya jika ditarik benang merah mungkin sama, dulu ketakutan akan TV merusak golden hour anak-anak. Kini perkembangan teknologi, murah dan cepatnya akses untuk mendapatkannya justru tidak disikapi serius oleh pemegang aturan. Yang penting cuan. Masyarakat yang tidak siap akhirnya justru menganggap informasi dari internet sebagai sebuah kebenaran, padahal progresinya sama dengan TV. Kalau di era Orde-baru televisi digunakan sebagai sarana doktrinasi massa, agar pro pada apa yang menjadi arah pemerintah, dan TV kemudian saluran yang dikendalikan oleh rezim. Ternyata mental itu yang diam-diam kita bawa di dalam benak, banyak orang tua bahkan anak-anak menganggap internet sebagai satu-satunya kebenaran tunggal. Hal ini dan pewarisan mindset yang harus disikapi serius. Karena efeknya berdampak pada segala khalayak, ketakutan yang ditebar bebas oleh mainstream berefek serius kepada keadaan. Kebingungan akan validasi lalu teror muncul bersama kepanikan.
Kepanikan
Lalu berbondong-bondong masyarakat menimbun banyak barang di supermarket dan pasar. Mereka yang bermodal besar, punya kapita diatas rata-rata seperti menyiapkan backup-plan atas teror virus yang sampai ketika tulisan ini dimuat jumlahnya 19 orang. Media sosial tak kalah ramainya memperbincangkan ketakutan, industri digital baik Youtube maupu televisi tak henti-hentinya menggarap virus ini sebagai tema. Dan hasilnya tentu kepanikan itu levelnya naik seketika. Traffic marketplace online juga semakin padat, transaksi online berjibun dimana-mana, masker kemudian menjadi barang yang sangat mahal.
Kepanikan ini kemudian tak berhenti disini, pusat saham di Wallstreet pagi ini 15 menit pertama anjlok drastis, bahkan menjadi drop terparah sejak 2008. Inilah Realitas Simbolik yang diceritakan Mas Sabrang di podcast kemarin. Bahwa akhirnya satu trigger bernama virus mampu mengubah banyak hal diberbagai belahan dunia. Artinya memang demikian manusia secara tidak langsung adalah mahkluk yang mampu menyimpan bahasan, disimpannya dalam sebuah simbol kemudian kapan saja dalam beragam persepsi, beragam tingkat sudut pandang. Satu realitas simbolik bertajuk saja ‘corona’ akhirnya mendefinisikan banyak hal, yang kemudian dibuntuti dengan beragam aktualisasi langkah manusia juga beragam kepemilikannya seperti perusahaan, arah ekonomi, aset-aset bahkan untuk biro – biro tertentu yang ingin saya sebut oportunis.
Betapa tidak oportunis mereka mendompleng beragam isu untuk kepentingan komunikasi sosial. Batas-batas etik dilanggar, tak lagi peduli terhadap mereka yang jadi korban sebuah wabah. Yang penting pesan-pesan ideologi tersampaikan, kotbah-kotbah dan doktrinasi agama dilancarnya, atau program kerja pemerintah seperti ‘cuci tangan’ dilanggengkan. Semua mendapat untuk dan berebut untuk dari sebuah momentum.
Anomali, Ilusi dan Efek Samping
Tentu sebagai wilayah yang ‘cerewet’ akan banyak anomali tanggapan-tanggapan yang tidak linier dengan teror tersebut. Bentuknya meme-meme bermacam-macam, bunyinya kurang lebih begini :
Santai aja jangan takut Corona, Ingat kita Alumni Kiamat 2012”
“Ngk perlu takut virus berlebihan, orang peringatan merokok membunuhmu aja lo langgar”
“Virus Corona tiba di Indonesia. Orang-orang kaya memborong makanan, obat-obatan dan masker, seolah-olah minggu depan kiamat. Orang-orang miskin mah santai aja. Tanpa virus corona, setiap hari mereka bergelut dengan hidup. Bagi mereka kematian dan kehidupan tipis jaraknya.”
Sangat relatif, variatif dan kadang mengundang gelak tawa. Meskipun tentu sikap abai ini adalah ilusi massa, karena mereka benar-benar tidak tahu validasi soal virus selain lewat berita, TV, dan medsos yang membanjir bagai air deras. Tiadanya kemungkinan kaum miskin untuk mengecekkan dirinya rentan virus, atau bahkan seumur hidup mereka sudah terbiasa makan tak cuci tangan namun tetap sehat, atau beragam realitas di lapangan yang menghasilkan beragam wacana. Membuat teror ini meskipun menakutkan, lalu juga menjadi bahan tertawaaan.  Bagaimana tidak manusia sudah capek mati-matian bertahan hidup, sesak kesehariannya kini ditambah-tambahi resah oleh media. Dan anomali akhirnya muncul sebagai permen manis penghilang lelah, ketika biaya kesehatan tak kunjung terbayar pula.
Efek samping skala luasnya, keributan di supermarket, berbondong-bondong mereka menyiapkan ini itu pasti akan melanggar hukum dasar ekonomi. Supply and Demand. Ketika jumlah pasokan tidak bisa memenuhi kebutuhan, kelangkaan terjadi. Setelah kelangkaan terjadi otomatis semua harga menjadi naik karena nilai barang juga berbanding lurus dengan permintaan. Bahan-bahan pokok yang menjadi tujuan kedua setelah masker, hari ini mulai terasa kenaikannya dari gula dan besar entah nanti apalagi.
Kekacauan harga di pasar ini entah berpacu sampai kapan, dalam analisis jalma akan terus bertahan sampai lebaran tiba. Jika itu benar, maka berulang kali jalma tulis dan utarakan bahwa selalu ada yang memanen keuntungan dibalik konflik. Artinya realitas simbolik ‘Corona’  ini kemudian dimanfaatkan sebagai ajang mendulang laba oleh para kartel ekonomi. Tentu tidak langsung berimbas, tapi jelas semua TV dan koran laku, provider laku keras karena banyak orang ingin streaming atau searching berita tentang itu, lalu berefek ke jangka panjang. Pada cashflow setiap kita sebagai individu, keluarga maupun yang berdiam dalam beragam kawanan.
Solusi terdekat untuk ini yang terbaik yang dikira jalma adalah dengan tidak ikut-ikutan panik. Karena virus ini bukan pembunuh nomor satu di negara ini. Bukan pula teror yang menyebalkan, banyak teror lainnya yang jauh lebih berbahaya seperti oligarki, populisme, korupsi, ketidakadilan, yang efek jangka panjangnya jauh lebih membunuh massa dalam suatu wilayah daripada sebuah virus. Tetap jaga keseimbangan dan kestabilan berfikir supaya tetap sehat, sembari terus membuat backup lalu save as ke memori kita.
Belajar berfikir sedikit panjang dengan segala kemampuan yang ada dikawan-kawan. Belajar berpuasa kalau perlu, saya kira dalam sebuah krisis kalau itu memang harus terjadi puasa ini nanti yang melatih manusia untuk kuat lapar tapi tetap berhati bening dan berpikiran jernih. Ini kan sangat menarik, jika dipantik lebih jauh. Namun tulisan harus saya akhiri disini supaya tak melebar kemana-mana.
Terus berbahagia, saling kuat dan menguatkan,
Kiranya Bumi ikut merestui, apa yang manusia lakukan diatasnya.
Sukowati, 9 Maret 2020
Indra Agusta
*) Jalma bukan romo imam gereja, cuman sebutan kemesraan saja.

Monday, March 16, 2020

Kering dan Api


Semalam habis ngopi dengan Imam dan Ricky, obrolan demi obrolan melantur begitu saja. Namun tidak dengan hati jalma yang terus gelisah, dan memikirkan banyak hal. Terus mengiyakan ajakan seorang teman untuk menemani mereka dengan segala kegundahannya , jalma hanya menyimpannnya ya karena memang tidak pernah ada solusi yang benar-benar memecahkan masalah. 

Menjelang pagi setelah obrolan berlalu, jalma memutar haluan untuk pergi menyepi ke tanah tinggi. Ada himbauan pula untuk tidak pergi karena sedang ada wabah dimana-mana, tetapi rumah juga tidak kalah membunuhnya dengan beragam persoalan. Jalma memang belum bisa lagi untuk kembali tidur seperti biasa dikasur rumah. Segudang persoalan, juga luka-luka kecil bernama banyak tuntutan, cek-cok yang terjadi setiap jam terus menerus menguras kesabaran, menyakiti hati. Menaburi luka dengan perasan air jerus nipis, padahal luka belum kering betul. Dan terjadi disekujur tubuh. Begitu tertidur terlupa sejenak, beberapa jam kemudian pertengkaran terjadi. 

Manusia selalu tak pernah puas dengan apa yang dicapai. Keadaan yang tidak pernah cukup seperti kekeringan yang luas melanda tubuhku, sudah luka, hancur tetapi juga belum dan mungkin tidak pernah cukup.

Sepanjang jalan menuju tanah tinggi, pertanyaan-pertanyaan retoris selalu menghantui langkah. Kurang apalagi? harus bagaimana lagi? nanti kalau pulang kerumah membasuh yang bagaimana lagi? konflik apalagi? jam berapa bisa tidur lelap? kapan mereka berhenti berbicara soal kurang dan terus kurang. Seperti tak ada menariknya perjalanan sendirian ketika subuh, namun pulangpun enggan, karena penatnya begitu penuh. Laripun terkadang akan menjadi sangat pengecut. Tapi diri juga harus memiliki ketenangannya, meskipun tidak bahagia. Apa sih kebahagiaan? selama ini hanya terus menjalani dan memberikan air untuk siapa saja. 

Melintasi kebun jambu petik di kiri jalan, buahnya mulai banyak, bekas sisa-sisa hujan terus nampak semakin deras ketika semakin naik. Menggurat jalan yang harus terus menerus difokuskan oleh pikiran yang sebenarnya cerai-berai oleh kalut. Ya dini hari ini kabut mulai sangat tebal menutup punggungan bukit, sesampai di kebun teh jarak pandang hanya 5-10 meter rintik hujan melengkapi keromantisan pagi ini. Lampu motor yang tak kalah redupnya semakin menambah kengerian pagi, tetapi jalma selalu suka dengan hujan. Tetesan hujan yang tidak padat, namun cukup untuk membasahi wajah, jalanan yang total sepi tak ada satupun yang lewat, serta angin sepoi. 

Entah sejak kapan jalma mencintai perasaan sepi ini, apalagi ketika sedang banyak pikiran bukannya bercerita malah memilih menyendiri. Setidaknya dulu ketika jaman SMP lebih memilih tidur di taman mini di pojokan alun-alun kota, atau di emperan luwes ketika musim hujan. Setelah capek dengan kondisi rumah, sekolahpun hanya untuk nglegani orang tua supaya terus ada yang dibanggakan dari angka-angka dan ranking yang ditarget. Belum lagi dengan banyak pertemuan tongkrongan, jika kalut aslinya juga nglegani karena biasanya duduk bersama, semalas apapun untuk berdebat dan membicarakan hal-hal yang tidak penting akhirnya juga tetap duduk bersama. Tetapi tetap saja puncaknya lebih memilih sendiri.

Sama seperti pagi ini, mungkin 2-3 minggu ini ketika memang jalma sudah tidak kuasa menahan beragam gangguan kepenatan. Jalanan adalah yang paling setia meski tak berkata, karena mungkin sudah bosan juga dengan kata-kata normatif penyemangat. Lebih baik menyusuri pelan, kilometer demi kilometer dibawah 40km/jam dengan rasa was-was akan diri sendiri, bersama segala kegelisahannya. Tetapi sangat membantu untuk berdamai dengan segala penat menutup luka-luka sebelum nanti beberapa jam lagi akan dihantui masalah yang sama dan terus berulang karena keringnya manusia.

Motor ditaruh di rumah saudara tepat dibawah situs, lalu setapak demi setapak jejak Jalma menapaki bukit yang tidak terjal itu. Lewat di sampaing candi yang dibangun di era akhir Majapahit. Langit masih gelap, berbekal senter iphone ala kadarnya maka berjalanlah jalma.
Jam merekam Pukul 06.30 sembari menyibaki ilalang setingi dada, nampaknya musim penghujan benar mencurahkan airnya ke bumi. Ilalangnya penuh dengan embun, jejak sepatu mengubah tanah selepas hujan menjadi berlumpur hebat. Kali ini juga lebih menenangkan lagi, hutan dan Lawu seperti rumah untuk pulang dari segala puncak kerinduan. 

Benar-benar menjadi tracking sendirian yang mampu memupus banyak hal, tiduran di rumput tanpa sinyal, menikmati terbit matahari sembari mendengar lagu, duduk-duduk diketinggian 1700 mdpl, cuaca yang sangat dingin tetiba menjadi hangat, sudah lama sekali jalma tak menikmati detail-detail seperti ini. Kicau burung di pagi hari, bau menyengat saliyara, deassy dan dandelion mewarnai rerumputan. Tanah yang sedikit miring seperti adonan lezat untuk menikmati pagi yang cerah di musim hujan. Lalu angan membawa lagi kepenatan sepanjang simpang jalan, sangat menganggu kemewahan bercengkrama dengan pagi, distraksi seperti terus terjadi di alam berpikir, bertentangan antara harap dan realitas, antara keinginan dan kenyataan. Dan sama seperti masalah tidak ada yang benar-benar mengerti. Konflik serumit ini dengan beragam variabelnya, juga akhirnya tindakan-tindakan jalma yang kerap kali disalahpahami hanya karena ngrumat rumah dst.

Capek sebenarnya, tetapi tidak bisa dihilangkan berbagai pikiran yang berkecamuk, rasa terus menerus merasa gagal karena apapun yang dilakukan tidak pernah dihargai, hanya karena selalu ingin menuntut lebih. Memperhitungan lagi banyak pertimbangan meskipun akhirnya buntu juga. Tidak ada solusi yang menuntaskan selain menambal beberapa jam lalu hancur lagi, kehancuran demi kehancuran. Semakin kesini semakin menjadi-jadi saya. Ya memang harus memaklumi sikap manusia yang mulai berumur, tetapi aku juga terbatas karena air yang kupunya sedikit. 

Teh pagi ini memang disajikan tanpa gula, seperti masam pikiran yang kemana-mana. Namun demikian hidup harus berlalu, dan memang sudah tidak ada lagi yang menarik. Tulisan-tulisan ini menggenapi umpat sekaligus merekamnya, karena memang takut, malu, gk percaya diri untuk bercerita ke teman-teman, takut membenani karena mereka juga bergelut dengan hidup mereka sendiri.

Akhirnya ditengah wabah jalma terus saja keluar rumah, karena rumah juga menjadi 'wabah' pula dalam bentuk yang lain. Yang juga tak kalah mengeringkan. Sakit dan penuh tekanan, penuh perbandingan dst.

Hingga untuk jadi diri sendiri ada harga yang sangat mahal, mungkin setelah tulisan ini ditulis akan pecah lagi pertengkaran baru demi pertengkaran baru. Semoga bisa tertidur pulas, sebelum seperti earphone audio-technica yang tetiba dicabut begitu saja karena tidak mengindahkan mereka meluapkan sesuatu. Tapi aku jua ingin tidur tenang, tubuhku butuh istirahat, pikiranku butuh rileks, supaya tidak gila dan stress menghadapi beragam konflik yang tak pernah usai. Dan nyatanya kalian tak pernah mengganti earphone kesayanganku itu sampai aku beli baru, tapi terus menerus kering dan minta diladeni.

Sampai kapan?
Sampai mati. Aku atau kalian yang akan mendahului.
Atau semoga ada yang mau ngalah untuk bebarengan ngrumat. Dan mujizat lain

Semoga terus berbahagia, siapapun yang membaca tulisan ini, semoga tak membebanimu. Kalaupun dishare hanya berbagi kebahagiaan dengan penyintas lain yang jadi followers-ku, kalian jangan mengalami progresi seperti ini. Karena akan hancur-sehancurnya dan bingung menentukan langkah-langkah, apalagi untuk naik ke jenjang selanjutnya menjadi tua dan orang tua. Ah, kenapa aku selalu takut menuju kesana.

Nyaris tak ada yang diunggulkan jika harus diukur dari standar orang tua kita, orang tua ku sendiri. Selamat pagi, berbahagialah dengan hidupmu. Senja datang, malam segera menjelang jalma harus pulang supaya tak menumpuk lagi beban-beban yang meloncat bebas dari kata-kata. Menahan lagi pahit, mari menyalakan api dan duduk membisu mengolah segala gejolak batin. Semoga terus kuat, dan bertahan entah sampai kapan...


Pagupon yang sudah porak poranda, tapi pengecut saja jika meninggalkannya. Sementara saya terus menemani orang-orang kalah dan mereka yang sama kacaunya untuk terus mencintai hidupnya, dan aku mencintamu. 


Lawu, 16 Maret 2020
Indra Agusta