Anak manusia duduk meratapi nasibnya, ketika menjelang senja hari-hari semakin berat. Kepala seperti diremuk lagi dan lagi, pada harapan anak manusia menumpu, disitu pula harapan apakah layu?
Anak manusia menikmati ulang-alik cintanya, semua terus bergerak mengitari edar matahari, sayap-sayapnya patah terseok oleh taifun menghantam sebuah batu besar di tanah makam impian.
Hatinya sangat sakit, terluka batinnya sangat dalam, betapa apa yang menjadi harapan anak manusia kini tiada lagi, rahsa yang bersemi menjelma menjadi hujan deras, kuyup, menggigilkan badan, yang setiap taburan airnya.
Gontai, seperti kehilangan arah, kemana dan apalagi yang hendak dituju, anak manusia tersesat dalam kepedihannya, matanya kosong melihat kamar gelap, entah segalanya menjadi seperti gelap, tak bersemangat, kelu.
Anak manusia tak kuasa lagi menahan banyak gejolak batinnya, segala kepenatan memuncaki ruang pikirannya,
Seperti menjadi lengkap penolakan demi penolakan yang membunuh perlahan anak manusia, cahaya meredup berpindah ke padang sabana gelap kaki manusia, sendirian, kedinginan, gelap..
Dimana terang?
Dimana tambatan jiwa?
Dimana tangan-tangan yang bisa kugapai?
Dimana,
Dimana lagi...
Aku kesepian, aku sedih, aku sakit, dan mati...
No comments:
Post a Comment