image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, December 28, 2020

Soto Ayam Lempuyangan

Pukul setengah tiga pagi, lipatan waktu menukik tajam ke edar pertama kali menyusuri sudut-sudut sepi sekitar stasiun ini. Banyak sekali memang yang berubah di malam sedini ini. Aroma sampah sudah tidak begitu terasa, tak ada lagi penjaja rokok ketengan dan air mineral, tukang ojek masih tetap terkantuk-kantuk di tempat mangkalnya, yang lainnya sibuk bercengkrama di emperan warung 24 jam yang penjual yang menahan kantuk yang sama. 

 Sudut timur dibawah jembatan layang sekarang, penuh dengan tukang ojek digital. Tempat yang dulu tidak akan mungkin demikian sepinya karena sering dijadikan ajang nongkrong dan tawuran anak muda. Segala perkelahian, cekcok karena urusan percintaan hingga mencorat-coret tembok sebagai aksi kebanggaan.

Pasar kembang kini juga sudah lengang, tak tampak lagi sampai di jalan besar wanita-wanita yang bergelut dengan hidupnya, hingga tubuh satu-satunya yang dimiliki dijadikan komoditas untuk dirinya sendiri. Sebuah pilihan-pilihan sulit yang mengunci manusia, yang nasib menggariskannya juga jauh pintu keluar dari genggam. 

Teracung genggam tangannya, seorang lelaki tua di dekat pintu keluar, bertopi warna orange lusuh, kulit yang legam terpanggang matahari menyiratkan kebuasan hidup yang dialaminya, juga rambut memutih yang sama sekali tak terawat. Matanya tertunduk ketika bertemu mata orang-orang yang dengan tangan diatas melemparkan koin-koin ke bekas kaleng cat yang tak kalah rapuh. 

Sekilas aku berani lagi menatap mata itu, dua biji mata yang kalah oleh kahanan, entah mengalami kepahitan hidup seperti apa kegetiran dan kesedihan tampak, hingga akhirnya menyerah. 

Lalu lalang seperti tiada henti kepergian-kepulangan nampak seperti tarian mesra sepasang kekasih yang bahagia, pekerja harian nampak lebih sigap meskipun tetap saja tak mungkin terlepas dari suasana kebosanan menjalankan rutinitas. 

Di depan pintu keluar kuli panggul adalah pekerjaan yang tak pernah hilang sejak pertama kali aku kesini, mereka yang dengan segala cara menawarkan fisik dan kekuatan mereka untuk membawakan barang sekedar ke pintu taxi atau mobil keluarga yang sudah menunggu, atau bagai gayung bersambut kemudian dioper ke tukang becak yang sudah bekerja sama jika ingin segera bergeser ke penginapan atau tujuan. 

Orkestrasi semarak nampak bagai dendang lagu Iwan Fals dari pengamen. Pengamen yang seorang anak, lelaki, sandalnya swallow biru, separoh diikat dengan tali rafia ujungnya, persis seperti nafas hidupnya yang tersengal, putus-putus menjalani nasib.

Matanya sangat tajam, bahkan penuh kemarahan, mungkin tersengat oleh bentrokan keadaan setiap harinya. Dengan gitar triplek sederhana yang juga berwarna biru, stangnya sudah melengkup di strap pada fret ke-5 menggunakan pensil yang diberi karet supaya kunci-kunci nada jauh lebih empuk di tangan yang sudah kumal karena nasib. 

Sambil menyeruput soto ayam di tikar yang sudah buram seperti spanduk lesehan, seorang bapak menunggu kereta bersama anaknya yang masih kecil. Anak kecil pengamen ini hanya memandangi dari kejauhan, kerongkongannya kelu akan kenikmatan soto kuah, namun recehan yang dia dapat tak cukup untuk membeli. Anak kecil pengamen ini pergi memutar lagi deretan ruko di depan stasiun ini. 

Satu demi satu, keping demi keping didapatkan diwadahi bungkus plastik biru relaxa yang entah dapat darimana. Celana jeans-nya sudah robek, sama mungkin dengan luka di hatinya yang tiada terkira sayatan-sayatannya. 

Sementara setiap sayatan ayam di soto bapak tadi disuapkan perlahan ke mulut sang anak, satu demi satu tampak sedikit kesusahan namun akhirnya tertelan juga. Sesendok kuah soto dibenamkan lagi ke mulut sang anak. Seperti udara kasih-kasih orang tua kepada anaknya, di ruko sebelahnya anak pengamen ini terus bernyanyi, bapaknya bukan orang tua, tetapi udara-udara panas dan bising dari kereta inilah orangtuanya, yang kasihnya meneduhi disetiap langkahnya. 

Jauh jalan yang harus kau tempuh, mungkin samar, bahkan mungkin gelap 

Kereta menuju timur sudah datang, dengan tergesa berniat membeli semangkuk soto tadi, tapi ini waktunya pulang kembali ke asalnya. Sambil menahan lapar, berharap kereta akan ramai dan banyak orang yang akan memberikan rejeki kepadanya, sambil menelan ludah dia menyiapkan lagi lagu-lagunya. 

Duduk sini nak, dekat pada bapak, Engkau lelaki kelak sendiri.... 

Dan kereta tidak begitu ramai, jatah untuk rokok polsuska sudah diberi, kesempatan mengamen digerbong selesai, di dekat kamar mandi antar persambungan gerbong, anak kecil ini menghitung recehannya, keping demi keping berharap masih ada sisa untuk menyambung hidup dirumah, diam-diam memberikan separuh lebih hasilnya untuk rumah, dan tentu semangkuk soto ayam. 

Namun semuanya tak sempat dimilikinya, karena terburu dipalak preman stasiun berikutnya. Lapar makin mendera, ingin melawan tapi kalah tua. 

Lelaki di warung kopi berjaket kulit, kumisnya tebal mirip Gombloh mengamitku. 

“Sini-sini dek, kata preman yang lain, sudah makan?” 
“belum, mau makan malah dipalak ten mrika” 
“Yu, soto ayam satu,” sambil tangannya mengacung pada lelaki necis yang berdiri tak jauh dari warung, lelaki inilah yang memalak hasil ngamen anak kecil. Lalu uangnya dikembalikan. 

 “Besok lagi kalo ngamen di daerah sini, bilang kamu anakku, namaku Jono, wes pokoe ngko aman.. ” 

Delapan belas tahun berlalu, kereta api sudah semakin bersih keadaannya dan lepas dari preman. Pak Jono entah kemana. Anak kecil pengamen ini kembali ke stasiun ini, dengan nasib yang jauh berbeda, memesan semangkuk soto ayam, yang dibalut dengan kelopak mata yang pedas karena waktu menggiringnya kepada kenangan, untuk mengucap syukur dan berucap sabar.

Lempuyangan, 26 Desember 2020 
I. Agusta

No comments:

Post a Comment