Semalam habis ngopi dengan Imam dan Ricky, obrolan demi obrolan melantur begitu saja. Namun tidak dengan hati jalma yang terus gelisah, dan memikirkan banyak hal. Terus mengiyakan ajakan seorang teman untuk menemani mereka dengan segala kegundahannya , jalma hanya menyimpannnya ya karena memang tidak pernah ada solusi yang benar-benar memecahkan masalah.
Menjelang pagi setelah obrolan berlalu, jalma memutar haluan untuk pergi menyepi ke tanah tinggi. Ada himbauan pula untuk tidak pergi karena sedang ada wabah dimana-mana, tetapi rumah juga tidak kalah membunuhnya dengan beragam persoalan. Jalma memang belum bisa lagi untuk kembali tidur seperti biasa dikasur rumah. Segudang persoalan, juga luka-luka kecil bernama banyak tuntutan, cek-cok yang terjadi setiap jam terus menerus menguras kesabaran, menyakiti hati. Menaburi luka dengan perasan air jerus nipis, padahal luka belum kering betul. Dan terjadi disekujur tubuh. Begitu tertidur terlupa sejenak, beberapa jam kemudian pertengkaran terjadi.
Manusia selalu tak pernah puas dengan apa yang dicapai. Keadaan yang tidak pernah cukup seperti kekeringan yang luas melanda tubuhku, sudah luka, hancur tetapi juga belum dan mungkin tidak pernah cukup.
Sepanjang jalan menuju tanah tinggi, pertanyaan-pertanyaan retoris selalu menghantui langkah. Kurang apalagi? harus bagaimana lagi? nanti kalau pulang kerumah membasuh yang bagaimana lagi? konflik apalagi? jam berapa bisa tidur lelap? kapan mereka berhenti berbicara soal kurang dan terus kurang. Seperti tak ada menariknya perjalanan sendirian ketika subuh, namun pulangpun enggan, karena penatnya begitu penuh. Laripun terkadang akan menjadi sangat pengecut. Tapi diri juga harus memiliki ketenangannya, meskipun tidak bahagia. Apa sih kebahagiaan? selama ini hanya terus menjalani dan memberikan air untuk siapa saja.
Melintasi kebun jambu petik di kiri jalan, buahnya mulai banyak, bekas sisa-sisa hujan terus nampak semakin deras ketika semakin naik. Menggurat jalan yang harus terus menerus difokuskan oleh pikiran yang sebenarnya cerai-berai oleh kalut. Ya dini hari ini kabut mulai sangat tebal menutup punggungan bukit, sesampai di kebun teh jarak pandang hanya 5-10 meter rintik hujan melengkapi keromantisan pagi ini. Lampu motor yang tak kalah redupnya semakin menambah kengerian pagi, tetapi jalma selalu suka dengan hujan. Tetesan hujan yang tidak padat, namun cukup untuk membasahi wajah, jalanan yang total sepi tak ada satupun yang lewat, serta angin sepoi.
Entah sejak kapan jalma mencintai perasaan sepi ini, apalagi ketika sedang banyak pikiran bukannya bercerita malah memilih menyendiri. Setidaknya dulu ketika jaman SMP lebih memilih tidur di taman mini di pojokan alun-alun kota, atau di emperan luwes ketika musim hujan. Setelah capek dengan kondisi rumah, sekolahpun hanya untuk nglegani orang tua supaya terus ada yang dibanggakan dari angka-angka dan ranking yang ditarget. Belum lagi dengan banyak pertemuan tongkrongan, jika kalut aslinya juga nglegani karena biasanya duduk bersama, semalas apapun untuk berdebat dan membicarakan hal-hal yang tidak penting akhirnya juga tetap duduk bersama. Tetapi tetap saja puncaknya lebih memilih sendiri.
Sama seperti pagi ini, mungkin 2-3 minggu ini ketika memang jalma sudah tidak kuasa menahan beragam gangguan kepenatan. Jalanan adalah yang paling setia meski tak berkata, karena mungkin sudah bosan juga dengan kata-kata normatif penyemangat. Lebih baik menyusuri pelan, kilometer demi kilometer dibawah 40km/jam dengan rasa was-was akan diri sendiri, bersama segala kegelisahannya. Tetapi sangat membantu untuk berdamai dengan segala penat menutup luka-luka sebelum nanti beberapa jam lagi akan dihantui masalah yang sama dan terus berulang karena keringnya manusia.
Motor ditaruh di rumah saudara tepat dibawah situs, lalu setapak demi setapak jejak Jalma menapaki bukit yang tidak terjal itu. Lewat di sampaing candi yang dibangun di era akhir Majapahit. Langit masih gelap, berbekal senter iphone ala kadarnya maka berjalanlah jalma.
Jam merekam Pukul 06.30 sembari menyibaki ilalang setingi dada, nampaknya musim penghujan benar mencurahkan airnya ke bumi. Ilalangnya penuh dengan embun, jejak sepatu mengubah tanah selepas hujan menjadi berlumpur hebat. Kali ini juga lebih menenangkan lagi, hutan dan Lawu seperti rumah untuk pulang dari segala puncak kerinduan.
Benar-benar menjadi tracking sendirian yang mampu memupus banyak hal, tiduran di rumput tanpa sinyal, menikmati terbit matahari sembari mendengar lagu, duduk-duduk diketinggian 1700 mdpl, cuaca yang sangat dingin tetiba menjadi hangat, sudah lama sekali jalma tak menikmati detail-detail seperti ini. Kicau burung di pagi hari, bau menyengat saliyara, deassy dan dandelion mewarnai rerumputan. Tanah yang sedikit miring seperti adonan lezat untuk menikmati pagi yang cerah di musim hujan. Lalu angan membawa lagi kepenatan sepanjang simpang jalan, sangat menganggu kemewahan bercengkrama dengan pagi, distraksi seperti terus terjadi di alam berpikir, bertentangan antara harap dan realitas, antara keinginan dan kenyataan. Dan sama seperti masalah tidak ada yang benar-benar mengerti. Konflik serumit ini dengan beragam variabelnya, juga akhirnya tindakan-tindakan jalma yang kerap kali disalahpahami hanya karena ngrumat rumah dst.
Capek sebenarnya, tetapi tidak bisa dihilangkan berbagai pikiran yang berkecamuk, rasa terus menerus merasa gagal karena apapun yang dilakukan tidak pernah dihargai, hanya karena selalu ingin menuntut lebih. Memperhitungan lagi banyak pertimbangan meskipun akhirnya buntu juga. Tidak ada solusi yang menuntaskan selain menambal beberapa jam lalu hancur lagi, kehancuran demi kehancuran. Semakin kesini semakin menjadi-jadi saya. Ya memang harus memaklumi sikap manusia yang mulai berumur, tetapi aku juga terbatas karena air yang kupunya sedikit.
Teh pagi ini memang disajikan tanpa gula, seperti masam pikiran yang kemana-mana. Namun demikian hidup harus berlalu, dan memang sudah tidak ada lagi yang menarik. Tulisan-tulisan ini menggenapi umpat sekaligus merekamnya, karena memang takut, malu, gk percaya diri untuk bercerita ke teman-teman, takut membenani karena mereka juga bergelut dengan hidup mereka sendiri.
Akhirnya ditengah wabah jalma terus saja keluar rumah, karena rumah juga menjadi 'wabah' pula dalam bentuk yang lain. Yang juga tak kalah mengeringkan. Sakit dan penuh tekanan, penuh perbandingan dst.
Hingga untuk jadi diri sendiri ada harga yang sangat mahal, mungkin setelah tulisan ini ditulis akan pecah lagi pertengkaran baru demi pertengkaran baru. Semoga bisa tertidur pulas, sebelum seperti earphone audio-technica yang tetiba dicabut begitu saja karena tidak mengindahkan mereka meluapkan sesuatu. Tapi aku jua ingin tidur tenang, tubuhku butuh istirahat, pikiranku butuh rileks, supaya tidak gila dan stress menghadapi beragam konflik yang tak pernah usai. Dan nyatanya kalian tak pernah mengganti earphone kesayanganku itu sampai aku beli baru, tapi terus menerus kering dan minta diladeni.
Sampai kapan?
Sampai mati. Aku atau kalian yang akan mendahului.
Atau semoga ada yang mau ngalah untuk bebarengan ngrumat. Dan mujizat lain
Semoga terus berbahagia, siapapun yang membaca tulisan ini, semoga tak membebanimu. Kalaupun dishare hanya berbagi kebahagiaan dengan penyintas lain yang jadi followers-ku, kalian jangan mengalami progresi seperti ini. Karena akan hancur-sehancurnya dan bingung menentukan langkah-langkah, apalagi untuk naik ke jenjang selanjutnya menjadi tua dan orang tua. Ah, kenapa aku selalu takut menuju kesana.
Nyaris tak ada yang diunggulkan jika harus diukur dari standar orang tua kita, orang tua ku sendiri. Selamat pagi, berbahagialah dengan hidupmu. Senja datang, malam segera menjelang jalma harus pulang supaya tak menumpuk lagi beban-beban yang meloncat bebas dari kata-kata. Menahan lagi pahit, mari menyalakan api dan duduk membisu mengolah segala gejolak batin. Semoga terus kuat, dan bertahan entah sampai kapan...
Pagupon yang sudah porak poranda, tapi pengecut saja jika meninggalkannya. Sementara saya terus menemani orang-orang kalah dan mereka yang sama kacaunya untuk terus mencintai hidupnya, dan aku mencintamu.
Lawu, 16 Maret 2020
Indra Agusta
No comments:
Post a Comment