image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Tuesday, June 30, 2020

Romo Fiatlux (catatan hari bapak)


Duduk-duduk didepan teras menunggu hujan deras reda. Atap seng yang mulai keropos mengucurkan beberapa bulir air ke ubin-ubin yang mulai retak terpapar waktu. Seorang anak kecil duduk bersila didepan lincak didepan rumahnya. Menikmati bau-bau tanah basah beserta rahim pertiwi yang terus saja menyerap segala deras air yang turun. Gundah hatinya dengan beragam kenyataan hidup, namun air saja menetes dari mega-mega kelabu.

Hari ini peringatan hari bapak sedunia, media sosial mewartakan beragam pujian, sanjungan juga ingatan kepada ayah dan sesosok lelaki yang turut serta menemani semua anak-anak sepanjang hidup mereka. Lalu kisahpun dihidupkan kembali dalam beragam peringatan, tentang cinta, tentang rasa nikmat dalam ayunan dekapan bapak, juga tentang beragam kepiluan bagi mereka yang sudah ditinggalkan.

Anak kecil diteras rumah hanya melamun bersama hujan deras, gawai di tangan kirinya seperti sebuah sinyal akan kebisuan semu. Membayangkan betapa menyenangkannya mempunyai orangtua yang genap, orang tua yang mau bertukar pendapat dan duduk bersama dalam satu meja makan. Lalu rekaman-rekaman akan masa silam. Yah, dengan bibir bergetar sulit menjelaskan kepada kawan betapa banyak bapak-bapak yang berlalu lalang di hidupnya. Lelaki yang mondar-mandir memenuhi sela-sela hidupnya.

Anak kecil duduk mengutuki nasibnya, marah, meluapkan segala kebenciannya akan hidup kepada hujan. Namun hujan pula enggan, dan diam, serasa meletup dan meledak kepalanya mengingat segalanya tiba-tiba berantakan. Kepergian ibunya setelah berbaring dua tahun dan kekacauan 98, lalu menikahlah lagi bapak biologis sang anak dengan wanita lain yang dicintainya. Serasa ingin menunda segala, namun ajal yang memenangkannya.

Hidup menjadi tak mudah bagi anak kecil di kemudian hari, sang anak mencari jalan dan jatidirinya sendiri, berjuang dan bertahan dengan caranya, dengan pola pikir yang dia bangun bertahun-tahun, dengan banyak hal yang diperhitungkan, banyak yang dikorbankan dengan menghitung segala resiko dan berpacu dengan ajal. 

Usianya sekarang menjelang kepala tiga, masih tidak jelas memang, namun sang anak menjadi lebih terang fikirnya untuk lebih menjadi dewasa, syukur dan terimakasih yang mendalam lalu terucap bersama banyak kesusahan dan disitu pula bersemayam segala keajaiban, sukacita dan beragam nikmat keberkahan.

Cakra manggilingan berhenti di titik bawah, meskipun tidak dengan hidup, segala rutinitas sehari-hari harus berjalan, waras dan seimbang. Tentu banyak sekali yang dikorbankan agar tetap waras, tidak terlalu bergeser untuk menjadi rakus dan berada pada kewajaran. Seperti idealitas manusia pada disemua titik dimana dia bela, dimana segala kebaikan dirasa oleh sekeliling dan kebahagiaan terpancar dari situ.

Rasa bahagia tidak lahir sendiri, sepanjang jalan anak kecil ditemani bapak-bapaknya, orang-orang yang nyaris mempengaruhi anak kecil ini menjadi Altruis, setidaknya menjadi sosialis. Tidak punya banyak ambisi untuk dirinya selain ambisi untuk memperdayakan segenap hidupnya supaya banyak orang yang tidak berkesempatan mencecap kebahagiaan, jika mendekat dengan anak kecil ini punya kelegaan, dan bisa lebih punya banyak waktu untuk tetap hidup, berbahagia dan menikmati segenap arti dalam segala petualangan hidupnya (yang tentu tidak gampang).

#1
Krisis 1998 melanda, banyak yang terkena PHK banyak dari orang kampung yang pendapatannya berasal dari pabrik-pabrik terpaksa kembali ke desa, dan memantapkan hidup apa adanya didesa. Demikian juga dengan orangtuaku, bapak di PHK dan sedikit menjarah kain untuk menyambung hidup dan glamor masa mudanya, ibukku dirumahkan. Kehidupan tidak pernah membaik sejak saat itu, banyak sekali permasalahan datang silih berganti mengisi hidup anak kecil ini.

Tiba saatnya anak kecil beranjak dewasa, mengikuti segala kebiasaan yang turun menurun diajarkan dan dilakukan keluarga besar. Sunat. Dulu banyak kawan anak kecil ini mengira bahwa terlahir dikeluarga pengikut Isa tak apa tak bersunat, namun tidak dengan keluarga anak kecil ini, semuanya harus sunat, sebagai syariat agama maupun sebagai sarana kesehatan, tahun-tahun berlalu ketika anak kecil ini besar dia juga tahu bahwa Isa, anak manusiapun disunat sebagai ritual Yahudi.

Ketiadaan biaya untuk anak kecil yang terus merengek ini, tak mungkin lagi menambah beban hutang keluarga yang tak terbayar pula. Anak kecil ini dititipkan ke seorang bapak, Eko Suparno namanya. Seorang dari Pengging, yang kemudian menjadi anak mantu adik simbah kakung dari ibuk. Tukang reparasi sound sekaligus elektronika ini mau bikin hajatan sunat untuk anak lelakinya yang seumuran dengan sang anak. Lalu anak kecil ini masuk di mobil yang sama bersama bapak satu itu, menuju klinik disebelah barat desanya, dibiayai, diragati dan akhirnya kecipratan juga keberkahan hajatannya.

Kudapat mengalir lezat, sarung bermotif cokelat kotak-kotak bermerek sebuah gajah diberikan untuk dibawa pulang, ahh lalu anak kecil tersipu malu menahan sakit jahitan yang belum kering.

#2
Turun dari angkot di palang kereta api di sebelah selatan alun-alun, anak kecil berjalan kaki menuju sekolahnya, sebuah SMP Katolik, sepatunya merek rieker sudah sejak SD belum ganti, untuk mengakali robekan di sepatu, anak kecil hanya memakai kaos kaki berwarna hitam setiap waktu. Duduk, bermain dengan teman sekelasnya, lalu pulang mengamen di pasar, stasiun dan bis ke bis sampai malam menjelang, berpindah ke warung disisi selatan alun-alun demi beberapa recehan untuk membeli soto di tempat mas Parmin, tukang kebun SMP katolik tersebut.

Di sekolah anak kecil mendirikan ekstra palang merah dan melanjutkan pramuka, lalu menghasilkan beragam piala yang tak pernah didapat selama beberapa tahun. Betapa bangganya yayasan, juga romo kami, romo Pri.

Ketika ibadah pelajar anak ini juga turut serta mengisi harinya dengan ikut tim paduan suara, seperti biasa. Dengan sepatu butut, beberapa kali mengikuti misa dan menciumi tangan romo sebelum pulang ke pasar dan mabuk lagi. Sangat kontradiktif.

Hari berikutnya, sampai di kelas lebih pagi, karena memang tidak pulang, mandi di stasiun Sragen lalu berjalan kaki menyusuri rel dan pasar. Tetiba di kolong meja, ada kardus dibungkus plastik kresek hitam, cukup mengagetkan. Lalu setelah kubuka, isinya sepatu, merek rieker yang sama hitam dengan ukuran kaki yang sama persis. Tidak ada tulisan pengirim, cuman ada kertas putih didalam sepatu bertuliskan “FIAT LUX”. Anak kecil ini menangis, dia tahu betul ini hadiah dari Romo yang berkali-kali melihat sepatu butut itu tampil di depan altar, ya, anak kecil memang miskin dan tidak kuat melayakkan sepatunya dihadapan Tuhan di gereja, lalu romo melayakkannya. Maturnuwun. 

Meskipun tidak jelas tapi aku yakin itu Romo Pri, yang entah sekarang berpindah tugas dimana.

#3
Masih di SMP Katolik, sang anak tidak pernah punya uang saku sepanjang 3 tahun masa sekolahnya. Uang dijatah hanya Rp. 7000/minggu di tahun 2002-2005. Hanya cukup untuk naik angkot PP. Untuk makan dan beli sarapan memang tercukupi dari mengamen, untuk mengerjakan tugas si anak harus menginap di rumah teman, namanya Artha, rumahnya di kecamatan Ngrampal dekat terminal. Keterbatasan dilengkapi dengan teman baik, yang cukup kaya. Indah bukan?. 

Tahun itu sudah punya komputer  Intel Pentium 2, berangkat diantar jemput menggunakan mobil dan keluarga yang sangat terpandang. Sayang, Artha ini memang tidak begitu mumpuni kualitas akademisnya, hanya kebetulan berbagai fasilitas tercukupi.

Dengan si anak yang beberapa kali kerumahnya, Artha bisa mengkopi kerjaan si anak, lalu Artha yang terlelap tidur, si anak ini hanya duduk-duduk menemani bapak Artha menonton wayang kulit di TV sampai menjelang pagi.

Tidur sebentar, lalu dibuatkan sarapan, makan semeja bersama sebagai keluarga, bersama adik Artha yang masih TK. Banyak hal yang selalu membuat si anak canggung, karena tak pernah diperlakukan demikian sopan oleh banyak orang. Si anak terbiasa sebagai  anak jalanan, mengais sampah dari jalanan dan punya keluarga tak kalah hancurnya dirumah. 

Dirumah Artha, si anak belajar sedikit demi sedikit cara makan di meja, yang sunyi, penuh aturan dan sopan santun. Elegan. Lalu selalu disisihkan uang saku dari Ibu Artha untuk anak kecil ini, nyaris selama sekolah selama mau menginap di rumah beliau.

Kenaikan kelas datang, Artha mengalami lonjakan nilai yang signifikan. Diundang kerumahnya untuk perayaan, lalu sang bapak mendekatiku.
“dek, kalau dek Indra mau, tinggal disini seterusnya saja, jadi anaknya bapak, nanti bapak urus pindah Kartu Keluarganya, adek mau sekolah setinggi apapun bapak siap biayain, adek mau motor tinggal pilih, dan bapak terimakasih, Artha jadi mau sekolah serius’

Si anak hanya bengong, tak bisa menjawab, tau betul kalau mau ‘nggragas’ bisa saja si anak berpindah keluarga, punya segala akses material maupun akses lainnya. Dan tidak perlu nyambi ngamen demi semangkuk soto atau segelas es teh. 

Si anak juga tahu betul jika keadaannya sekarang sangat kacau, tidak banyak  kemungkinan keluarga bisa utuh, bahkan jauh dari nol, semuanya masih minus. Ayah Artha tahu potensi si anak kecil ini, namun juga sedikit banyak tahu kondisi keluarga anak kecil ini. Bimbang, lalu dengan berat hati, niat tulus dari bapak Artha ini akhirnya ditampik dengan ucapan banyak terimakasih.

#4
Yang terakhir tentu bapak biologis sang Anak, si pemabuk, perokok berat dan jawara pada masanya. Terlahir dari anak dewa, seorang bayan yang berpengaruh, sakti dan kaya. Kematian Bayan dan kelahiran si anak kecil ini membuatnya kalut bahwa hidup harus dijalani demikian berat. Namun, justru mabuk-mabukan, membeli vcd porno dan membeli PSK, entah nampaknya juga tidak pernah berhenti hobi si bapak ini, seperti menjadi candu ketika seseorang sudah terbiasa “jajan”. Belum hobinya berkelahi, merusuh di setiap hajatan di beberapa kampung, terkenal oleh orang-orang sekitar.

Dirumah, berkali-kali anak hanya mendengar dikamar gelegar konflik, tamparan dan pukulan yang dilayangkan oleh bapak kepada istrinya, ibu si anak. 

Dulu yang difikirkan si anak cuman ingin besar dan membunuh dengan cara yang sangat keji sang bapak, namun keluar dan pergi dari rumah adalah jalan keluar segala puncak stres. Sampai si Istri meninggal dunia, dengan menyisakan banyak tagihan dan hutang.

Lalu bapak tak pernah pulang kerumah, si anak hidup dari jalanan masih saja menyisakan recehannya untuk nenek dirumah ketika SMP. Supaya bisa membeli sayur dan bertahan hidup. Ledakan amarah demi amarah hanya menumpuk, ketika bapak tidak becus menjadi bapak yang baik, setidaknya duduk diam bersama mengusahakan dan menyelesaikan masalah. 
Tetapi si anak masih terlalu kecil untuk tahu bahwa manusia punya kapasitas untuk menahan diri dari masalah.

Si bapak ini sangat emosional dan tak bisa duduk diam tenang, lalu jalan salurannya adalah segala luapan akan ketidakberdayaannya. Mabuk, pergi, gampar istri, meledak, jajan psk, hingga berkelahi.

Masa yang paling indah mungkin setahun sebelum si ibu meninggal. Bapak jobless dan ditagih banyak hutang, akhirnya mau jualan keripik pisang, ngambil batu dari sungai dan dipecahi di latar rumah untuk kemudian dijual. 

Masa-masa itu tidak lama, berubah drastis ketika ibu pergi, dan bapak justru mendapatkan kelayakan menjadi pegawai negara. Merasa punya uang, sendiri dan meracuni lagi ego-egonya yang belum selesai. Lalu menikah lagi setelah seribu hari si ibu pergi dan pergi tanpa pernah kembali sebelum kemiskinan kemudian datang lagi dan mengemis meminta rumah. 

Ingatan yang terbaik bagi si anak adalah membungkusi keripik pisang ini, menawar pisang, ke pasar, menitipkan keripik ke warung demi warung. Indah namun tidak lama.

Jauh rasanya untuk memaafkan, dendam juga terus membatu, namun si anak akhirnya membiarkan dirinya dimanfaatkan berkali-kali oleh si bapak, membantunya dengan cintanya yang mengalir begitu saja. Cinta yang mustahil kata orang lain, namun ternyata justru cinta itu yang membuat bertahan.

Tentu banyak lagi bapak-bapak si anak, bapak dari teman-temannya yang menerimanya seperti keluarga jauh melebihi apa yang diperbuat saudara sang anak. Juga untuk rumah  dibawah Lawu, yang setia menanti kapan akan datang, dan rumah tak pernah terkunci. Dengan segala keheningan dan ketenangannya meredakan banyak amarah, si anak bisa terus hidup, dalam beragam pilihan dan dalam berbagai kesempatan.

Si Anak dengan penuh amarah pergi dari rumah, mabuk berat, tertidur di emperan warung yang sudah tutup disebelah selatan alun-alun, karena lingkaran masa sekolahnya adalah pengamen dan preman pasar, sekaligus sebagai upaya bertahan hidup. Menjelang pagi dibangunkan seorang bapak, "dek pindah tidur". 

Ternyata Romo Pri yang sedang jalan-jalan pagi. Ditunggu sampai terbangun lalu,. si anak nakal ini diijinkan tidur dipastoral gereja katolik, tentunya membolos sekolah. Dan Romo bergegas misa pagi. 
---------------------------------------------------------------------------------------------
Maturnuwun untuk semua bapakku, bapak biologis, bapak ideologis, bapak-bapak sosialis yang banyak memberi ruang supaya si anak juga menjadi ruang tampungan untuk banyak orang. Bapakku akeh, keluargaku akeh. Selamat hari Bapak sedunia.

FiatLux (jadilah terang)
Surakarta, 30 Juni 2020

No comments:

Post a Comment