image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, July 8, 2020

Tridasawarsa, refleksi 30 tahun


Cahaya sinar senja turun ke peraduannya, seorang anak manusia  mengejar cahaya namun terus gagal menyemai segala edarnya, anak manusia terus kalah melawan putaran Bhumi kepada Surya, hari-hari lalu berganti, rupa kita melambat, menuju beragam sonya. Tiga dasawarsa anak manusia berjalan, ingatannya terbenam akan banyak rekam, banyak sekali kejadian yang datang silih berganti. 

Semakin banyak masalah, semakin banyak kesedihan, semakin banyak pula kekecewaan dan tentu hadir pula masa-masa manis, bahagia, juga kebingungan, abu-abu, nafas-nafas yang tersengal. Masa gelappun datang, puncak-puncak kehancuran datang belum pernah seperti sebelumnya, anak manusia pegat ingin mengakhiri hidupnya, nyaris di awal putaran tridasawarsa. 


Angin-angin segar dari pematang sawah-Nya, datang bersama tetes embun untuk memberikan beragam kesejukan untuk bertahan lagi dari kematian. Gemericik air disebelah timur pondokan terbuat dari bambu, dengan papringan apus tumbuh lebat diatasnya menawarkan sebuah jalinan menarik, embun-embun mengkristal di daun bambu. 

Pukul tigapagi lebih tigabelas, suara kentongan bernada daramuluk sayup-sayup terdengar dari desa disebelah sawah. Udara basah semakin terasa, anak manusia duduk-duduk diteras pertapaannya, menggapai segala ruang kerinduan akan beragam kebahagiaan yang pernah menyambanginya, hatinya kelu, batinnya rindu, namun kemana lagi tidak tahu menuju.

Apakah kita tak bisa tidak menua?
Rasanya masih selalu saja kurang , perasaan untuk terus membantu lebih banyak lagi manusia, menemani banyak sekali yang sedang punya masalah, duduk-duduk bersama mereka yang berat hati, terus mencintai dan saling membasuh. Rasa-rasanya hanya itu perasaan yang timbul kuat dari dalam diri, sebuah hentakan untuk tetap mengikuti rasa hati. Anak manusia sudah lama tidak pernah meminta dalam doa, segala hening tapanya hanya untuk menyebut nama dari nama-nama, yang berasal dari sebuah Nama, nama-Nya pula.

Tridasawarsa, anak manusia kemudian takut pada suatu hari hidupnya tak berguna hanya karena tak lagi punya kala, kemana lagi garam-garam jika sudah tidak lagi asin, atau kemana lagi cahaya lampu thintir yang berpendar jika suatu ketika redup. Pada Nama diatas nama, kumbul dupa terunggah, asapnya membubung kepada langit, abunya kembali ke tanah, seperti sebuah hatur sujud pada beragam benih, pada tetumbuhan yang sudah dititipkan didalam diri anak manusia. 

Lalu dinaikkanlah sebuah permintaan, permohonan atas nama cinta yang mendalam, supaya Khalik memberi lagi banyak kekuatan, banyak lagi kuda untuk menjangkau lebih banyak, memberi lagi banyak kekuatan untuk mereka yang sesak hati, dan punya lebih banyak lagi kewajaran untuk menempuh hidup.

Anak manusia berjalan dalam banyak pilihan, banyak kalkulasi didalam fikirannya, banyak asumsi dan analisis subjektif tentang banyak hal, tentang segala efek jangka panjang bagi semua teman-teman disisinya. Terkadang disalahpahami sebagai sebuah sifat  jahat, sebagai egoisme, sebagai tamparan, hasutan, trik, dan berbagai simulasi yang menyakitkan. 

Pilihan-pilihan harus ditempuh supaya banyak orang menikmati manfaat, mendidik, menghardik, berakibat? Tentu. Lalu kebanyakan membekas seperti dendam, dan  luka terasa lebih pilu dari segala kebahagiaan. Anak manusia tetap manusia yang juga menyakiti banyak orang, sekalipun membahagiakan banyak orang. Tentu tak semua, namun semampunya, supaya banyak orang naik level, supaya anak-anak terus tumbuh dari dalam, pemikirannya menjadi kritis dan tangguh menghadapi banyak polah. Banyak sembah dan maaf dihaturkan anak manusia kepada sekelilingnya.

Pola-pola terbentuk bersama waktu, anak manusia tak banyak berubah, keberadaannya lebih mudah ditebak oleh sekelilingnya. Ya secara garis besar anak manusia tetap jalma biasa, seperti manusia lain yang juga biasa namun pasti memiliki sisi-sisi yang tidak biasa dan luar biasa. 

Soal kepastian juga demikian, apa yang pasti dan dimiliki anak manusia saat ini? Segalanya masih suam, tidak ada yang dianggap mapan dalam pandangan awam di bumi anak manusia hidup. Berpegang pada ayunan waktu, anak manusia hanya terus ingin memberi, sekaligus dalam beragam keterbatasan akhirnya bias lagi apa sebenarnya arti dari memiliki, apa yang sudah dimiliki anak manusia?. 

Beberapa pertanyaan mendasar, kemana setelah kemana, apa yang dikejar lagi? Apa yang di hembuskan supaya beragam kekuatan yang masih tersisa bisa dioptimalkan lebih lagi, atau apa lagi yang dicari?.

Tidak banyak keinginan anak manusia untuk diri pribadinya, ingin hidup sedikit tenang, dan punya banyak lagi berkah untuk memberkati, lebih punya banyak lagi wadah yang luas untuk menampung, punya banyak alternatif lagi supaya mampu menjadi jalan kebermanfaatan, dan banyak hal lain yang cenderung untuk orang lain. Jikalau diberi kesempatan untuk mendapat benih-benih lagi, pada tanah yang anak manusia miliki benih-benih akan dibiarkan bertumbuh, sempurna dan berguna.

Sementara keinginan pribadi mungkin punya banyak waktu untuk merenung dan menuliskan apa saja seperti ini. Sesekali menyempatkan diri untuk berdua bersama adik, dia yang satu-satunya menemani sejak dalam rahim, rahim yang kini tumbuh subur sebagai tanah yang membuat rekah bunga-bunga kamboja. Atau duduk-duduk bersama dengan orang terkasih, menikmati banyak waktu supaya tidak kehilangan diri, sebisa mungkin disela-sela lelah, punya keajaiban untuk saling rangkul dan melegakan diri dengan cinta yang dialami. Cukup, itu menurut anak manusia yang lebih esensial daripada terlalu memburu. 

Pagipun membuncah, menyembul seperti rembulan kali ini berwarna jingga, sawah yang sepi, dan bilik dinding kayu yang mulai mendekap embun. Ah, semua berharap kepada sinar terang petani berkelakar, sepasang pemuda dan pemudi duduk-duduk mencumbu teh manis bersama rimbun daun pring apus. Anak manusia mulai menggenapi rasa kantuknya, merayakan dan berpuasa bersama sekali edar matahari.

Aku mencintaimu bunga-bunga berwarna ungu,
Aku mencintaimu bebatuan dan aliran sungai,
Aku mencintaimu setiap tetes air pada batu granit,
Aku mencintaimu pada semua hening dan sepi,
Aku mencintaimu bersama sepanjang umur, mentari kian memburu, kemudian berlalu.

Pada bilik yang diam, ranjang yang beku, secangkir wedhang uwuh yang dingin, terseliplah sebuah penerimaan akan diri yang lebih besar daripada sebelumnya. Terbenamlah keikhlasan yang sangat luar biasa, anak manusia duduk dilantai kayu, membakar dupa dan membuka pintu ruang pertapaannya, burung-burung tampak membersamai Tuhan, dan anak manusia lebih merasa rendah diri bahwa dirinya sudah dan bukan menjadi, namun memberi, menjadi luapan banyak kebaikan, dan di dalam segala cinta, bersemayamlah pula nadi dan sendi-sendi kasih Semesta Tuhan yang nyaris tak berbatas.

Pancuran air hangat mengucur, dibasahi rambut panjang yang sama kusutnya dengan anak manusia, lantas kelegaan demi kelegaan mengalir bersama suara sapu lidi yang berserak dari kejauhan.

Segelas teh hangat tersaji didepan rumah, dengan senyum ramah tentunya. Anak manusia kemudian memandangi padi menghijau dikejauhan, damai rasanya. Laptop pemberian kasih sayang Tuhan dibuka pada nyala, lalu bersama banyak kebahagiaan anak manusia menyemai aksara, dan menjadi petani, ya seorang petani kata-kata.

Indra Agusta
Omah Tembi, Bantul, Yogyakarta
08 Juli 1990-2020

No comments:

Post a Comment