image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Saturday, January 27, 2018

Solusi Jaga Jarak

Oleh : Indra Agusta

Dalam menyikapi berbagai masalah yang terus silih berganti terkadang menarik jarak dari sumber masalah tersebut bisa sedikit lebih menenangkan, melegakan.

Daripada terus menerus berhadapan  dengan masalah yang menguras energi, fikiran, emosi dan tentu juga resiko-resiko sosial maupun finansial.

Banyak mereka yang kabur dari masalah kadang bisa membangun dirinya lebih maksimal  tidak bersentuhan  dengan  konflik, dan mendekati apa yang menunjang segala impian manusia tersebut

Yang tidak mudah mereka yang tidak mau melewatkan  jarak menghadapi tantangan semuanya justru malah menambah rentetan kegagalan menurut "standar material".

Akhirnya berapapun yang dilumat oleh  keadaan tidak mampu  menjadikannya  berharga sebagai manusia, manusia  seutuhnya sejujurnya.

Sidorejo , 28 Januari 2018

Friday, January 26, 2018

Ilmu ki ra penting su!

ILMU KI RA PENTING SU!
Oleh : Indra Agusta

Semakin mengamati banyak orang tua, entah sudah berapa ribu nyakruk semakin gamblang dan semakin jelas bahwa sisa-sisa feodalisme itu masih. Dan arus materialisme semakin menghujam memasuki pintu-pintu rumah.

Entah berapa juta anak yang didorong-dorong oleh orang tuanya untuk bisa dapet nilai terbaik, ranking terbaik, kalo perlu les, disekolahkan disekolah terbaik, kemudian dikuliahkan dijurusan dan universitas terbaik menurut perhitungan orang tuanya. Dari sekian berapa presentase anak yang jujur menjadi dirinya sendiri sesuai apa yang dia suka?

Yang pada akhirnya hanya geliat gengsi, dan sombong orang tua untuk dipamerkan kepada orang tua anak-anakyang lain.

Sebagai anak yang tidak kuliah saya kadang merasa gagal sebagai anak ketika tidak ada pencapaian apapun yang sanggup keluar dari bibir bapak saya ketika jagong dan berkelakar dengan teman-temannya. Karena bapak-bapak yang semuanya jebolan universitas itu tidak tahu kebanggaan akan anak yang punya ilmu.

Belum lagi ketika ada dismanajemen otak dari beberapa orang tua yang berpikir bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang menghasilkan uang dan kekayaan. Saya tidak tahu bagaimana logikanya, padahal segala pencapaian akademis adalah penguasaan ilmu, apapun yang mereka pelajari, di bidang mana mereka expert bukan menghasilkan uang.

Uang, pekerjaan, kekayaan adalah akibat dari penguasaan ilmu yang mungkin dari beberapa orang membutuhkan ekpertasi mereka dibidang tertentu, sebagai ucapan terima kasih atas keberlangsungan ilmu dalam menyelesaikan masalah disitulah uang akan muncul sebagai akibat, bisa jadi dalam bentuk imbalan yang lain. Relatif.

Kembali ke output sekolah adalah ilmu. Seharusnya harus berhenti disitu, tujuan belajar itu ilmu! Dan anak bukan komoditas finansial orang tua!. Dititik ini masih banyak orang tua yang selalu berkilah dengan berbagai dalih yang berujung pada "kemapanan" orang tua di masa senja. Anak-anak setelah diperas otaknya untuk berjuang demi nilai terbaik sampai SMA akhirnya ketika kuliah diatur-atur lagi, disuruh memasuki "jurusan-jurusan yang basah, yang mampu menghasilkan gundukan emas".

Kalau si bocah mau tak masalah, kalau memang lahan basah itu adalah keinginan si anak, kecenderungan anak, tak masalah, lalu bagaimana dengan anak-anak yang menyukai bidang yang sama sekali bertolak belakang dengan passionnya Sastra, sejarah atau filsafat apa yang akan dibanggakan mereka jika semua orang tua pencapaiannya hanya yang terlihat?

Perasaan mereka, seperti dilacurkan oleh orang tua mereka sendiri, demi kegagahan dan kebanggan orang tua.

Lalu betapa seringnya saya melihat anak-anak yang goncang jiwanya karena tekanan tersebut, stressnya mereka karena tak punya daya melawan orang tua mereka sendiri.

Pemarah mereka terkadang, ada yang seperti anak kecil suka merajuk, ada yang tak kalah  adigang, adigung persis seperti orang tua mereka, ada yang sama sekali tidak dewasa, ada yang ingin kelihatan akademis meski otaknya dan kemampuan analisisnya tidak mampu mengejar, karena bukan itu bidang yang mereka senangi. Ketidakseimbangan demi ketidakseimbangan berjalan sistematis membunuh spektrum alam berpikir anak-anak itu.

Anak-anak jaman now itu goncang, terseret-seret budaya yang menggores semua kepribadian aslinya, anak-anak itu lupa siapa sejati dirinya, anak-anak itu kosong seperti zombie-zombie ditelan gemerlapnya lampu diskotik, atau muram menghabiskan hidupnya habis ditelan dendam.

Wahai orang tua yang terhormat kalau memang anak-anak itu hanya dituntut untuk kaya, mbok ya tidak perlu kau sekolahkan tinggi-tinggi. Kalau pingin cepet ajari mereka maling, ajari mereka mbegal , ajari mereka membunuh secara profesional, tak perlu kau ajari ilmu. Percuma!.

Ilmu ki ra penting su! Kanggomu, sing penting sugih, sing penting gagah, sing penting anakmu isa nggo pamer, ning matamu picek, kupingmu budek, ora kenal sejatine anak-anakmu sapa, anak-anakmu ilang uripe. Nanging kowe ora isa ngerti sejatine.

Sragen, 27 Januari 2018

Wednesday, January 24, 2018

Rakjat yang menjadi korban

Oleh : Indra Agusta

Sore ini merampungkan buku berat soal PKI 1948 di Madiun, karya Dr. Harry A poeze sejarawan senior ki KITLV.

Akhirnya pemaksaan Ideologi, aliran, keyakinan, apapun menganggap diri paling benar sementara yang lain pasti salah. Tidak mau mencari apa yang bisa dirundingkan. Selalu gampang terprovokasi, main tabrak, arogansi, agitasi yang berbuah panjang pada disharmoni kerukunan rakyat.

Madiun 1948 adalah contoh nyata bagaimana sebuah ideologi bertabrakan, didukung dengan situasi politik Republik yang belum matang, akhirnya Batalyon bisa berhadapan dengan batalyon, Laskar bisa berhadapan dengan laskar, sampai akhirnya Rakyat harus Berhadapan dengan rakyat sendiri. Dari Madiun ini pula disimpan luka-luka yang akan meledak di 1965.

Bunuh membunuh terjadi begitu saja diantara sesama kita, anak-anak bangsa, Darah mengalir deras ke haribaan ibu pertiwi.

Yang rugi siapa?
Ya kita sendiri siapapun yang terlibat dalam konfrontasi mereka anak-anak Republik baik TNI, PKI, laskar Hisbullah, Laskar Merah, Barisan Banteng, tentara pelajar dst. Mereka orang-orang  kita sendiri berseragam atau tidak.

Rakyat yang membunuh dan dibunuh adalah rakyat kita sendiri manusia-manusia Indonesia, Jawa terutama.

Dan sejarah untuk dipelajari dan diambil makna  mendalam supaya tidak ada lagi perpecahan, pertengkaran hingga permusuhan karena pandangan politik.

PKI dan komunisme sudah dilarang, tapi Indonesia tetap saja terdiri dari berbagai aliran keyakinan, ideologi yang sangat mungkin jika dipaksakan akan mengulang2 lagi kesalahan yang sama. Disinilah sejarah harus diajarkan sebagai pemersatu bangsa, supaya sama-sama dewasa menghargai perbedaan.

Juga supaya tidak menambah lagi luka-luka sejarah yang belum selesai kasusnya sampai sekarang..

Tuesday, January 23, 2018

Tangis Tuhan untuk mereka yang lupa

Tangis Tuhan untuk mereka yang lupa
Oleh : Indra Agusta

Selasar berdinding tembok dingin, beratap langit. Hamparan segala debu menyelimutinya dari embun pagi. Wajah-wajah itu, tatapan-tatapan muram, namun percikan matanya tak mau menyerah meski kalah telak dengan nasib.

Di emper itu tiap hari selepas tengah malam kau sandarkan harapan-harapanmu tentang hidup yang tak dapat kau rayu. Kais demi kais sampah menempati relung plastik tua yang tersampir di sepeda yang tak kalah tuanya.

Teh hangat yang mungkin sedari pagi menggantung dibotol bekas air mineral, botol yang mungkin tidak berguna bagi mereka yang membelinya, hanya sekilas diminum botol itu dibuang, namun menampung segala dahaga dikerongkonganmu.

Engkau adalah samar itu, raut-raut yang dititik itu mata ini, mata anak manusia mendalam menyayanginya, meski nasib anak manusia tak kalah punahnya.

Engkau mungkin titik-titik api yang diredupkan jaman, engkau adalah debu yang dilindas getir sengkala perubahan.

Engkau barangkali lapar,
Engkau barangkali haus,
Namun lihat itu umat Tuhanmu bisu bibirnya, tuli telinganya, picak matanya,
melihat engkau tergeletak diemperan sepanjang malam, menunggu matimu, dan nyaris terlupa. Mungkin lewat tulisan ini engkau takkan dilupa, tulisan yang menuliskan sejarah pepat jalma.

Yang orang tuaku dengan sesak menangisimu, mendalam tangisnya dihadapan kami anak-anaknya, semua adalah soal orang-orang malam sepertimu, manusia malam yang menggenggam rembulan, yang mimpinya berhamburan ketika subuh menjelang, yang jangan-jangan engkau adalah Engkau, Engkau yang menyamar menjadi engkau....Engkau yang dilupakan, dibiaskan....

Yang Yesus, Isa sang Anak Manusia melukiskan
"Sebab ketika Aku lapar, kamu tidak memberi Aku makan;
ketika Aku haus, kamu tidak memberi Aku minum;
ketika Aku seorang asing, kamu tidak memberi Aku tumpangan;
ketika Aku telanjang, kamu tidak memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit dan dalam penjara, kamu tidak melawat Aku."

atau Muhammad Manusia Suci itu menuliskan :

Wahai anak Adam Aku meminta minum padamu sedang engkau enggan memberi-Ku minum.
Ia berkata: Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?

Allah menjawab: Seseorang meminta minum padamu dan engkau tak memberinya, sekiranya engkau memberinya minum niscaya engkau dapati Aku di sisinya.” (HR. Muslim)

Demikianlah ada tangis sesenggukan pagi itu, untukmu manusia-manusia malam yang selalu dalam lintasan cintanya dan cinta-Nya.

Sukowati,  24 Januari 2018
Untuk semua manusia malam,
dan untuk tangis sang guru bagi semua mahkluk yang lupa mencinta-Nya.

Sunday, January 21, 2018

Rumah Tanpa Sekam

Rumah Tanpa Sekam
Oleh : Indra Agusta.

Diujung padi yang menghijau, ada gugusan-gugusan bintang menjelang malam. Anak manusia masih duduk-duduk dipematang membayangkan masa depan negeri yang semakin kelu seperti masa depan jasadiyahnya.

Angin datang membawa Air, saudara yang dari kandungan semesta, yang berhembus menghampiri nusa. Ada geliat  embun yang makin menusuk di pagi menjelang, juga dekapan-dekapan membeku dikala resah memandang sisa terakhir susu anaknya yang masih terhutang.

Di jalanan jutaan manusia bergerak, memperjuangkan dirinya, mengaktualisasi dirinya, menjadi meja,kursi, lemari, TV, dipan bahkan kompor supaya dilihat orang bahwa mereka ada memenuhi seisi rumah.

Lalu mereka menghamba pada pilihan-pilihan, pada keputusan-keputusan. Keputusan yang membuat petani tertawa girang beserta katak di penghujan, sementara semalam ratusan rumah terendam pesan murah, dimana air mulai menghujam.

Cacing-cacing menggelepar ketika surut gelombang, para alim ulama dan sufi meneriakkan lantang, Siapa yang akan menghalau perang?

Perabot-perabot mengklaim dirinya yang paling berguna, sebagai alat masak, sebagai alat transportasi, sebagai pengisi kursi sang tuan, berebutan mereka mengambil langkah menuju gagasan "Menjadi Panglima".

Emas-emas digali dari seisi rumah, disepanjang jalan tanah, tawar-menawar dalam gelap begitu rapat, memikat sekaligus mengikat.

Ada apa dirumahku?
Tampak merah warnanya, berbau darah, berebut bilah.
Semua kembali pada nyala, namun si La Nyalla dihilang kan atau menghilang

Rayap-rayap dikonsepsi, diagitasi, diintimidasi, direkayasa cintanya, dimanipulasi batinnya, hingga lupa kepada siapa yang layak meraja?

Aku duduk diam dipinggir kolam, melihat mereka yang layak menjadi imam dihitamkan, mereka yang layak jadi guru malah diburu, mereka yang jadi cendekia dirayu dibuatkan sanggar petapa.

Apa ini yang terjadi?
Arus mana yang akan mendominasi?
sementara bau hadap-hadapan kian tegang,
Siapa yang mau merindukan "Rumah tanpa sekam"?

arus banjir masuk dari belakang rumah, sementara seberapa siap, manusia mengkhalifah?
laron-laron itu bergerak menuju cahaya, dan Waspada....

Kedungombo, 21 Januari 2017

Monday, January 15, 2018

Menikah, Cinta manusia atau Ambisi Keluarga?


Oleh : Indra Agusta

Memasuki usia 27 tahun pemuda seperti saya pasti mengalami 'turbulensi' alam berpikir sebagai seorang manusia otentik juga sebagai bagian dari keluarga.

Menikah, adalah part yang harus dilalui setiap manusia jawa, yang tak jarang diusia yang demikian krusial ada banyak tekanan yang dialami manusia supaya segera mengalaminya.

Saya sendiri mengamati berbagai banyak pokal manusia soal ruwetnya proses perjodohan. Bagi saya pribadi pernikahan adalah perjalanan satu kali jalan yang tidak ada tiket kembali. Saking demikian seriusnya hingga harus benar-benar memilih mana yang bisa saya ajak "piknik selamanya". Dan pernikahan harus merupakan proses saling mengenal yang mendalam hingga terciptalah keyakinan dan komitmen untuk bersama.

Selain umur yang menuju tua, tak jarang dalam berbagai pengamatan saya adalah terlalu ikut campurnya orang tua dalam menentukan siapa "jodoh yang layak" untuk kita. Yang hasilnya kebanyakan standar yang diberikan oleh orang tua hanya berhenti pada standar Material.

Orang tua hanya akan setuju bila kita mencari jodoh yang kaya (secara material), pangkat (secara kekuasaan, punya jabatan,punya gelar, punya power) ,sisanya adalah euforia orde Baru, cari jodoh harus PNS, jodoh PNS ini masih seperti berhala baru yang dipuja kalangan keluarga feodal (maupun yang ingin menjadi feodal).

Dipengamatan yang lain, cari jodoh harus yang punya usaha mapan (perusahaan, toko, atau bisnis lainnya. Materialistis. itu pointnya.

Soal un-material seperti Akhlak, kelakuan, tingkat penguasaan ilmu, cinta-kasih, kedekatan emosional, hingga sekedar teman sharing seumur hidup. Hal-hal ini sedikit sekali yang dipertimbangkan sebagai landasan inti sebuah perjodohan.

Lebih edan lagi, ada pernikahan-pernikahan tertentu yang hanya menjadi pemanis ikatan bisnis keluarga, mempertahankan feodalisme, hingga pernikahan politis untuk kelangsungan dinasti politik tertentu.

Jadi kembali ke esensi pernikahan, Apa yang menjadi inti dari sebuah pernikahan,  orang-orang dahulu akan menyebut "Nambut silaning Akrama" yang sekarang menjadi "akrami" dibeberapa undangan pernikahan.

Nambut adalah nampani (proses menerima dengan tangan terbuka, seperti memegang nampan), Silaning adalah (duduk bersila), Akrama/Palakrama inilah pernikahan.

Diterjemahkan bebas sebagai proses penerimaan Sang Lelaki oleh orang tua Wanita, untuk sila (duduk bersila) lalu melangsungkan ikatan janji pernikahan mereka yang sudah saling mencintai.

Itu saja tanpa tendensi apapun, tanpa kepentingan apapun, tresna. Titik. Proses sederhana menjadi manusia yang sewajarnya tanpa bedak polesan keglamoran semata.

Dalam bahasa yang lebih radikal, saya akan bilang mending anak-anak yang pacaran saking cintanya + tanpa kontrol lalu hamil, dinikahkan plus mendapat cacian masyarakat lebih baik. Karena mereka menjalani hidupnya jujur, berani mengambil keputusan, berani bertanggung jawab.

Daripada mereka yang memperlakukan cinta kasih dan bahkan nafsu seksual sebagai tumpangan, tunggangan keleanggengan dan kemapanan eksistensi keluarga. Mengaku cinta tulus namun syarat kepentingan, pernikahan sangat megah namun pelaku pernikahan bahkan sama sekali tidak kenal baik dengan calonnya. Ambisi keluarga.

Kalau meminjam tetes mbah Nun :

"Jauh lebih tinggi derajat para perampok yang ia sendiri dan semua orang melihatnya sebagai perampok, dibanding para perampok lain yang orang-orang dan diri mereka sendiri melihatnya sebagai pemimpin bangsa dan kyai masyarakat."

Akhirnya kejujuran, ketulusan, kemurnian itu menjadi barang langka dalam sebuah hubungan.

Dan anak-anak yang diperjodohkan seringkali dalam kesesatan berpikir karena ditabrak juga oleh usia dan tekanan keluarga, akhirnya mengalah atau mencari jodoh " seadanya, seketemunya ".

Yang dalam pengamatan berikutnya ada rentetan masalah yang panjang didalam keluarga mereka, mereka yang beruntung akan stress dan merasa tersiksa karena perjalanan hidupnya  penuh topeng gula pemanis keadaan.

Sisanya hanya merekalah yang meneruskan proses feodalistik ini, menikmati keuntungan, kekuasaan, proyek, hasil lacur korupsi dari apa yang direncanangan oleh keluarganya.

Lalu kembali ke pertanyaan awal
Menikah itu karena ketulusan cinta?
Atau ambisi keluarga?

Kleco Wetan, 6 Februari 2018

Thursday, January 11, 2018

Kedasih Mawar Republik

Kedasih,
Ini malam jang begitu sendu.
Teringat Semerbak kopi dan rokok yang tersulut dimulutmu belum jua padam. Gerimis dikala jam malam, ah, seonggok kenangan, yang diantaranya ada sekam. Jaman dulu desamu masih tenang.

Suara burung kedasih, melambungkan angan.

Tuak dari bambu terakhir belum selesai kuminum, namun tak kunjung reda jua amarah-amarah dari geliat Republik. Ada sisi-sisi yang seakan tidak mau berbenah,  Api Revolusi nampaknya belum segera padam.

Kedasih,
Di lorong-lorong malam nampak pemuda-pemuda laskar sedang melucuti senapan. Ada lainnya yang berembug, mengundi siapa yang pantas memakai sepatu Lars si kulit putih.

Sudut-sudut kota masih hangus kerana agresi, namun dimanakah hati akan bertepi.

Aku, tentara rakjat yang bingung menentukan arah setelah Republik berdiri. Ketika sudah tak ada mesiu yang meledak, dimanakah medan juang?

Kedasih,
Aku sudah lupa guratan wajahmu, wajah yang kerap mengantarkan teh manis di pos jaga. Jaman kini sudah benar merdeka, namun kau tertelan asa.

Setelah api membakar seluruh desamu. Yang terngiang hanya truk laskar yang mungkin kau masuk didalamya bersama penduduk desa lain.

Kampil kain berisi jimat masih kusimpan, dan ternyata sakti melangsungkan hidupku melawan ketidakpercayaan diri.

Kedasih,
Mereka sudah pergi, sudah tumpas.
Kini, Aku juga bukan lagi pahlawan.
Aku menepi kembali kedesaku yang sunyi.

Jika kelak lewat mampirlah,
Mungkin ada segelas teh melati yang kupetik sendiri.

Kalaupun tak bersisa, mungkin bunga mawar didepan gubuk akan kusebar, dimanapun kau menjadi bakti.

Kedasih,
Langit-langit pagi nampak akan segera tiba, namun segera muram. Republik ini sedang merekah, atau mungkin  tumbang. luka-luka di Kaki gunung Wilis belum selesai mengering.

Ah, semoga revolusi semoga tak berbau bangkai, bebanten nya sudah cukup.

___________

Indra Agusta


Tuesday, January 9, 2018

Topeng Zaman

Mencermati setiap ragam, berdecak, berguman takjub dan mengernyitkan muka. Bagaimana alur hidup mampu benar-benar mengubah seseorang. Bagaimana waktu menjawab apa yang sebenarnya dibutuhkan sang jalma. Mengejawantahkan apa sebenarnya yang menjadi tujuan dari makna sebuah pencarian, lalu melukisnya pelan-pelan seperti guratan pohon.

Sisanya adalah mereka yang kehilangan dirinya, mati dalam kehidupan, buntu dalam perenungan, membusuk dalam kebisuan, kebosanan, serta beraneka macam wajah dari topeng tekanan, ancaman, kebutuhan, ego, ambisi, eksistensi.

Perlahan seperti sajak rindu keluJalanan, sang sapi dibawa ke jagal. Demikianlah anak-anak manusia menjadi sayu, cermin-cermin memantulkan wajah-wajah penuh debu bedak dan lipstik 'pengakuan'.

sesunyi malam di kolong langit, emperan toko penuh sesak oleh mereka yang tidur merajut mimpi dijalan.

Subuh menjelang, mengantar sang jalma ke peraduan..

Jalanan Kota Sragen, 10 Januari 2018
Indra Agusta

Sunday, January 7, 2018

SISTEM BESAR DAN JERAT SALAH TANGKAP

Alkisah dari sebuah Negeri di antah berantah,
Proyek-proyek berjalan sistematis, hutang-hutang demikian deras mengalir, pencapaian gengsi jadi jerat akademis, namun tatapan sang jalma menemukan si tua renta hidup ngemis dijalanan.

Lalu diseantero negeri Kepala rumah tangga berlomba membangun, hingga masyarakat semua kemudian berlomba membangun, ada geliat nafsu membangun sebagai patokan kemajuan sebuah bangsa,  namun dari jerat hutanglah biaya pembangunan tersebut berasal dan dalam analisis Gareng, akan jadi PR mendalam 20-30 tahun mendatang.

Disudut lain Anak-anak dibuai eskrim manis bernama eksistensi media, sementara ladangnya, sawahnya, perlahan direkayasa supaya bisa diambil alih oleh Gurita besar. Orang tua diiming-imingi TV, didoktrin bawah sadarnya untuk mengamini bahwa ia punya kebutuhan seperti yang TV iklankan. Dan dibelilah kebutuhan yang sebenarnya 'muspro' itu, kalau perlu hutang, jika  tak mendapat pinjaman ada perusahaan bernama bank yang menjadi solusi "iklan" tadi, lalu bank sebagai penyedia jasa otomatis menawarkan segala bentuk penyelesaian kebutuhan finansialnya. 
Tapi ini bukan soal banknya, saya yakin bank juga ikut terseret arus besar yang tidak bisa mereka bendung, apalagi kawan-kawan saya yang bekerja di bank pasti tidak terlibat apapun dalam hal demikian ini, kawan2 saya hanya karena keadaan hidup memaksa mereka bekerja disitu, berjuang upaya bisa menafkahi keluarganya. Perkara pekerjaan yang dilakukan ini mendukung sistem besar, tentu lain soal.

Perkara Hutang ini terjadi dalam skala rumah tangga hingga negara, bank nya pun variatif dari bank pedesaan sampai bank dunia. Dan jeratnya lalu mengikat segala kebutuhan rumah tangga, memangkas gaji, menggilas jatah makan, air susu sikecil dirumah, sampai dinaikkannya pajak, hingga privatisasi lembaga-lembaga negara. Iklan melahirkan hegemoni kebutuhan, lalu melahirkan hutang menyeret sebuah rumah tangga ke ujung kehancuran, Rumah tangga sekelas didesa maupun sampai sebuah bangsa. 

Lalu lingkungan melahirkan anak-anak dengan dendam kepada kepala rumah tangganya yang lupa, sibuk mencari uang guna menyumbat lobang hutang. Anak-anak hidup membawa kepahitan, dendam, kegamangan dan ketidakpastian hidup. Anak-anak kehilangan sikap hidup, kehilangan dirinya sendiri bahkan, menjadi mahkluk yang mati, zombie yang makan dan minum tanpa punya perenungan mendalam soal siapa dirinya sendiri.

Kemudian jalan pencarian anak-anak ini kabur, asal-asalan, kadang meledak seperti bom amarahnya, tanpa tahu atau mau tahu fokus dari suatu masalah, rangkaian panjang gerbong masalah hidup, gampang diombang ambingkan trend, keadaan, atau sesepele memuja TV dan internet sebagai rujukan gaya hidup yang sangat berbanding terbalik dengan realitas hdupnya.
Kehilangan diri mewabah secara meluas, mengakibatkan masalah disemua lini, di berbagai level, menghancurkan peradaban kemanusiaan yang selama ini dibangun, berganti dengan manusia-manusia buas yg memikirkan dirinya dan lingkungannya sendiri.

Ketika semua tersusun rapi, kebuntuan, kegamangan, distraksi anak-anak ini jadi rayahan pasar, budak konsumerisme, bidak trend dan brand. Lantas darimana uang untuk memuja nafsu yang digerakkan tersebut? Ya dari hutang-hutang tadi.

Sampai suatu saat anak-anak ini kehilangan kepalanya, anak-anak inilah yang menanggung hutang yang tak mampu dibopongnya, berhutang lagi sampai jeratnya terus mendalam ke pelacuran, perselingkuhan, candu dll
Dan negara memberikan pidana dan penjara dengan anak-anak ini, mereka yang melacur (baik secara politis, intelektual maupun jasadiyah), mereka yang selingkuh, ataupun korban candu (baik miras, narkoba, psikotropika) tapi lupa mencermati, bagaimana skema berlangsung, mengurai benang kusut, memotong rantai sistem besar ini.


Anak-anak malang mereka tidak tahu apakah arti dari tahu, lalu menjadi korban dari kegilaan sistem , sistem besar  yang negaranya sendiri membiarkan lingkaran-lingkaran ini terus berlangsung, Tersandung tapi menyalahkan batu.


Kleco Wetan, 8 Januari 2018
Indra Agusta


Thursday, January 4, 2018

Retorika Kematian


Kematian,
Sebuah kata yang mengandung berjuta persepsi dan misteri. Kata yang mewakili proses penting dalam rangkaian perjalanan jalma menuju Tuhannya.

Yang paling banyak ditemui tentu adalah mereka yang ketakutan mengalaminya. Dengan berbagai alasan baik kelasnya hardware maupun software kebanyakan mereka tidak siap jika ditawarkan pada datangnya mati.

Ketakutan akan kehilangan, disinilah sebenarnya hakikat dasar manusia, karena manusia memang tidak mampu hidup berpisah dengan orang lain maupun hal-hal yang dekat dengan mereka. Selanjutnya bentuknya bisa variatif salah satunya takut mati.

Bagi orang yang mendalami Jawa, tentu akan sangat tahu bahwa mendalami kematian adalah satu paradigma perenungan yang dalam. Kita bisa menganalisisnya bagaimana orang-orang tua kita menyiapkan sebaik-baiknya matinya. Dari soal jasadiyah, misalnya semakin mengurangi jumlah makanan ditubuh, menurunkan kadar 'pingin kadonyan' , sampai memantabkan hati untuk bertemu Sang Pemilik Sejati.

Jadi terciptalah term bahwa jika orang modern bilang 'hidup itu menunggu mati' orang Jawa akan sangat tenang berkata Mati harus disongsong dengan kemuliaan hidup.

Kematian kadang juga disebut sebagai keniscayaan yang masih berupa misteri. Semua orang tahu kematian adalah kepastian namun waktunya menjadi misteri.

Sama seperti kelahiran, semua orang tahu jika kehamilan akan mengakibatkan kelahiran, namun siapa yang berani jamin sang bayi menghembuskan nafas hidup? Disitulah Misteri Tuhan.

Hingga ketika sang bayi lahir, dan hidup orang baru bisa menerka, ini waktunya misteri itu dipecah.

Demikian pula dengan waktu mati, orang baru akan tahu setelah terjadi, setelah kita mati mereka baru dibukakan tabir misteri Tuhan, berupa kematian, yang kalau direnungi lagi juga merupakan proses kelahiran menuju dimensi lain, dimensi yang lebih sempurna daripada dunia yang lapuk dan fana ini..

Kelahiran dan kematian akhirnya menjadi retorika tersendiri,

Mengutip Nabi Daud bahwa perjalanan manusia hanyalah dari Debu menuju kembali ke Debu..

Atau perkataan Tuhan yang diwahyukan ke Muhammad.

Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?” (Al-Baqarah: 28).

Selamat merenung, menyongsong kematian..

Kleco Wetan, 5 Januari 2017.
Indra Agusta.