image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Friday, March 27, 2015

Hilangnya berfikir lebih jauh, maunya praktis!


Dalam sebuah Percakapan
X : Mas, mbok minta tolong kerjain tugas anak saya, 
A : Loh, maaf buk ndak bisa kalo ngerjain tugas
X : La, ini tugas nya susah saya juga ndak ngerti,
      Mbok tolong mas,
A : Maaf buk, saya ndak bisa kalo ngerjain tugas,
X : Loh, mase iki jaga warnet mosok ra mudeng,(nadanya agak meninggi)
A : Iya buk, saya tau tapi saya ndak bisa kalo suruh ngerjain nanti yang dapet nilai saya dong.
X : Tak bayar luih wes mas, lipat 2 po 3 
A : Ngapunten buk, mboten saget.
X : Ya wes!, diwenehi rejeki ra gelem (ngedumel sendiri) 

Percakapan serupa diatas semakin banyak saya temui akhir-akhir ini, hal-hal kecil yang berimbas besar, merasa bahwa segalanya dapat dibeli dengan uang. secara tidak sadar menyeret anak-anak itu kedalam arus deras yang berbahaya,
yang layer upon layer dibangun di ddalam dirinya,
bayangkan jika hal tersebut terus berlanjut? bukankah dampaknya sangat menakutkan, ketika anak-anak tersebut berpikir bahwa dia bisa ngapain aja asal punya uang. 

Dari contoh diatas saja kasusnya adalah anak SD disuruh mengerjakan excel oleh gurunya.

Dalam hati saya bertanya, ini yang keliru siapa? kurikulum, pengajar atau pemerintah? 
Sudah siap belum anak-anak diajarkan ini, daya serap anak bagaimana? 
Kalau memang benar anak-anak pemikirannya sudah sampai demikian, 2 jempol saya berikan jika semua tugas murni hasil pemikiran mereka sendiri.
Namun jika tidak bukankah akan membawa efek yang sangat besar dikemudian hari?

Dari sisi anaknya mungkin dia takut kalau tidak mengerjakan nanti tidak dapat nilai,
Dari sisi ibunya pun saya paham betul bahwa generasi tua kita memang masih "gaptek" jadi benar-benar tidak tau.
Lalu dari anak tersebut saya hanya mendapat informasi bahwa gurunya hanya memberikan tugas, dan tidak begitu pintar dalam mengajarkan materi dikelas, (Sayapun tidak tau ini mungkin karena SDM anak ini kurang begitu bagus, atau memang gurunya benar-benar tak fasih dalam mengajarkan sesuatu)
yang jelas dalam pemikiran saya ada sesuatu yang kurang pas dalam hal ini.

Kemudian Saya memutuskan untuk menolak mengerjakan tugas diatas, Bukan karena saya tidak butuh uang, atau menolak rejeki  tetapi dalam hati saya selalu gelisah ketika berhadapan dengan hal-hal diatas.

Benak saya terus berfikir, Jika tugas mereka (anak2 itu) terbiasa dikerjakan oleh orang tua atau jika orang tuanya tidak bisa menyuruh orang lain dan membayar beberapa peser uang. 
apakah kedepannya akan berdampak bagus?

Bukankah ini sebuah kemunduran?
Lalu kapan mereka belajar menghadapi masalah?

Pendidikan diberikan bukankah untuk mengajari manusia menjadi lebih baik lagi? , bukan malah bergantung kepada orang lain. 
Lalu apa yang mereka cari? apakah pembelajaran hanya dinilai dari satu lembar raport diakhir semester? 
Jikalau demikian bukankah sudah sekian parahnya, kemunduran pendidikan.

Misalnya guru-guru hanya peduli dengan tugas yang dikumpulkan diatas meja mereka.
lalu murid-murid takut berekspresi sebisa mereka karena takut nilai mereka jelek. Lalu rela membayar uang sekian demi tugas, lalu dimana nilai sebuah usaha? Apakah yang dicari hanya nilai raport saja? Atau teori pencapaian menjadi manusia sudah demikian keliru?
 (lain kali saya akan nulis mengenai pencapaian)

Dampaknya mereka akan kurang berkreasi, kurang bereksperimen, dilanjut dengan kurangnya inisiatif. Lalu menjadi anak yang penurut karena miskin ide. Lalu ketika dari kecil terbiasa menyelesaikan masalah dengan membayar di kala dewasa merekapun akan menjadi seperti itu.
- terbiasa mengerjakan tugas dengan bayar orang
- menyuruh mengerjakan sesuatu dengan bayar orang
- jika nilai mereka jelek terpaksa bayar agar nilai mereka naik
- lalu demi masuk universitas favorit nyogok lewat belakang,
- jika males kuliah kemudian membeli ijazah agar dapet title.
- di dunia kerjapun akhirnya demikian, membayar sekian juta untuk jabatan tertentu
- dll

bukankah hal seperti ini banyak terjadi disekitar kita, bahkan mulai di'aminkan'/ mulai dianggap "biasa" Yang penting citra, tapi pengembangan dirinya ditinggalkan.

Jika memang demikian bukankah bisa dinanalogikan bahwa Jabatan sebagai presiden adalah sebagai puncak prestasi, bukan sebagai pengabdian atau passion dia? lalu kita kehilangan jati diri.

Punya kursi di DPR sebagai prestige tertentu untuk kepentingan pribadinya yang lebih luas, tapi dia lupa amanah apa yang dititipkan rakyat kepada mereka,

lalu kasus demi kasus korupsi menyerang, kita bikin KPK untuk memberi penyuluhan dari tingkat paling bawah memberi anak-anak itu untuk antikorupsi.

Sementara secara tidak langsung orang-orang tua meng-korupsi karakter anak-anaknya, lewat membuat segalanya praktis. Asal kuat bayar, wani piro? dsb. 
Menurunnya Mentalitas untuk berani menjadi diri sendiri dan mengembangkan apa yang ada didalam diri anak tersebut lambat laun terkikis, dikemudian hari mereka hanya berpikir untuk mencari uang yang banyak, tapi lupa siapa diri mereka?

Uang memang penting dan pasti dibutuhkan pula untuk pengembangan anak-anak.
tapi bukankah proses penempaan kepribadian mereka jauh lebih penting.

Mari berfikir lagi lebih jauh..

dari sebuah kegelisahan, 
temanmu
Indra Agusta.





 


No comments:

Post a Comment