image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, March 2, 2020

MERAYAKAN KEMATIAN




Semua orang takut kehilangan hanya karena keegoisan diri mereka menganggap orang lain harus berada disisinya, hanya ketika orang lain ini berlalu, lalu lupa bahwa sebenarnya setiap haripun manusia bisa membasuh semua, jika mau. Tidak melulu menunggu kematian atau berita kehilangan yang datang, lantas penyesalan datang.

Namun terkadang semacam bisikan halus bernama karsa pula yang menahan diri untuk melakukannya. Beragam alasannya kenapa karsa  menjadi alasan banyak manusia menahan diri untuk tak melakukan apa yang seharusnya bisa dilakukan.


Seperti berbondong-bondong  massa yang melayat ketika manusia mati, namun ketika mereka miskin, melarat, hidupnya penuh kedukaan, hancur segala harapannya, bahkan dihancurkan oleh momentum, tak semua orang iba. Manusia lain bisa saja disibukkan oleh beragam pekerjaan, rutinitas dan geliat ambisinya. Namun ketika si jalma meninggal isak tangis, kesedihan, dan taburan bunga seperti lantunan doa panjang diharapkan untuk membangkitkan jasadnya dari kubur. nc terlambat, semuanya sudah berlalu dan terus saja demikian berulang-ulang yang seperti jalma alami disetiap menghadiri perayaan kematian.

Banyak kerabat dekat yang menyesal setengah mati, berguling-guling badannya, sampai mungkin beberapa pingsan hanya karena tak tahan menghadapi sebuah momentum ajal. Disudut luar ruangan rasan-rasan adalah budaya kita, segala ucapan yang meluncur bebas dari rahim bernama ego lagi seperti tak putus-putus melayang di udara. Orang-orang berbicara tergantung kepada seberapa jauh dan dekat massa kepada si jasad. Mereka menceritakan apa yang ingin mereka kenang, baik maupun buruk.

Lalu sahabat-sahabat terdekat mengulik lagi kenangan-kenangan kecil, momentum yang membekas dalam benak, bahwa mereka pernah berbahagia karena berdekatan dengan sang jasad. Tetes demi tetep airmata mereka berurai


Manusia lainnya hanya terus menagih jasad untuk 'menjadi" seperti yang manusia harapkan, kemudian keinginan membalutnya seperti cat tembok yang penuh rasa gengsi untuk mengakui bahwa sebenarnya bisa diluapkan rasa itu kapan saja. Hal-hal sederhana seperti ucapan terima kasih, bersyukur, maturnuwun saja kadang terlupa. Inginnya hanya segala tuntutan dan harapannya dipenuhi, tapi tanpa pernah tahu apa-apa saja yang pernah jasad lalui, apa saja yang pernah diberi, 

Lalu benar kata Efek Rumah Kaca "Kematian adalah keniscayaan yang tiba-tiba datang atau memang sudah dinantikan" oleh semua manusia, dengan segala rekam keluh kesah dan perjuangannya, dalam bertahan dan membasuhnya, dalam kesepian dan kebahagiaannya. Manusia kemudian terus menuju kepadanya.

Dan tagihlah semuanya andaikata kematianku menjemput, karena yang kau rasa hanyalah sia-sia, aku sudah berpindah dimensi, dan kau menyia-nyiakan waktumu bersamaku. Seperti edar semesta yang menjauh dan mendekat pada sesuatu. Semoga apa yang selalu kuberikan kepadamu semasa hidup sampai hari ini, sampai ajalku nantipun tak pernah ada yang ditahan-tahan. Semua diluapkan begitu saja, sesuai kadar kesiapan mahkluk-mahkluk disekitarku. 

Semoga yang 'sedang berbelanja kepasar' terus diberi kekuatan untuk tetap menjalani kehidupannya, berbahagia dengan merawat segala kejujurannya, menimbun segala tabah dan kesabarannya. Atau meluapkan kasih dan cintanya untuk semua, membasuh semua kaki yang harus dibasuh, seperti Isa kepada muridnya, juga untuk terus berdamai dengan diri bagaimanapun caranya. Ketika 'waktunya' datang tak pernah ada kata sesal, semuanya sempurna. Mokhsa.

Tuliskan apa yang mampu dituliskan sebagai perekam ingatan, sejarah dan mungkin juga sebagai sarana mengurangi beban.
Maka sempurnakanlah segalanya, seperti gelap yang selalu setia diwaktu-waktu yang hilang.
dan sampaikanlah salammu kepada langit...



Sukowati, 03 Maret 2020
Indra Agusta


No comments:

Post a Comment