Sulit menuliskannya dalam sebuah tulisan
semua rasa yang berkecamuk, bertumpuk-tumpuk seperti gurita, seperti sarang
laba-laba. Masalah datang silih berganti menerpa jalan getir jalma ketika
semuanya berposisi mencari aman karena memang keadaan mereka tidak memungkinkan
untuk menyelesaikan masalah ini, lalu semua seperti menabrak dinding-dingin
pertimbangan. Jalma sudah mengusahakan sebaik-baiknya, tapi ya demikian
akhirnya jalma juga terbatas, sangat terbatas. Untuk menjawab semua masalah
yang terjadi jalma sadar tidak mampu.
Harus bagaimana sementara kepenatan demi
kepenatan kian mencekat, semua masalah semakin banyak, beban pikiran semakin
terasa. Sementara semua yang dirumah kian seperti anak kecil, berbicara
seenaknya, menuduh seenaknya, kekeringan semakin melanda di keluarga jalma.
Hutang-hutang yang belum terbayar lunas,
ditambahi hutang-hutang baru yang jalma sama sekali tidak tahu, lalu tertagih
begitu saja, belum beban harian belum cekcok hanya karena masalah sepele yang
sangat mengeringkan,
Semua memang berproses sejak jalma masih
kecil, menumpuk dan menumpuk banyak hal yang jalma jalani demi menengahi itu
semua. Ketika masih kecil dulu hanya menahan geram atau menangis, dan berharap
bisa lebih nyatanya tidak. Semua berjalan semakin kacau dan rumit, meninggalkan
banyak keluhan pada hidup.
Capek sekali rasanya hidup akhir-akhir
ini, jangankan untuk menulis, sekedar tidur saja susah karena terus memikirkan
banyak hal, membaca sudah kehilangan gairahnya, buku menumpuk disepanjang kasur
dibiarkan jalma tertimpa butiran debu, sementara jalma hanya tertidur sembari
mendengarkan nenek dan bapak yang terus berkeluh kesah akan masalahnya
masing-masing. Orangtua jalma yang lupa bahwa jalma juga punya masalah, jalma melakoni
banyak hal yang sebenarnya juga membunuh jalma sendiri pelan-pelan.
Apalagi jalma sudah merelakan semuanya,
uang, karir, akademik, bahkan tabungan untuk hidup jalma yang aslinya tak
bekerja karena nenek tidak mau ditinggal, lantas harus bagaimana.? Sementara ancamannya
adalah terus menerus untuk menjual sejengkap tanah yang dimiliki jalma, tanah
yang dalam perhitungan jalma untuk hidup jalma dan anak-anak jalma dihari-hari
depan jalma. Sudah diberikan dan
diungkit-ungkit lagi, mau diminta lagi tapi ketika ditinggal mencari lagi.
Jalma capek, mengurusi ini itu sendirian,
Belum soal “sosial judgement” yang suruh
nikahlah, yang PNS lah, yang dibanding-bandingin sama tetangga lah, yang selalu
saudara yang disebut-sebut memberi ini itu sementara jalma yang menjadi
penunggu rumah tak pernah sekalipun terimakasih, dikasih uang diam, ketika
tidak dikasih dihujat habis-habisan, kere!,
lupa kalo uang yang dia terima dari siapa, lalu pindah kemasalah yang lainnya,
belum lagi soal keinginan – keinginan yang tersier seperti pakaian baru, jarik,
dan memberi persembahan yang besar ke gereja.
Tidak tahu diri bahwa kondisinya sedang
sangat tidak mungkin untuk berada di titik itu, lagi-lagi post power syndrom dia masih terus merasa pada titik dimana lukanya
harus dipenuhi oleh orang sekelilingnya, semua kejayaan dan pencapaian.
Terus menerus berulang setiap hari dengan
masalah sepele yang berbeda lalu berlanjut ke masalah yang sama, masalah
dimasalalu yang sebenarnya belum ada jawabannya, lalu kita mengulang-ulang
luka, mennyayat kembali daging yang belum habis bekas goresannya, bagi simbah
dan bapak yang mulai lupa itu sebuah proses melegakan hati tapi tidak bagi
jalma, bagi jalma adalah hantaman keras dikepala, terus menjadi penat,
menumpuknya yang akhirnya bisa meledak sewaktu-waktu, hanya duduk diam dirumah
dengan mendengar, mengalami dan bertanggung jawab atas setiap masalah yang
terus semakin berat.
Akhirnya hanya sekedar tidur pulas 2-3
bulan ini sangat mahal, pikiran kemana-mana, terbangun oleh konflik dan
tuntutan serta bandingan ini itu, apalagi untuk merekam banyak peristiwa seperti harus menunggu banyak
momentum baru bisa nulis, dan membaca pun terus pudar sampai hari-hari ini tak
membaca buku apapun hanya karena penatnya pikiran.
Terkadang jalma berpikir jalma ini adalah
benih yang ditanam di tanah berbatu itu, yang hanya menunggu pertumbuhannya
yang penuh dengan masalah, kemudian mati. Apapun yang diusahakannya
sebaik-baiknya tak pernah dianggap sebagai sebuah usaha untuk menemani mereka,
tak diingat-ingat dan bahkan terus dituntut.
Atau jalma lari saja? tapi nanti seperti
pas di Jakarta itu begitu pulang hanya jadi cibiran seluruh tentangga karena
meninggalkan rumah dan simbah terlunta-lunta, hanya karena bapak dan adik tak
pernah dirumah, lalu semakin hancur nama jalma dikampung. Jalma pulang untuk simbah, dan simbah menjelekkan nama jalma ke setiap rumah yang didatangi dimintai dan dipinjami ini itu.
Sejak saat itu dirumah, dan tak kemana-mana lagi, dan justru masalah semakin besar ketikia jalma tidak bekerja dan punya penghasilan tetap yang diandalkan mereka-mereka itu. Aku ini bagaimana, harus seperti apa, untuk mempertahankan rumah yang ajur-ajuran ini?
Pingin ngilang bentar, supaya bisa
tertidur nyenyak tanpa mendengar semua masalah.
Capek, atau apakah kita ‘pulang’ saja?
hidup gini amat resikonya.
Mati saja kali, biar simbah dan bapak tahu tanpa jalma, hidup mereka mau seperti apa, dan berterima kasih akhirnya telat, karena jalma sudah terlanjur "pulang"
#agustaisme
No comments:
Post a Comment