Malam ini purnama berada tepat diatas kepala Jalma. Malam selasa kliwon ini rembulannya bercincin, sedangkan angin bertiup jauh lebih dingin dan kencang seperti biasanya. Sembari duduk di pinggir jalan, menyeruput secangkir teh. Tetiba notifikasi handphone berbunyi, seseorang mengirim chat, berisi pertanyaan :
“ Romo*, ada apa dengan bursa saham siang tadi?, semuanya anjlok grafiknya turun, bahkan saham di wallstreet, ada informasi apa dengan kondisi sekitar?”
“ Woh iya to mas, saya kurang begitu mengerti tapi mungkin ada rentetan antara penyebaran virus Corona dan Kepanikan Investor, lalu efek panjangnya menimbulkan kepanikan pula dalam bursa saham”
“Kira-kira apa yang akan terjadi romo, adakah yang harus dipikirkan ulang soal kondisi akhir-akhir ini?”
“Untuk dikalangan bawah seperti kita mas, saya kita tidak perlu terlalu panik, toh dari progresi persebaran wabah Corona belum meluas, meskipun terus waspada, tetapi untuk terus seimbang dari kepanikan ini mas, yang harus sembari bikin Save As and Backup Plan”
“Apa lagi itu romo? …”
“mmm… nanti ya, kalau sempat coba saya tuliskan, tunggu saja ya dek,”
Jalma kemudian meneruskan lamunannya, mengamati lalu-lalang perjalanan. Teh belum habis, chat tadi kemudian mengantarkannya untuk pulang menuliskan sesuatu.
Ora reti, merga durung winarah
Sejatinya dalam pengalaman yang sederhana manusia secara umum akan berposisi demikian. Mereka tidak tahu karena sensor indrawinya tidak melihat, atau informasi tentang sebuah realitas itu belum sampai ke otak mereka. Semisal berita proklamasi kemerdekaan Indonesia, baru sampai ke tanah papua 31 Agustus 1945. Persoalan ini tentu karena masalah jarak, teknologi komunikasi, juga peristiwa lain yang menghambat proses pengantaran informasi kepada intel maupun surat kabar. Setiap jaman kemudian membawa kemungkinannya masing-masing.
Jika dibalik, andaikata proklamasi terjadi hari ini kemungkinannya-pun tentu berbeda. Dalam hitungan detik bisa tersebar keseluruh dunia, dengan percepatan teknologi yang lebih mampu melipat jarak. Tetapi nanti yang jadi persoalan adalah validasi dari informasi tersebut. Di era ’45 koran atau radio bisa jadi rujukan validasi sebuah berita, informasi. Tetapi di era kini yang semua orang boleh membuat koran dan radio versinya sendiri entah berbentuk akun facebook, instagram atau podcast. Situasi yang malah semakin menambah keruwetan proses validasi, karena informasi tersebar bebas tanpa filter.
Indonesia bagian penting desa saya sebuah tulisan kritis ketika Emha muda menangkap bahwa pergeseran teknologi ini selalu merekam ketidaksiapan sebuah masyarakat. Sebenarnya jika ditarik benang merah mungkin sama, dulu ketakutan akan TV merusak golden hour anak-anak. Kini perkembangan teknologi, murah dan cepatnya akses untuk mendapatkannya justru tidak disikapi serius oleh pemegang aturan. Yang penting cuan. Masyarakat yang tidak siap akhirnya justru menganggap informasi dari internet sebagai sebuah kebenaran, padahal progresinya sama dengan TV. Kalau di era Orde-baru televisi digunakan sebagai sarana doktrinasi massa, agar pro pada apa yang menjadi arah pemerintah, dan TV kemudian saluran yang dikendalikan oleh rezim. Ternyata mental itu yang diam-diam kita bawa di dalam benak, banyak orang tua bahkan anak-anak menganggap internet sebagai satu-satunya kebenaran tunggal. Hal ini dan pewarisan mindset yang harus disikapi serius. Karena efeknya berdampak pada segala khalayak, ketakutan yang ditebar bebas oleh mainstream berefek serius kepada keadaan. Kebingungan akan validasi lalu teror muncul bersama kepanikan.
Kepanikan
Lalu berbondong-bondong masyarakat menimbun banyak barang di supermarket dan pasar. Mereka yang bermodal besar, punya kapita diatas rata-rata seperti menyiapkan backup-plan atas teror virus yang sampai ketika tulisan ini dimuat jumlahnya 19 orang. Media sosial tak kalah ramainya memperbincangkan ketakutan, industri digital baik Youtube maupu televisi tak henti-hentinya menggarap virus ini sebagai tema. Dan hasilnya tentu kepanikan itu levelnya naik seketika. Traffic marketplace online juga semakin padat, transaksi online berjibun dimana-mana, masker kemudian menjadi barang yang sangat mahal.
Kepanikan ini kemudian tak berhenti disini, pusat saham di Wallstreet pagi ini 15 menit pertama anjlok drastis, bahkan menjadi drop terparah sejak 2008. Inilah Realitas Simbolik yang diceritakan Mas Sabrang di podcast kemarin. Bahwa akhirnya satu trigger bernama virus mampu mengubah banyak hal diberbagai belahan dunia. Artinya memang demikian manusia secara tidak langsung adalah mahkluk yang mampu menyimpan bahasan, disimpannya dalam sebuah simbol kemudian kapan saja dalam beragam persepsi, beragam tingkat sudut pandang. Satu realitas simbolik bertajuk saja ‘corona’ akhirnya mendefinisikan banyak hal, yang kemudian dibuntuti dengan beragam aktualisasi langkah manusia juga beragam kepemilikannya seperti perusahaan, arah ekonomi, aset-aset bahkan untuk biro – biro tertentu yang ingin saya sebut oportunis.
Betapa tidak oportunis mereka mendompleng beragam isu untuk kepentingan komunikasi sosial. Batas-batas etik dilanggar, tak lagi peduli terhadap mereka yang jadi korban sebuah wabah. Yang penting pesan-pesan ideologi tersampaikan, kotbah-kotbah dan doktrinasi agama dilancarnya, atau program kerja pemerintah seperti ‘cuci tangan’ dilanggengkan. Semua mendapat untuk dan berebut untuk dari sebuah momentum.
Anomali, Ilusi dan Efek Samping
Tentu sebagai wilayah yang ‘cerewet’ akan banyak anomali tanggapan-tanggapan yang tidak linier dengan teror tersebut. Bentuknya meme-meme bermacam-macam, bunyinya kurang lebih begini :
“Santai aja jangan takut Corona, Ingat kita Alumni Kiamat 2012”
“Ngk perlu takut virus berlebihan, orang peringatan merokok membunuhmu aja lo langgar”
“Virus Corona tiba di Indonesia. Orang-orang kaya memborong makanan, obat-obatan dan masker, seolah-olah minggu depan kiamat. Orang-orang miskin mah santai aja. Tanpa virus corona, setiap hari mereka bergelut dengan hidup. Bagi mereka kematian dan kehidupan tipis jaraknya.”
Sangat relatif, variatif dan kadang mengundang gelak tawa. Meskipun tentu sikap abai ini adalah ilusi massa, karena mereka benar-benar tidak tahu validasi soal virus selain lewat berita, TV, dan medsos yang membanjir bagai air deras. Tiadanya kemungkinan kaum miskin untuk mengecekkan dirinya rentan virus, atau bahkan seumur hidup mereka sudah terbiasa makan tak cuci tangan namun tetap sehat, atau beragam realitas di lapangan yang menghasilkan beragam wacana. Membuat teror ini meskipun menakutkan, lalu juga menjadi bahan tertawaaan. Bagaimana tidak manusia sudah capek mati-matian bertahan hidup, sesak kesehariannya kini ditambah-tambahi resah oleh media. Dan anomali akhirnya muncul sebagai permen manis penghilang lelah, ketika biaya kesehatan tak kunjung terbayar pula.
Efek samping skala luasnya, keributan di supermarket, berbondong-bondong mereka menyiapkan ini itu pasti akan melanggar hukum dasar ekonomi. Supply and Demand. Ketika jumlah pasokan tidak bisa memenuhi kebutuhan, kelangkaan terjadi. Setelah kelangkaan terjadi otomatis semua harga menjadi naik karena nilai barang juga berbanding lurus dengan permintaan. Bahan-bahan pokok yang menjadi tujuan kedua setelah masker, hari ini mulai terasa kenaikannya dari gula dan besar entah nanti apalagi.
Kekacauan harga di pasar ini entah berpacu sampai kapan, dalam analisis jalma akan terus bertahan sampai lebaran tiba. Jika itu benar, maka berulang kali jalma tulis dan utarakan bahwa selalu ada yang memanen keuntungan dibalik konflik. Artinya realitas simbolik ‘Corona’ ini kemudian dimanfaatkan sebagai ajang mendulang laba oleh para kartel ekonomi. Tentu tidak langsung berimbas, tapi jelas semua TV dan koran laku, provider laku keras karena banyak orang ingin streaming atau searching berita tentang itu, lalu berefek ke jangka panjang. Pada cashflow setiap kita sebagai individu, keluarga maupun yang berdiam dalam beragam kawanan.
Solusi terdekat untuk ini yang terbaik yang dikira jalma adalah dengan tidak ikut-ikutan panik. Karena virus ini bukan pembunuh nomor satu di negara ini. Bukan pula teror yang menyebalkan, banyak teror lainnya yang jauh lebih berbahaya seperti oligarki, populisme, korupsi, ketidakadilan, yang efek jangka panjangnya jauh lebih membunuh massa dalam suatu wilayah daripada sebuah virus. Tetap jaga keseimbangan dan kestabilan berfikir supaya tetap sehat, sembari terus membuat backup lalu save as ke memori kita.
Belajar berfikir sedikit panjang dengan segala kemampuan yang ada dikawan-kawan. Belajar berpuasa kalau perlu, saya kira dalam sebuah krisis kalau itu memang harus terjadi puasa ini nanti yang melatih manusia untuk kuat lapar tapi tetap berhati bening dan berpikiran jernih. Ini kan sangat menarik, jika dipantik lebih jauh. Namun tulisan harus saya akhiri disini supaya tak melebar kemana-mana.
Terus berbahagia, saling kuat dan menguatkan,
Kiranya Bumi ikut merestui, apa yang manusia lakukan diatasnya.
Sukowati, 9 Maret 2020
Indra Agusta
*) Jalma bukan romo imam gereja, cuman sebutan kemesraan saja.