image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, March 25, 2020

Corona, sebuah realitas simbolik

Malam ini purnama berada tepat diatas kepala Jalma. Malam selasa kliwon ini rembulannya bercincin, sedangkan angin bertiup jauh lebih dingin dan kencang seperti biasanya. Sembari duduk di pinggir jalan, menyeruput secangkir teh. Tetiba notifikasi handphone berbunyi, seseorang mengirim chat, berisi pertanyaan :
“ Romo*, ada apa dengan bursa saham siang tadi?, semuanya anjlok grafiknya turun, bahkan saham di wallstreet, ada informasi apa dengan kondisi sekitar?”
“ Woh iya to mas, saya kurang begitu mengerti tapi mungkin ada rentetan antara penyebaran virus Corona dan Kepanikan Investor, lalu efek panjangnya menimbulkan kepanikan pula dalam bursa saham”
“Kira-kira apa yang akan terjadi romo, adakah yang harus dipikirkan ulang soal kondisi akhir-akhir ini?”
“Untuk dikalangan bawah seperti kita mas, saya kita tidak perlu terlalu panik, toh dari progresi persebaran wabah Corona belum meluas, meskipun terus waspada, tetapi untuk terus seimbang dari kepanikan ini mas, yang harus sembari bikin Save As and Backup Plan”
“Apa lagi itu romo? …”
“mmm… nanti ya, kalau sempat coba saya tuliskan, tunggu saja ya dek,”
Jalma kemudian meneruskan lamunannya, mengamati lalu-lalang perjalanan. Teh belum habis, chat tadi kemudian mengantarkannya untuk pulang menuliskan sesuatu.
Ora reti, merga durung winarah
Sejatinya dalam pengalaman yang sederhana manusia secara umum akan berposisi demikian. Mereka tidak tahu karena sensor indrawinya tidak melihat, atau informasi tentang sebuah realitas itu belum sampai ke otak mereka. Semisal berita proklamasi kemerdekaan Indonesia, baru sampai ke tanah papua 31 Agustus 1945. Persoalan ini tentu karena masalah jarak, teknologi komunikasi, juga peristiwa lain yang menghambat proses pengantaran informasi kepada intel maupun surat kabar. Setiap jaman kemudian membawa kemungkinannya masing-masing.
Jika dibalik, andaikata proklamasi terjadi hari ini kemungkinannya-pun tentu berbeda. Dalam hitungan detik bisa tersebar keseluruh dunia, dengan percepatan teknologi yang lebih mampu melipat jarak. Tetapi nanti yang jadi persoalan adalah validasi dari informasi tersebut. Di era ’45 koran atau radio bisa jadi rujukan validasi sebuah berita, informasi. Tetapi di era kini yang semua orang boleh membuat koran dan radio versinya sendiri entah berbentuk akun facebookinstagram atau podcast. Situasi yang malah semakin menambah keruwetan proses validasi, karena informasi tersebar bebas tanpa filter.
Indonesia bagian penting desa saya sebuah tulisan kritis ketika Emha muda menangkap bahwa pergeseran teknologi ini selalu merekam ketidaksiapan sebuah masyarakat. Sebenarnya jika ditarik benang merah mungkin sama, dulu ketakutan akan TV merusak golden hour anak-anak. Kini perkembangan teknologi, murah dan cepatnya akses untuk mendapatkannya justru tidak disikapi serius oleh pemegang aturan. Yang penting cuan. Masyarakat yang tidak siap akhirnya justru menganggap informasi dari internet sebagai sebuah kebenaran, padahal progresinya sama dengan TV. Kalau di era Orde-baru televisi digunakan sebagai sarana doktrinasi massa, agar pro pada apa yang menjadi arah pemerintah, dan TV kemudian saluran yang dikendalikan oleh rezim. Ternyata mental itu yang diam-diam kita bawa di dalam benak, banyak orang tua bahkan anak-anak menganggap internet sebagai satu-satunya kebenaran tunggal. Hal ini dan pewarisan mindset yang harus disikapi serius. Karena efeknya berdampak pada segala khalayak, ketakutan yang ditebar bebas oleh mainstream berefek serius kepada keadaan. Kebingungan akan validasi lalu teror muncul bersama kepanikan.
Kepanikan
Lalu berbondong-bondong masyarakat menimbun banyak barang di supermarket dan pasar. Mereka yang bermodal besar, punya kapita diatas rata-rata seperti menyiapkan backup-plan atas teror virus yang sampai ketika tulisan ini dimuat jumlahnya 19 orang. Media sosial tak kalah ramainya memperbincangkan ketakutan, industri digital baik Youtube maupu televisi tak henti-hentinya menggarap virus ini sebagai tema. Dan hasilnya tentu kepanikan itu levelnya naik seketika. Traffic marketplace online juga semakin padat, transaksi online berjibun dimana-mana, masker kemudian menjadi barang yang sangat mahal.
Kepanikan ini kemudian tak berhenti disini, pusat saham di Wallstreet pagi ini 15 menit pertama anjlok drastis, bahkan menjadi drop terparah sejak 2008. Inilah Realitas Simbolik yang diceritakan Mas Sabrang di podcast kemarin. Bahwa akhirnya satu trigger bernama virus mampu mengubah banyak hal diberbagai belahan dunia. Artinya memang demikian manusia secara tidak langsung adalah mahkluk yang mampu menyimpan bahasan, disimpannya dalam sebuah simbol kemudian kapan saja dalam beragam persepsi, beragam tingkat sudut pandang. Satu realitas simbolik bertajuk saja ‘corona’ akhirnya mendefinisikan banyak hal, yang kemudian dibuntuti dengan beragam aktualisasi langkah manusia juga beragam kepemilikannya seperti perusahaan, arah ekonomi, aset-aset bahkan untuk biro – biro tertentu yang ingin saya sebut oportunis.
Betapa tidak oportunis mereka mendompleng beragam isu untuk kepentingan komunikasi sosial. Batas-batas etik dilanggar, tak lagi peduli terhadap mereka yang jadi korban sebuah wabah. Yang penting pesan-pesan ideologi tersampaikan, kotbah-kotbah dan doktrinasi agama dilancarnya, atau program kerja pemerintah seperti ‘cuci tangan’ dilanggengkan. Semua mendapat untuk dan berebut untuk dari sebuah momentum.
Anomali, Ilusi dan Efek Samping
Tentu sebagai wilayah yang ‘cerewet’ akan banyak anomali tanggapan-tanggapan yang tidak linier dengan teror tersebut. Bentuknya meme-meme bermacam-macam, bunyinya kurang lebih begini :
Santai aja jangan takut Corona, Ingat kita Alumni Kiamat 2012”
“Ngk perlu takut virus berlebihan, orang peringatan merokok membunuhmu aja lo langgar”
“Virus Corona tiba di Indonesia. Orang-orang kaya memborong makanan, obat-obatan dan masker, seolah-olah minggu depan kiamat. Orang-orang miskin mah santai aja. Tanpa virus corona, setiap hari mereka bergelut dengan hidup. Bagi mereka kematian dan kehidupan tipis jaraknya.”
Sangat relatif, variatif dan kadang mengundang gelak tawa. Meskipun tentu sikap abai ini adalah ilusi massa, karena mereka benar-benar tidak tahu validasi soal virus selain lewat berita, TV, dan medsos yang membanjir bagai air deras. Tiadanya kemungkinan kaum miskin untuk mengecekkan dirinya rentan virus, atau bahkan seumur hidup mereka sudah terbiasa makan tak cuci tangan namun tetap sehat, atau beragam realitas di lapangan yang menghasilkan beragam wacana. Membuat teror ini meskipun menakutkan, lalu juga menjadi bahan tertawaaan.  Bagaimana tidak manusia sudah capek mati-matian bertahan hidup, sesak kesehariannya kini ditambah-tambahi resah oleh media. Dan anomali akhirnya muncul sebagai permen manis penghilang lelah, ketika biaya kesehatan tak kunjung terbayar pula.
Efek samping skala luasnya, keributan di supermarket, berbondong-bondong mereka menyiapkan ini itu pasti akan melanggar hukum dasar ekonomi. Supply and Demand. Ketika jumlah pasokan tidak bisa memenuhi kebutuhan, kelangkaan terjadi. Setelah kelangkaan terjadi otomatis semua harga menjadi naik karena nilai barang juga berbanding lurus dengan permintaan. Bahan-bahan pokok yang menjadi tujuan kedua setelah masker, hari ini mulai terasa kenaikannya dari gula dan besar entah nanti apalagi.
Kekacauan harga di pasar ini entah berpacu sampai kapan, dalam analisis jalma akan terus bertahan sampai lebaran tiba. Jika itu benar, maka berulang kali jalma tulis dan utarakan bahwa selalu ada yang memanen keuntungan dibalik konflik. Artinya realitas simbolik ‘Corona’  ini kemudian dimanfaatkan sebagai ajang mendulang laba oleh para kartel ekonomi. Tentu tidak langsung berimbas, tapi jelas semua TV dan koran laku, provider laku keras karena banyak orang ingin streaming atau searching berita tentang itu, lalu berefek ke jangka panjang. Pada cashflow setiap kita sebagai individu, keluarga maupun yang berdiam dalam beragam kawanan.
Solusi terdekat untuk ini yang terbaik yang dikira jalma adalah dengan tidak ikut-ikutan panik. Karena virus ini bukan pembunuh nomor satu di negara ini. Bukan pula teror yang menyebalkan, banyak teror lainnya yang jauh lebih berbahaya seperti oligarki, populisme, korupsi, ketidakadilan, yang efek jangka panjangnya jauh lebih membunuh massa dalam suatu wilayah daripada sebuah virus. Tetap jaga keseimbangan dan kestabilan berfikir supaya tetap sehat, sembari terus membuat backup lalu save as ke memori kita.
Belajar berfikir sedikit panjang dengan segala kemampuan yang ada dikawan-kawan. Belajar berpuasa kalau perlu, saya kira dalam sebuah krisis kalau itu memang harus terjadi puasa ini nanti yang melatih manusia untuk kuat lapar tapi tetap berhati bening dan berpikiran jernih. Ini kan sangat menarik, jika dipantik lebih jauh. Namun tulisan harus saya akhiri disini supaya tak melebar kemana-mana.
Terus berbahagia, saling kuat dan menguatkan,
Kiranya Bumi ikut merestui, apa yang manusia lakukan diatasnya.
Sukowati, 9 Maret 2020
Indra Agusta
*) Jalma bukan romo imam gereja, cuman sebutan kemesraan saja.

Monday, March 16, 2020

Kering dan Api


Semalam habis ngopi dengan Imam dan Ricky, obrolan demi obrolan melantur begitu saja. Namun tidak dengan hati jalma yang terus gelisah, dan memikirkan banyak hal. Terus mengiyakan ajakan seorang teman untuk menemani mereka dengan segala kegundahannya , jalma hanya menyimpannnya ya karena memang tidak pernah ada solusi yang benar-benar memecahkan masalah. 

Menjelang pagi setelah obrolan berlalu, jalma memutar haluan untuk pergi menyepi ke tanah tinggi. Ada himbauan pula untuk tidak pergi karena sedang ada wabah dimana-mana, tetapi rumah juga tidak kalah membunuhnya dengan beragam persoalan. Jalma memang belum bisa lagi untuk kembali tidur seperti biasa dikasur rumah. Segudang persoalan, juga luka-luka kecil bernama banyak tuntutan, cek-cok yang terjadi setiap jam terus menerus menguras kesabaran, menyakiti hati. Menaburi luka dengan perasan air jerus nipis, padahal luka belum kering betul. Dan terjadi disekujur tubuh. Begitu tertidur terlupa sejenak, beberapa jam kemudian pertengkaran terjadi. 

Manusia selalu tak pernah puas dengan apa yang dicapai. Keadaan yang tidak pernah cukup seperti kekeringan yang luas melanda tubuhku, sudah luka, hancur tetapi juga belum dan mungkin tidak pernah cukup.

Sepanjang jalan menuju tanah tinggi, pertanyaan-pertanyaan retoris selalu menghantui langkah. Kurang apalagi? harus bagaimana lagi? nanti kalau pulang kerumah membasuh yang bagaimana lagi? konflik apalagi? jam berapa bisa tidur lelap? kapan mereka berhenti berbicara soal kurang dan terus kurang. Seperti tak ada menariknya perjalanan sendirian ketika subuh, namun pulangpun enggan, karena penatnya begitu penuh. Laripun terkadang akan menjadi sangat pengecut. Tapi diri juga harus memiliki ketenangannya, meskipun tidak bahagia. Apa sih kebahagiaan? selama ini hanya terus menjalani dan memberikan air untuk siapa saja. 

Melintasi kebun jambu petik di kiri jalan, buahnya mulai banyak, bekas sisa-sisa hujan terus nampak semakin deras ketika semakin naik. Menggurat jalan yang harus terus menerus difokuskan oleh pikiran yang sebenarnya cerai-berai oleh kalut. Ya dini hari ini kabut mulai sangat tebal menutup punggungan bukit, sesampai di kebun teh jarak pandang hanya 5-10 meter rintik hujan melengkapi keromantisan pagi ini. Lampu motor yang tak kalah redupnya semakin menambah kengerian pagi, tetapi jalma selalu suka dengan hujan. Tetesan hujan yang tidak padat, namun cukup untuk membasahi wajah, jalanan yang total sepi tak ada satupun yang lewat, serta angin sepoi. 

Entah sejak kapan jalma mencintai perasaan sepi ini, apalagi ketika sedang banyak pikiran bukannya bercerita malah memilih menyendiri. Setidaknya dulu ketika jaman SMP lebih memilih tidur di taman mini di pojokan alun-alun kota, atau di emperan luwes ketika musim hujan. Setelah capek dengan kondisi rumah, sekolahpun hanya untuk nglegani orang tua supaya terus ada yang dibanggakan dari angka-angka dan ranking yang ditarget. Belum lagi dengan banyak pertemuan tongkrongan, jika kalut aslinya juga nglegani karena biasanya duduk bersama, semalas apapun untuk berdebat dan membicarakan hal-hal yang tidak penting akhirnya juga tetap duduk bersama. Tetapi tetap saja puncaknya lebih memilih sendiri.

Sama seperti pagi ini, mungkin 2-3 minggu ini ketika memang jalma sudah tidak kuasa menahan beragam gangguan kepenatan. Jalanan adalah yang paling setia meski tak berkata, karena mungkin sudah bosan juga dengan kata-kata normatif penyemangat. Lebih baik menyusuri pelan, kilometer demi kilometer dibawah 40km/jam dengan rasa was-was akan diri sendiri, bersama segala kegelisahannya. Tetapi sangat membantu untuk berdamai dengan segala penat menutup luka-luka sebelum nanti beberapa jam lagi akan dihantui masalah yang sama dan terus berulang karena keringnya manusia.

Motor ditaruh di rumah saudara tepat dibawah situs, lalu setapak demi setapak jejak Jalma menapaki bukit yang tidak terjal itu. Lewat di sampaing candi yang dibangun di era akhir Majapahit. Langit masih gelap, berbekal senter iphone ala kadarnya maka berjalanlah jalma.
Jam merekam Pukul 06.30 sembari menyibaki ilalang setingi dada, nampaknya musim penghujan benar mencurahkan airnya ke bumi. Ilalangnya penuh dengan embun, jejak sepatu mengubah tanah selepas hujan menjadi berlumpur hebat. Kali ini juga lebih menenangkan lagi, hutan dan Lawu seperti rumah untuk pulang dari segala puncak kerinduan. 

Benar-benar menjadi tracking sendirian yang mampu memupus banyak hal, tiduran di rumput tanpa sinyal, menikmati terbit matahari sembari mendengar lagu, duduk-duduk diketinggian 1700 mdpl, cuaca yang sangat dingin tetiba menjadi hangat, sudah lama sekali jalma tak menikmati detail-detail seperti ini. Kicau burung di pagi hari, bau menyengat saliyara, deassy dan dandelion mewarnai rerumputan. Tanah yang sedikit miring seperti adonan lezat untuk menikmati pagi yang cerah di musim hujan. Lalu angan membawa lagi kepenatan sepanjang simpang jalan, sangat menganggu kemewahan bercengkrama dengan pagi, distraksi seperti terus terjadi di alam berpikir, bertentangan antara harap dan realitas, antara keinginan dan kenyataan. Dan sama seperti masalah tidak ada yang benar-benar mengerti. Konflik serumit ini dengan beragam variabelnya, juga akhirnya tindakan-tindakan jalma yang kerap kali disalahpahami hanya karena ngrumat rumah dst.

Capek sebenarnya, tetapi tidak bisa dihilangkan berbagai pikiran yang berkecamuk, rasa terus menerus merasa gagal karena apapun yang dilakukan tidak pernah dihargai, hanya karena selalu ingin menuntut lebih. Memperhitungan lagi banyak pertimbangan meskipun akhirnya buntu juga. Tidak ada solusi yang menuntaskan selain menambal beberapa jam lalu hancur lagi, kehancuran demi kehancuran. Semakin kesini semakin menjadi-jadi saya. Ya memang harus memaklumi sikap manusia yang mulai berumur, tetapi aku juga terbatas karena air yang kupunya sedikit. 

Teh pagi ini memang disajikan tanpa gula, seperti masam pikiran yang kemana-mana. Namun demikian hidup harus berlalu, dan memang sudah tidak ada lagi yang menarik. Tulisan-tulisan ini menggenapi umpat sekaligus merekamnya, karena memang takut, malu, gk percaya diri untuk bercerita ke teman-teman, takut membenani karena mereka juga bergelut dengan hidup mereka sendiri.

Akhirnya ditengah wabah jalma terus saja keluar rumah, karena rumah juga menjadi 'wabah' pula dalam bentuk yang lain. Yang juga tak kalah mengeringkan. Sakit dan penuh tekanan, penuh perbandingan dst.

Hingga untuk jadi diri sendiri ada harga yang sangat mahal, mungkin setelah tulisan ini ditulis akan pecah lagi pertengkaran baru demi pertengkaran baru. Semoga bisa tertidur pulas, sebelum seperti earphone audio-technica yang tetiba dicabut begitu saja karena tidak mengindahkan mereka meluapkan sesuatu. Tapi aku jua ingin tidur tenang, tubuhku butuh istirahat, pikiranku butuh rileks, supaya tidak gila dan stress menghadapi beragam konflik yang tak pernah usai. Dan nyatanya kalian tak pernah mengganti earphone kesayanganku itu sampai aku beli baru, tapi terus menerus kering dan minta diladeni.

Sampai kapan?
Sampai mati. Aku atau kalian yang akan mendahului.
Atau semoga ada yang mau ngalah untuk bebarengan ngrumat. Dan mujizat lain

Semoga terus berbahagia, siapapun yang membaca tulisan ini, semoga tak membebanimu. Kalaupun dishare hanya berbagi kebahagiaan dengan penyintas lain yang jadi followers-ku, kalian jangan mengalami progresi seperti ini. Karena akan hancur-sehancurnya dan bingung menentukan langkah-langkah, apalagi untuk naik ke jenjang selanjutnya menjadi tua dan orang tua. Ah, kenapa aku selalu takut menuju kesana.

Nyaris tak ada yang diunggulkan jika harus diukur dari standar orang tua kita, orang tua ku sendiri. Selamat pagi, berbahagialah dengan hidupmu. Senja datang, malam segera menjelang jalma harus pulang supaya tak menumpuk lagi beban-beban yang meloncat bebas dari kata-kata. Menahan lagi pahit, mari menyalakan api dan duduk membisu mengolah segala gejolak batin. Semoga terus kuat, dan bertahan entah sampai kapan...


Pagupon yang sudah porak poranda, tapi pengecut saja jika meninggalkannya. Sementara saya terus menemani orang-orang kalah dan mereka yang sama kacaunya untuk terus mencintai hidupnya, dan aku mencintamu. 


Lawu, 16 Maret 2020
Indra Agusta

Thursday, March 5, 2020

Wish You Were Here

Kekasih, malam ini aku menuju situs maaf tidak mengajakmu. Pikiran dan hati yang lagi tak menentu memaksaku untuk melenggang sendiri ke kesunyian. Meskipun aku sebenarnya rindu, tapi kutahan supaya tak menggebu.

Ingin sekali rasanya duduk-duduk menghabiskan malam disini bersamamu. Namun nyatanya kita tak mampu menahan waktu, sebagai jalma akhirnya semua harus mengikuti lingkar edarnya masing-masing.
Sejenak kemudian kabut turun, desa ini terlihat lebih gelap dari biasanya. Hawa dingin kemudian merasuk lebih, ketenangan sesaat didapat sebelum entah kegoncangan apalagi yang akan datang.

Hari ini hari raya kuningan, jalma berharap diberikan kekuatan supaya kuat dan tidak menyerah pada situasi. Sangat gelap rasanya hati akhir-akhir ini, seperti malam ini. Namun harapku kalaupun mati sampyuh hidupku sudah memberi arti.

Dan fajar segera datang, lalu semoga kamu merasakan rindu yang sama seperti pagi ini. Dan terus menerus diluapkan beragam kebahagiaan supaya manusia tidak mengingkari dirinya.

Wish you were here.. . Candi Cetho, 2 Maret 2020
#agustaisme

TIAP SENJA

Tempat ke tempat dikunjungi, menyapa setiap mahkluk dan mencari setiap jawaban atas semua kegelisahan. Mengunjungi rumah ke rumah, sembari membasuh dan terus menenangkan diri. Ketenangan itu yang mungkin ingin dicari, dimana semua riuh, semua bermasalah, semua keruwetan sudah jauh diatas kendali. Saking cintanya pada sesuatu akhirnya bersemayam pula harap. Dan harapan pula yang mematahkan banyak hati. 

Yang berat akhirnya adalah berjalan dan ditikung ditengah jalan oleh momentum. Tujuan dan visi dibabat habis oleh efek jangka panjang dari segal keputusan.


Inginnya begini, realitasnya begitu. Kita sudah ngorbanin banyak hal namun pada akhirnya momentum terus menjawab dalam berbagai eskalasi. Banyak masalah memang belum selesai, dan entah kapan akan selesai.

Sejenak mencumbui udara dan embun bersama segala kenikmatannya. Karena memang tak banyak manusia yang mau dan mampu mengerti. Karena memang semua manusia sedang sibuk dengan berbagai urusan, ego, ambisi dan perjalanannya. Mencari air sedikit lalu dikuras habis, bahkan terus kurang. 

Lantas kemana jalma mau pergi?
Apa yang harus dilakukan?
Apa yang akan menenangkan, ketika harus bertahan?
Mulai memilih, bersikap acuh, meminimalisir semua resiko, menghadapi friksi-friksi yang sampai kapan berlalu.  

Tersiksa oleh kebimbangan, kebingungan, ketakutan akan habisnya air untuk membasuh meskipun sederhana. Lalu terus mencintai dan jujur kepada diri sendiri. Seancur apapun kenyataannya, sejatuh apapun realitasnya, sesulit apapun keadaannya.

"Tak mestinya luka menghentikan, langkah. Bila saatnya hadapilah"
Mari berlayar diperahu yang terus karam, dan menikmati senja dari tiangnya yang rapuh...


Sukawati, 06 Maret 2020
#Agustaisme


Tuesday, March 3, 2020

RUMAH SUNYI

Kususuri jalan-jalan itu lagi meniti semua pematang yang sangat sepi. Aliran air sawah kini sangat deras seperti sediakala tanah dimusim hujan.

Manusia kemudian memunguti banyak hal diluar segala kebiasaanya, meledak, membuncah bebas kemana dia ingin pergi. 
Lampu kota dan bayangannya seperti terus mengajar bahwa paradoks bisa jadi sedemikian rupa. Kamu sudah memberikan semuanya, mengungkapkan dan mengusahakannya seperti cahaya namun karena kecepatan manusia menangkapnya hanya bayangan yang berlalu dan tidak penting.

Ya memang bukan dirimu yang diharapkan, tetapi akibatmu, efekmu, segala apa yang menjadi berdampak pada mereka. Ketika kamu jauh dari fungsi manusia akhirnya acuh.

Roda terus berputar, dan gas seperti tak mau berhenti. Ingin "pulang" namun takut tidak diterima dirumah. Apalagi yang akan dan harus dikerjakan harus segera berjalan, tapi semakin kehilangan arti diri.

Segelas wedang rempah disajikan dalam senyum. Namun kemudian yang kucari sebenarnya adalah detik - detik tenang, sunyi itu sendiri supaya kalut tak mengacau progresi jalma yang juga harus terus membasuh.

Maukah kau duduk disini bersamaku? Menghabiskan wedang rempah ini, dalam semua kesunyiannya?

Bukankah cinta bisa sederhana? Meski standar-standar mengubahnya.

Somewhere, 03 Maret 2020

#agustaisme

Monday, March 2, 2020

MERAYAKAN KEMATIAN




Semua orang takut kehilangan hanya karena keegoisan diri mereka menganggap orang lain harus berada disisinya, hanya ketika orang lain ini berlalu, lalu lupa bahwa sebenarnya setiap haripun manusia bisa membasuh semua, jika mau. Tidak melulu menunggu kematian atau berita kehilangan yang datang, lantas penyesalan datang.

Namun terkadang semacam bisikan halus bernama karsa pula yang menahan diri untuk melakukannya. Beragam alasannya kenapa karsa  menjadi alasan banyak manusia menahan diri untuk tak melakukan apa yang seharusnya bisa dilakukan.


Seperti berbondong-bondong  massa yang melayat ketika manusia mati, namun ketika mereka miskin, melarat, hidupnya penuh kedukaan, hancur segala harapannya, bahkan dihancurkan oleh momentum, tak semua orang iba. Manusia lain bisa saja disibukkan oleh beragam pekerjaan, rutinitas dan geliat ambisinya. Namun ketika si jalma meninggal isak tangis, kesedihan, dan taburan bunga seperti lantunan doa panjang diharapkan untuk membangkitkan jasadnya dari kubur. nc terlambat, semuanya sudah berlalu dan terus saja demikian berulang-ulang yang seperti jalma alami disetiap menghadiri perayaan kematian.

Banyak kerabat dekat yang menyesal setengah mati, berguling-guling badannya, sampai mungkin beberapa pingsan hanya karena tak tahan menghadapi sebuah momentum ajal. Disudut luar ruangan rasan-rasan adalah budaya kita, segala ucapan yang meluncur bebas dari rahim bernama ego lagi seperti tak putus-putus melayang di udara. Orang-orang berbicara tergantung kepada seberapa jauh dan dekat massa kepada si jasad. Mereka menceritakan apa yang ingin mereka kenang, baik maupun buruk.

Lalu sahabat-sahabat terdekat mengulik lagi kenangan-kenangan kecil, momentum yang membekas dalam benak, bahwa mereka pernah berbahagia karena berdekatan dengan sang jasad. Tetes demi tetep airmata mereka berurai


Manusia lainnya hanya terus menagih jasad untuk 'menjadi" seperti yang manusia harapkan, kemudian keinginan membalutnya seperti cat tembok yang penuh rasa gengsi untuk mengakui bahwa sebenarnya bisa diluapkan rasa itu kapan saja. Hal-hal sederhana seperti ucapan terima kasih, bersyukur, maturnuwun saja kadang terlupa. Inginnya hanya segala tuntutan dan harapannya dipenuhi, tapi tanpa pernah tahu apa-apa saja yang pernah jasad lalui, apa saja yang pernah diberi, 

Lalu benar kata Efek Rumah Kaca "Kematian adalah keniscayaan yang tiba-tiba datang atau memang sudah dinantikan" oleh semua manusia, dengan segala rekam keluh kesah dan perjuangannya, dalam bertahan dan membasuhnya, dalam kesepian dan kebahagiaannya. Manusia kemudian terus menuju kepadanya.

Dan tagihlah semuanya andaikata kematianku menjemput, karena yang kau rasa hanyalah sia-sia, aku sudah berpindah dimensi, dan kau menyia-nyiakan waktumu bersamaku. Seperti edar semesta yang menjauh dan mendekat pada sesuatu. Semoga apa yang selalu kuberikan kepadamu semasa hidup sampai hari ini, sampai ajalku nantipun tak pernah ada yang ditahan-tahan. Semua diluapkan begitu saja, sesuai kadar kesiapan mahkluk-mahkluk disekitarku. 

Semoga yang 'sedang berbelanja kepasar' terus diberi kekuatan untuk tetap menjalani kehidupannya, berbahagia dengan merawat segala kejujurannya, menimbun segala tabah dan kesabarannya. Atau meluapkan kasih dan cintanya untuk semua, membasuh semua kaki yang harus dibasuh, seperti Isa kepada muridnya, juga untuk terus berdamai dengan diri bagaimanapun caranya. Ketika 'waktunya' datang tak pernah ada kata sesal, semuanya sempurna. Mokhsa.

Tuliskan apa yang mampu dituliskan sebagai perekam ingatan, sejarah dan mungkin juga sebagai sarana mengurangi beban.
Maka sempurnakanlah segalanya, seperti gelap yang selalu setia diwaktu-waktu yang hilang.
dan sampaikanlah salammu kepada langit...



Sukowati, 03 Maret 2020
Indra Agusta