image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Friday, February 23, 2018

Materialisme Harga Mati

Materialisme Harga Mati

Injil mencatat sebuah nas :
"Akar segala kejahatan adalah mencintai Uang"

Kita tahu Zaman Now memang membutuhkan uang, namun keputusan untuk terlalu mencintai dan memberhalakan uang adalah perilaku yang sangat lain.

Dalam perkembangannya belasan tahun mengamati perilaku jalma.

Adalah manusia yang tak pernah berhenti mengejar kekayaan namun kekayaan tak mendekatinya. Tak puasnya manusia, seringkali ukuran 'cukup' pun bermakna relatif, asal yang penting cukup, namun justru standar kecukupan itu menjadi bias karena berbanding lurus dengan diperluasnya kebutuhan.

Akhirnya memang tidak ada yang berubah sama sekali, tidak ada kekayaan yang ditimbun, lalu hutang menjalar bagai umbi-umbi di ladang.

Dan keputusan selanjutnya adalah kegamangan, kehilangan diri, asal dapat uang pasti senang dan menyalahkan apapun yang tidak terkait dengan uang, kesehatan tubuh misalnya.

Manusia modern bukan petani yang menanam pohon pisang atau trembesi guna peneduh disela-sela sawah. Mereka menempatkan pepatah "sedia payung sebelum hujan" di pojokan emperan rumah pemikirannya.

Kecenderungannya lebih kepada jika sakit pergi ke dokter dan beli obat, jauh lebih laris daripada bagaimana menjaga badan agar terhindar dari segala penyakit. Asal nabrak dulu tiang listrik, urusan bisa diatur belakangan.

Sementara dibelahan lain bahkan untuk membeli obatpun tak mampu. Seperti anak kost yang menahan lapar dengan minum obat maag. Keadaan kronis ini menyampaikan makna, bahwa ketidakadilan itu memang nyata. Melawannya atau membiarkannya semacam balsem yang dioles, masuk anginnya reda sebentar lalu besok masuk angin lagi.

Lalu mencintai uang berubah bentuk dalam berbagai pemujaan perilaku, pemujaan syahwat, pemujaan almamater, pemujaan gelar, pemujaan pangkat, dan segala yang mampu dibeli dengan uang.

Dan ingatlah ada jeda memantik sinar diri, dan menggerogoti diri dari dalam.
Akankah sinarnya tinggal sebentar?
Dan bilamana jalma berjalan ketika hari gelap?

Membasuh air dipematang sawah, namun Air terlanjur keruh.

Sragen, 24 Februari 2018
Indra Agusta

Wednesday, February 21, 2018

Anak-anak Pedang

Oleh: Indra Agusta

Diselumuti duka mereka, dikabarkan kematian demi kematian berbaur dengan asap kembul sang malam.
Sang jalma terdiam dan menulis, siapa dan bilamana mereka berserak, digerakkan lalu tergerak.

Mereka anak-anak Adam yang berkelakar diguyur hujan deras.
Gemetar, gigil tubuh mereka menapaki sisa hidup yang tak kalah dinginnya.
Sebatang rokok, segelas tuak ditenggak memecah kepiluan, keputusasaan dendam.

Aku, dari sudut gelap melihat kegelisagan dan kebuntuan tergores dari hati yang sepi. Namun dimana anak-anak itu melabuhkan peluh, menyandarkan derasnya air matanya?

Anak-anak api, selaksa panah di bahunya , juga bergandewa gugat di tepi maknanya..

Ahh, Anak-anak Pedang.
Matanya nanar melawan,
Pikirannya mendobrak,
Otaknya menguak,
Berontak mereka,

Lalu dimanakah kalbu?

Suram-suram terdengar ketukMu,
dari ruang kosong lelah, Tabah. . .

Klecowetan, 17 Februari 2018

Sunday, February 11, 2018

Gerbang Cahaya

Mengambil peran, adalah suatu posisi lakon yang entah sadar atau tidak dijalankan oleh semua manusia. Manusia yang diawal sudah menuliskan perjalanannya disimpan rapat dalam buku kehidupan, lahir kemudian memperjalani lembar demi lembarnya.

Semuanya berproses menjalani berbagai macam pilihan yang bebas namun sebenarnya terbatas. Ada ruang-ruang yang memadatkan manusia untuk menuju lajur kesempurnaannya.

Di dalam naungan cinta-Nya, tentu ada keluh kesah dan kebuntuan-kebuntuan yang sesak sekaligus pepat, namun jika manusia bisa mengais tanahnya, ada sumber air kehidupan yang menyumbat kegelisahan.

Ketekunan dan keseriusan menjalani laku, menghamburkan lebih banyak lagi pendaran Cahaya Tuhan, untuk kemudian diresapi lagi apa yang merasuk dan menghujam di sanubari.

Pendaran Cahaya kemudian berprogres menjadi apa yang dirasa.
Menjadi Sinar di balkon megah penguasa, lampu untuk menerangi anak-anak kita di kamar yang semakin gelap, menyeruak untuk tegasnya arah lalu kemudian setia menemani pejalan, atau lilin-lilin kecil ditengah-tengah ketersesatannya di belantara dunia.

Semua akhirnya adalah Cahaya, mengalir dari dan menuju Cahaya.
Seperti kisah rumah yang pahatannya puluhan tahun bermakna terang, kini semakin menggenapi wujudnya untuk tidak lagi dinafikan.

Seleret kilat terpandang, sekejap lampu padam. Lihatlah itu anak-anakMu lahir..
Tangis sesenggukan hari menyambut makna kelahiran..

Padhang, padhang, padhang dan semburatnya kian benderang...
Bergegas anak-anak itu dengan airmata memeluk-Nya.

Rumah Cahaya, 11 Februari 2018.
Indra Agusta

Saturday, February 3, 2018

Kehilangan Protestan-isme

500 tahun gereja setelah reformasi yang dibawa Martin luther, apa yang saya temui ternyata malah justru menjauhi dari semangat protes itu sendiri. Dengan tulisan ini semoga protes saya berhasil pedas, supaya gereja kembali kepada kejernihannya sebagai wujud ajaran Cinta-Kasih Yesus sendiri di dunia nyata.

500 Tahun reformasi gereja, sebuah peringatan megah, digaungkan dilangit gereja, kisah-kisah epik soal sindiran keras soal gereja Katolik dizaman kegelapan gereja. Lalu hanya dibumbui sebatas untuk percaya terus menerus Yesus sebagai Tuhan dan Juru selamat.

Selebaran yang sampai kerumah saya soal Reformasi gereja ya hanya berkutat soal inferior gereja, soal yang harusnya tidak perlu dianggap penting, menurut saya. Soal-soal seperti aliran lain yang tidak menganggap Yesus sebagai Tuhan, Yesus bukan satu-satunya harapan dari sebuah doa.

Menyalahkan A lalu menganggap diri sebagai yang paling benar, semuanya sudah berlalu sekarang hampir semua Kristen mayoritas menyembah Yesus sebagai Tuhan, sisanya paling 10% mungkin lebih kecil lagi, toh mereka masih mengganggap Yesus, dan ajarannya sebagai pedoman hidup, mengganggap Yesus sebagai juru selamat di akhir zaman. Kenapa kekristenan harus kembali ke teori ini, kenapa tidak menganggapnya sebagai bagian dari sejarah perkembangan gereja.

Pertanyaannya: whats next after reformation? After saved?

Ada banyak PR diluar sana yang tentu juga harus dijawab Kristen apalagi gereja sebagai rumah, dan berkumpulnya umat yang mengaku kristen.

Sebagai bentuk dari hukum kasih ke-2 mencintai sesama manusia sebagaimana mencintai diri sendiri. Namun yang saya temui justru sebaliknya kalangan mahasiswa kristen, keluarga kristen, keluarga pendeta bisa makan enak di berbagai restoran mahal, di hotel berkelas, main di wahana spektakuler. Namun jangankan dimensi sosial secara luas, banyak dari nasib jemaatnya sendiri yang hidup jauh dibawah garis kemiskinan dibiarkan oleh gereja, oleh agen-agen yang membawa nama cinta,kasih sesama manusia.

Dimana mencintai manusianya? Gerakan kekristenan harus segera berinstropeksi diri dari kenyataan seperti ini, kalau tidak mau ditinggalkan umat.

Tak jarang gereja sekarang hanya sebagai ajang pamer gengsi, dan pamer aktualisasi. Berlomba-lomba memamerkan kemewahan, memamerkan keglamoran, yang justru semakin membawa rentang sosial yang jauh antara jemaat yang finansialnya dibawah rata-rata dengan kelas elit kapitalis.

Belum lagi soal semakin 'sucinya' gereja protestan terhadap jemaat yang dianggap kotor. Mereka yang bekas maling, penjudi  bekas menghamili/dihamili semakin tidak mendapat tempat didalam gereja, tak jarang gunjingan dan cibiran muncul dari mulut pendeta sendiri, gereja yang harusnya menjadi rumah untuk semua orang dengan berbagai kesalahannya malah menjadi bagian dari justifikasi kesucian semakin membuat enggan mereka yang dinafikan untuk datang beribadah atas dasar cinta kasih.

Jadi apa yang menjadi tujuan kekristenan sekarang?
Dimana semangat protestanisme akan digaungkan?

Bagaimana terus menerus menggaungkan orang untuk percaya Yesus, Figur yang menawarkan pembebasan dari kesengsaraan, perjuangan dan perlawanan terhadap penguasa, terhadap ketidakadilan, melawan tirani kekuasan,

Namun kalian justru menutup mata dan kuping kalian dari realitas, sambil mengunyah kemapanan kalian di rumah nyaman? Ironi sekali. Kalian ingin seperti Yesus namun kehilangan harta untuk orang papa saja mikir, mending menghabiskan waktu untuk meet-up , piknik kesana kemari lalu bersaksi "hidup saya diberkati", Oi! itu jemaatmu sudah merasa diberkati belum?

Jangan dijejali janji surgawi melulu, sementara realitas penghidupan mereka didunia kalian biarkan, bahkan kalian nafikan asal ada pundi-pundi yang mengalir dari kantong kolekte kalian.

Lalu dimana Kekristenan yang penuh welas asih itu?
Dan kembali kepertanyaan awal, bagaimana kedepan arah gerakan Protestanisme?
Jika tidak segera berbenah, jangan disalahkan jika kekristenan tidak relevan dan akan semakin ditinggalkan.

Selamat Hari Minggu.
Kleco Wetan, 4 Januari 2018

Indra Agusta

Friday, February 2, 2018

AKTUALISASI RUANG


Oleh: Indra Agusta

Manusia sebagai mahkluk ciptaan terus menerus mengikuti aktualisasi dirinya, yang nantinya akan ditabrakkan pada rengkuh jaman

Berbagai peran dijalani manusia, berbagai pencapaian dari lini kekuasaan hingga bertumpuk-tumpuknya emas raja brana mengisi hari-hari kita sepanjang hidup. Sisi lainnya adalah pilihan-pilihan ideologis, konsentrasi metode berpikir, juga harmonisasinya terhadap ciptaan lain. Demikian manusia terus berjalan mengikuti jumlah detak jantung yang dititipkan oleh-Nya.

Adakalanya diriuhnya zaman, manusia lalu berlomba-lomba memuja kebutuhan primernya. Di jaman yang dibilang modern ini entah berjuta manusia berlomba-lomba mengisi, menghiasi perutnya. Esensi makan tidak lagi sebagai pemenuh kalori dan enzim yang dibutuhkan tubuh, namun berkembang menuju ragam makanan yang menjamu mata untuk terlalu senang dibelai warna.

Pakaian, juga demikian ada evolusi dan pengulangan dalam tren berpakaian, tapi alurnya sudah melebihi apa esensi sebuah pakai dibumbui akhiran -an.

Apalagi  rumah, jelas sudah berkembang demikian pesatnya, teknologi dan proyek infrastruktur terus berjalan, pasar hunian merajalela disemua titik-titik l dianggap prospek oleh pengembang, dilengkapi berbagai kemudahan, fasilitas transportasi, yang semakin memuja manusia dikeriuhan koneksi relasi.

Lalu dimanakah yang masih berjuang untuk sebuah esensi?

Negeri yang sama yang menjamu para penikmatnya, juga memberi kemiskinan dan nasib sial bagi orang lainnya.

Jutaan mereka yang tidur di emperan toko, mengais sampah mereka makan kudapan debu. Pakaian hanya 1 cuci kering pakai, atau bahkan tidak pernah diganti. Bukan karena mereka tidak berusaha, namun perjuangan menuju titik balik tentu sangatlah berat. Coba eksplorasi berapa jerat yang mengunci kaki mereka, membunuh kecerdasan mereka, plat merah kadang juga turut andil membebani dalam proses administrasi, tapi disisi lain mereka inilah yang menggurui saya soal kembali pada esensi hidup. Apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam hidup?

Saya tau gelak tawa renyah mereka dari setiap keping yang dihasilnya, dari nasi bungkus yang dimakan sambil berkeringat bersama anak yang mengikutinya menjarah jalanan, atau seberapa romantisnya tukang kelontong yang duduk-duduk dipojokan alun-alun kota sambil menikmati jagung bakar bersama cucunya.

Keromantisan lain adalah guyon penjual semangka didekat trowong, yang meski lelap ketika truk buah datang, saya mencoba menyamar mengemispun semangka diberikan oleh ibu-ibu itu. Betapa sempurnanya hidup mereka, dijalanan sepi tukang-tukang sapu juga terus menerus membersihkan kota, meski adipura bukan atas nama mereka. Hisapan rokok sehabis hujan sudah memberi bahagia ditengah nasib yang tak kalah muramnya, segurat tipis dari kejauhan aku memandangnya.

Sebentar lagi pagi menjelang, disudut kota sepi akan hingar kembali. Dan perebutan aktualisasi akan berjalan lagi, rebutan jalan, rebutan kepintaran, rayahan proyek, atau mendermakan diri sebagai tenaga kesehatan. Semua mengisi rumah besar bernama bumi, semua menjadi perabot-perabot, pepat tanpa jeda.

Aku pernah menjadi bagian dari itu semua, dan kini aku melukiskannya, sambil memilah apa yang ada diluar ini semua, apa makna dari semua peredaran ciptaan ini.

Akhirnya semua proses ini menjadi kalam hidup, dan manusia hanya dianggap ada bila mengaktualisasi dirinya sebagai sesuatu.

Presiden maupun pengemis, harus jelas dari perangai, tingkah sampai model alaskakinya. Supaya memudahkan pengenalan aktualisasi.

Dan dimana saya sekarang?
saya sedang tidak menjadi apapun, hingga banyak orang bingung menafsirkannya.

Hanya melakoni peran sejenak, sembari menikmati lakon yang dituntun selanjutnya.
Kadang Penganggur tanpa pekerjaan, kadang penulis, kadang instruktur pencinta alam, kadang pengayuh sepeda dikesunyian, kadang tukang kritik di medsos, kadang ngobrol bersama akademisi, kadang ngopi sama tokoh, kadang berbagi nasi dengan pengemis, kadang join kopi dengan tukang pel stasiun, kadang mabuk bersama tukang parkir restauran, kadang penunggu rumah yang setia, kadang menyendiri di belik-belik sepi, kadang menjadi teolog, kadang pembantu tanpa gaji, kadang penafsir gelombang kelakuan manusia, kadang begitu suka dengan bangunan tua yang sarat dengan apapun, dan akhirnya bukan siapapun untuk siapapun.

Menjadi segalanya dan bukan segalanya dalam waktu yang bersamaan.
Lalu dimanakah saya akan berpijak? Dan dimana Aktualisasi saya yang paling pas seperti yang dilakukan orang-orang? Nampaknya memang bukan ditataran itu, sementara tingkat langit terbuka dan ada loncatan perabot menjadi ruang.

Manusia menyepi menuliskan lakonnya.
Selamat bertarung!

Lawang Abang, 6 Februari 2018