image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, May 2, 2016

Ilmu dan Uang

Hidup kadang dinikmati lebih indah dengan merenung, dan menyendiri menurutku.
Hidup yang sangat beragam, dan beraneka macam. Seperti riak-riak gelombang Rawa Pening atau kesibukan para penjual molen Pasar Rakyat "Cembengan" sebuah pabrik gula di kota saya, yang kemudian berkembang lebih dikenal luas dengan "Cembrengan".

Ada terlalu banyak ruang-ruang untuk diperbincangkan, ada banyak kejadian-kejadian yang selalu menarik setiap harinya. Kali ini saya tergelitik karena mengalami dan mengamati hal-hal yang terjadi disekitar saya, kali ini tentang Ilmu dan Uang.

Kita  dari kecil dituntut untuk menjadi pintar, namun setelah dewasa beberapa orang yang lebih tua men-standarkan tingkat kepintaran seseorang adalah tentang uang yang didapatkan. Pandangan untuk mengukur tingkat keilmuan seseorang hanyalah sebatas seberapa  kekayaan material yang didapatkan.

Buat kebanyakan orang mungkin sudah biasa namun tidak bisa saya pungkiri bahwa hati saya berkata ini janggal. Kalaupun ada korelasi keilmuan dengan uang, saya kira itu hanya akibat bukan cenderung sebagai tujuan. 

Mengobrol dengan banyak orang tua sebagian besar akan setuju bahwa mereka menyekolahkan anak-anak mereka hanya sebatas supaya kaya, punya uang banyak, punya kekayaan banyak. Kenapa dari kecil enggak diajari mencuri saja, kalo yang dicari cuman uang banyak? Atau diajari jadi pembunuh bayaran, tentu gajinya akan sangat besar jika hanya kekayaan yang dicari?.

Memang tidak bisa menafikan bahwa keberadaan uang dijaman sekarang memang sangat diperlukan [karena memang sudah masuk system yang di setting demikian rupa]. Tapi bukankah itu sebagai nomor sekianlah, atau saya yang berbeda saja, bukankah ilmu jauh diatas itu semua.

Uang memang penting, namun wawasan yang didapat dari ilmu itu pula yang akan menentukan akan dibawa kemana uang yang didapat. Seperti anak kecil yang dikasih pisau, mau untuk membunuh bisa, namun untuk membelah semangka juga bisa. Bukankah disini ini letak ilmu?

Namun pada kenyataanya saya terkadang terenyuh melihat beberapa orang tua yang terlalu “memaksa” anaknya untuk kaya dalam sisi material, sementara proses perjalanan akademisnya adalah menambah kekayaan intelektual.

Ketika anak sudah lulus kuliah dia dituntut untuk kerja di perusahaan bonafit atau apapun yang menghasilkan uang yang sangat banyak entah untuk kepentingan orangtuanya, atau sebagai perlambang gengsi keluarga. Dan anak menjadi semakin tertekan, apa yang jadi imaginasinya ketika kecil dituntut untuk terus sempurna dalam bidang keilmuan ketika dewasa akhirnya tergeser dengan tuntutan-tuntutan materialism sepihak. 

Lalu banyak yang berpikir sekolah buat apa? IPK tidak begitu penting yang penting dapat kerja dan uang banyak, bukankah ini pergeseran yang sangat jauh rentangnya, jika kita ditarik ke masa lalu.

Tuntutan demi tuntutan yang kemudian mengeras, seperti dogma [karena memang datang dari lingkaran yang paling dekat, baca : keluarga] lalu mengkaburkan jalannya dia sebagai seorang akademisi untuk melanjutkan apa yang telah dia mulai, untuk mengaplikasikan ilmunya dalam bidang-bidang yang dia geluti, meski tak selalu menghasilkan uang yang banyak. Tapi buat saya itu lebih menarik karena uang bukan menjadi tujuan dari pencapaian akademisinya, melainkan sebagai akibat dari apa yang telah diperbuat, sebagai bentuk apresiasi karya, atau semacam “tandha tresna” bagi orang jawa.

Ah, semoga saja semakin banyak orang tua yang mengajar anaknya untuk ngelmu bukan untuk kaya. Bukan hanya menyerahkan anak-anaknya untuk melacurkan diri dan menghamba pada uang dalam berbagai bidang.


Karena Uang Akan Datang Ketika Kita Mampu Menyelesaikan Problem Orang Lain.
Bukan Dibalik , Kita nyari uang hanya untuk Menyelesaikan Problem.



Kleco Wetan,  1 Mei 2016
Indra Agusta.





No comments:

Post a Comment