Oleh : Indra Agusta
"saking pundhi, badhe tindak pundhi mbah"
Begitu sapaan akrab sewaktu kecil kepada siapapun, pas ketemu dijalan, dipasar, regol-regol padukuhan dan dimanapun. Ketika saya kecil sudah menjadi kewajiban bahwa anak harus selalu menyapa yang lebih tua, pertama-tama memang dipaksa, namun kemudian terbiasa, ada semacam rasa mangkel dihati ketika dipaksa, geram. Dasar anak kecil.
Namun ketika dewasa akhirnya saya tahu bahwa sapaan merupakan awal dari komunikasi yang berujung pada ilmu-ilmu langit, ilmu-ilmu hidup dari orang tua yang tidak saya dapatkan dari bangku sekolah. Dan segala manfaat lainnya. Komunikasi yang sekarang dimasukkan dalam setiap fakultas2 disekolah, namun tergerus esensinya di ranah publik karena era komunikasi sekarang bergeser ke arah digital dan individualistik.
Namun ketika dewasa akhirnya saya tahu bahwa sapaan merupakan awal dari komunikasi yang berujung pada ilmu-ilmu langit, ilmu-ilmu hidup dari orang tua yang tidak saya dapatkan dari bangku sekolah. Dan segala manfaat lainnya. Komunikasi yang sekarang dimasukkan dalam setiap fakultas2 disekolah, namun tergerus esensinya di ranah publik karena era komunikasi sekarang bergeser ke arah digital dan individualistik.
Tradisi itu hilang ditelan kemajuan teknologi, manusia semakin sibuk dengan gadget, sosmed semakin menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Dinamika massa yang semakin tergeser menuju kemunduran. Dibius, ditipu oleh reka-reka jaman.
Jagongan-jagongan akrab akhirnya tergeser menjadi ajang pamer di sosial media, atau keakraban akhirnya tergeser oleh sibuknya manusia dengan wifi. Di Desa-pun sama efeknya tidak hanya pada pemuda pemudinya, tapi juga ke ranah orang tua. Obrolan-obrolan di Cakruk semakin sepi, kalau ada yang menarik pasti sumbernya berasal dari layar kotak yang menawarkan lelucon entah video atau apa, dan komunikasi intens antar sesama manusia semakin menurun. Lalu unggah-ungguh terhadap orang tua pun hilang. Dan banyak orang tua protes karena ini, tapi mereka tidak menyadari awal benih yang ditanamankan juga mereka gunakan sehari-hari sebagai ajang agar terlihat modern dijaman yang semakin maju.
Maju? maju kemana? bukankah ini sebuah kemunduran?
Maju? maju kemana? bukankah ini sebuah kemunduran?
Jawa ilang jawa-ne, bukan hanya secara textual namun pola hidup yang njawani akhirnya juga semakin hilang.
Orang jawa modern sudah tidak tahu ketika orang tua bilang "bocah kok dikandhani ora njawa" yang bermakna anak dikasih tahu tapi tidak mengerti. Jadi proses pemahaman untuk menjadi "mengerti" itulah hakikat dari Jawa sebagai pola hidup. Tentu untuk mengerti bukan seperti kita membeli permen lalu kita ngasih uang dan permen kita dapat. Tidak, tidak begitu, Jawa sangat berbeda dengan pola hidup modern/ barat yang sangat instan.
Proses untuk mengerti atau "njawa" memerlukan rentang perjalanan yang sangat panjang, bahkan sampai waktu yang tidak terbatas, semakin lama semakin banyak trial dan error hingga tidak sadar dimensi "rasa" kita meningkat setiap harinya, membuat manusia Jawa semakin rendah hati, dan tenang dalam menghadapi segala sesuatu.
Orang jawa modern sudah tidak tahu ketika orang tua bilang "bocah kok dikandhani ora njawa" yang bermakna anak dikasih tahu tapi tidak mengerti. Jadi proses pemahaman untuk menjadi "mengerti" itulah hakikat dari Jawa sebagai pola hidup. Tentu untuk mengerti bukan seperti kita membeli permen lalu kita ngasih uang dan permen kita dapat. Tidak, tidak begitu, Jawa sangat berbeda dengan pola hidup modern/ barat yang sangat instan.
Proses untuk mengerti atau "njawa" memerlukan rentang perjalanan yang sangat panjang, bahkan sampai waktu yang tidak terbatas, semakin lama semakin banyak trial dan error hingga tidak sadar dimensi "rasa" kita meningkat setiap harinya, membuat manusia Jawa semakin rendah hati, dan tenang dalam menghadapi segala sesuatu.
Atau bila kita mau memaknai Serat Wulangreh, dalam tembang Pocung , kita akan bertemu bait "ngelmu iku kalakone kanthi laku" selalu ada pertanyaan dari lagu yang bahkan sejak belum sekolah saya sudah diajari untuk menyanyikannya.
Tapi mungkin benar, pewarisan nilai-nilai memang tidak selalu lewat jurnal-jurnal ilmiah yang kita pelajari ketika kita sudah dewasa, lewat tembang-tembang dolanan yang kelihatan sepele sebenarnya, disitulah letak komposisi paling kuat, pondasi pondasi yang dibentuk sejak dari kecil, yang akan berdampak sangat banyak bagi anak-anak ketika mereka sudah menginjak dewasa. Namun sekarang disulap hanya sebagai pelajaran menghafal lagu oleh guru-guru bahasa Jawa, ironis memang.
Tapi mungkin benar, pewarisan nilai-nilai memang tidak selalu lewat jurnal-jurnal ilmiah yang kita pelajari ketika kita sudah dewasa, lewat tembang-tembang dolanan yang kelihatan sepele sebenarnya, disitulah letak komposisi paling kuat, pondasi pondasi yang dibentuk sejak dari kecil, yang akan berdampak sangat banyak bagi anak-anak ketika mereka sudah menginjak dewasa. Namun sekarang disulap hanya sebagai pelajaran menghafal lagu oleh guru-guru bahasa Jawa, ironis memang.
Tentu ada suatu maksud bahwa lirik tersebut ditaruh di akhir, atau di puncak-puncaknya Macapat, Pocung. Karena memang proses ngelmu bukan sekedar mencari ilmu. Pocung sendiri adalah akulturasi budaya yang berarti juga pocong atau simbologi kematian bagi masyarakat islam-jawa.
Kembali ke "Ngelmu" kenapa kok "kalakone kanthi laku" atau kenapa proses menuju ilmu, hakikatnya didapat dari sebuah laku [jalan]. Karena memang ilmu dari sudut pandang jawa tidak seperti ilmu dari sudut pandang barat/modern yang memang mengharuskan kita duduk didikelas kemudian di beri pandangan oleh guru dan kita menelannya.
Jawa lebih menekankan pada proses, menjalani laku, seperti kata-kata awal tadi dalam menjalani laku harus menentukan titik awal dan tujuan. Dalam tembang macapat kita akan tahu hidup diawali dari Pangkur, berakhir pada Pocung kemudian dilanjutkan menuju tembang Megatruh atau Megat-Ruh.
Dari proses kita mengikuti sesuatu, menangkap arti dari sesuatu tersebut sampai menentukan sesuatu. Namun kita benar-benar menjalani laku.
Perbedaannya mendasar seperti ketika di TK kita diberikan gambar Buah Pisang dan alam pikiran kita dipaksa untuk memahami itu pisang.
Namun orang Jawa akan menyeret anaknya ke kebon belakang rumah diambilkan satu atau dua helai pisang, disuruh makan. Kemudian silahkan dimaknai sendiri tentang buah pisang, bentuk, tekstur dan rasa. Bukan hanya sekedar gambar yang dipasang dipapan tulis.
Dari pola ini bukankah masyarakat modern-pun demikian mayoritas memakan sesuatu lewat TV, atau media sosial lainnya, tanpa mengecek dulu kebenarannya. Kemudian asal share, asal copy paste.
Dan Jawa-pun begitu, sudah hilang esensi dari 'memetik Pisang dari kebon tadi' sekarang yang penting citra yang dicitrakan, bukan citra yang natural. Proses pemilihan kepala desa pun masyarakat ditipu dengan kebaikan sesaat sebelum mereka mencalonkan diri sebagai kepala desa. 'sing Jarene' bagus itu yang dipilih, la ini jarene sapa [kata siapa] , terlalu banyak sekarang yang jualan jarene, lalu kesalahan yang mayoritas dianggap menjadi kebenaran, karena jumlah.
Dan zaman akhirnya bergerak pada koridor penipuan besar2an oleh media. Diiming-imingi oleh kebutuhan kebutuhan yang sebenarnya tidak perlu. dan negara menjadi negara yang konsumtif, tentu rakyatnya juga.
Segalanya distandarisasi, segalanya didigitalkan, dan kita dipaksa untuk menerima dan menganggap bahwa segala sesuatu yang digital itu baik, maju dan modern padahal ada efek yang sangat menakutkan dibalik segala proses pen-digital-an indonesia ini.
Kita akan menjadi bangsa yang sangat mudah dikontrol jika data2nya sudah diketahui pihak yang ingin mengeruk keuntungan dari proses ini. Seperti balon Google yang mengudara sebentar lagi. boleh dibilang masyarakat akan tertipu dengan kemudahan layanan internet yang diberikan oleh balon tersebut, tapi masyarakat lupa Google itu perushaan swasta lho, dia bukan pemerintah, dan otomatis dia akan mengeruk kepentingan untuk dirinya sendiri, atau pihak yang mendanai dia dibelakangnya. misalnya seperti pendataan SDA lewat balon google. misalnya.
Lalu hakikat kita sebagai manusia benar2 hilang, untuk memposisikan diripun semakin sulit, apalagi mereka yang sudah terjerat jaring-jaring proyek internasional tersebut.
Bangsa semakin hilang arah, semakin hilang identitas negaranya.
Rakyat juga senang dengan pembangunan yang diberikan presiden,
namun lupa bahwa utang yang dihasilkan sangat besar, yang kelak akan jadi tanggung jawab rakyat juga lewat pajak. lalu presiden akan berlalu setelah 1-2 periode.
Melu mangan nangkane, tapi sithik, tapi gupak pulut e sakabehane..
Ada baiknya jika kamu mengenali dirimu sendiri, sudah benar-benarkah menjadi manusia.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional.
semoga tidak semakin kehilangan arah, negara, bangsa dan masyarakatnya.
semoga semakin "Njawani" dalam arti yang global..
Kleco Wetan, 20 Mei 2016
Kembali ke "Ngelmu" kenapa kok "kalakone kanthi laku" atau kenapa proses menuju ilmu, hakikatnya didapat dari sebuah laku [jalan]. Karena memang ilmu dari sudut pandang jawa tidak seperti ilmu dari sudut pandang barat/modern yang memang mengharuskan kita duduk didikelas kemudian di beri pandangan oleh guru dan kita menelannya.
Jawa lebih menekankan pada proses, menjalani laku, seperti kata-kata awal tadi dalam menjalani laku harus menentukan titik awal dan tujuan. Dalam tembang macapat kita akan tahu hidup diawali dari Pangkur, berakhir pada Pocung kemudian dilanjutkan menuju tembang Megatruh atau Megat-Ruh.
Dari proses kita mengikuti sesuatu, menangkap arti dari sesuatu tersebut sampai menentukan sesuatu. Namun kita benar-benar menjalani laku.
Perbedaannya mendasar seperti ketika di TK kita diberikan gambar Buah Pisang dan alam pikiran kita dipaksa untuk memahami itu pisang.
Namun orang Jawa akan menyeret anaknya ke kebon belakang rumah diambilkan satu atau dua helai pisang, disuruh makan. Kemudian silahkan dimaknai sendiri tentang buah pisang, bentuk, tekstur dan rasa. Bukan hanya sekedar gambar yang dipasang dipapan tulis.
Dari pola ini bukankah masyarakat modern-pun demikian mayoritas memakan sesuatu lewat TV, atau media sosial lainnya, tanpa mengecek dulu kebenarannya. Kemudian asal share, asal copy paste.
Dan Jawa-pun begitu, sudah hilang esensi dari 'memetik Pisang dari kebon tadi' sekarang yang penting citra yang dicitrakan, bukan citra yang natural. Proses pemilihan kepala desa pun masyarakat ditipu dengan kebaikan sesaat sebelum mereka mencalonkan diri sebagai kepala desa. 'sing Jarene' bagus itu yang dipilih, la ini jarene sapa [kata siapa] , terlalu banyak sekarang yang jualan jarene, lalu kesalahan yang mayoritas dianggap menjadi kebenaran, karena jumlah.
Dan zaman akhirnya bergerak pada koridor penipuan besar2an oleh media. Diiming-imingi oleh kebutuhan kebutuhan yang sebenarnya tidak perlu. dan negara menjadi negara yang konsumtif, tentu rakyatnya juga.
Segalanya distandarisasi, segalanya didigitalkan, dan kita dipaksa untuk menerima dan menganggap bahwa segala sesuatu yang digital itu baik, maju dan modern padahal ada efek yang sangat menakutkan dibalik segala proses pen-digital-an indonesia ini.
Kita akan menjadi bangsa yang sangat mudah dikontrol jika data2nya sudah diketahui pihak yang ingin mengeruk keuntungan dari proses ini. Seperti balon Google yang mengudara sebentar lagi. boleh dibilang masyarakat akan tertipu dengan kemudahan layanan internet yang diberikan oleh balon tersebut, tapi masyarakat lupa Google itu perushaan swasta lho, dia bukan pemerintah, dan otomatis dia akan mengeruk kepentingan untuk dirinya sendiri, atau pihak yang mendanai dia dibelakangnya. misalnya seperti pendataan SDA lewat balon google. misalnya.
Lalu hakikat kita sebagai manusia benar2 hilang, untuk memposisikan diripun semakin sulit, apalagi mereka yang sudah terjerat jaring-jaring proyek internasional tersebut.
Bangsa semakin hilang arah, semakin hilang identitas negaranya.
Rakyat juga senang dengan pembangunan yang diberikan presiden,
namun lupa bahwa utang yang dihasilkan sangat besar, yang kelak akan jadi tanggung jawab rakyat juga lewat pajak. lalu presiden akan berlalu setelah 1-2 periode.
Melu mangan nangkane, tapi sithik, tapi gupak pulut e sakabehane..
Ada baiknya jika kamu mengenali dirimu sendiri, sudah benar-benarkah menjadi manusia.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional.
semoga tidak semakin kehilangan arah, negara, bangsa dan masyarakatnya.
semoga semakin "Njawani" dalam arti yang global..
Kleco Wetan, 20 Mei 2016
No comments:
Post a Comment