Selalu suka untuk mengamati tiap gerik manusia, berbagai macam uliran-uliran pilihan dan hidupnya. Peradaban Manusia terus bergulir menuju hari-hari yang semakin senja nampaknya, mengingat mulai pudarnya pembicaraan yang intens hati ke hati.
"Pasar-pasar podho ilang kumandhange"
Begitu mungkin sentilan Prabu Jayabaya lewat jangkanya. Yang paling terlihat mungkin mulai hilangnya pasar-pasar tradisional di kota-kota besar, yang bahkan merembet ke kota kota kecil, Sragen misalnya.
Masyarakat semakin kesini semakin malas tawar-menawar dipasar, banyak anak-anak muda yang dalam pengamatanku hanya duduk diluar pasar, sibuk dengan smartphone menanti simbok, atau simbahnya yang tentu sedang berbelanja didalam pasar.
Seiring perjalanan jaman, apakah kalau generasi orang tua kita berlalu, tidak akan ada lagi sapaan dan guyonan-guyonan hangat dipasar, bakul-bakul bertemu dengan pembeli yang saling bercengkrama, cerita-cerita ringan tentang naiknya harga cabe, atau panen yang gagal terkena banjir tahun ini. Semoga tidak terjadi demikian.
tapi jelas, pasar-pasar mulai sepi generasi saya kebawah lebih senang memilih supermarket modern sebagai pemuas kebutuhan hidupnya, walaupun supermarket menawarkan harga yang tinggi, nyatanya anak-anak muda masih memilih supermarket, entah karena alasan praktis, bersih, atau keren . Katanya.
Lalu kita semakin bisu, komunikasi jual belipun mulai hilang.
Lalu kita semakin bisu, komunikasi jual belipun mulai hilang.
Yang lebih ekstrem lagi ada outlet-oulet yang tidak menempatkan penjual, atau kasir disebuah toko, kita tinggal menggunakan e-money untuk berbelanja sesuatu. Praktis dan semakin individualis tentunya.
Lalu esensi pasar sebagai titik pertemuan antara penjual dan pembeli benar-benar hilang. Semua transaksi murni dimonopoli oleh penjual tanpa pembeli bisa menawar. Ironinya, asal sebuah produk tersebut "dicitrakan" dengan baik oleh penjual, berapapun mereka mau beli.
Lalu esensi pasar sebagai titik pertemuan antara penjual dan pembeli benar-benar hilang. Semua transaksi murni dimonopoli oleh penjual tanpa pembeli bisa menawar. Ironinya, asal sebuah produk tersebut "dicitrakan" dengan baik oleh penjual, berapapun mereka mau beli.
Akankah kehangantan pasar tradisional akan berhenti di generasi mendatang?
Saya sendiri berharapnya tentu tidak, selama ini sekalipun pasar modern semakin gencar 'meraja-i' sektor perdagangan, namun ternyata ada anomali-anomali yang cukup menarik perhatian saya.
Warung Hik, misalnya atau juga disebut angkringan kini masih sangat menjamur entah di kota besar, maupun dikota-kota kecil. Bagi saya ini menarik, karena angkringan masih menawarkan dialog-dialog yang hidup antar sesama pelakunya, penjual maupun pembeli.
Ada yang bisa ngutang, atau dikasih bonus beberapa gorengan jika membeli tertentu, tentu yang sangat menarik adalah obrolan-obrolan antara penjual-pembeli atau sesama pembeli obrolan ringan tentang kejadian2 disekitar, kadang curhat atau diskusi politik kenegaraan. Disitu kehangatan hik sebagai alternatif pasar tradisional masih terasa, dan saya sangat bersyukur.
Entah dikota-kotabesar mungkin semakin tersingkir, atau malah blunder. Sekarang kapitalisme mulai menyasar industri kecil dan tradisional. Banyak pemodal-pemodal yang membuat angkringan sebagai franchise , lalu angkringan-angkringan rakyat kecil yang minim modal akhirnya lambat laun tergeser, oleh angkringan yang menawarkan wifi gratis atau tempat yang menarik sebagai ajang nongkrong.
Klasik, memang golongan "The Have" selalu punya tempat dalam kapitalisme.
Tapi memang selalu ada blunder dibangsa yang super unik ini, segala sesuatu yang diciptakan memiliki output yang tidak semestinya dalam berbagai banyak hal. Kalo soal angkringan keramahan penjual dan soal roso itu yang tidak bisa dibeli, karena ini soal hubungan intens, hati, komunikasi batin antara pembeli dan penjual yang saya kira tidak bisa dibeli oleh industri. Mereka inilah yang melawan mainstream, punya trademark tersendiri dalam menjual produk yang bisa dibilang sama dan itu-itu saja.
Ada yang bisa ngutang, atau dikasih bonus beberapa gorengan jika membeli tertentu, tentu yang sangat menarik adalah obrolan-obrolan antara penjual-pembeli atau sesama pembeli obrolan ringan tentang kejadian2 disekitar, kadang curhat atau diskusi politik kenegaraan. Disitu kehangatan hik sebagai alternatif pasar tradisional masih terasa, dan saya sangat bersyukur.
Entah dikota-kotabesar mungkin semakin tersingkir, atau malah blunder. Sekarang kapitalisme mulai menyasar industri kecil dan tradisional. Banyak pemodal-pemodal yang membuat angkringan sebagai franchise , lalu angkringan-angkringan rakyat kecil yang minim modal akhirnya lambat laun tergeser, oleh angkringan yang menawarkan wifi gratis atau tempat yang menarik sebagai ajang nongkrong.
Klasik, memang golongan "The Have" selalu punya tempat dalam kapitalisme.
Tapi memang selalu ada blunder dibangsa yang super unik ini, segala sesuatu yang diciptakan memiliki output yang tidak semestinya dalam berbagai banyak hal. Kalo soal angkringan keramahan penjual dan soal roso itu yang tidak bisa dibeli, karena ini soal hubungan intens, hati, komunikasi batin antara pembeli dan penjual yang saya kira tidak bisa dibeli oleh industri. Mereka inilah yang melawan mainstream, punya trademark tersendiri dalam menjual produk yang bisa dibilang sama dan itu-itu saja.
Lalu aman berubah modern market selalu menawarkan gula manis. Mari kita lihat nanti siapa yang bertahan.
Pasar Bundher Sragen,
18 Maret 2016. 01.12 AM.
Indra Agusta.
No comments:
Post a Comment