image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Saturday, March 26, 2016

Aksara Rindu

Aku adalah aksara yang membuntal disudut-sudut pepat, disudut-sudut penat..
tertatih, jejak-jejak kaki manusia,
menjelma menjadi jalma tanpa rupa
Lalu aku melihat kolong langit yang kian gelap,
menyeruak, menggelegar memecah mega-mega..

hujan rintikpun turun, sayang..
disini, ditanah-tanah basah ini aku terbalut rindu pekat..
lalu bilamana kata-kata kan memikat?

sekilas tatapan matamu kemarin sore,
atau entah berapa purnama yang terus berlalu, 
sapaku pun beku..dan berlalu,
langit mulai jingga menyisakan rona-rona merah, didinding tak berjengkal...
sesaat terpikat bersama senyum yang terkembang, dan segala sesuatunya masih belum pergi...


Sukowati, 26 Maret 2016

Thursday, March 17, 2016

Modern Market un-connecting people.

Selalu suka untuk mengamati tiap gerik manusia, berbagai macam uliran-uliran pilihan dan hidupnya. Peradaban Manusia terus bergulir menuju hari-hari yang semakin senja nampaknya, mengingat mulai pudarnya pembicaraan yang intens hati ke hati.

"Pasar-pasar podho ilang kumandhange"


Begitu mungkin sentilan Prabu Jayabaya lewat jangkanya. Yang paling terlihat mungkin mulai hilangnya pasar-pasar tradisional di kota-kota besar, yang bahkan merembet ke kota kota kecil, Sragen misalnya.

Masyarakat semakin kesini semakin malas tawar-menawar dipasar,  banyak anak-anak muda yang dalam pengamatanku hanya duduk diluar pasar, sibuk dengan smartphone menanti simbok, atau simbahnya yang tentu sedang berbelanja didalam pasar.

Seiring perjalanan jaman, apakah kalau generasi orang tua kita berlalu, tidak akan ada lagi sapaan dan guyonan-guyonan hangat dipasar, bakul-bakul bertemu dengan pembeli yang saling bercengkrama, cerita-cerita ringan tentang naiknya harga cabe, atau panen yang gagal terkena banjir tahun ini. Semoga tidak terjadi demikian.

tapi jelas, pasar-pasar mulai sepi generasi saya kebawah lebih senang memilih supermarket modern sebagai pemuas kebutuhan hidupnya, walaupun supermarket menawarkan harga yang tinggi, nyatanya anak-anak muda masih memilih supermarket, entah karena alasan praktis, bersih, atau keren . Katanya.

Lalu kita semakin bisu, komunikasi jual belipun mulai hilang.

Yang lebih ekstrem lagi ada outlet-oulet yang tidak menempatkan penjual, atau kasir disebuah toko, kita tinggal menggunakan e-money untuk berbelanja sesuatu. Praktis dan semakin individualis tentunya.

Lalu esensi pasar sebagai titik pertemuan  antara penjual dan pembeli benar-benar hilang. Semua transaksi murni dimonopoli oleh penjual tanpa pembeli bisa menawar. Ironinya, asal sebuah produk tersebut "dicitrakan" dengan baik oleh penjual, berapapun mereka mau beli.

Akankah kehangantan pasar tradisional akan berhenti di generasi mendatang?

Saya sendiri berharapnya tentu tidak, selama ini sekalipun pasar modern semakin gencar 'meraja-i' sektor perdagangan, namun ternyata ada anomali-anomali yang cukup menarik perhatian saya.

Warung Hik, misalnya atau juga disebut angkringan kini masih sangat menjamur entah di kota besar, maupun dikota-kota kecil. Bagi saya ini menarik, karena angkringan masih menawarkan dialog-dialog yang hidup antar sesama pelakunya, penjual maupun pembeli.
Ada yang bisa ngutang, atau dikasih bonus beberapa gorengan jika membeli tertentu, tentu yang sangat menarik adalah obrolan-obrolan antara penjual-pembeli atau sesama pembeli obrolan ringan tentang kejadian2 disekitar, kadang curhat atau diskusi politik kenegaraan. Disitu kehangatan hik sebagai alternatif pasar tradisional masih terasa, dan saya sangat bersyukur.

Entah dikota-kotabesar mungkin semakin tersingkir, atau malah blunder. Sekarang kapitalisme mulai menyasar  industri kecil dan  tradisional.  Banyak pemodal-pemodal yang membuat angkringan sebagai franchise , lalu angkringan-angkringan rakyat kecil yang minim modal akhirnya lambat laun tergeser, oleh angkringan yang menawarkan wifi gratis atau tempat yang menarik sebagai ajang nongkrong.
Klasik, memang golongan "The Have" selalu punya tempat dalam kapitalisme.

Tapi memang selalu ada blunder dibangsa yang super unik ini, segala sesuatu yang diciptakan memiliki output yang tidak semestinya dalam berbagai banyak hal. Kalo soal angkringan keramahan penjual dan soal roso itu yang tidak bisa dibeli, karena ini soal hubungan intens, hati, komunikasi batin antara pembeli dan penjual yang saya kira tidak bisa dibeli oleh industri. Mereka inilah yang melawan mainstream, punya trademark tersendiri dalam menjual produk yang bisa dibilang sama dan itu-itu saja.

Lalu aman berubah modern market selalu menawarkan gula manis. Mari kita lihat nanti siapa yang bertahan.

Pasar Bundher Sragen,
18 Maret 2016. 01.12 AM.

Indra Agusta.

Perantau dan Penunggu Rumah

"Merantaulah supaya kamu tahu bahwa tiket pulangmu mahal"

begitu kata-kata yang aku dapat dari internet, yah mungkin benar, dan memang  saya melihat sendiri bagaimana teman-teman yang entah bekerja atau belajar jauh dari kampung halaman, rela menggelontorkan beberapa kepingan uang untuk bertemu dengan keluarga dirumah, untuk merayakan idul fitri atau Natal bersama keluarga dan biasanya ada embel2 kata2 tersebut disosial medianya.

Memang ada benarnya jika kata orang kita harus merantau, mencari sesuatu yang baru diluar sana, bertemu dengan orang-orang baru, memahami budaya-budaya baru dan seterusnya. Atau memang kita harus pergi meninggalkan rumah untuk suatu maksud tertentu bekerja mungkin ,atau belajar mungkin didalam maupun di luar negeri.

its no problem.

Yang terkadang mengganjal adalah ketika orang mulai menstandarkan bahwa hidup di tanah rantau itu penuh perjuangan dll, tapi tidak pernah mencoba melihat dari sisi yang lain bagaimana kehidupan dirumah juga bisa dibilang adalah ladang pertarungan tersendiri.

Saya berpikir sama saja, bahkan saya melihat beberapa orang berjuang lebih keras dirumahnya, daripada mereka yang merantau. Jadi sebenarnya tidak ada bedanya, dan diam dirumah tidak bisa dibilang remeh, mereka orang-orang yang kuat dan tau detil setiap permasalahan di rumah, bertahan dan menentukan pilihan untuk tetap dirumah.

Akhir-akhir ini dimedsos terpajang bermacam2 foto orang-orang tua yang sudah renta, hidup ala kadarnya, bahkan jauh dari standar hidup manusia, mereka bukan tidak punya keturunan, namun ditinggalkan oleh anak-anaknya. Ini kacau, jaman kalabendhu.

Saya bahkan tidak habis pikir bagaimana seorang anak tega meninggalkan orang tuanya seperti itu, sementara merekapun juga mempunyai anak, lalu bagaimana persepsi mereka jika hal serupa ditimpakan pada mereka kelak?.
Atau kisah seorang anak yang nekat minta sepeda motor ke orang tuanya, hanya karena gengsi, namun tidak mau tau kondisi keluarga mereka. ini bagaimana?


Maka Diamlah dirumah, supaya kau tau tiket pulangmu yang berharga sangat murah daripada pengorbanan orangtua yang telah membesarkan engkau, 
Jika nalarmu masih berfungsi bukankah seharusnya prioritas utama adalah orang tua, bukan hanya pencapaian semata?

Pekerjaan penting, cita-cita penting, namun saya kira orang tua juga sangat penting.
sebaik-baiknya, seburuk-buruknya....

Karena kita kelak juga menjadi orang tua.



Tuesday, March 15, 2016

Pengembara Sunyi

Pengembara Sunyi
Oleh : Indra Agusta

Cukup kuat penari-penari itu berjogetan berebutan tampil dipanggung sepi.
berderak-derak berserak-serak gemerincing kakinya di pasir-pasir yang menawan.
di bawah pohon kurma itu aku terhenti, melihat di kejauhan tanah suci yang kian muram.
atau rintih nada-nada pilu imam-imam sinagog memuji nama-Nya.

Lalu dari sudut kesepian itu, kudengar jejak-jejak kakimu,
langkah-langkah yang kian menjauh dari keramaian,
Gema denguhan ontamu samar-samar masih ku ingat, sementara malam kian terlelap.

Diantara api itu, terselip namamu dari kerinduanku yang meledak, ah ini mungkin ilusi semata. Kataku,

Langit pagi mulai terlihat, kata-kataku yang terbuang malam tadi menyisakan seonggokan kecil debu. Debu pejalan yang merekam jejak-jejak sunyi, tentu juga jalan-jalan yang sunyi, yang jauh dari keramaian, dan standar egoisme manusia.

Manusia semakin tandus, melebihi pohon-pohon zaitun di bukit Sinai. darah-darah semakin banyak tercurah demi esensi kemunafikan dan kejenuhan akan standar hidup yang terus berjalan. enggan.

Berebut mereka mencari oase, berebut mereka akan sejumput kotoran onta yang mereka sangka  bisa menjadi roti, namun hanya fatamorgana dan kesemuan belaka. Peredaran peradaban dibisukan, ditulikan bahkan dibutakan oleh berbagai macam fatamorgana, sementara mereka berburu meramunya, memujanya, menggapainya atau menyembahNya melebihi Sang Khalik.

di Puncak Bukit itu sayup-sayup bisik terdengar..
Shallom Aleichem pejalan sunyi..
Assalamu'alaikum pengembara sepi...
Lalu subuh terdengar,
Terang......................
Tenang...............................