Ibu sejati
Ibuku baru mulai bekerja di luar rumah setelah agak berumur. Kemudian dia bekerja paruh wkatu di toko roti, melayani pembeli. Dia membiarkanku bermain di tempat yang dapat diawasinya dari jendela, dan aku kerap berlari masuk untuk mendapatkan jajanan. Pada waktu itu, dia percaya hanya matanya sajalah yang cukup dapat diandalkan untuk menjamin keselamatanku. Dia selalu menjadi ibu sejati.
Amat jelas bagiku, bahkan sejak usia dini, bahwa menjalankan status sebagai “ibu” adalah identitas terpenting bagi ibuku. Aku merasakannya dari caranya memandangku, dari suaranya, dari sentuhannya. Sejak awal, nyaris seperti sudah disetel, ibuku memberiku bagian terpenting dari dirinya disamping cintanya-perhatiannya. Dengan segala masalah yang mehadangnya, macam-macam kendala, tuntutannya sendiri dari perkawinan dan dari hidupnya, paling tidak dia telah memperoleh satu target-menjadi ibu sejati.
Kadang-kadang dia menjadi berlebihan. Jika udara dingin, aku akan mengenakan berlapis-lapis baju hangat dan harus mengenakan pelindung telinga. Jika udara panas, dan apartemen kami selalu panas, dia akan mengungsi ke pantai dan membawaku ke laut. Dia seorang ibu yang pencemas, dan ketika salah satu keluarga kehilangan anak mereka karena penculikan, ibuku menaruh botol-botol berisi koin diatas bingkai jendela supaya, bila botol itu jatuh, dia sudah sempat diperingatkan akan adanya orang yang berusaha masuk secara paksa ke dalam rumah. Dan bila ada yang mengancamku di sekolah dengan konfrontasi model anak sekolahan, ibuku akan langsung menghadapi mereka jika dia tahu. Dia adalah pelindungku, pendukungku, dan orang pertama yang pernah membuatku merasa aku ini istimewa, tiada bandingnya dimanapun.
Aku masih bisa mendengar suaranya memberiku semangat pada waktu kencan pertamaku. “Pergilah”, dorongnya. “Bersenang-senanglah” katanya sambil tersenyum.”Dan jangan bolehkan dia menyentuhmu” katanya memperingatkan.
Dan ketika aku sudah lebih besar, suatu kali pacarku membiarkan aku menunggunya padahal dia sedang berjalan-jalan menyusuri dermaga bersama cewek lain, ibuku mencarinya kemudian menyampaikan kepadaku, “Aku sudah mengajarinya sesuatu”. Meski aku merasa dipermalukan oleh tindakannya waktu itu, kejadian itu selalu kukenangkan.
Dalam kehidupanku selanjutnya,aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tahu begitu banyak tentang aku bahwa aku tidak terlalu mengenal diriku sendiri. Dia tahu meski nilai-nilaiku disekolah termasuk rata-rata saja, itu karena aku bosan saja, tetapi sebenarnya aku cukup cerdas. Dia tetap percata padaku sewaktu aku melakukan kekeliruan yang sudah bisa membuat orang lain mengangkat bahu. Dia menginginkan aku menjadi jauh lebih hebat daripada dirinya, sementara aku merasa ingin menjadi seperti dirinya dalam segalanya.
Baru-baru ini, kedua anakku-satu lelaki dan satu perempuan-datang berkunjung. Pada usia mereka yang empat puluhan, keduanya sudah menikah dan memiliki anak-anak sendiri. Mereka berdua kelelahan dan lansung saja tidur, satu di sofa yanglainnya di tempat tidur.
Pelan – pelan selagi mereka tidur kuambil selimut dan kuselimuti mereka, seperti yang telah kulakukan berkali – kali ketika mereka masih anak – anak. Aku melepaskan kabel telepon, sehingga mereka tidak akan terganggu, menurunkan tirai dan dalam momen yang amat bermakna, aku memandang mereka, merasa bersyukur menjadi seorang ibu, yang seperti juga ibuku dulu, seorang ibu sejati
-Harriet May Savitz-
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments:
Post a Comment