image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, August 16, 2023

Nasion untuk siapa?

Selepas Isya, aku dan Jumirin pergi ke suatu warung kopi di pinggiran kota Solo. Dari tempat tinggalnya, kami melintas melewati daerah paling periferal, persis di tepi Sungai BeItngawan Solo disitu terdapat sebuah kampung yang masyarakatnya sangat hetero. Masyarakat yang penduduknya korban penggusuran, preman, dengan segala macam tindakan miring lainnya.

Mereka ini sudah digusur oleh pemerintah, pembangunan kawasan kampus menyurung mereka untuk pergi. Tetapi karena penghasilan mereka berasal dari sekitar UNS, tak ayal tidak mau mereka pindah dari kota ini. Kepalang tanggung.

Beberapa diantara mereka dalam sebuah obrolan juga mengaku tidak punya kampung halaman lagi, ada jarak panjang membentang mereka dengan desa atau tempat dimana mereka lahir. Anak-anak mereka lahir di sini, dengan beragam keterbatasan namun tetap saja karunia akan bertahan hidup itu tetap ada.

Itu mungkin jawaban singkatku atas pertanyaan yang nylemong keluar dari mulut Jumirin. Pertanyaan yang cukup berkualitas untuk seorang humanis.

Wong-wong iki jane korban gusuran, tapi nik pitulasan tetep meriah, pasang gendera, pasang lampu, ana lomba-lomba, jane nasionalisme-ne nggo sapa?

Di perjalanan aku berbincang ringan tentang beda antara negara (state) dan pemerintah (goverment). Tentunya beda pula jika ukurannya sebagai bangsa (nation). Sukarno dalam pidatonya kerap memakai kata "nasion" untuk mengakomodasi banyak orang. Mau seburuk apapun pemerintahannya, apakah itu mengurangi cinta kita kepada bangsa ini? jawabannya rerata tidak.

Pertama mungkin karena tidak banyak pilihan, mereka yang punya kesempatan untuk pindah dan tinggal di luar negeri biasanya punya suara lain. Kedua, hal ini terikat erat dengan kebudayaan timur jika seseorang kalau bisa mati-pun di tanah kelahirannya. Cinta tanah dan air itu sebenarnya sudah mengakar. Jelang Idul Fitri misalnya, Indonesia punya fenomena mudik, pulang ke kampung halaman untuk sekedar bertemu dengan handai taulan di desa, berkunjung ke makam leluhur, atau sekedar memunguti kenangan agar tetap ingat darimana mereka berasal.  

Pondasi seperti ini mungkin yang membuat kita, sebagaimanapun kita benci dengan banyak hal di republik kita ini tetap punya rasa cinta yang meluap. Persis seperti penduduk gusuran di pinggiran Bengawan Solo tadi. Kurang terdesak apa mereka, bahkan bisa tinggal dan tidur itu merupakan sebuah kemewahan tersendiri, fase berikutnya bisa makan dan mencari nafkah sembari menunggu kematian. 

Dari pinggiran sebenarnya bisa menjadikan kita cermin, tentang alur hidup yang selama ini kita lalui. Hidup macam apa, kebahagiaan yang bagaimana, hingga fakta-fakta apa yang sebenarnya terjadi lalu kita menerima dan menghadapi segala problemanya sesuai level kita masing-masing. 

Dari pinggir kita juga bisa melihat hidup lumrah itu tidak muluk-muluk, meskipun, juga jangan patah semangat jika nasib selalu menjungkalkan kita pada jurang-jurang dalam dan membuat kita merasa tidak kuat lagi menjalani hidup. Sesekali cobalah ngobrol, makan dengan orang-orang gusuran ini, niscaya akan kau temukan energi lain dari bertahan, sebuah nyala yang meluap-luap dari kebosanan karena hidup terus menerus dalam fase bertahan. 

Sudah lima tahun lebih mungkin saya tidak mengikuti malam renungan 17 Agustus, entah di desa, di pemerintahan atau di beberapa tempat lain namun apakah nasionalisme hanya diukur dari kedatangan seseorang pada malam tirakatan nan sakral itu? tentu saja tidak. Tapi kadang kangen juga, setiap tahun negara punya program penjagaan agar tetap bersatu, mengindoktrinasi massa banyak seraya mengingatkan betapa rumitnya negara ini kalau chaos dan law-less. 

Negeri yang makin tua ini kadang juga menambahi ruwet jalan hidup yang saya lalui, kerumitan perijinan, sarana publik yang buruk, faskesum yang masih buruk, sarpras pendidikan masih belum merata dan korupsi tentu saja. Ada kemuakan pada segala yang terjadi, kritik harus dilontarkan tetapi keadaan juga belum mau berubah. 

Negara diumur tua belum mampu memandegani dan mengayomi warganya. 

Sedangkan aku tahu persis, sebelum kerumitan itu mengetuk pintu perseorangan warga negara, sebelum kesulitan dan berbagai keburukan itu belum hadir di ranah pribadi, pekerjaan dan hidup keseharian warga, haruslah makin malu para penguasa karena kita punya rakyat yang demikian sabar menjadi pelengkap penderita. Kesabaran ini diuji berpuluh-puluh tahun. 

Aku pernah kerja di sebuah lembaga survei sekitar 6 tahun, ketika terjun di lapangan dan bertanya sebenarnya yang diinginkan warga apa sih?. Paling cuma jalan bagus, faskes dan sekolah ada, pekerjaan gampang, sandang pangan murat. Itu saja. Tidak ada impian muluk-muluk seperti yang kubincangankan dengan Jumirin setiap hari, atau beberapa mahasiswa baru yang berapi-api ingin mengubah dunia ini. Harapan mereka sederhana, kesabaran rakyat ini jempolan, mau siapapun presidennya asal itu terpenuhi nampaknya lebih dari cukup, wong di dalam kondisi yang memprihatinkan orang-orang di desa tetap mengibarkan bendera merah putih, tetap berteriak NKRI HARGA MATI!, tetap mengadakan lomba makan kerupuk dan balap karung sebagai sakramen penting perayaaan kemerdekaan. Tapi benarkah mereka sudah merdeka?

Merdeka dalam artian independence, yang merasakan betul manfaat dari nasion. 

Desa-desa menganggap negara ini berjasa kadang justru dari hal sebaliknya. Regulasi yang payah memungkinkan banyak orang hidup mengais dari celah bocornya regulasi ini. Ada orang kerjaannya jadi makelar SIM, makelar bayar BPJS karena tidak semua warga desa mampu membayar mandiri. Di desaku bahkan pajak Listrik saja masih ditanggung oleh pak RT setiap bulan sampai hari ini, lalu warga mengangsur bayar ke beliau. 

Harusnya pemerintah ini malu, tapi apakah mereka punya malu? problemnya juga cukup pelik karena SDM di internal pemerintahan kadang juga tidak mencukupi untuk menjawab berbagai tantangan masyarakat. Banyak ASN-nya, terutama yang tua masih melestarikan feodalisme ala Keraton di 'kraton-kraton' kecil mereka sendiri. 

Aku bahkan mendengar, selama masih bisa ngganthol kabel listrik, mereka akan tetap loyal meskipun grayak-grayak untuk bertahan hidup. Ruang permenungan jadi lebih dalam, memang tidak ada yang ideal dalam demokrasi yang cerewet ini. Tapi, baiklah kita tetap punya harapan. 

Kita tetap harus mengkritik, bersuara atas banyak hal yang tidak tidak pada tempatnya.  Sembari terus tur-ba, menangkap apa yang sebenarnya terjadi di lapis paling bawah sebuah masyarakat.

Selamat ulang tahun, Republik!>

Friday, July 7, 2023

Setelah Argentina Kalah

Tidak mudah untuk merekonstruksi peristiwa bersejarah, apalagi ingatan manusia sesungguhnya terbatas. 'Sementara itu, semakin kita menua sumber-sumber data primer yang mungkin bisa kita wawancarai telah banyak yang berpulang. Betapa mudahnya data-data itu pudar seiring waktu berjalan, raga menua ditambah ancaman kepikunan ketika si tua waktunya 'manekung', 

Telah tigapuluh tiga kali aku memperingati delapan Juli, setiap tahunnya tentu punya pengalaman masing-masing. Dengan rutin aku selalu menulis catatan untuk diriku sendiri sejak usia empat belas tahun, sayang akun Multiply (semacam blogger) tidak bisa mempertahankan eksistensinya di tengah disrupsi digital. Tulisan terakhir di tujuh belas tahun masih bisa dibaca di akun Facebook.  Arsip digital tak pernah punya umur panjang. 

Dalam delapan tahun terakhir setiap lebaran aku mulai mengumpulkan ingatan-ingatan tentang kelahiranku sendiri (tentunya juga Rendra). Sowan kepada sedulur-sedulur jauh yang sudah berusia lanjut, keluarga eyang untuk mendapatkan informasi tentang peristiwa delapan juli itu.

Apakah benar aku lahir di tanggal segitu?

Tempo hari dalam sebuah selentingan aku papasan dengan seorang kawan, beliau berbicara menyoal kapan sebenarnya tradisi ulang tahun itu mulai dibiasakan di tanah jajahan? apakah raja-raja Mataram juga merayakannya? sementara selama ini Jawa selalu memperingati kematian sebagai sebuah poin penting. 

Hal ini tentu berbeda secara psikologis, merayakan kematian seperti membincang sukses tidaknya seseorang dilihat dari prosesi pemakamannya, banyak yang datang atau tidak, sempat diprosesikan atau tidak, atau mungkin karena turbulensi  politik jaman melumatnya sedemikian rupa. Tetapi raja-raja Jawa kuna selalu dirumat abunya, bahkan, adapula candi-candi khusus untuk menyimpan abu para penguasa. 

Pernyataan menggelitik tentu saja perihal dipaksanya penduduk Hindia Belanda untuk memperingati hari ulang tahun "Sang Ratu Belanda". Wilhemnia. Setelah aku kroscek ke beberapa koran Belanda memang benar, di tanah jajahan perihal ulang tahun penguasa ini menjadi penting. 

Apakah peringatan ini yang kemudian merangsek menjadi sebuah kebudayaan masyarakat hingga saat ini?. Masa kecilku sekitar 1990-2000 di kota Sragen anak-anak kecil mulai merayakan ulang tahun dengan kue dan lilin. Prosesi ini berlangsung terutama untuk orang-orang Tionghoa dan mereka yang Kristen. Kadang perayaan ulang tahun digelar ketika Sekolah Minggu. Di kampung anak-anak belum banyak yang berulang-tahun dengan konsep demikian, mereka masih melestarikan tradisi 'selapanan' dan bulan Jawa dimana mereka lahir. Jika keluarganya cukup berada setiap tiga puluh lima sehari si bocah akan di-'bancak'-i, jika tidak ya setahun sekali di tiap bulan kelahiran dan wetonnya. 

Tradisi  bancaan ini makin meluntur setelah tahun 2000 di desaku, karena ada beberapa kalangan yang menolak selametan ala Jawa dengan dalih agama, atau malah ngikut ke tradisi tiup lilin. Yang terakhir ini makin menggejala, tak hanya bocah para orangtua juga merayakan ulang tahun diri, pernikahan sampai berbagai perayaan lainnya. Yang terbaru tentu saja wisuda TK. 

Rentetan panjang peringatan ulang tahun itu juga menyadarkan diri secara pribadi memang lumat karena tradisi keluarga. Tanpa kita mengerti, sekaligus tentu tak mungkin menolak. Manut. 

Kebosanan merayakan kelahiran itu kemudian memicu pencarian lain perihal peristiwa yang terjadi di sekitar delapan Juli. Selain merekam, pencarian ini juga sebagai sarana bertemu dengan banyak saudara. Beberapa data terkumpul, samar namun semakin tertata rekonstruksi peristiwa kelahiran itu makin jelas. 

Soal kejadian lahir, tempat, dan tanggal sudah jelas. Ada satu yang belum ketemu, tepatnya jam berapa aku lahir?. Akte kelahiran juga tidak merekam itu, sementara tahun itu tidak semua orang juga menggunakan jam tangan sebagai benda penting untuk menandai kelahiran. Sampai, pada suatu lebaran eyang putri saya berkelakar cukup panjang tentang Agus, bapak saya. Kegilaannya terhadap olahraga voli, silat, takraw, hingga sepakbola membuatnya lupa realitas. 

Cerita eyang ini menurutku menarik karena jarang keluar. Pada dini hari delapan Juli, mereka yang ada di ruang tunggu klinik bersalin bu Is semuanya termangu menonton TVRI. Malam itu ada siaran langsung final FIFA World Cup di Italia. Di Stadion Olimpico, Roma para penunggu klinik menonton laga Jerman Barat dan Argentina. Maradona tentu bintangnya waktu itu, pertandingan berlangsung pelik, semua orang berteriak karena gol tak pernah tercipta. Baru pada menit ke delapan puluh lima, dari sudut pinalti Jerman Barat mencetak satu gol. Dan angka itu tidak bisa dikejar di  lima menit terakhir oleh Argentina. 

Eyang putri ingat betul nama Maradona, ketika peluit dibunyikan, aku dan Rendra sudah lahir. Kejadian itu diingat eyang karena saking riuhnya ruang tamu klinik, dan eyang harus keluar menarik bapak untuk mengabari jabang bayi sudah lahir. 

Dari situ aku mulai mendapatkan angka pasti konversi waktu kelahiranku. Pertandingan Jerman Barat - Argentina itu dimulai pukul 20:00 UTC, atau pukul 00:41 8 Juli dini hari. Jika aku lahir sebelum gol dicetak di menit ke-85 artinya itu pukul 21:25 UTC atau sekitar 02:06 pagi. Jika benar, rentang jarak antara aku dan Rendra sekitar 15 menit, berarti aku lahir sekitar 01:45 - 02:06. Jam ini menjadi penting bagi kalender Gregorian, karena memastikan memang kelahiranku tanggal delapan seperti akta. 

Kini, tiga puluh tiga tahun ingatan-ingatan itu makin jelas, dan aku seperti makin punya alat rekam yang semakin banyak sekaligus berpacu dengan waktu karena terang ke depan akan makin banyak orang-orang sepuh yang merekam kejadian di masa kecilku meninggal. Dan jika itu terjadi aku kehilangan sumber data primer lagi. 

Setelah Argentina kalah kemudian dimulailah babak hidup kami, semoga terus migunani meski tentu banyak cacatnya juga. Semoga tidak mengecewakan.

Tigapuluh tiga tahun ada masa puncak Yesus jelang penyaliban, artinya di usia itu dia sangat matang secara intelektual, hingga spiritual. Ada hal yang menurutku penting diingat, bahwa untuk menjadi besar memang harus telaten dan sabar dengan proses, saya mungkin sekarang akan tertawa ketika ingat usia 20-an masih berlomba-lomba membuktikan bisa menjadi ini itu, sukses dan lain-lain namun ternyata bahannya tidak cukup. Bensinnya untuk ngrecoki banyak obrolan wong ampuh lain tidak cukup, hingga malah kerap ditertawai. 

Kini, melihat dunia makin jelas. Kembali mempertanyakan kembali hal-hal dasar untuk bikin pondasi yang lebih kuat lagi. Saya rasa sudah bukan waktunya lagi untuk mengidolakan tokoh seperti ketika remaja, melainkan selalu percaya bahwa dibalik umur, apalagi seseorang ampuh disitu pasti ada kebijaksanaan. 

Kebijaksanaan itu yang menurutku penting untuk diambil sebagai cermin, bagaimana melihat dan menikmati hidup secara lebih tenang, dan tak terganggu riak-riak yang tidak perlu. Bahkan, kita juga mulai mengaktualisasi banyak hal yang kita lakukan dan dapat agar bisa diwariskan kepada mereka yang layak. 

Babak baru mungkin akan segera dimulai, mesinnya sudah panas, semoga tidak lesap karena kecepatan.  fiat lux et facta ex lux, at maiora natus sum. Kita hidup untuk menjadi terang, mencerahkan, juga untuk mengupayakan hal-hal yang besar. Semoga itu kejadian bagi diriku, juga untuk dirimu kalian semua yang pernah mencintaiku, dengan sangat tulus memberikan banyak kebaikan yang tak mungkin sempat saya balas. 

Maturnuwun, lur, lur ku semua. 


Kleco Wetan, 08 Juli 2023 00:44

Indra Agusta

Wednesday, June 7, 2023

Ibu dan ingatan yang terus pudar

Seseorang akan menjadi berbeda ketika kehilangan sosok yang mereka cintai. Ketika remaja saya masih menafikan pernyataan tersebut serta menganggap perasaan itu hanya milik saya sendiri. Kini argumen tersebut mulai menunjukkan kebenarannya.

Sejak usia dua belas tahun saya ditinggal 'pulang' oleh ibu. Secara pribadi hidup kemudian berubah, turbulensi itu makin parah ketika saya mulai utuh memahami apa yang sebenarnya terjadi, rasa kehilangan itu menjerit dengan lantang dari hari ke hari.

Saya ingat betul hari itu, hari dimana seorang guru musik saya waktu SD Drs. Antonius Suroto membisikkan di telinga saya; "sabar, kehendak Tuhan kita tak tahu". Bisikan itu berulang setidaknya sampai tiga kali, dan itu cukup menenangkan saya sebagai seorang anak yang kehilangan induk.

Belakangan saya mulai sadar perkataan berikutnya dari pak Suroto benar, seorang lelaki tidak boleh menangis, apalagi ketika ada dari keluarga dekatnya meninggal. Sikap tegar ini bukan perihal sok kuat, melainkan cara menjaga kondisi sekeliling agar tidak makin runyam karena kesedihan atas kehilangan. 

Kemarin tanggal delapan sudah genap dua puluh satu tahun, saya terus datang ke makamnya, terus mengingatnya bahkan dari sebongkah cor berkeramik putih itu seperti ada energi yang tidak pernah habis. Bersandar, duduk berlama-lama sembari menceritakan banyak hal yang tidak mungkin saya ceritakan kepada orang lain - sedekat apapun mereka. 

Waktu yang terus membawa ingatan itu memudar. Meskipun saya masih ingat perkataan terakhir beliau, warna kebaya, serta kain jarit yang ia gunakan dalam pembaringan kekalnya tapi hal-hal kecil mulai luput. Jika otak ini sebuah penyimpanan, mungkin fragmen kematian ibu adalah bagian paling penting yang setiap detiknya saya ingat, berikut kemudian kematian eyang putri saya. 

Saya tidak tahu, melalui kematian saya lebih punya daya untuk melanjutkan hidup. Kini, sudah bukan sedih lagi, sudah bukan ratapan lagi yang menguar tetapi lebih pada motif untuk bertahan dengan mengaktualisasi kemungkinan lain yang bisa diupayakan dalam setiap fase-nya. 

Belakangan saya mendengar dan melihat kawan-kawan saya di usia kepala tiga mengalami hal yang sama, mereka mulai kehilangan orang tua dan saya amati betul perubahan kejiwaan dan sisi spiritualitas  kawan-kawan saya ini. Karena perubahan itulah yang akan mendorong langkah mereka selanjutnya. 

Apakah mereka akan berproses dan bergeliat lebih baik, atau menyerah pada kungkungan nasib, kehilangan gairah serta memasrahkan hidup di dunia kepada halaman hidup yang baka.

Kemudian hari dalam hidup saya menemukan orang-orang yang saya anggap pengganti orang tua. Mereka yang dari pilihan hidupnya saya tahu bahwa mereka ini layak, juga ada yang saya putuskan berhenti mengikutinya karena memang sudah tidak ada lagi yang diharapkan. Orangtua ideologis kemudian datang silih berganti, persis seperti berbagai fase hidup. 

Setelah kematian ibu dan berbagai krisis yang mendera, kehidupan selalu menawarkan goncangan yang tiada pernah terkira, awalnya memang menyalahkan nasib tapi perlahan ketika makin tua saya menikmatinya sebagai sebuah tarian, lantunan ombak, atau naik-turunnya modulasi nada dalam sebuah orkestra.

Lewat kesedihan saya melihat dunia ini menjadi lebih luas, tidak pongah dan lebih masuk akal. Alih-alih hidup harus berkompetisi, saya justru mendapatkan daya luas dari banyak cerita gagal kawan-kawan, orang tua yang sepanjang hidup selalu menerima kekalahan dan diam-diam mereka merayakannya dengan cara masing-masing. Selalu ada ucap syukur yang tiada terkira, mungkin caranya dengan kalian tidak sama, tetapi hidup yang kita jalani sama dalam berbagai skala. 

Beberapa kawan menganggap segala kematian yang datang, segala ketimpangan dan kemuskilan hidup adalah peluang dan berkat karena saya tidak harus menanggung dorongan kuat harapan dari orangtua semasa hidup - yang mereka kini alami, namun, dengan segala hormat saya akan bilang kepada mereka; "sebaik-baiknya hidup adalah jika kamu punya orang tua, dan orangtuamu mencintaimu selagi mereka bisa serta sesuai kemampuan mereka, dan bersyukurlah".

Ada kawan yang datang kembali kepada saya ketika orangtua mereka meninggal, dan perkataan itu nyantol di otak mereka, karena kini mereka mengalami hal yang sama ketika semuanya terlambat. Mereka lupa untuk mensyukuri hidup, mensyukuri karunia punya daya dukung bernama keluarga. 

Kemarin, seorang Putri Ariani penyanyi tunanetra muncul viral di media, saya juga merayakan konten berbau bawang tersebut, tetapi perasaan itu segera susut dan perhatian saya mulai fokus pada orang tua penyanyi berbakat dunia dari Indonesia itu. Tanpa orangtua yang total mendukung, saya berani taruhan Putri Ariani akan tetap menjadi rerata tunanetra di Indonesia yang kerap terpinggirkan, kerap tidak diakui keluarga bahkan hidupnya nyaris sia-sia.  Sebaliknya saya harus memberikan 'standing applause' bagi orang tua yang bangga meski putra-putrinya menyandang disabilitas. Karena semua bayi adalah karunia, ialah biji sesawi, iman akan hidup yang dibicarakan Yesus.

Sebuah benih yang baik butuh tanah yang subur.
Katakanlah kita diijinkan lahir ke dunia adalah bijih terbaik, benih paling unggul atas kemungkinan yang ingin Tuhan berikan kepada kita, fase penentu berikutnya adalah orangtua, lingkungan, kawan, pendidikan lalu kesempatan. Tidak banyak yang lolos, banyak yang berhenti jauh sebelum 30 tahun. Mengalami hidup yang gitu-gitu saja, serta tidak mengalami banyak perubahan seperti yang pernah dicapai kedua orangtua. Bahkan, saya punya kawan-kawan yang sampai sekarang tidak pernah tahu orangtuanya dimana, kawan-kawan saya ketika SMP saya harus hidup ngamen sambil bersekolah, untuk tumbuh saja mati-matian apalagi untuk berkembang. 

Orangtua adalah faktor penentu. Biologis maupun ideologis!. Jika suatu hari kalian mencapai titik tertentu dalam hidup, ingatlah orang-orang di masa lalu, ingatlah nisan-nisan dari keluarga dan kawan terbaik yang pernah mendukungmu. Karena hidup selalu begitu paradoks, dibalik kegemilangan ada yang surut, dibalik kemenangan ada kekalahan, pun dibalik kehidupan kita saat ini ada banyak kematian di masa lalu. Setidaknya anggapanku terhadap nasib begitu.

Kematian adalah jalan, sekaligus energi yang menghantarkan kita pada banyak kemungkinan. Ia sangat misterius, mencekam namun sekaligus menenangkan. Dan dari ranjang-ranjang, dari bunga yang ditebar atau mekar karena pohonnya tersungging rapi diatas gundukan kita bisa melihat bahwa hidup di dunia itu sangat berarti.

Angin wangi berhembus di pusara.
Sudah 21 tahun, teruslah terlelap, Mak!.

Kleco Wetan, 8 Juni 2023

Thursday, May 25, 2023

Mewarisi Maiyah*

Kalau anda mengajak saya bertanding untuk untuk mengkritik dan menemukan kekurangan dan keburukan calon pemimpin kita, saya abstain. Sebab, bagi saya sekarang yang penting bagi saya adalah membesarkan hati seseorang dan setiap calon pemimpin.
(Obama-obama kita, Koran Tempo 30 Januari 2009)

Dok. Pribadi Herri Bayu

Opini diatas ditulis Mbah Nun sebelum pemilu berlangsung pada bulan Juli 2009. Membesarkan hati serta menemani setiap orang, mungkin itu esensi utama saya terima dari Emha Ainun Nadjib sampai hari ini. 

Dari beliau kita belajar menampung segala hal, semua manusia tanpa terkecuali. Tentu saja tidak tanpa cela, tidak mungkin satu orang bisa menyenangkan semua orang. Ada ruang-ruang yang selalu menimbulkan kontroversi dan polemik. Dalam pembacaan saya hal itu tentu saja wajar, sebagai seorang tokoh besar yang kuat dalam pemikiran serta tindakannya tak bisa menyenangkan semua pihak. Pemikiran kritisnya akan memicu pemikiran kritis lain, selain itu  kegelisahan akan muncul bagi yang membaca dan mendengar beliau. Ketidakcocokan itu biasa, Dan sejak lama Cak Nun terbiasa melontarkan dan menerima kritik.

Namun yang harus dicermati landasan keberpihakan Emha sebenarnya sangat jelas, cinta kasih. Pondasi utama ini penting karena ia mengkritik itu justru saking tresna-nya kepada negara dan rakyat kecil. Tresna itu kemudian meledak, menyebar ke banyak orang.

Pada tujuh puluh tahun usia beliau, saya rasa itu sudah terjadi. Dimanapun saya berkeliling, Maiyah atau nama Emha selalu menjadi sarana sambung rasa dengan sangat cepat. Minimal pernah dengar nama Cak Nun, lalu kemudian lebih mudah mempercayai satu sama lain. Perjumpaan-perjumpaan asing lebih mudah terurai karena pernah sama-sama mencicipi beragam ilmu yang beliau tuliskan atau sederhananya, hanya karena pernah sama-sama tahu sosok Emha.

Cinta kasih itu kini meluas ke banyak lini, Maiyah mungkin secara faktual tidak begitu terlihat, tidak diperhatikan banyak orang, tetapi damage-nya itu luar biasa. Sampai ke pelosok desa di seluruh Nusantara.

Ribuan kali panggung digelar di semua tempat sudah tentu menimbulkan kegembiraan, perluasan nilai-nilai kebaikan dan manfaat, serta membuat kita terus bersyukur dan yakin bahwa Allah memang senantiasa menyertai langkah kita. 

Kenyataan bahwa kita sedang diperjalankan itu tergambar jelas dari para pelaku Maiyah, saya sering mendengar banyak perubahan hidup mereka setelah mendengar ceramah-ceramah Cak Nun online maupun offline. Mereka yang berkecil hati dalam menghadapi hidup diberikan keluasan, bahkan yang ingin bunuh diri tidak jadi karena mendengar kalam beliau via Youtube. 

Fenomena ini tentu saja membahagiakan, sebuah gerakan sosial (jika boleh disebut gerakan) Maiyah mampu merangkul hal-hal mendasar dari permasalahan hidup manusia sekaligus membicarakan hal-hal dalam skala nasional. Diskusi cair dalam format yang egaliter, hingga kemampuannya menampung banyak sekali masalah kebangsaan ini menurut saya luar biasa. 

Tantangan berikutnya adalah keberlanjutan warisan Maiyah.

Bagi saya, semua yang pernah mengambil mata air dari lingkar ini tidak boleh  berhenti sebagai penyuka, penikmat atau fans dari mbah Nun. Tetapi, harus meneruskan semua kebaikan, kebahagiaan, dan kegembiraan yang kita dapat selama ini. Metode-metode Maiyah dalam berbagai sinau bareng bisa kita ambil, supaya kitapun ambil bagian jadi saluran pemecah masalah di sekitar kita.

Beberapa waktu lalu ketika Mbah Nun hadir di Maiyah Suluk Surakartan beliau menekankan untuk memahami skala diri kita sendiri dulu. Seberapa pengaruh dan kemampuan kita sebelum melakukan sesuatu. Dari situ beliau mengingatkan kita untuk selalu bersungguh-sungguh dalam semua hal. Disiplin dan rajin, dari situ akan bermuara banyak manfaat. Untuk diri sendiri maupun liyan.

Hal-hal lain yang harus kita warisi tentu saja keberanian. Saya pernah mencari-cari kliping koran lama tentang apa yang beliau lakukan di masa lalu. Hampir di setiap waktu dari Kedungombo, Lapindo, kasus santet Banyuwangi, Sampit bahkan Reformasi 1998. Ada benang merah yang menurutku tidak pernah terputus, mbah Nun selalu mengupayakan sebuah kondisi yang dalam bahasa Jawa menang datan ngasorake, mencari win-win solution. Dalam hidup berbangsa tentulah perbedaan itu pasti, disitu pula konflik akan terus bermunculan tapi partisipasi dalam penyelesaian konflik, tetapi cara beliau menengahi, mengambil sikap dan berbagai metode yang beliau gunakan sangat menarik. 

Indonesia butuh 'manusia pawang' misalnya, khazanah menyelesaikan konflik dengan cara ini, kan, khas di Indonesia. Ada konflik-konflik yang selesai di meja makan, meja perundingan, sampai asal ada seseorang yang dipercaya kedua pihak yang berseteru lalu dengan mudah mau berdamai. Selain menjadi kanalisasi gelisahnya masyarakat, mbah Nun membuktikan dirinya sebagai pawang. Tentu sedikit banyak kita juga bisa demikian dalam skala yang tertentu sesuai kemampuan kita. 

Metode yang lain tentu saja adalah pengamanan pikiran. Akhir-akhir ini saya mulai sadar dan bertanya-tanya, berapa jam yang sudah digunakan mbah Nun di berbagai diskusi sejak ia muda, berapa orang yang berdiam mendengar beliau berbicara, tidak bergeming dari tempat duduknya lalu dalam pandangan yang lebih luas saya melihatnya ini sebagai upaya pendiaman massa. Dari beragam diskusi Emha lalu Maiyahan, berapa ratus ribu orang selama ini yang gagal melakukan hal-hal kriminal, kejahatan, keburukan karena diperjalankan duduk diam di setiap maiyah berlangsung. 

Tentu ini bukan Mbah Nun saja, saya yakin Allah sangat berperan atas semua ini. Siapa yang bisa membuat ribuan orang untuk lênggah-anteng jika bukan perkenanan Tuhan sendiri?. 

Tujuh puluh tahun usia beliau, ribuan tulisan, ratusan karya baik puisi, cerpen, esai, naskah lakon hingga lagu-lagu. Nampaknya lebih dari cukup, saya sendiri merasa tidak habis-habis mereguk ilmu yang sudah dengan tekun beliau berikan – nyaris setiap hari. Dan rasanya ada yang tidak jangkep jika saya diam saja. Maka, saya ajak kalian semua yang pernah maiyahan, mari kita sama-sama mewarisi Maiyah, melakukan sesuatu yang baik serta terus berpikir dan umbul donga. 

Semoga esok hari kita sampai.



Surakarta, 24 Mei 2023

*Tulisan ini dikirimkan sebagai esai 70 tahun Emha Ainun Nadjib di Gambang Syafaat, Semarang.

Tuesday, May 23, 2023

Mata Air dan Lapangan

Melihat dinamika pergerakan hari ini menjadi mengernyitkan dahi. Betapa tidak, semakin banyak orang-orang prematur memiliki kuasa lalu bisa ditebak langkah berikutnya, program yang berlangsung tidak menarik, dan makin menurunkan kualitas pergerakan itu sendiri.

Saya tidak begitu tahu kenapa hal seperti ini masif, apakah karena tingginya traffic pengguna media sosial? atau karena internet kemudian mempercepat laju informasi sehingga membuat penggunanya semakin mudah memperbandingan dirinya dengan liyan. Ketidakpercayaan diri jadi gejala masif, alter-ego yang muncul semakin banyak anak-anak mengejar jumlah tayang, suka maupun dibagikan oleh orang lain. Praktisnya, popularitas bisa menjadikan mereka terkenal - bahkan kaya.

Alam berpikir seperti ini hidup, perlombaan manusia kemudian sedikit bergeser arah derajatnya. Tidak perlu adu berpikir karena mesin pencari bisa menyiapkan jawaban dalam hitungan detik - sekaligus sebenarnya menjadi senjata ampuh untuk mengkritisi pendapat seseorang, kecerdasan buatan kini merambah dunia teks, manusia diberikan berbagai macam kemudahan untuk memproduksi sebuah konten. 

Tugas-tugas sekolah dan kuliah sudah disandarkan pada komputer sejak internet kencang, kini makin menjadi dengan Chat-GPT atau Bard milik Google. Informasi di mesin pencari tak lagi bersandar pada hasil pencarian teratas yang berdasarkan mesin SEO, namun akan diganti alogaritma yang lebih akurat menyesuaikan hasil pencarian menggunakan rekam preferensi pengguna yang dikoleksi pada sebuah akun email.

Ootput luarnya, pembicaraan mereka pada berbagai diskusi kemudian dangkal, cacat logika, sampai benar-benar tidak memiliki kadar ilmu yang cukup selain hanya selevel rerasan di warung kopi atau angkringan. Sedangkan sistem terus memicu manusia untuk menjadi patron, tokoh, terlihat dan lupa ada sistem-sistem lainnya yang berjalan di belakang layar.

Sebaliknya, kepraktisan ini juga memicu kesempitan berpikir, mungkin juga pembodohan sedang terjadi, kemungkinan berikutnya konservatisme muncul. Beberapa pihak dengan secara sadar menggunakan ideologi, tafsir atas sebuah keyakinan hingga menukil nama-nama orang besar untuk brainwashing anak-anak baru. Dalam waktu singkat beberapa orang menjadi gampang marah, tidak mau berkompromi, terbuka pada dialektika dan dengan acuh mendeklarasi dirinya sebagai bagian dari yang asli, yang murni, yang paling benar untuk dianut semua orang. 

Forum-forum yang terjadi kemudian alot. Diskusi tidak menciptakan kecenderungan olah pikir manusia tetapi malah berhenti menjadi kotbah-kotbah nan dogmatis. Pertanyaan tidak muncul, manusia pulang hanya membawa perintah lalu dalam waktu cepat narsisme tercipta. Mereka tak ubahnya seperti gurunya yang sama-sama hanya butuh jumlah like dan view tadi - dalam bentuk yang lain. 

Dari pinggiran lapangan, kadang kita bisa melihat berbagai arus yang bergeliat, sebelum akhirnya kita berpihak. Melawan mungkin juga bakal dimatikan oleh mereka yang merasa hegemoninya diusik oleh suatu pemikiran kritis.





Monday, April 24, 2023

Teman yang berubah


Lebaran tak hanya membawa manusia datang kembali ke tanah asal mereka, namun juga membawa keping-keping baru atas nasib tiap manusia dari tanah rantaunya. Hari-hari kemudian menjadi penuh dengan banyak obrolan. Kebanyakan memang basa basi belaka. Tidak semua orang mampu membuka obrolan dengan baik, alih-alih berhati-hati dalam membincang beberapa orang kemudian terjerumus pada sifat sok 'minteri'. 

Sebagai orang yang puluhan tahun di rumah, dan sekaligus tidak jadi penunggu rumah, takaran-takaran itu makin kentara. Selalu ada momentum manusia untuk menunjukkan eksistensinya. Perihal capaian, pekerjaan, lalu masalah yang ia bawa dari masa lalu serta masa depannya yang mengubah hari ini. Semuanya berkelindan. 

Khusus lebaran tahun ini mungkin sedikit berbeda. Ketika pandemi kemarin dua tahun tidak ada perayaan, orang dilarang mudik memungkinkan segalanya diselenggarakan secara sederhana. Namun kini, ketika hampir separuh penduduk negara ini melakukan perjalanan mudik, euforia itu terasa. Meskipun harus diakui kepincangannya. 

Pasar-pasar tetap ramai, meski katanya tahun ini lebih sepi. Bakul-bakul pakaian telak kalah dengan thrifting atau bahasa desanya awul-awul. Pakaian baru memang tetap menjadi incaran namun tak seramai biasanya. Dulu, hampir setiap keluarga punya 'seragam'-nya tersendiri, kain-kain lenan halus yang sudah dipesankan pada penjahit ketika bulan puasa dipakai pada hari raya. Kini tidak banyak, pakaian-pakaian yang dipakai cenderung rapi dan bersih gitu saja.

Sebagai anak yang harus mewakili orang tuanya atas nama keluarga besar, setelah ritual bersalaman sekampung kunjungan ke banyak rumah kulakukan. Kudapannya masih lain dari hari biasa orang desa, namun tidak se-wah lebaran sebelumnya. Tidak banyak yang memasak opor, banyak dari mereka yang menggantikan menu di meja dengan menu yang lebih hemat. Pecel, lele, sop, dan es teh. Get poor slowly kalau kata para pakar ekonomi itu beneran adanya. Inflasi tahun ini sangat tinggi sampai 5%, uang makin tidak punya nilai, kepemilikan kapitalpun makin tergerus. Sementara itu kebutuhan harian makin meninggi harganya. Bahan pokok, paketan internet sampai bea perawatan kendaraan. Efek-efek ini terbawa sampai lebaran. 

Hal-hal ini yang kemudian membawa banyak sekali kemungkinan arah basa-basi pertemanan. Kawan-kawan yang dulu dekat tampak lebih jujur. Bahkan dengan terang-terangan memamerkan kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang ia dera. Efek thrifting sangat signifikan pada nasib buruh pabrik tekstil. Kawanku mungkin salah satunya, jelang lebaran ia salah satu yang kena PHK, entah bagaimana lagi akan mengurusi keluarganya. Ada pula yang jualannya tidak seramai tahun sebelumnya, makanan dan minuman berbuka biasanya sangat laris, tahun ini tak demikian. 

Teman-teman yang dari rantaupun beragam, kebanyakan memang hanya pamer ini itu, di usiaku yang mereka bicarakan tentu saja parenting, beli rumah atau mobil dan cerita capaian jabatan. Di sisi lainnya, tentulah basa-basi belaka. Dan sesuai prediksi, akan makin banyak kawan tidak mau diajak bertemu karena memang kondisi finansialnya sedang jatuh, dan ora metu omah yen ora duwiti, salah satu jawaban dari kawanku demikian. Bahkan, aku yang berniat sekedar sowan ke rumahnya pun di tolak dengan alasan macam-macam. 

Aku sangat paham perasaan orang miskin, namun apakah sampai sebegitunya hingga untuk bertamu saja harus dibatasi. Tapi itu pilihan personal, dan memang tidak boleh dikekang. Mungkin ia terbiasa unjuk memberi jamuan layak bagi tamu, jika tidak mending tidak sekalian. Hal-hal ini kemudian melambari diri sendiri agar tidak terlalu gegabah dalam berkunjung. Tahun ini berat, dan imbal balik dari semua tindakan baik belum tentu terbalas.

Kondisi hidup yang susah membawa banyak perubahan psikologis. Kawan-kawan yang berusia tigadasawarsa seumuranku tak jarang mulai jadi hakim moral bagi teman sebayanya. Beberapa dengan serius mendorong untuk segera menikah, namun pertanyaanya kubalik memang seberapa bahagia kamu dengan pernikahanmu sekarang? hidupmu jamuh lebih enak? kawan-kawan baik ini biasanya menjawab jujur hidupnya tak jauh lebih berbahagia. 

Beberapa yang jauh-pun begitu. Satu dua orang dengan gagah meminjam uang (justru karena berjarak ini mereka2 ini berani pinjam duit, tanpa sekalipun pernah tahu/membantu kondisi finansialku). Dan yang paling klasik nan ironis gini, kamu kan belum berkeluarga, belum punya butuh. Saya sebenarnya masih ingat betul beberapa tahun yang lalu kawan-kawan saya ini adalah orang yang paling getol memintaku berkeluarga, jadi polisi hidup orang lain. Mereka ini sama sekali gak pernah membantu ketika aku susah, tetapi dengan datar bisa senekat itu meminjam uang dan berhutang. 

Lain dengan para perempuannya, kebanyakan mereka malah jauh lebih ingin didengar. Lebaran ini jadi momen untuk menceritakan kisah-kisah sedih mereka, tentang hidup berkeluarga. Kesibukan berumah tangga, hingga 'jarak' seolah privasi itu harus disimpan rapat membuat mereka menjadi manusia super cerewet. Aku sendiri sebenarnya juga mengakui cukup banyak cakap tentang banyak hal, tapi perempuan-perempuan ini seperti butuh kanalisasi dari timbunan masalah yang ia simpan. 

Suami-suami mereka kerapkali menjadi biang masalah, tidak memungkinkan lagi untuk berbincang dengan siapapun meski hanya via gawai. Lalu kata-kata membuncah, sesuatu yang ditahan meledak, dan aku kembali mendengar hal-hal yang sangat intim nan tidak perlu sampai diceritakan. 

Kemiskinan memang mampu mengubah siapa saja. 

Selain berita buruk, tentulah banyak berita menggembirakan.  Banyak yang kemudian naik level sangat cepat, bertemu dengan banyak jaringan yang tidak mungkin dicapai semua orang. Ada perasaan mongkok dengan kawan-kawan ini, justru karena saya tahu persis hidupnya ketika remaja tidak mengenakkan. Tidak pernah ada yang menyangka pergulatan hidup dan pilihan-pilihan sulit justru menjadikan mereka mampu bertahap menjadi sesuatu yang tidak pernah mereka duga. Malam-malam jelang dan pasca lebaran tentulah lebih lama dengan kawan-kawan ini, sebelum akhirnya kita kembali lagi pada kesunyian masing-masing.

Kalimat-kalimat segera berlalu, adapula yang tidak sempat bertemu karena polanya berubah. Beberapa juga  menyibukkan diri karena tahun ini akan menikah, sisanya memang tidak sempat bertemu. Perubahan-perubahan selalu terjadi, namun lebaran ini, perlambatan ekonomi, resesi dan inflasi mendorong lebih jauh orang ke jurang kemiskinan. 

Dan kemudian kebanyakan dari kita merayakannya dengan sederhana, seperti teh hangat dan sayur lodeh tanpa opor di meja. Atau uang pitrah yang dulu sampai jutaan kini hanya bermodal seratus tujuh ribu untuk membeli uang pecahan 2000 baru untuk para ponakan. Semuanya senang dan sedih dengan caranya. 

Selamat bakdan!.


Wednesday, April 19, 2023

Lebaran dari "Pinggir"

Setiap tahun kita memulai perjalanan dari bilik kesunyian kita masing-masing menuju kampung halaman.  Apa yang kemudian benar-benar kita cari dalam kepulangan? ataukah hanya ritual berulang semata yang terus berdengung di telinga dan mata sebagai sebuah peristiwa. Aku merasa semakin dewasa semakin jelas rasa itu, sebuah nukilan gegap gempita yang makin tawar. Makin hambar.

Untuk apa, untuk siapa? 

Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang teman, kala hidupnya miskin, rumit, dan terbengkalai. Ia mengumpamakan hidup orang susah itu seperti tikus. Kalau mati tidak ada yang menangisi, kalau berhutang sudah tidak dipercaya, kalau butuh sesuatu dikira ngemis. Sadis dan jahat hidup ini, apalagi di hari raya. Seberapa yang benar-benar jujur menikmatinya, meskipun akhirnya tetap merayakannya. 

Setiap lebaran memang saya pulang ke rumah. Mengunjungi makam ibu saya - dan kini bertambah makam eyang putri. Suasana di rumah tidak ada bedanya, gang-gang kampung berisi mobil-mobil berplat luar kota, sepanjang malam kelakar itu tak habis-habis persis seperti kudapan, lezat namun tak semuanya begitu. Bagiku, setidaknya setelah eyang putri meninggal kesunyian itu makin mencekat. 

Tidak ada orang-orang dan handai taulan lagi yang berkunjung ke rumah, sebaliknya selama belasan tahun aku mewakili mendiang ibu untuk berkunjung ke saudara-saudaranya yang masih hidup, menikmati kepalsuan demi kepalsuan. Pembicaraan hanya berisi basa-basi yang berujung mengira nasib saya sudah melampaui mereka. Tentu saja, nasib intelektual, jaringan, koneksi dan pemikiran saya memang berubah. Tetapi kondisi finansial saya bahkan jauh lebih buruk dari orang-orang tua ini, mereka yang terus berhutang dan meraih apapun atas nama dalih "kamu 'kan belum nikah, belum mikir butuh'. 

Anjing memang,

Sejak SMP saya mulai mencarikan duit tambahan untuk eyang putri agar ketika lebaran tiba ada sajian di meja, ada uang pitrah untuk cucu-cucu lain yang seumuran saya. Semuanya harus disulap menjadi ada, keluarga harus terlihat normal demi menjunjung nama baik. Aku akhirnya melakukan itu semua bukan karena nama baik, tapi cinta. Tresnaku pada eyang putri, pada rendra dan bapak. Demi mereka selama belasan tahun aku membual bahwa semuanya lagi sibuk, semuanya lagi sedang berproses, dan menuju sukses. 'Mikul dhuwur mendem jero' itu pelik. 

Saya terus dirumah hingga tigapuluh satu tahun. Menjadi penunggu rumah itu lebih berat rasanya, karena harus menjalani rutinitas sehari-hari yang jauh lebih berat bersama orang tua. Sempat dulu marah karena ingin mencecap rasanya merantau, meraih karir dst. Tapi lumat juga karena cinta kepada eyang ketika kesempatan itu datang. Rasa tidak tega meninggalkan orangtua sendirian di rumah jauh lebih membebani, dibanding rasa tidak punya masa depan. 

Dan, kini tiap lebaran ketika beliau pergi, rasa-rasanya hidup makin tidak jelas jluntrungannya. Kepulangan berarti ke makam, dan rumah selalu nomor dua. Pulang berarti harus siap untuk tidak membebani siapapun dirumah, dan tentu saja itu berat. 

Makin tua, makin paham bahwa ada dari hidup yang tidak pernah bisa kita kuasai dan kendalikan. Hitungan-hitungan yang tepat tak semuanya terealisasi, meskipun iya beberapa berhasil dilakukan. Manusia akhirnya tetap sendirian. Bagaimanapun ramainya lebaran selalu saja ada orang-orang kesepian. Orang-orang tua kemudian pergi, meninggal dan anak-anak terpisah oleh kesunyian. 

Lebaran memang tidak mudah bagi manusia lainnya. Aku selalu melihat mereka, dendang dan tarian orang-orang kalah ketika lebaran. 

Di tengah riuhnya malam lebaran, sesekali aku melihat beberapa orang merokok dengan lesu di teras rumahnya. Boro-boro beli baju baru, masak opor, atau memberi pitrah pada handai taulan, untuk menutup kebutuhan diri sendiri saja masih harus ditambal dengan hutang di sana sini, Aku juga melihat bapak-bapak muda di hari kedua lebaran justru pergi dari rumah, mengambil kail pancingnya untuk menyepi. Mereka tidak siap bertemu dengan keluarga besar yang penuh dengan bualan kesuksesan, capaian, pekerjaan, hal-hal yang selama ini tidak pernah ia capai.

Seorang janda yang ditinggal pergi suami untuk menikah lagi, wajahnya menyimpan marah juga kalah ketika halal-bihalal tiba dan semua pasangan memamerkan keharmonisan mereka. Anak-anak yang merengek minta mainan, dan main di kolam renang, karena tak terjangkau uangnya, sang bapak mengecoh untuk mengajak membeli bakso termurah di kampung. Anak-anak akhirnya memang tertawa riang, dan sekali lagi para lelaki menyulut rokoknya dalam-dalam. Adapula yang menunggu orangtua mereka renta dan sakit tak bisa bangun dari ranjang, di meja tamunya tidak ada apapun. Kemiskinan telah mengetuk sejak penyakit itu datang, dan tiada lagi yang tersisa. 

Mereka-mereka ini mungkin yang akan "kaya tikus" itu tadi, tergilas jaman dan dilupakan. Anak cucunya tidak punya waktu untuk mengenang, apalagi mendokumentasikan, karena ternyata hidup habis untuk membanting tulang dengan hasil yang tidak seberapa. Lebaran datang dan pergi, tapi kemiskinan tetap. Di kota ini, kota dengan salah satu umr terendah di negara masih banyak yang bekerja jauh di bawah UMR. Tentunya kebutuhannya tidak terpenuhi, dan kemiskinan lalu menggejala menjadi apa saja.

Orang-orang beragama selalu melantangkan memberi, tapi mereka ini sudah tidak ada lagi yang bisa dibagikan. Apalagi dengan puasa, nyaris setiap hidupnya berpuasa, menahan banyak sekali godaan hidup, maupun bertahan agar tidak mengakhiri hidup.

Selalu ada yang luput dari setiap pesta. Selalu ada paradoks yang berjalan. Dalam setiap peristiwa besar, selalu saja ada yang minor. Dan kita, merawat ingat kalau sempat kita mencatatnya. 

Beberapa  tidak pulang, beberapa memilih bertahan untuk tidak pulang karena pulang berarti mencederai hati mereka (lagi) karena banyak duka dan luka. Sebagian perantau lain tidak pulang, entah karena malu, atau memang sudah kehilangan alasan kepulangan ke kampung halaman. Dari pinggir cathetan ini kucatat, karena bagian besarnya sudah didengungkan oleh banyak orang. Romantisasinya, kenikmatan dan kehangatannya dan apalah itu yang indah-indah. Tapi siapa yang mau mengamati lebaran dari sisi yang lain.

Para penunggu rumah kian sibuk, pelayan cafe tetap sibuk bekerja, para pengemis datang, tukang penunggu rumah-rumah di kota sepekan ini menikmati kekayaan tuannya, dan roda-roda hidup terus berputar.

Selamat. Gerhana-nya datang,



Surakarta, 20 April 2023