Selepas Isya, aku dan Jumirin pergi ke suatu warung kopi di pinggiran kota Solo. Dari tempat tinggalnya, kami melintas melewati daerah paling periferal, persis di tepi Sungai BeItngawan Solo disitu terdapat sebuah kampung yang masyarakatnya sangat hetero. Masyarakat yang penduduknya korban penggusuran, preman, dengan segala macam tindakan miring lainnya.
Mereka ini sudah digusur oleh pemerintah, pembangunan kawasan kampus menyurung mereka untuk pergi. Tetapi karena penghasilan mereka berasal dari sekitar UNS, tak ayal tidak mau mereka pindah dari kota ini. Kepalang tanggung.
Beberapa diantara mereka dalam sebuah obrolan juga mengaku tidak punya kampung halaman lagi, ada jarak panjang membentang mereka dengan desa atau tempat dimana mereka lahir. Anak-anak mereka lahir di sini, dengan beragam keterbatasan namun tetap saja karunia akan bertahan hidup itu tetap ada.
Itu mungkin jawaban singkatku atas pertanyaan yang nylemong keluar dari mulut Jumirin. Pertanyaan yang cukup berkualitas untuk seorang humanis.
Wong-wong iki jane korban gusuran, tapi nik pitulasan tetep meriah, pasang gendera, pasang lampu, ana lomba-lomba, jane nasionalisme-ne nggo sapa?
Di perjalanan aku berbincang ringan tentang beda antara negara (state) dan pemerintah (goverment). Tentunya beda pula jika ukurannya sebagai bangsa (nation). Sukarno dalam pidatonya kerap memakai kata "nasion" untuk mengakomodasi banyak orang. Mau seburuk apapun pemerintahannya, apakah itu mengurangi cinta kita kepada bangsa ini? jawabannya rerata tidak.
Pertama mungkin karena tidak banyak pilihan, mereka yang punya kesempatan untuk pindah dan tinggal di luar negeri biasanya punya suara lain. Kedua, hal ini terikat erat dengan kebudayaan timur jika seseorang kalau bisa mati-pun di tanah kelahirannya. Cinta tanah dan air itu sebenarnya sudah mengakar. Jelang Idul Fitri misalnya, Indonesia punya fenomena mudik, pulang ke kampung halaman untuk sekedar bertemu dengan handai taulan di desa, berkunjung ke makam leluhur, atau sekedar memunguti kenangan agar tetap ingat darimana mereka berasal.
Pondasi seperti ini mungkin yang membuat kita, sebagaimanapun kita benci dengan banyak hal di republik kita ini tetap punya rasa cinta yang meluap. Persis seperti penduduk gusuran di pinggiran Bengawan Solo tadi. Kurang terdesak apa mereka, bahkan bisa tinggal dan tidur itu merupakan sebuah kemewahan tersendiri, fase berikutnya bisa makan dan mencari nafkah sembari menunggu kematian.
Dari pinggiran sebenarnya bisa menjadikan kita cermin, tentang alur hidup yang selama ini kita lalui. Hidup macam apa, kebahagiaan yang bagaimana, hingga fakta-fakta apa yang sebenarnya terjadi lalu kita menerima dan menghadapi segala problemanya sesuai level kita masing-masing.
Dari pinggir kita juga bisa melihat hidup lumrah itu tidak muluk-muluk, meskipun, juga jangan patah semangat jika nasib selalu menjungkalkan kita pada jurang-jurang dalam dan membuat kita merasa tidak kuat lagi menjalani hidup. Sesekali cobalah ngobrol, makan dengan orang-orang gusuran ini, niscaya akan kau temukan energi lain dari bertahan, sebuah nyala yang meluap-luap dari kebosanan karena hidup terus menerus dalam fase bertahan.
Sudah lima tahun lebih mungkin saya tidak mengikuti malam renungan 17 Agustus, entah di desa, di pemerintahan atau di beberapa tempat lain namun apakah nasionalisme hanya diukur dari kedatangan seseorang pada malam tirakatan nan sakral itu? tentu saja tidak. Tapi kadang kangen juga, setiap tahun negara punya program penjagaan agar tetap bersatu, mengindoktrinasi massa banyak seraya mengingatkan betapa rumitnya negara ini kalau chaos dan law-less.
Negeri yang makin tua ini kadang juga menambahi ruwet jalan hidup yang saya lalui, kerumitan perijinan, sarana publik yang buruk, faskesum yang masih buruk, sarpras pendidikan masih belum merata dan korupsi tentu saja. Ada kemuakan pada segala yang terjadi, kritik harus dilontarkan tetapi keadaan juga belum mau berubah.
Negara diumur tua belum mampu memandegani dan mengayomi warganya.
Sedangkan aku tahu persis, sebelum kerumitan itu mengetuk pintu perseorangan warga negara, sebelum kesulitan dan berbagai keburukan itu belum hadir di ranah pribadi, pekerjaan dan hidup keseharian warga, haruslah makin malu para penguasa karena kita punya rakyat yang demikian sabar menjadi pelengkap penderita. Kesabaran ini diuji berpuluh-puluh tahun.
Aku pernah kerja di sebuah lembaga survei sekitar 6 tahun, ketika terjun di lapangan dan bertanya sebenarnya yang diinginkan warga apa sih?. Paling cuma jalan bagus, faskes dan sekolah ada, pekerjaan gampang, sandang pangan murat. Itu saja. Tidak ada impian muluk-muluk seperti yang kubincangankan dengan Jumirin setiap hari, atau beberapa mahasiswa baru yang berapi-api ingin mengubah dunia ini. Harapan mereka sederhana, kesabaran rakyat ini jempolan, mau siapapun presidennya asal itu terpenuhi nampaknya lebih dari cukup, wong di dalam kondisi yang memprihatinkan orang-orang di desa tetap mengibarkan bendera merah putih, tetap berteriak NKRI HARGA MATI!, tetap mengadakan lomba makan kerupuk dan balap karung sebagai sakramen penting perayaaan kemerdekaan. Tapi benarkah mereka sudah merdeka?
Merdeka dalam artian independence, yang merasakan betul manfaat dari nasion.
Desa-desa menganggap negara ini berjasa kadang justru dari hal sebaliknya. Regulasi yang payah memungkinkan banyak orang hidup mengais dari celah bocornya regulasi ini. Ada orang kerjaannya jadi makelar SIM, makelar bayar BPJS karena tidak semua warga desa mampu membayar mandiri. Di desaku bahkan pajak Listrik saja masih ditanggung oleh pak RT setiap bulan sampai hari ini, lalu warga mengangsur bayar ke beliau.
Harusnya pemerintah ini malu, tapi apakah mereka punya malu? problemnya juga cukup pelik karena SDM di internal pemerintahan kadang juga tidak mencukupi untuk menjawab berbagai tantangan masyarakat. Banyak ASN-nya, terutama yang tua masih melestarikan feodalisme ala Keraton di 'kraton-kraton' kecil mereka sendiri.
Aku bahkan mendengar, selama masih bisa ngganthol kabel listrik, mereka akan tetap loyal meskipun grayak-grayak untuk bertahan hidup. Ruang permenungan jadi lebih dalam, memang tidak ada yang ideal dalam demokrasi yang cerewet ini. Tapi, baiklah kita tetap punya harapan.
Kita tetap harus mengkritik, bersuara atas banyak hal yang tidak tidak pada tempatnya. Sembari terus tur-ba, menangkap apa yang sebenarnya terjadi di lapis paling bawah sebuah masyarakat.
Selamat ulang tahun, Republik!>