image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, April 19, 2023

Lebaran dari "Pinggir"

Setiap tahun kita memulai perjalanan dari bilik kesunyian kita masing-masing menuju kampung halaman.  Apa yang kemudian benar-benar kita cari dalam kepulangan? ataukah hanya ritual berulang semata yang terus berdengung di telinga dan mata sebagai sebuah peristiwa. Aku merasa semakin dewasa semakin jelas rasa itu, sebuah nukilan gegap gempita yang makin tawar. Makin hambar.

Untuk apa, untuk siapa? 

Saya pernah berbincang-bincang dengan seorang teman, kala hidupnya miskin, rumit, dan terbengkalai. Ia mengumpamakan hidup orang susah itu seperti tikus. Kalau mati tidak ada yang menangisi, kalau berhutang sudah tidak dipercaya, kalau butuh sesuatu dikira ngemis. Sadis dan jahat hidup ini, apalagi di hari raya. Seberapa yang benar-benar jujur menikmatinya, meskipun akhirnya tetap merayakannya. 

Setiap lebaran memang saya pulang ke rumah. Mengunjungi makam ibu saya - dan kini bertambah makam eyang putri. Suasana di rumah tidak ada bedanya, gang-gang kampung berisi mobil-mobil berplat luar kota, sepanjang malam kelakar itu tak habis-habis persis seperti kudapan, lezat namun tak semuanya begitu. Bagiku, setidaknya setelah eyang putri meninggal kesunyian itu makin mencekat. 

Tidak ada orang-orang dan handai taulan lagi yang berkunjung ke rumah, sebaliknya selama belasan tahun aku mewakili mendiang ibu untuk berkunjung ke saudara-saudaranya yang masih hidup, menikmati kepalsuan demi kepalsuan. Pembicaraan hanya berisi basa-basi yang berujung mengira nasib saya sudah melampaui mereka. Tentu saja, nasib intelektual, jaringan, koneksi dan pemikiran saya memang berubah. Tetapi kondisi finansial saya bahkan jauh lebih buruk dari orang-orang tua ini, mereka yang terus berhutang dan meraih apapun atas nama dalih "kamu 'kan belum nikah, belum mikir butuh'. 

Anjing memang,

Sejak SMP saya mulai mencarikan duit tambahan untuk eyang putri agar ketika lebaran tiba ada sajian di meja, ada uang pitrah untuk cucu-cucu lain yang seumuran saya. Semuanya harus disulap menjadi ada, keluarga harus terlihat normal demi menjunjung nama baik. Aku akhirnya melakukan itu semua bukan karena nama baik, tapi cinta. Tresnaku pada eyang putri, pada rendra dan bapak. Demi mereka selama belasan tahun aku membual bahwa semuanya lagi sibuk, semuanya lagi sedang berproses, dan menuju sukses. 'Mikul dhuwur mendem jero' itu pelik. 

Saya terus dirumah hingga tigapuluh satu tahun. Menjadi penunggu rumah itu lebih berat rasanya, karena harus menjalani rutinitas sehari-hari yang jauh lebih berat bersama orang tua. Sempat dulu marah karena ingin mencecap rasanya merantau, meraih karir dst. Tapi lumat juga karena cinta kepada eyang ketika kesempatan itu datang. Rasa tidak tega meninggalkan orangtua sendirian di rumah jauh lebih membebani, dibanding rasa tidak punya masa depan. 

Dan, kini tiap lebaran ketika beliau pergi, rasa-rasanya hidup makin tidak jelas jluntrungannya. Kepulangan berarti ke makam, dan rumah selalu nomor dua. Pulang berarti harus siap untuk tidak membebani siapapun dirumah, dan tentu saja itu berat. 

Makin tua, makin paham bahwa ada dari hidup yang tidak pernah bisa kita kuasai dan kendalikan. Hitungan-hitungan yang tepat tak semuanya terealisasi, meskipun iya beberapa berhasil dilakukan. Manusia akhirnya tetap sendirian. Bagaimanapun ramainya lebaran selalu saja ada orang-orang kesepian. Orang-orang tua kemudian pergi, meninggal dan anak-anak terpisah oleh kesunyian. 

Lebaran memang tidak mudah bagi manusia lainnya. Aku selalu melihat mereka, dendang dan tarian orang-orang kalah ketika lebaran. 

Di tengah riuhnya malam lebaran, sesekali aku melihat beberapa orang merokok dengan lesu di teras rumahnya. Boro-boro beli baju baru, masak opor, atau memberi pitrah pada handai taulan, untuk menutup kebutuhan diri sendiri saja masih harus ditambal dengan hutang di sana sini, Aku juga melihat bapak-bapak muda di hari kedua lebaran justru pergi dari rumah, mengambil kail pancingnya untuk menyepi. Mereka tidak siap bertemu dengan keluarga besar yang penuh dengan bualan kesuksesan, capaian, pekerjaan, hal-hal yang selama ini tidak pernah ia capai.

Seorang janda yang ditinggal pergi suami untuk menikah lagi, wajahnya menyimpan marah juga kalah ketika halal-bihalal tiba dan semua pasangan memamerkan keharmonisan mereka. Anak-anak yang merengek minta mainan, dan main di kolam renang, karena tak terjangkau uangnya, sang bapak mengecoh untuk mengajak membeli bakso termurah di kampung. Anak-anak akhirnya memang tertawa riang, dan sekali lagi para lelaki menyulut rokoknya dalam-dalam. Adapula yang menunggu orangtua mereka renta dan sakit tak bisa bangun dari ranjang, di meja tamunya tidak ada apapun. Kemiskinan telah mengetuk sejak penyakit itu datang, dan tiada lagi yang tersisa. 

Mereka-mereka ini mungkin yang akan "kaya tikus" itu tadi, tergilas jaman dan dilupakan. Anak cucunya tidak punya waktu untuk mengenang, apalagi mendokumentasikan, karena ternyata hidup habis untuk membanting tulang dengan hasil yang tidak seberapa. Lebaran datang dan pergi, tapi kemiskinan tetap. Di kota ini, kota dengan salah satu umr terendah di negara masih banyak yang bekerja jauh di bawah UMR. Tentunya kebutuhannya tidak terpenuhi, dan kemiskinan lalu menggejala menjadi apa saja.

Orang-orang beragama selalu melantangkan memberi, tapi mereka ini sudah tidak ada lagi yang bisa dibagikan. Apalagi dengan puasa, nyaris setiap hidupnya berpuasa, menahan banyak sekali godaan hidup, maupun bertahan agar tidak mengakhiri hidup.

Selalu ada yang luput dari setiap pesta. Selalu ada paradoks yang berjalan. Dalam setiap peristiwa besar, selalu saja ada yang minor. Dan kita, merawat ingat kalau sempat kita mencatatnya. 

Beberapa  tidak pulang, beberapa memilih bertahan untuk tidak pulang karena pulang berarti mencederai hati mereka (lagi) karena banyak duka dan luka. Sebagian perantau lain tidak pulang, entah karena malu, atau memang sudah kehilangan alasan kepulangan ke kampung halaman. Dari pinggir cathetan ini kucatat, karena bagian besarnya sudah didengungkan oleh banyak orang. Romantisasinya, kenikmatan dan kehangatannya dan apalah itu yang indah-indah. Tapi siapa yang mau mengamati lebaran dari sisi yang lain.

Para penunggu rumah kian sibuk, pelayan cafe tetap sibuk bekerja, para pengemis datang, tukang penunggu rumah-rumah di kota sepekan ini menikmati kekayaan tuannya, dan roda-roda hidup terus berputar.

Selamat. Gerhana-nya datang,



Surakarta, 20 April 2023

 

No comments:

Post a Comment