image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, November 21, 2022

Rosje


Dalam kamarnya yang temaram, Rosje menuliskan sebuah laporan dalam secarik kertas. Setelah penanya berhenti menggores, kertas itu dilipat dan dimasukkan ke dalam sebuah amplop berwarna cokelat. Laporan itu bukan pertama kalinya dilayangkan ke kantor Veldpolitie1 di Karanganyar, kali ini yang kesebelas.

-

Rosje adalah seorang akuntan. Ia sebenarnya lahir di Batavia, namun, karena ayahnya ditunjuk bekerja kepada Adipati Mangkunegara IV terkait sewa-menyewa lahan, maka ia kemudian mengikuti jejak ayahnya ke jantung pulau Jawa. Tak berselang lama seusai lulus kursus akuntansi di Djawatan Akuntan Hindia, Rosje dipekerjakan di suikerfabriek te Tasikmadoe2. 

Pada sebuah bangunan loji Belanda ia tinggal, di sebuah padukuhan Jawa bernama Ngijo persis di sebelah timur Ambachtsschool3, bersebrangan pula dengan hulpziekenhuis4. Dari depan rumahnya Rosje bisa melihat lalu-lalang orang desa berjualan aneka kudapan di sekitar pabrik atau memanggul kembang gula ke kota Karanganyar yang jaraknya cuman satu pal. Setiap hari ia berjalan kaki menuju pabrik, sembari melihat-lihat sekeliling pabrik yang rimbun dengan pohon Munggur. Kantornya terletak tepat di dalam kompleks utama pabrik. Sebuah bangunan loji besar bergaya indis, dengan tiang tinggi, pintu-jendela yang berukuran bersar, lengkap dengan berderet pot bunga beraneka-ragam.

Ruangan Rosje terletak diujung sebelah kiri, setelah meja pertemuan yang berada di tengah ruangan. Setumpuk buku tagihan menjadi dekorasi utama ruangannya, berderet pula laporan tahunan jumlah produksi tanaman, buku gaji karyawan, hingga kumpulan faktur pajak kepada sang Adipati. Pekerjaannya setiap hari hanya memastikan semua dokumen sudah diselesaikan dan terarsipkan dengan baik. Rutinitas itu berulang, sesekali sebatang rokok mengepul di jarinya, untuk menghalau kejenuhan. Hari-harinya datar, sampai suatu pagi Tuan D. Winter sang komisaris pabrik mengharuskan dan datang mejanya.

 “Rosje, bulan depan perusahaan kita jadi tuan rumah konferensi pengolahan lahan, bung siapin ya, jangan malu-maluin perusahaan, pastikan penyakit tikus sialan itu tak menjangkiti para tamu!”.

Enam tahun lalu wabah pes memang sudah menerjang Surakarta. Konon, penyakit demam itu ditularkan lewat tikus-tikus di seputar stasiun Sala Kasunanan Jebres. Kabar baiknya wabah itu belum menjangkiti kawasan pabrik gula tempatnya bekerja.

*

Jelang acara, Rosje dibantu sebuah tim kecil yang dengan sigap menyiapkan segala sesuatunya. Perihal mencari tempat inap untuk tamu di losmen terbaik di kota, ruangan untuk bersantai, makanan, dan tak lupa jamuan minum untuk para tuan. Rosje memastikan semuanya tak terlewat. Acara ini adalah perhelatan yang sangat besar, harus sempurna, menurut Tuan Winter. Konferensi tersebut akan dibuka langsung oleh tuan Residen Surakarta beserta Gusti Adipati Mangkunegara dan Sunan Surakarta sendiri. Dikirimkannya pula surat perijinan dan pemberitahuan baik ke ke kantor Burgerlijk Geneeskundige Dienst, pangreh praja setempat dan tentu saja opsir polisi.

Namun semakin mendekat tempo, banyak karyawannya dilaporkan jatuh sakit. Semula Rosje tak menggubris, karena menganggap sakit panas biasa seperti yang sudah-sudah. Hal itu berubah menjadi perhatian serius Rosje ketika seorang pekerja dilaporkan meninggal. Bermula dari yang pertama, malaikat maut  datang susul menyusul dan makin mengerikan.


*

“Pagebluk ini tuan Rosje, pagebluk ini, duh Gusti Pangeran, setelah tigapuluh tahun Ngelano yang aman ganggas-waras kini desa  terkena hujaman rajapati lagi” Kata Wardi, asisten dengan gemetar di meja ruangannya.

“Duduklah dulu War, kau mau kubuatkan minum dulu?” tukas Rosje menenangkan asistennya.

Rosje lalu berdiri keluar dari ruangannya, memanggil pelayan di dapur untuk membuatkan Wardi secangkir teh lalu duduk kembali di mejanya.

“Rokok?” tangan Rosje mendorong sebungkus kretek ke depan tempat duduk Wardi. Wardi hanya menggelengkan kepala, sembari sesekali melemparkan sudut matanya pada pemandangan pabrik di luar jendela kantor Rosje.

 “Memang dulu ada pagebluk apa?”

“Kurang paham tuan Rosje, yang jelas banyak yang mati karena demam dan bintik-bintik, kata pak Demang namanya pagebluk cacar, saya masih kecil waktu itu, juga cerita simbok, katanya banyak warga desa disini meninggal.

Apakah ini kutukan, ya, tuan Rosje, atau malah ini firasat buruk pada konferensi besok, atau malah ini lambang kejatuhan pabrik ini? saya takut tuan..”

“Sssh, jaga pembicaraanmu! Kau ini, sudah bertahun-tahun bekerja bersamaku masih percaya tahayul”

Secangkir teh datang, Wardi berlalu tak mau menunggu, hening sekejap menyergap. Rosje duduk mematung, tangannya mengetok-ketok ujung penanya ke meja. Gemetar. Sebagai seorang Belanda ia tentu tak mempercayai hal-hal berbau mistik dan klenik, tetapi ia merasa was-was jika kematian pekerja semakin banyak, maka produksi panen gula bisa terganggu, bahkan bisa bermakna akhir karirnya sendiri. Wabah ini mulai mengusik batinnya.

**

LANDCONFERENTIE TE TASIKMADOE

29-12-1915

Spanduk dari kain berwarna kuning dengan tulisan hijau itu sudah dibentangkan di depan pabrik, persis diantara dua tiang besi yang jadi gapura masuk ke areal suikerfabriek. Seminggu lagi konferensi dimulai. Diwartakan KRMT Panji Sumonegoro regent Sragen akan hadir sebagai pembicara.

Rosje beberapa kali pernah sowan ke kediaman beliau. Selain seorang regent5, Sumonegoro adalah ahli ilmu tanah dan tata air. Pengalamannya dalam mengelola lahan diakui brilian, beliau sebelumnya banyak mengisi seminar-seminar agraria untuk memaksimalkan hasil produksi. Bermacam tanaman wajib seperti kopi, cokelat, dan terutama tebu memang perlu perawatan khusus. Tasikmadu sendiri sebagai kawasan perkebunan masuk wilayah afdeeling Sragen maka tentu sah-sah saja jika nama beliau masuk dalam daftar pembicara utama. Rojse selain menjadi utusan pabrik, kerapkali juga membicarakan masalah kesehatan para tuan-tuan Eropa di Jawa dengan beliau. Sumonegoro juga terkenal punya beberapa dokter pribadi yang andal.

**

Nasib ternyata tak bersimpati pada Tasikmadu. Diluar pabrik seluruh desa terjangkiti wabah pes. Tak pernah ada yang tahu siapa yang membawa wabah ini ke areal pabrik gula. Kenyataanya. para pekerja semakin banyak yang mohon ijin tidak bekerja. Beberapa mereka terserang demam pes, beberapa yang lain menunggui keluarganya yang sakit. Penyakit ini merata di seluruh wilayah Tasikmadu, desa Ngelano yang paling parah. Minggu ini setiap hari setidaknya ada delapan orang meninggal dalam kondisi yang memprihatinkan. Dan yang paling meruntuhkan hati Rosje, bahwa maut datang pula menimpa Wardi.

Kaget mendengar kabar, malam itu juga Rosje bertandang ke rumah duka. Dengan sepeda kayuh pabrik ia bergegas. Rosje telak mengabaikan peringatan tuan D. Winter untuk sama sekali menghindari aktivitas selain di loji rumahnya dan pabrik gula. Dengan penerangan senter kecil ia sampai di rumah Wardi yang sudah penuh sesak dengan pelayat. Penduduk yang duduk-duduk di teras rumah seperti menyibak melihat kedatangan tuan Rosje. Suara tangis istri Wardi masih sayup-sayup di ruangan belakang. Sementara di ruang tengah jenazah Wardi ditutupi kain jarik batik berwarna cokelat diatas sebuah ranjang dari bambu.

“Wardi, wardi....” Rosje berdesis seraya membuka kain penutup jenazah. 

Di depannya kini terlihat jelas, wajah yang biasa sumringah di kantor itu kini menghitam dengan bau busuk yang cukup menyengat. Sembari menahan-nahan untuk tidak menangis, Rosje kemudian pamit sembari menghaturkan sebuah amplop berisi uang untuk keperluan ubarampe pemakaman. Sedikit tergesa kayuh kaki menuju loji, sepanjang tapak air matanya mulai berlinangan. Matanya semakin panas, amarahnya meruak. Dahinya mengernyit,

“Gila ini penyakit”, katanya dalam hati.

 *

Sesampai di loji sepeda disandar begitu saja dibawah teras. Lampu temaram kamar menerangi suara jari-jari yang bergemeletak. Kantuk luruh, seiring perasaan batin yang bergemuruh. Sebuah surat kawat diketik, isinya singkat dan sangat jelas.

 

Untuk Tuan D. Winter.

Tuan kondisi makin gawat besok rapat di pabrik pukul sembilan pagi

 

Seusai diberikan kepada pelayannya untuk dikirimkan, Rosje rebah di lubuk tidurnya, matanya nanar menatap selambu di langit-langit ranjang. Pejam.

Keesokan harinya rapat direksi digelar, setelah Rosje melaporkan keadaan, Tuan Winter lalu mengambilalih rapat dan segera memberi arahan-arahan atas situasi. Pabrik ditetapkan tutup untuk sementara waktu. Rosje mengawatkan edaran kepada camat, lurah dan veldpolitie supaya warga berhenti beraktivitas. Namun edaran itu dianggap angin lalu oleh pejabat lokal.

**

Dalam kamarnya yang temaram, Rosje menuliskan lagi sebuah laporan dalam secarik kertas. Setelah penanya berhenti menggores, kertas itu dilipat dan dimasukkan ke dalam sebuah amplop berwarna cokelat. Laporan itu bukan pertama kalinya dilayangkan ke kantor Veldpolitie1 di Karanganyar, kali ini yang kesebelas. Rosje mengantarkan sendiri suratnya.

Begitu sampai di sana, para polisi Jawa berkulit coklat itu malah menertawainya. Selepas seutas senyum dan sebuah anggukan, opsir tadi menerima dan langsung membuang amplop cokelat itu di tempat sampah ketika Rosje masih berdiri di depan meja sang opsir. Tawa meledak, seperti malapetaka yang terus datang kemudian.

Gelombang maut datang lebih hebat, bak gulungan-gulungan ombak datang silih berganti. Belasan penduduk mati setiap hari, jumlahnya terus membengkak. Veldpolitie yang abai opsirnya mulai bertumbangan. Meskipun, begitu mereka malah menyalahkan pabrik sebagai biang-kerok lelara ini. Sikap para opsir menjadi semakin acuh pada siapapun yang bekerja pada pabrik gula, apalagi Rosje seorang kulit putih.

Sepulang dari kantor veldpolitie Rosje membanting daun pintu ruangannya.

Godverdomme!, Anjing memang orang-orang pribumi itu, aku sudah belasan kali memberi peringatan tak digubris, kini ketika semua terjadi mereka malah menuding balik pabrik, gila memang, gila dunia ini gilaa! ahhh”

Konferensi akhirnya batal digelar. Setelah beberapa kali rapat direksi Rosje terbaring sakit di lojinya. Wabah itu mengetuk pintu rumahnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya menggigil dan kejang-kejang lalu terbuai lemas sepanjang hari. Setelah dua minggu tangannya busuk menghitam. Dalam pembaringan dengan terbata-bata ia menjawab pertanyaan seorang wartawan Bataviaasch Nieuwsblad.

Kondisinya makin memburuk hari berikutnya. Akhirnya nyawa Rosje tidak tertolong meskipun regent Sragen mengirimkan dokter terbaiknya. Kampung Nglano mulai reresik, membakari sebagian rumah yang disinyalir terkena tikus yang membawa virus Pes. 14 Januari 1916, koran memuat apa yang dibicarakan Rosje jelang kematiannya.

“de politie van de geteisterde kampong deugtblijkbaar, zij dient hos eer hoe beter geheel vervangen te worden6 demikian kesaksian Rosje.

 

***

 

 

1.   1. Suikerfabriek te Colomadu : Pabrik Gula Colomadu

2 2.Ambachtsschool : Sekolah kejuruan, setara SMP namun fokus pada keahlian tertentu

3. 3.Hulp-ziekenhuis : Puskesmas, klinik kesehatan biasanya milik perusahaan.

4. 4.Burgerlijk Geneeskundige Dienst : Dinas Kesehatan Masyarakat milik Pemerintah

Hindia Belanda dalam menanggulangi wabah Pes.

5. 5. Regent : Bupati

6.6.Polisi-polisi ini ditengah kampung yang porak-poranda karena kematian, kelakuan mereka ternyata ‘berbudi luhur’, mereka seharusnya diganti dengan yang lebih baik.


Cecerpen ini dikirimkan sebagai naskah lomba cerpen Kamarkata, Karanganyar dalam rangka bulan bahasa dan HUT Kab. Karanganyar dan berhasil menjadi Juara I.

 

 

No comments:

Post a Comment