image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Thursday, July 7, 2022

32

 TIGAPULUH DUA 

Rasanya seperti tidak pernah percaya bahwa nafas hidup bisa melenggang sedemikian panjang, Terhenyak, putaranya sampai pada angka tiga puluh dua. 

Konon angka ini keramat, bahkan teramat sangat sakral untuk diri pribadi. Ibuku meninggal jelang usianya yang ke -32, ketika aku berusia duabelas dan harus dengan mantap menatap ujian kelulusan sekolah keesokkan harinya. 

Sejak hari keramat itu, sejak kecil, tanpa disuruh siapapun aku seperti punya cita-cita dan tawaran kepada Tuhan kalau bisa hidup saya tuntaskanlah minimal seusia ibu saya hidup. Rasa penasaran teramat dalam, berbagai macam pertanyaan lahir, bagaimana hidup selama itu, meskipun pengalamannya berbeda, namun tensinya aku kira sama. 

Dan Tuhan mengabulkan cita-cita sederhana anak kecil itu. Ketika tulisan ini terbit, beberapa jam lagi aku akan sampai pada apa yang kuimpikan itu. Aku mungkin entah dimana, mungkin menyepi, mungkin merayakannya dengan beberapa kawan. 

Ulang tahun kali ini saya mungkin akan bercerita soal pekerjaan, karya, nyambut gawe sebuah proses yang dialami manusia manapun. Proses yang kerapkali terlupa karena biasa, namun saya anggap ini proses penting karena begitu mendewasakan pula dalam setiap kejadiannya.


Tigapuluhdua,

Waktu yang jangkep untuk menyadari segala hal. Ilmu-ilmu yang diserap baik oleh guru maupun segala maca..m buku memberikan banyak sekali tawaran serta pertimbangan dalam keberpihakan hidup. Saya melihat dunia yang jahat ini semakin jelas. 

Selain kematian, saya menyaksikan keruntuhan, dan surutnya manusia-manusia yang dulu mengitari saya dan berharap bisa ikut “menjarah” dari apa yang tersisa dari surutnya keluarga kecil kami. Dunia yang buas itu menampakkan wujudnya dengan sangat meriah. Pembalasan demi pembalasan secara kontan kemudian berubah menjadi nyata begitu saja. Namun biarlah, itu bukan urusan saya, tapi saya mengingat segala kebaikan dan kejahatan manusia terhadap apa yang saya alami dan keluarga kecil saya. 


Tigapuluhdua,

Mengalami banyak perubahan untuk bertahan hidup. Dari mbungkusi kerupuk rambak di pabrik Lik Welas setelah ibuk meninggal, mengamen di stasiun, pasar, dan bis kota ketika SMP, lalu ditolong seseorang untuk bertahan dengan menjaga outlet Pop-Ice di teras kantor kepegawaian daerah, sampai yang tidak kalah lupa ada Romo-romo Katolik yang kerap mentraktir saya makan di kantin mas Parmin ketika SMP. 

Ketika SMA tentu saya bisa mengupayakan lebih kuat lagi. Saya bisa bertahan hidup dengan membantu menyelesaikan pekerjaan sekolah teman-teman, mengikuti banyak sekali kegiatan ekstrakurikuler dan memenangkan banyak lomba. Segala potensi-potensi yang ada didalam diri seperti meluncur begitu saja. Kawan semakin banyak, dan tiada perlu berfikir lagi jika masalahnya hanya sekedar makan siang. Pasti bisa, namun tentu saja tidak ada pernah ada makan siang gratis. Simbiosis mutualisme gitu saja yang mengalir dari beragam perjumpaan. 

Setelah lulus SMA, jelas tiada lagi tiket untuk masuk ke kampus karena ketiadaaan biaya. Pun dengan Rendra yang harus mandeg selama setahun dan mencoba keberuntungannnya daftar tentara. Terang, sejak SMA aku berjanji pada eyang putri dan ibuk, jikalau kelak waktunya aku keluar dari sekolah tiada pernah aku akan meminta uang sepeserpun pada bapak atau istri barunya. Waktu yang kembali mengijinkan janji itu tetap terpenuhi hingga saat ini. 

Realitasnya tentu tidak gampang. Setelah itu aku harus berkali-kali melamar jadi CPNS untuk nglegani eyang putri, dan berkali-kali ngelamar semua BUMN dengan kualifikasi lulusan SMA. Namun terus gagal. Pengalaman gagal, ditolak, dikecewakan oleh sistem, dan beragam ketidakadilan lainnya membuka banyak paradigma hidup. Memang jahat betul hidup ini. Dulu aku mengira dengan kepintaran dan intelegensia yang maksimal dibangun cukup untuk membawa manusia pada jenjang yang ia ingini, nyatanya tak demikian. Ada banyak hal lain yang ditempuh, termasuk hal-hal yang selama ini tidak pernah aku miliki. Akses, privilese dari yang punya memo kepegawaian atau kapital, duit yang maha besar untuk menyogok panitia penerimaan. Umpatan-umpatan yang sering terdengar klise, atau bagi mereka yang menang kadang secara sepihak dianggap sebagai “pledoi orang-orang kalah”. Mungkin saja begitu juga ada benarnya.

Menjadi operator warnet sekaligus maintenance printer, buka jasa instal ulang, rental pengetikan, jualan teh botol dan snack, jualan pulsa dan yang terakhir buka rentalan peralatan naik gunung bisa jalan dalam suatu waktu yang bersamaan. Aku menemukan jalan itu dari bilik-bilik warnet. Masih merasa kurang karena kebutuhan sakit eyang putri kala itu belum tercover BPJS, aku sempat ikut jadi tour guide wisata, jadi fasilitator outbond, guide pendakian gunung. 

Ambisius untuk menjadi orang kaya, dan berfikir punya duit banyak adalah segalanya sekaligus ingin menjadi cucu yang berbakti kepada eyang karena selama ini beliau yang menggantikan ibu dirumah. Pergolakan batin terus terjadi, tarik menarik antara keinginan-keputusan dan pertimbangan lainya supaya tetap di Sragen sempat menjadikanku sebagai orang yang memuja berhala kekayaan itu. 

Namun hal itu tidak lama. Sakitlah yang merenggutnya. Beberapa hari ambruk dan tidak berani pulang kerumah karena takut eyang putri tahu cucunya sakit, akhirnya hanya rebahan di warnet dan meminta tolong orang lain. Sejak saat itu aku menimang ulang omongan-omongan bahwa kalo kita kerja keras pasti kaya, kalau rajin pasti akan bisa kumpulin banyak duit. Mblegedes, alih-alih kaya saya justru harus berhenti dan menaruh impian itu dibawah bantal. Lalu mencari-cari lagi dan memang benar, sistemnya ini ada yang salah dan tidak mungkin berpihak, hingga akan mencapai stratum tertentu dari kepemilikan kapital.

Ketika usia menginjak 25, saya tahu ada yang lebih krusial dalam hidup yaitu keberpihakan. Saya telak memilih kemanusiaan, keharusan untuk tetap dirumah meskipun hidup ya gini-gini aja daripada meninggalkan eyang putri. Satu-dua tawaran memang pernah menggoyahkan itu karena kebutuhan hidup nyatanya meraung lebih keras. Tapi, sekali lagi tangis orang tua yang kelelahan karena umur jauh lebih rumit dan berat untuk tidak dibela.


Tigapuluhdua,

Setelah menginjak kepala tiga, saya mulai sangat paham gambar besar hidup. Tiada lagi ruang-ruang yang harus disesali, namun dijalani saja. Impian “sukses” sesuai standar eyang putri hingga saat ini tiada pernah saya raih. Baik jadi PNS, jadi pegawai maupun kerja kantoran. Namun tidak sukses bukankah biasa saja. Ada banyak teman-temanku juga tidak menemui keberhasilan dari apa yang dia kerjakan sepanjang hidupnya. 

Kini, kesuksesan itu mungkin berwatak lain. Saya dan Rendra mewarisi apa yang dari darah saya punya, yaitu kemampuan untuk mengajar dan memberikan banyak sekali ilmu pada orang lain. Kami kemudian tetap menjadi “guru” persis dengan apa yang bapak dan ibu kerjakan di masa-masa lampau. Mediumnya mungkin berbeda, tidak harus sekolah tapi komunitas, mungkin juga tanya-jawab receh di media sosial, hingga pergerakan-pergerakan serius untuk misi-misi jangka panjang maupun jangkap pendek. 

Sebagai anak, menjelang kepala tiga saya juga yakin bahwa saya dan Rendra bukanlah anak-anak orang tua saja. Jika diukur dengan terminologi keluarga utuh ala BKKBN jelas kami bukan jadi rujukan yang tepat. Versi puitiknya, Saya dan Rendra adalah anak yang diasuh oleh jaman. Kami sepanjang hidup punya banyak sekali orangtua asuh, baik secara keilmuan, secara kebudayaan maupun sekedar numpang tidur dan makan. Jika kami pada suatu masa tidak mendapatkan itu dirumah, justru keberkahan lainnya. Ada kemungkinan-kemungkinan lain yang tersusun acak dalam setiap simpang jalan hidup yang nyatanya untuk mendugapun kerap kami salah.


Tigapuluhdua,

Eyang putri sudah mendahului berpulang dengan banyak peristiwa spiritual yang secara pribadi aku alami baik dalam mimpi maupun kasat mata. Menggiring diri pada sebuah fragmen lain dari hidup. Dimana otentisitas hidup memang bukan soal ukuran, namun merefleksikan bagian dari hidup supaya mau diukur dan kemudian dibalaskan kembali ukuran itu pada hidup kita di jenjang masa depan. 

Di fase ini mungkin saya harus kembali lagi ke masa-masa SMA. Masa dimana saya harus mengenal gereja, mempelajari alkitab siang-malam hanya untuk pergerakan, kini hal itu mungkin datang namun dengan lebih mendalam.  Iman.

Dalam menjalani hidup tentu ada saatnya benar-benar kalah oleh nasib dan keadaan. Rasa-rasanya hidup ingin mati saja, dan memungkasinya supaya tidak menjadi beban sekaligus tidak menanggung sakit kepala yang teramat karena beneran capek deh. Dari situlah iman teruji. Persis seperti dua kali di masa sebelumnya aku mengundurkan diri persis ketika ditawari sebagai owner distributor komputer dan smarphone, serta memutuskan untuk pulang dari bekerja di BUMN teknik sipil terbaik milik negara.

Hal itu yang mungkin jadi hal ketiga, jika suatu hari aku ditanyai apa hal yang kamu menyesal, tapi tetap tidak ingin fase itu terlewatkan?

Manusia-manusia diuji kemungkinannya oleh banyak hal. Sebelum pandemi bahkan untuk kepentingan eyang putri yang terus ditagih hutang rentenir. Saking gelapnya pikiran, sebegitu kembali dari WIKA, warnet sudah tutup dan umur sudah 27, mau kerja apalagi, tidak punya fisik yang bagus, skill khusus yang lazim ditemui di desa seperti bengkel dan tukang atau tani, juga tidak punya ijazah untuk mengakses. aku sempat pula bekerja jadi tukang angkut bir di rumah-rumah mereka yang menggelar hajatan. Ngeri juga melakoni pekerjaan yang dikutuk agama ini selama beberapa bulan. Namun bisa bertahan pula.

Atau sempat pula ketika Pandemi berlangsung, uang tinggal empat puluh ribu dan disitulah iman kembali diuji. Saya pernah menawar ke Tuhan lagi, kalau engkau memang Maha Kuasa mana? Masak aku mau ditelantarkan begitu saja.

Katanya “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”*.

Sempat menagih, memang tak dikabulkan dengan cepat namun lumayan membaik pula. Iman dan iman terus menerus, itu yang mengubah banyak sekali pandangan tentang hidup. 

Tigapuluhdua,

Berbeda dengan sepuluh-duabelas tahun lalu, kini saya tidak lagi berambisi untuk kaya atau punya uang banyak dengan menghabiskan waktu bekerja dan terus bekerja. Dari data-data yang saya punya ketika menjadi pekerja data saya yakin, jika menempuh jalur normal saya tidak mungkin memenangkannya. Tapi seperti kita semua tahu, saya dan anda punya Tuhan yang Maha Pemberi kekayaan. Kalau dulu dogma-dogma sering saya anggap penenang dan tahayul kebudayaan timur tengah yang membatasi keinginan manusia. Kini, saya mulai masuk lebih dalam bahwa memang manusia harus pada level tertentu dan berdiam disitu sebelum naik level diatasnya. 

Ada banyak orang yang juga tidak siap dengan kekayaan. Kita bisa mencari contohnya dari hal-hal yang ada disekeliling kita, karena minimnya pengausaan mental kepemilikan kapital yang besar orang akhirnya tidak jelas cashflownya dan mendatangkan banyak sekali ancaman-ancaman hari buruk di hari mendatang. 

Dengan sangat yakin, hari ini memandang hidup dan kemungkinannya atas semua aspek yang dimiliki/dititipkan kepada manusia sebagai individu, saya melihat hal lain. Justru keberkahan mengalir dari situ. Manusia jelas tetap butuh uang dan uang bisa mengatasi banyak hal. Namun tak semua. Hari-hari ini kita jelas dihadapkan pada banyak sekali kesepian dan kegoncangan hidup yang justru lahir dari ketidakmapanan batin serta kegelisahan akan masa mendatang yang sama-sama tidak kita ketahui.

Hidup kemudian dilakoni biasa-biasa saja tapi tetap serius. Serius yang aku maksud adalah tidak berkhianat terhadap kemampuan yang kita miliki dan menyalurkannya kalau perlu kepada orang lain jika diperlukan. Dari situ kemanfaatan hidup biasanya akan memanggil kemungkinan lain, itu yang kualami hingga saat ini. 

Manusia kini berproses, bisa dibilang hari ini saya tidak punya pekerjaan tetap apapun. Namun, nyatanya saya tetap hidup, sehat dan slamet. Hari-hari ini mungkin adalah hari kebebasan saya yang paling bebas, bebas untuk pergi kemanapun, menyambangi siapapun dan berhitung dengan banyak hal lagi. Meskipun fase ini tentu saja sepi, perkawanan tidak seramai dulu ketika SMA atau usia dibawah 25, namun tiada yang disesali. Pilihan tetaplah pilihan, meskipun kerap mengecewakan nyatanya kita melewatinya dan mengambil pelajaran darinya.


Tigapuluhdua,

Tuntas sudah rasa penasaran saya terhadap apa yang dialami ibuk. Tekanan hidup, tensi batin, konflik-konflik keluarga, dilema-dilema sosial sampai beragam konsekuensi atas konjungsi-konjungsi yang dipilih. Saya paham betul di usia ini banyak orang pikirannya berhenti, daya kritis dan keseimbangan nalarnya kerap guncang karena kebutuhan internal keluarganya. Saya menyaksikan itu dirumah-rumah kawan saya, atau di percakapan medsos. 

Mungkin juga beruntung hingga detik ini masih belum memutuskan untuk menikah. Banyak yang mempersoalkan nanti anak-anak yang lahir melihat bapaknya menua ketika mereka baru mulai dewasa. Nyatanya tidak demikian, sampai detik ini sejak belasan tahun yang lalu saya sudah dan terus melahirkan banyak sekali anak-anak jaman. Mereka datang dan pergi seperti laron di musim penghujan, datang kemudian pergi, dan beberapa kembali lagi untuk mengucapkan terimakasih atau sambat karena terkaget-kaget dengan realitas hidup yang makin nyata makin tidak menyenangkan. 

Hari-hari depan adalah misteri, dan buat apa disesali. Sekali waktu mungkin saya akan merepotkan banyak orang dan saya berhutang banyak sekali kepada mereka. Hutang-hutang rasa itu kian menumpuk, dan mungkin tidak akan pernah terbayar. Namun percayalah, suatu hari akan terbayar lunas. Karena sama seperti kejahatan, kebaikan pun berbahaya laten.

Terimakasih untuk semua bintang dan planet yang beredar di sekitar galaksiku selama tigapuluh tahun ini. Aku akan datang kepada kalian lagi, sebelum kita semua berpulang. Tumpek sudah wetonnya, baiklah mari kita akhiri saja.

Bahwa sumber segala kisah adalah kasih

Bahwa ingin berasal dari angan

Bahwa Ibu tak pernah kehilangan iba

Bahwa segala yang baik akan berbiak

- Joko Pinurbo, Kamus Kecil


Surakarta, 8 Juli 2022

Indra Agusta




*Carilah dahulu kerajaan Allah dan segala kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu


No comments:

Post a Comment