image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Sunday, April 3, 2022

Sudah setahun, Eyang berpulang

 Apa yang kamu lakukan jika suatu hari kamu mendapatkan kabar bahwa orang yang sangat kamu kasihi akan meninggal?

Akhir 2019, dalam proses kontrol di Moewardi yang kesembilan. Saya ditarik oleh lelaki yang berbaju putih, seorang dokter, bapak masih nunggu diteras, berbisik dia bilang mungkin usia hidup eyang tinggal satu bulan. Hal itu yang kemudian menjadi kekalutan batin yang paling kelam dalam hidup yang pernah saya alami sepanjang 31 tahun ini. Batin saya tergoncang hebat, panik dan stres. 

Tahun 2002 saya pernah mengalaminya, ketika ibu saya mau meninggal selepas pulang dari rumah sakit dan berbisik-bisik keluarga saya mengulangi kata dokter kalau sudah tidak ada harapan. Benar, keesokan harinya ibu saya berpulang. Saya masih kelas enam SD waktu itu.

Namun, kali tentu saja berbeda saya menerima kabar ini dengan sadar dan dalam kondisi sangat matang dan dewasa untuk memikirkan banyak hal. Akhirnya saya putuskan untuk memendam sendirian, tiada yang boleh tahu apalagi eyang putri. 

Bapak juga sudah lama cuek soal kesehatan eyang, saya menanggung biaya kesehatan sampai transportasi kontrol dan lain-lain sendirian, sejak masih kerja di warnet. Tidak pernah saya meminta uang kepada bapak atau Rendra, sebisa mungkin kalo bisa ditanggung ya dikerjakan sendirian. 

Malam-malam kemudian semakin gelap. Saya tidak kuat melihat kondisi eyang yang semakin hari semakin pucat, mengaduh dan meronta karena kankernya makin sakit. Saya ingat betul ketika eyang mulai lupa mematikan TV, pompa air, sampai kompor gas hingga terakhir selalu menyisakan "pub"nya di lubang kakus. Hingga penyakit itu mendera semakin panjang. 

Awal Januari 2020 saya minggat dari rumah, seperti orang gila menyusuri hampir separuh Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan motor Mio putih. Melintas sepanjang pantai selatan Jawa, tidur di warung-warung kelapa muda yang kosong dan di pom bensin. Hingga sempat ingin mengakhiri hidup saja ketika sampai di Jogja. Sesuatu yang tidak pernah saya sesali hingga saat ini, namun batal karena ada ibu-anak mengemis minta uang didepan saya ketika saya sedang ingin mengakhiri semuanya.

Kebuntuan akan hidup, dan perasaan gagal sebagai manusia menghantui.  Di sekitar problema lainnya mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa tidak ada memang yang kekal di bumi. 

Ya, sampai eyang meninggal bahkan bapak, keluarga dan tetangga hanya tahu eyang sakit karena tua. Sempat bahkan mendapatkan beberapa cibiran tetangga, karena tak pulang sampai eyang putri dijemput Tuhan. 

Tapi adakah yang bertanya tentang kondisi batin dan psikis saya? tidak ada. 

Saya berjuang sendirian. 

Saudara datang hanya ingin mencari keuntungan dibalik krisis. Menjadi mafia berharap tanah bisa dijual murah kepada mereka ketika saya sedang tidak punya uang. Pernah pula eyang diberi ayam geprek basi oleh saudara, bajingan betul memang. Saya hafali wajah-wajah mereka.

Ketika operasi tumor kedua dan ketiga tidak ada tetangga yang datang mejenguk. Karena pandemi, saya menunggu sendirian di bilik kamar rumah sakit. Saya ingat itu adik-adik pualam sampai membawakan makanan, saking saya tidak mau pergi dari ranjang eyang. Juga bingkisan snack dari Sidiq, atau tumpangan mobil dari Ory "gapuk", mas Beny dan lain-lain.

Saya ingat betul kebaikan-kebaikan orang yang justru bukan keluarga saya dalam perjuangan mengurusi eyang selama 3-4 tahun ketika tumor itu mengganas jadi kanker. Sampai akhirnya eyang "berpulang".

Benar, saya tak kuat menanggung derita tentang kematian yang mendekat. Sama sekali tak tega jika harus melihat maut mengendap-endap. 

Saya datang ketika maut lewat, malam sebelumnya eyang menampakkan diri dalam sebuah mimpi, lalu penampakan dengan jelas kepada Umu selepas saya menancapkan dupa di sebuah perkemahan di pinggir hutan.

Jumat Agung, 3 April 2021, Eyang putri pamit. 

Omongan dokter tidak terbukti, eyang masih dapat bonus hidup satu setengah tahun lagi.

Oleh penglihatan banyak teman, perjalanan dari hutan hingga kerumah itu saya diikuti semua bangsa jin, ruh dan lelembut. Apalah itu, saya tidak bisa melihat. Yang saya tahu perjalanan 4 jam itu penuh kabut dan mendung, segera buyar persis ketika saya sampai depan peti mati eyang. 

Saya sempat terisak menangis sebentar, merasa gagal sebagai cucu karena banyak hal yang diinginkan eyang seperti pernikahan saya dan Rendra, atau melihat saya melahirkan anak saya. 

Tapi sekaligus sangat puas, saya kehilangan ibu dan otomatis sejak itu eyang putri menjadi ibu saya. Dan sepanjang hidup saya berjanji sekuat-kuatnya tetap menanggung diri agar tetap bisa disamping eyang dan menemani beliau. Saya pernah kerja di WIKA, pernah jadi owner distributor komputer, pernah dapat tawaran untuk jadi buddy diving di Bunaken dan segala tawaran kerja lainnya. Tapi saya akhirnya pulang kerumah, kerja serabutan, kerja di warnet tapi asalkan eyang ada teman. 

Uang dan kekayaan tidak begitu menggoda saya untuk meninggalkan hormat saya pada ibu saya yang kedua ini.

Saya tahu Rendra untuk banyak alasan memang tidak akan mungkin pulang kerumah dalam waktu dekat, sementara waktu itu bapak saya dan ibu baru tidak pernah pulang. Segala tanggungan ada di saya waktu itu. Dan ketika eyang selesai dimakamkan segala beban juga tetap saya tanggung, berhutang sana-sini demi lancarnya prosesi pemakaman sampai peringatan tujuh harian. 

Sudah setahun berlalu, tapi rasanya baru kemarin salib itu tertancap pada tanah. 

Saya ingat betul rekan-rekan Himalawu datang kerumah, menyiapkan banyak hal dengan tetangga, juga banyak teman lain datang kerumah. Saya berjanji pada diri saya sendiri, saya akan membalas satu persatu kebaikan teman-teman, dengan cara yang bisa saya berikan kepada njenengan semua. 

Dan saya berutang banyak sekali material, immaterial, doa dan tentu saja utangrasa yang tidak akan mungkin saya bisa bayar sampai kapanpun kepada kawan-kawan dekat saya terutama. Juga semua pihak yang turut serta menyempurnakan jasad eyang. 

Sampai hari ini, saya masih gemetar ketika menyiapkan bantal, mengganti sprei dan membersihkan kamar eyang. Kenangan itu terus menerus hadir, seringkali juga takut pulang karena saya hanya akan menangis karena rindu, atau karena banyak hal yang jadi kenangan. Ingin rasanya menuliskan semua kisah tentang eyang, namun ternyata batin saya tidak cukup kuat menampung tangis dan rindu. 

Kisah-kisah itu masih menjadi memori, semoga saya tidak segera lupa untuk segera menuliskan kisahnya. semoga pula Tuhan memberi hidup dan umur panjang kepada saya untuk menyelesaikan kisah-kisah pribadi saya dengan eyang. 

Malam-siang berlalu, maturnuwun eyang putriku, sampai jumpa lagi. 

Sumangga Gusti.

3/4/21 - 3/4/22

#agustaisme


No comments:

Post a Comment