image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, November 21, 2022

Rosje


Dalam kamarnya yang temaram, Rosje menuliskan sebuah laporan dalam secarik kertas. Setelah penanya berhenti menggores, kertas itu dilipat dan dimasukkan ke dalam sebuah amplop berwarna cokelat. Laporan itu bukan pertama kalinya dilayangkan ke kantor Veldpolitie1 di Karanganyar, kali ini yang kesebelas.

-

Rosje adalah seorang akuntan. Ia sebenarnya lahir di Batavia, namun, karena ayahnya ditunjuk bekerja kepada Adipati Mangkunegara IV terkait sewa-menyewa lahan, maka ia kemudian mengikuti jejak ayahnya ke jantung pulau Jawa. Tak berselang lama seusai lulus kursus akuntansi di Djawatan Akuntan Hindia, Rosje dipekerjakan di suikerfabriek te Tasikmadoe2. 

Pada sebuah bangunan loji Belanda ia tinggal, di sebuah padukuhan Jawa bernama Ngijo persis di sebelah timur Ambachtsschool3, bersebrangan pula dengan hulpziekenhuis4. Dari depan rumahnya Rosje bisa melihat lalu-lalang orang desa berjualan aneka kudapan di sekitar pabrik atau memanggul kembang gula ke kota Karanganyar yang jaraknya cuman satu pal. Setiap hari ia berjalan kaki menuju pabrik, sembari melihat-lihat sekeliling pabrik yang rimbun dengan pohon Munggur. Kantornya terletak tepat di dalam kompleks utama pabrik. Sebuah bangunan loji besar bergaya indis, dengan tiang tinggi, pintu-jendela yang berukuran bersar, lengkap dengan berderet pot bunga beraneka-ragam.

Ruangan Rosje terletak diujung sebelah kiri, setelah meja pertemuan yang berada di tengah ruangan. Setumpuk buku tagihan menjadi dekorasi utama ruangannya, berderet pula laporan tahunan jumlah produksi tanaman, buku gaji karyawan, hingga kumpulan faktur pajak kepada sang Adipati. Pekerjaannya setiap hari hanya memastikan semua dokumen sudah diselesaikan dan terarsipkan dengan baik. Rutinitas itu berulang, sesekali sebatang rokok mengepul di jarinya, untuk menghalau kejenuhan. Hari-harinya datar, sampai suatu pagi Tuan D. Winter sang komisaris pabrik mengharuskan dan datang mejanya.

 “Rosje, bulan depan perusahaan kita jadi tuan rumah konferensi pengolahan lahan, bung siapin ya, jangan malu-maluin perusahaan, pastikan penyakit tikus sialan itu tak menjangkiti para tamu!”.

Enam tahun lalu wabah pes memang sudah menerjang Surakarta. Konon, penyakit demam itu ditularkan lewat tikus-tikus di seputar stasiun Sala Kasunanan Jebres. Kabar baiknya wabah itu belum menjangkiti kawasan pabrik gula tempatnya bekerja.

*

Jelang acara, Rosje dibantu sebuah tim kecil yang dengan sigap menyiapkan segala sesuatunya. Perihal mencari tempat inap untuk tamu di losmen terbaik di kota, ruangan untuk bersantai, makanan, dan tak lupa jamuan minum untuk para tuan. Rosje memastikan semuanya tak terlewat. Acara ini adalah perhelatan yang sangat besar, harus sempurna, menurut Tuan Winter. Konferensi tersebut akan dibuka langsung oleh tuan Residen Surakarta beserta Gusti Adipati Mangkunegara dan Sunan Surakarta sendiri. Dikirimkannya pula surat perijinan dan pemberitahuan baik ke ke kantor Burgerlijk Geneeskundige Dienst, pangreh praja setempat dan tentu saja opsir polisi.

Namun semakin mendekat tempo, banyak karyawannya dilaporkan jatuh sakit. Semula Rosje tak menggubris, karena menganggap sakit panas biasa seperti yang sudah-sudah. Hal itu berubah menjadi perhatian serius Rosje ketika seorang pekerja dilaporkan meninggal. Bermula dari yang pertama, malaikat maut  datang susul menyusul dan makin mengerikan.


*

“Pagebluk ini tuan Rosje, pagebluk ini, duh Gusti Pangeran, setelah tigapuluh tahun Ngelano yang aman ganggas-waras kini desa  terkena hujaman rajapati lagi” Kata Wardi, asisten dengan gemetar di meja ruangannya.

“Duduklah dulu War, kau mau kubuatkan minum dulu?” tukas Rosje menenangkan asistennya.

Rosje lalu berdiri keluar dari ruangannya, memanggil pelayan di dapur untuk membuatkan Wardi secangkir teh lalu duduk kembali di mejanya.

“Rokok?” tangan Rosje mendorong sebungkus kretek ke depan tempat duduk Wardi. Wardi hanya menggelengkan kepala, sembari sesekali melemparkan sudut matanya pada pemandangan pabrik di luar jendela kantor Rosje.

 “Memang dulu ada pagebluk apa?”

“Kurang paham tuan Rosje, yang jelas banyak yang mati karena demam dan bintik-bintik, kata pak Demang namanya pagebluk cacar, saya masih kecil waktu itu, juga cerita simbok, katanya banyak warga desa disini meninggal.

Apakah ini kutukan, ya, tuan Rosje, atau malah ini firasat buruk pada konferensi besok, atau malah ini lambang kejatuhan pabrik ini? saya takut tuan..”

“Sssh, jaga pembicaraanmu! Kau ini, sudah bertahun-tahun bekerja bersamaku masih percaya tahayul”

Secangkir teh datang, Wardi berlalu tak mau menunggu, hening sekejap menyergap. Rosje duduk mematung, tangannya mengetok-ketok ujung penanya ke meja. Gemetar. Sebagai seorang Belanda ia tentu tak mempercayai hal-hal berbau mistik dan klenik, tetapi ia merasa was-was jika kematian pekerja semakin banyak, maka produksi panen gula bisa terganggu, bahkan bisa bermakna akhir karirnya sendiri. Wabah ini mulai mengusik batinnya.

**

LANDCONFERENTIE TE TASIKMADOE

29-12-1915

Spanduk dari kain berwarna kuning dengan tulisan hijau itu sudah dibentangkan di depan pabrik, persis diantara dua tiang besi yang jadi gapura masuk ke areal suikerfabriek. Seminggu lagi konferensi dimulai. Diwartakan KRMT Panji Sumonegoro regent Sragen akan hadir sebagai pembicara.

Rosje beberapa kali pernah sowan ke kediaman beliau. Selain seorang regent5, Sumonegoro adalah ahli ilmu tanah dan tata air. Pengalamannya dalam mengelola lahan diakui brilian, beliau sebelumnya banyak mengisi seminar-seminar agraria untuk memaksimalkan hasil produksi. Bermacam tanaman wajib seperti kopi, cokelat, dan terutama tebu memang perlu perawatan khusus. Tasikmadu sendiri sebagai kawasan perkebunan masuk wilayah afdeeling Sragen maka tentu sah-sah saja jika nama beliau masuk dalam daftar pembicara utama. Rojse selain menjadi utusan pabrik, kerapkali juga membicarakan masalah kesehatan para tuan-tuan Eropa di Jawa dengan beliau. Sumonegoro juga terkenal punya beberapa dokter pribadi yang andal.

**

Nasib ternyata tak bersimpati pada Tasikmadu. Diluar pabrik seluruh desa terjangkiti wabah pes. Tak pernah ada yang tahu siapa yang membawa wabah ini ke areal pabrik gula. Kenyataanya. para pekerja semakin banyak yang mohon ijin tidak bekerja. Beberapa mereka terserang demam pes, beberapa yang lain menunggui keluarganya yang sakit. Penyakit ini merata di seluruh wilayah Tasikmadu, desa Ngelano yang paling parah. Minggu ini setiap hari setidaknya ada delapan orang meninggal dalam kondisi yang memprihatinkan. Dan yang paling meruntuhkan hati Rosje, bahwa maut datang pula menimpa Wardi.

Kaget mendengar kabar, malam itu juga Rosje bertandang ke rumah duka. Dengan sepeda kayuh pabrik ia bergegas. Rosje telak mengabaikan peringatan tuan D. Winter untuk sama sekali menghindari aktivitas selain di loji rumahnya dan pabrik gula. Dengan penerangan senter kecil ia sampai di rumah Wardi yang sudah penuh sesak dengan pelayat. Penduduk yang duduk-duduk di teras rumah seperti menyibak melihat kedatangan tuan Rosje. Suara tangis istri Wardi masih sayup-sayup di ruangan belakang. Sementara di ruang tengah jenazah Wardi ditutupi kain jarik batik berwarna cokelat diatas sebuah ranjang dari bambu.

“Wardi, wardi....” Rosje berdesis seraya membuka kain penutup jenazah. 

Di depannya kini terlihat jelas, wajah yang biasa sumringah di kantor itu kini menghitam dengan bau busuk yang cukup menyengat. Sembari menahan-nahan untuk tidak menangis, Rosje kemudian pamit sembari menghaturkan sebuah amplop berisi uang untuk keperluan ubarampe pemakaman. Sedikit tergesa kayuh kaki menuju loji, sepanjang tapak air matanya mulai berlinangan. Matanya semakin panas, amarahnya meruak. Dahinya mengernyit,

“Gila ini penyakit”, katanya dalam hati.

 *

Sesampai di loji sepeda disandar begitu saja dibawah teras. Lampu temaram kamar menerangi suara jari-jari yang bergemeletak. Kantuk luruh, seiring perasaan batin yang bergemuruh. Sebuah surat kawat diketik, isinya singkat dan sangat jelas.

 

Untuk Tuan D. Winter.

Tuan kondisi makin gawat besok rapat di pabrik pukul sembilan pagi

 

Seusai diberikan kepada pelayannya untuk dikirimkan, Rosje rebah di lubuk tidurnya, matanya nanar menatap selambu di langit-langit ranjang. Pejam.

Keesokan harinya rapat direksi digelar, setelah Rosje melaporkan keadaan, Tuan Winter lalu mengambilalih rapat dan segera memberi arahan-arahan atas situasi. Pabrik ditetapkan tutup untuk sementara waktu. Rosje mengawatkan edaran kepada camat, lurah dan veldpolitie supaya warga berhenti beraktivitas. Namun edaran itu dianggap angin lalu oleh pejabat lokal.

**

Dalam kamarnya yang temaram, Rosje menuliskan lagi sebuah laporan dalam secarik kertas. Setelah penanya berhenti menggores, kertas itu dilipat dan dimasukkan ke dalam sebuah amplop berwarna cokelat. Laporan itu bukan pertama kalinya dilayangkan ke kantor Veldpolitie1 di Karanganyar, kali ini yang kesebelas. Rosje mengantarkan sendiri suratnya.

Begitu sampai di sana, para polisi Jawa berkulit coklat itu malah menertawainya. Selepas seutas senyum dan sebuah anggukan, opsir tadi menerima dan langsung membuang amplop cokelat itu di tempat sampah ketika Rosje masih berdiri di depan meja sang opsir. Tawa meledak, seperti malapetaka yang terus datang kemudian.

Gelombang maut datang lebih hebat, bak gulungan-gulungan ombak datang silih berganti. Belasan penduduk mati setiap hari, jumlahnya terus membengkak. Veldpolitie yang abai opsirnya mulai bertumbangan. Meskipun, begitu mereka malah menyalahkan pabrik sebagai biang-kerok lelara ini. Sikap para opsir menjadi semakin acuh pada siapapun yang bekerja pada pabrik gula, apalagi Rosje seorang kulit putih.

Sepulang dari kantor veldpolitie Rosje membanting daun pintu ruangannya.

Godverdomme!, Anjing memang orang-orang pribumi itu, aku sudah belasan kali memberi peringatan tak digubris, kini ketika semua terjadi mereka malah menuding balik pabrik, gila memang, gila dunia ini gilaa! ahhh”

Konferensi akhirnya batal digelar. Setelah beberapa kali rapat direksi Rosje terbaring sakit di lojinya. Wabah itu mengetuk pintu rumahnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya menggigil dan kejang-kejang lalu terbuai lemas sepanjang hari. Setelah dua minggu tangannya busuk menghitam. Dalam pembaringan dengan terbata-bata ia menjawab pertanyaan seorang wartawan Bataviaasch Nieuwsblad.

Kondisinya makin memburuk hari berikutnya. Akhirnya nyawa Rosje tidak tertolong meskipun regent Sragen mengirimkan dokter terbaiknya. Kampung Nglano mulai reresik, membakari sebagian rumah yang disinyalir terkena tikus yang membawa virus Pes. 14 Januari 1916, koran memuat apa yang dibicarakan Rosje jelang kematiannya.

“de politie van de geteisterde kampong deugtblijkbaar, zij dient hos eer hoe beter geheel vervangen te worden6 demikian kesaksian Rosje.

 

***

 

 

1.   1. Suikerfabriek te Colomadu : Pabrik Gula Colomadu

2 2.Ambachtsschool : Sekolah kejuruan, setara SMP namun fokus pada keahlian tertentu

3. 3.Hulp-ziekenhuis : Puskesmas, klinik kesehatan biasanya milik perusahaan.

4. 4.Burgerlijk Geneeskundige Dienst : Dinas Kesehatan Masyarakat milik Pemerintah

Hindia Belanda dalam menanggulangi wabah Pes.

5. 5. Regent : Bupati

6.6.Polisi-polisi ini ditengah kampung yang porak-poranda karena kematian, kelakuan mereka ternyata ‘berbudi luhur’, mereka seharusnya diganti dengan yang lebih baik.


Cecerpen ini dikirimkan sebagai naskah lomba cerpen Kamarkata, Karanganyar dalam rangka bulan bahasa dan HUT Kab. Karanganyar dan berhasil menjadi Juara I.

 

 

Thursday, July 7, 2022

32

 TIGAPULUH DUA 

Rasanya seperti tidak pernah percaya bahwa nafas hidup bisa melenggang sedemikian panjang, Terhenyak, putaranya sampai pada angka tiga puluh dua. 

Konon angka ini keramat, bahkan teramat sangat sakral untuk diri pribadi. Ibuku meninggal jelang usianya yang ke -32, ketika aku berusia duabelas dan harus dengan mantap menatap ujian kelulusan sekolah keesokkan harinya. 

Sejak hari keramat itu, sejak kecil, tanpa disuruh siapapun aku seperti punya cita-cita dan tawaran kepada Tuhan kalau bisa hidup saya tuntaskanlah minimal seusia ibu saya hidup. Rasa penasaran teramat dalam, berbagai macam pertanyaan lahir, bagaimana hidup selama itu, meskipun pengalamannya berbeda, namun tensinya aku kira sama. 

Dan Tuhan mengabulkan cita-cita sederhana anak kecil itu. Ketika tulisan ini terbit, beberapa jam lagi aku akan sampai pada apa yang kuimpikan itu. Aku mungkin entah dimana, mungkin menyepi, mungkin merayakannya dengan beberapa kawan. 

Ulang tahun kali ini saya mungkin akan bercerita soal pekerjaan, karya, nyambut gawe sebuah proses yang dialami manusia manapun. Proses yang kerapkali terlupa karena biasa, namun saya anggap ini proses penting karena begitu mendewasakan pula dalam setiap kejadiannya.


Tigapuluhdua,

Waktu yang jangkep untuk menyadari segala hal. Ilmu-ilmu yang diserap baik oleh guru maupun segala maca..m buku memberikan banyak sekali tawaran serta pertimbangan dalam keberpihakan hidup. Saya melihat dunia yang jahat ini semakin jelas. 

Selain kematian, saya menyaksikan keruntuhan, dan surutnya manusia-manusia yang dulu mengitari saya dan berharap bisa ikut “menjarah” dari apa yang tersisa dari surutnya keluarga kecil kami. Dunia yang buas itu menampakkan wujudnya dengan sangat meriah. Pembalasan demi pembalasan secara kontan kemudian berubah menjadi nyata begitu saja. Namun biarlah, itu bukan urusan saya, tapi saya mengingat segala kebaikan dan kejahatan manusia terhadap apa yang saya alami dan keluarga kecil saya. 


Tigapuluhdua,

Mengalami banyak perubahan untuk bertahan hidup. Dari mbungkusi kerupuk rambak di pabrik Lik Welas setelah ibuk meninggal, mengamen di stasiun, pasar, dan bis kota ketika SMP, lalu ditolong seseorang untuk bertahan dengan menjaga outlet Pop-Ice di teras kantor kepegawaian daerah, sampai yang tidak kalah lupa ada Romo-romo Katolik yang kerap mentraktir saya makan di kantin mas Parmin ketika SMP. 

Ketika SMA tentu saya bisa mengupayakan lebih kuat lagi. Saya bisa bertahan hidup dengan membantu menyelesaikan pekerjaan sekolah teman-teman, mengikuti banyak sekali kegiatan ekstrakurikuler dan memenangkan banyak lomba. Segala potensi-potensi yang ada didalam diri seperti meluncur begitu saja. Kawan semakin banyak, dan tiada perlu berfikir lagi jika masalahnya hanya sekedar makan siang. Pasti bisa, namun tentu saja tidak ada pernah ada makan siang gratis. Simbiosis mutualisme gitu saja yang mengalir dari beragam perjumpaan. 

Setelah lulus SMA, jelas tiada lagi tiket untuk masuk ke kampus karena ketiadaaan biaya. Pun dengan Rendra yang harus mandeg selama setahun dan mencoba keberuntungannnya daftar tentara. Terang, sejak SMA aku berjanji pada eyang putri dan ibuk, jikalau kelak waktunya aku keluar dari sekolah tiada pernah aku akan meminta uang sepeserpun pada bapak atau istri barunya. Waktu yang kembali mengijinkan janji itu tetap terpenuhi hingga saat ini. 

Realitasnya tentu tidak gampang. Setelah itu aku harus berkali-kali melamar jadi CPNS untuk nglegani eyang putri, dan berkali-kali ngelamar semua BUMN dengan kualifikasi lulusan SMA. Namun terus gagal. Pengalaman gagal, ditolak, dikecewakan oleh sistem, dan beragam ketidakadilan lainnya membuka banyak paradigma hidup. Memang jahat betul hidup ini. Dulu aku mengira dengan kepintaran dan intelegensia yang maksimal dibangun cukup untuk membawa manusia pada jenjang yang ia ingini, nyatanya tak demikian. Ada banyak hal lain yang ditempuh, termasuk hal-hal yang selama ini tidak pernah aku miliki. Akses, privilese dari yang punya memo kepegawaian atau kapital, duit yang maha besar untuk menyogok panitia penerimaan. Umpatan-umpatan yang sering terdengar klise, atau bagi mereka yang menang kadang secara sepihak dianggap sebagai “pledoi orang-orang kalah”. Mungkin saja begitu juga ada benarnya.

Menjadi operator warnet sekaligus maintenance printer, buka jasa instal ulang, rental pengetikan, jualan teh botol dan snack, jualan pulsa dan yang terakhir buka rentalan peralatan naik gunung bisa jalan dalam suatu waktu yang bersamaan. Aku menemukan jalan itu dari bilik-bilik warnet. Masih merasa kurang karena kebutuhan sakit eyang putri kala itu belum tercover BPJS, aku sempat ikut jadi tour guide wisata, jadi fasilitator outbond, guide pendakian gunung. 

Ambisius untuk menjadi orang kaya, dan berfikir punya duit banyak adalah segalanya sekaligus ingin menjadi cucu yang berbakti kepada eyang karena selama ini beliau yang menggantikan ibu dirumah. Pergolakan batin terus terjadi, tarik menarik antara keinginan-keputusan dan pertimbangan lainya supaya tetap di Sragen sempat menjadikanku sebagai orang yang memuja berhala kekayaan itu. 

Namun hal itu tidak lama. Sakitlah yang merenggutnya. Beberapa hari ambruk dan tidak berani pulang kerumah karena takut eyang putri tahu cucunya sakit, akhirnya hanya rebahan di warnet dan meminta tolong orang lain. Sejak saat itu aku menimang ulang omongan-omongan bahwa kalo kita kerja keras pasti kaya, kalau rajin pasti akan bisa kumpulin banyak duit. Mblegedes, alih-alih kaya saya justru harus berhenti dan menaruh impian itu dibawah bantal. Lalu mencari-cari lagi dan memang benar, sistemnya ini ada yang salah dan tidak mungkin berpihak, hingga akan mencapai stratum tertentu dari kepemilikan kapital.

Ketika usia menginjak 25, saya tahu ada yang lebih krusial dalam hidup yaitu keberpihakan. Saya telak memilih kemanusiaan, keharusan untuk tetap dirumah meskipun hidup ya gini-gini aja daripada meninggalkan eyang putri. Satu-dua tawaran memang pernah menggoyahkan itu karena kebutuhan hidup nyatanya meraung lebih keras. Tapi, sekali lagi tangis orang tua yang kelelahan karena umur jauh lebih rumit dan berat untuk tidak dibela.


Tigapuluhdua,

Setelah menginjak kepala tiga, saya mulai sangat paham gambar besar hidup. Tiada lagi ruang-ruang yang harus disesali, namun dijalani saja. Impian “sukses” sesuai standar eyang putri hingga saat ini tiada pernah saya raih. Baik jadi PNS, jadi pegawai maupun kerja kantoran. Namun tidak sukses bukankah biasa saja. Ada banyak teman-temanku juga tidak menemui keberhasilan dari apa yang dia kerjakan sepanjang hidupnya. 

Kini, kesuksesan itu mungkin berwatak lain. Saya dan Rendra mewarisi apa yang dari darah saya punya, yaitu kemampuan untuk mengajar dan memberikan banyak sekali ilmu pada orang lain. Kami kemudian tetap menjadi “guru” persis dengan apa yang bapak dan ibu kerjakan di masa-masa lampau. Mediumnya mungkin berbeda, tidak harus sekolah tapi komunitas, mungkin juga tanya-jawab receh di media sosial, hingga pergerakan-pergerakan serius untuk misi-misi jangka panjang maupun jangkap pendek. 

Sebagai anak, menjelang kepala tiga saya juga yakin bahwa saya dan Rendra bukanlah anak-anak orang tua saja. Jika diukur dengan terminologi keluarga utuh ala BKKBN jelas kami bukan jadi rujukan yang tepat. Versi puitiknya, Saya dan Rendra adalah anak yang diasuh oleh jaman. Kami sepanjang hidup punya banyak sekali orangtua asuh, baik secara keilmuan, secara kebudayaan maupun sekedar numpang tidur dan makan. Jika kami pada suatu masa tidak mendapatkan itu dirumah, justru keberkahan lainnya. Ada kemungkinan-kemungkinan lain yang tersusun acak dalam setiap simpang jalan hidup yang nyatanya untuk mendugapun kerap kami salah.


Tigapuluhdua,

Eyang putri sudah mendahului berpulang dengan banyak peristiwa spiritual yang secara pribadi aku alami baik dalam mimpi maupun kasat mata. Menggiring diri pada sebuah fragmen lain dari hidup. Dimana otentisitas hidup memang bukan soal ukuran, namun merefleksikan bagian dari hidup supaya mau diukur dan kemudian dibalaskan kembali ukuran itu pada hidup kita di jenjang masa depan. 

Di fase ini mungkin saya harus kembali lagi ke masa-masa SMA. Masa dimana saya harus mengenal gereja, mempelajari alkitab siang-malam hanya untuk pergerakan, kini hal itu mungkin datang namun dengan lebih mendalam.  Iman.

Dalam menjalani hidup tentu ada saatnya benar-benar kalah oleh nasib dan keadaan. Rasa-rasanya hidup ingin mati saja, dan memungkasinya supaya tidak menjadi beban sekaligus tidak menanggung sakit kepala yang teramat karena beneran capek deh. Dari situlah iman teruji. Persis seperti dua kali di masa sebelumnya aku mengundurkan diri persis ketika ditawari sebagai owner distributor komputer dan smarphone, serta memutuskan untuk pulang dari bekerja di BUMN teknik sipil terbaik milik negara.

Hal itu yang mungkin jadi hal ketiga, jika suatu hari aku ditanyai apa hal yang kamu menyesal, tapi tetap tidak ingin fase itu terlewatkan?

Manusia-manusia diuji kemungkinannya oleh banyak hal. Sebelum pandemi bahkan untuk kepentingan eyang putri yang terus ditagih hutang rentenir. Saking gelapnya pikiran, sebegitu kembali dari WIKA, warnet sudah tutup dan umur sudah 27, mau kerja apalagi, tidak punya fisik yang bagus, skill khusus yang lazim ditemui di desa seperti bengkel dan tukang atau tani, juga tidak punya ijazah untuk mengakses. aku sempat pula bekerja jadi tukang angkut bir di rumah-rumah mereka yang menggelar hajatan. Ngeri juga melakoni pekerjaan yang dikutuk agama ini selama beberapa bulan. Namun bisa bertahan pula.

Atau sempat pula ketika Pandemi berlangsung, uang tinggal empat puluh ribu dan disitulah iman kembali diuji. Saya pernah menawar ke Tuhan lagi, kalau engkau memang Maha Kuasa mana? Masak aku mau ditelantarkan begitu saja.

Katanya “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”*.

Sempat menagih, memang tak dikabulkan dengan cepat namun lumayan membaik pula. Iman dan iman terus menerus, itu yang mengubah banyak sekali pandangan tentang hidup. 

Tigapuluhdua,

Berbeda dengan sepuluh-duabelas tahun lalu, kini saya tidak lagi berambisi untuk kaya atau punya uang banyak dengan menghabiskan waktu bekerja dan terus bekerja. Dari data-data yang saya punya ketika menjadi pekerja data saya yakin, jika menempuh jalur normal saya tidak mungkin memenangkannya. Tapi seperti kita semua tahu, saya dan anda punya Tuhan yang Maha Pemberi kekayaan. Kalau dulu dogma-dogma sering saya anggap penenang dan tahayul kebudayaan timur tengah yang membatasi keinginan manusia. Kini, saya mulai masuk lebih dalam bahwa memang manusia harus pada level tertentu dan berdiam disitu sebelum naik level diatasnya. 

Ada banyak orang yang juga tidak siap dengan kekayaan. Kita bisa mencari contohnya dari hal-hal yang ada disekeliling kita, karena minimnya pengausaan mental kepemilikan kapital yang besar orang akhirnya tidak jelas cashflownya dan mendatangkan banyak sekali ancaman-ancaman hari buruk di hari mendatang. 

Dengan sangat yakin, hari ini memandang hidup dan kemungkinannya atas semua aspek yang dimiliki/dititipkan kepada manusia sebagai individu, saya melihat hal lain. Justru keberkahan mengalir dari situ. Manusia jelas tetap butuh uang dan uang bisa mengatasi banyak hal. Namun tak semua. Hari-hari ini kita jelas dihadapkan pada banyak sekali kesepian dan kegoncangan hidup yang justru lahir dari ketidakmapanan batin serta kegelisahan akan masa mendatang yang sama-sama tidak kita ketahui.

Hidup kemudian dilakoni biasa-biasa saja tapi tetap serius. Serius yang aku maksud adalah tidak berkhianat terhadap kemampuan yang kita miliki dan menyalurkannya kalau perlu kepada orang lain jika diperlukan. Dari situ kemanfaatan hidup biasanya akan memanggil kemungkinan lain, itu yang kualami hingga saat ini. 

Manusia kini berproses, bisa dibilang hari ini saya tidak punya pekerjaan tetap apapun. Namun, nyatanya saya tetap hidup, sehat dan slamet. Hari-hari ini mungkin adalah hari kebebasan saya yang paling bebas, bebas untuk pergi kemanapun, menyambangi siapapun dan berhitung dengan banyak hal lagi. Meskipun fase ini tentu saja sepi, perkawanan tidak seramai dulu ketika SMA atau usia dibawah 25, namun tiada yang disesali. Pilihan tetaplah pilihan, meskipun kerap mengecewakan nyatanya kita melewatinya dan mengambil pelajaran darinya.


Tigapuluhdua,

Tuntas sudah rasa penasaran saya terhadap apa yang dialami ibuk. Tekanan hidup, tensi batin, konflik-konflik keluarga, dilema-dilema sosial sampai beragam konsekuensi atas konjungsi-konjungsi yang dipilih. Saya paham betul di usia ini banyak orang pikirannya berhenti, daya kritis dan keseimbangan nalarnya kerap guncang karena kebutuhan internal keluarganya. Saya menyaksikan itu dirumah-rumah kawan saya, atau di percakapan medsos. 

Mungkin juga beruntung hingga detik ini masih belum memutuskan untuk menikah. Banyak yang mempersoalkan nanti anak-anak yang lahir melihat bapaknya menua ketika mereka baru mulai dewasa. Nyatanya tidak demikian, sampai detik ini sejak belasan tahun yang lalu saya sudah dan terus melahirkan banyak sekali anak-anak jaman. Mereka datang dan pergi seperti laron di musim penghujan, datang kemudian pergi, dan beberapa kembali lagi untuk mengucapkan terimakasih atau sambat karena terkaget-kaget dengan realitas hidup yang makin nyata makin tidak menyenangkan. 

Hari-hari depan adalah misteri, dan buat apa disesali. Sekali waktu mungkin saya akan merepotkan banyak orang dan saya berhutang banyak sekali kepada mereka. Hutang-hutang rasa itu kian menumpuk, dan mungkin tidak akan pernah terbayar. Namun percayalah, suatu hari akan terbayar lunas. Karena sama seperti kejahatan, kebaikan pun berbahaya laten.

Terimakasih untuk semua bintang dan planet yang beredar di sekitar galaksiku selama tigapuluh tahun ini. Aku akan datang kepada kalian lagi, sebelum kita semua berpulang. Tumpek sudah wetonnya, baiklah mari kita akhiri saja.

Bahwa sumber segala kisah adalah kasih

Bahwa ingin berasal dari angan

Bahwa Ibu tak pernah kehilangan iba

Bahwa segala yang baik akan berbiak

- Joko Pinurbo, Kamus Kecil


Surakarta, 8 Juli 2022

Indra Agusta




*Carilah dahulu kerajaan Allah dan segala kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu


Sunday, April 3, 2022

Sudah setahun, Eyang berpulang

 Apa yang kamu lakukan jika suatu hari kamu mendapatkan kabar bahwa orang yang sangat kamu kasihi akan meninggal?

Akhir 2019, dalam proses kontrol di Moewardi yang kesembilan. Saya ditarik oleh lelaki yang berbaju putih, seorang dokter, bapak masih nunggu diteras, berbisik dia bilang mungkin usia hidup eyang tinggal satu bulan. Hal itu yang kemudian menjadi kekalutan batin yang paling kelam dalam hidup yang pernah saya alami sepanjang 31 tahun ini. Batin saya tergoncang hebat, panik dan stres. 

Tahun 2002 saya pernah mengalaminya, ketika ibu saya mau meninggal selepas pulang dari rumah sakit dan berbisik-bisik keluarga saya mengulangi kata dokter kalau sudah tidak ada harapan. Benar, keesokan harinya ibu saya berpulang. Saya masih kelas enam SD waktu itu.

Namun, kali tentu saja berbeda saya menerima kabar ini dengan sadar dan dalam kondisi sangat matang dan dewasa untuk memikirkan banyak hal. Akhirnya saya putuskan untuk memendam sendirian, tiada yang boleh tahu apalagi eyang putri. 

Bapak juga sudah lama cuek soal kesehatan eyang, saya menanggung biaya kesehatan sampai transportasi kontrol dan lain-lain sendirian, sejak masih kerja di warnet. Tidak pernah saya meminta uang kepada bapak atau Rendra, sebisa mungkin kalo bisa ditanggung ya dikerjakan sendirian. 

Malam-malam kemudian semakin gelap. Saya tidak kuat melihat kondisi eyang yang semakin hari semakin pucat, mengaduh dan meronta karena kankernya makin sakit. Saya ingat betul ketika eyang mulai lupa mematikan TV, pompa air, sampai kompor gas hingga terakhir selalu menyisakan "pub"nya di lubang kakus. Hingga penyakit itu mendera semakin panjang. 

Awal Januari 2020 saya minggat dari rumah, seperti orang gila menyusuri hampir separuh Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan motor Mio putih. Melintas sepanjang pantai selatan Jawa, tidur di warung-warung kelapa muda yang kosong dan di pom bensin. Hingga sempat ingin mengakhiri hidup saja ketika sampai di Jogja. Sesuatu yang tidak pernah saya sesali hingga saat ini, namun batal karena ada ibu-anak mengemis minta uang didepan saya ketika saya sedang ingin mengakhiri semuanya.

Kebuntuan akan hidup, dan perasaan gagal sebagai manusia menghantui.  Di sekitar problema lainnya mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa tidak ada memang yang kekal di bumi. 

Ya, sampai eyang meninggal bahkan bapak, keluarga dan tetangga hanya tahu eyang sakit karena tua. Sempat bahkan mendapatkan beberapa cibiran tetangga, karena tak pulang sampai eyang putri dijemput Tuhan. 

Tapi adakah yang bertanya tentang kondisi batin dan psikis saya? tidak ada. 

Saya berjuang sendirian. 

Saudara datang hanya ingin mencari keuntungan dibalik krisis. Menjadi mafia berharap tanah bisa dijual murah kepada mereka ketika saya sedang tidak punya uang. Pernah pula eyang diberi ayam geprek basi oleh saudara, bajingan betul memang. Saya hafali wajah-wajah mereka.

Ketika operasi tumor kedua dan ketiga tidak ada tetangga yang datang mejenguk. Karena pandemi, saya menunggu sendirian di bilik kamar rumah sakit. Saya ingat itu adik-adik pualam sampai membawakan makanan, saking saya tidak mau pergi dari ranjang eyang. Juga bingkisan snack dari Sidiq, atau tumpangan mobil dari Ory "gapuk", mas Beny dan lain-lain.

Saya ingat betul kebaikan-kebaikan orang yang justru bukan keluarga saya dalam perjuangan mengurusi eyang selama 3-4 tahun ketika tumor itu mengganas jadi kanker. Sampai akhirnya eyang "berpulang".

Benar, saya tak kuat menanggung derita tentang kematian yang mendekat. Sama sekali tak tega jika harus melihat maut mengendap-endap. 

Saya datang ketika maut lewat, malam sebelumnya eyang menampakkan diri dalam sebuah mimpi, lalu penampakan dengan jelas kepada Umu selepas saya menancapkan dupa di sebuah perkemahan di pinggir hutan.

Jumat Agung, 3 April 2021, Eyang putri pamit. 

Omongan dokter tidak terbukti, eyang masih dapat bonus hidup satu setengah tahun lagi.

Oleh penglihatan banyak teman, perjalanan dari hutan hingga kerumah itu saya diikuti semua bangsa jin, ruh dan lelembut. Apalah itu, saya tidak bisa melihat. Yang saya tahu perjalanan 4 jam itu penuh kabut dan mendung, segera buyar persis ketika saya sampai depan peti mati eyang. 

Saya sempat terisak menangis sebentar, merasa gagal sebagai cucu karena banyak hal yang diinginkan eyang seperti pernikahan saya dan Rendra, atau melihat saya melahirkan anak saya. 

Tapi sekaligus sangat puas, saya kehilangan ibu dan otomatis sejak itu eyang putri menjadi ibu saya. Dan sepanjang hidup saya berjanji sekuat-kuatnya tetap menanggung diri agar tetap bisa disamping eyang dan menemani beliau. Saya pernah kerja di WIKA, pernah jadi owner distributor komputer, pernah dapat tawaran untuk jadi buddy diving di Bunaken dan segala tawaran kerja lainnya. Tapi saya akhirnya pulang kerumah, kerja serabutan, kerja di warnet tapi asalkan eyang ada teman. 

Uang dan kekayaan tidak begitu menggoda saya untuk meninggalkan hormat saya pada ibu saya yang kedua ini.

Saya tahu Rendra untuk banyak alasan memang tidak akan mungkin pulang kerumah dalam waktu dekat, sementara waktu itu bapak saya dan ibu baru tidak pernah pulang. Segala tanggungan ada di saya waktu itu. Dan ketika eyang selesai dimakamkan segala beban juga tetap saya tanggung, berhutang sana-sini demi lancarnya prosesi pemakaman sampai peringatan tujuh harian. 

Sudah setahun berlalu, tapi rasanya baru kemarin salib itu tertancap pada tanah. 

Saya ingat betul rekan-rekan Himalawu datang kerumah, menyiapkan banyak hal dengan tetangga, juga banyak teman lain datang kerumah. Saya berjanji pada diri saya sendiri, saya akan membalas satu persatu kebaikan teman-teman, dengan cara yang bisa saya berikan kepada njenengan semua. 

Dan saya berutang banyak sekali material, immaterial, doa dan tentu saja utangrasa yang tidak akan mungkin saya bisa bayar sampai kapanpun kepada kawan-kawan dekat saya terutama. Juga semua pihak yang turut serta menyempurnakan jasad eyang. 

Sampai hari ini, saya masih gemetar ketika menyiapkan bantal, mengganti sprei dan membersihkan kamar eyang. Kenangan itu terus menerus hadir, seringkali juga takut pulang karena saya hanya akan menangis karena rindu, atau karena banyak hal yang jadi kenangan. Ingin rasanya menuliskan semua kisah tentang eyang, namun ternyata batin saya tidak cukup kuat menampung tangis dan rindu. 

Kisah-kisah itu masih menjadi memori, semoga saya tidak segera lupa untuk segera menuliskan kisahnya. semoga pula Tuhan memberi hidup dan umur panjang kepada saya untuk menyelesaikan kisah-kisah pribadi saya dengan eyang. 

Malam-siang berlalu, maturnuwun eyang putriku, sampai jumpa lagi. 

Sumangga Gusti.

3/4/21 - 3/4/22

#agustaisme