Anak manusia kini kehilangan segalanya, kalau sampai kehilangan cinta dari dalam dirinya sendiri, manusia bisa apa selain jadi buih, meskipun tiada sesal, selain menerima banyak kemungkinan dengan keterbatasan ruang.
Ruang-ruang terdalam yang dimilikinya sendiri, yang terhidupi dari cinta itu sendiri, bersama sedih juga hati yang patah, namun cawan-Nya penuh berisi kejujuran sekaligus kelegaan. Dalam setiap keputusan, langit selalu menjadi pisau, dan apalagi yang lebih mahal selain menjadi diri, dan diri kemudian kehilangan dirinya, lagi.
Bahagia rasanya, dan segala rahsa tersampaikan dengan baik, karena rahsa pula yang selama ini membuat bertahan, tenggelam dalam samudera peluk, dan kaki-kaki yang duduk bersimpuh di bibir pantai, angin sepoi, serta hilangnya rasa cemas, dimana sungai cinta mengalir bersemi. Dibawah alirannya menghijau tumbuh subur pohon-pohon harap, dan tebing keyakinan dan memancar kembali kebun-kebun subur Tanah Tuhan.
Jalma menitipkan kembali hujan kepada awan-awan, dan semua memori yang tergenang dalam kenang,
Aku dan bayangan tentangmu duduk diatas batu di pinggir sungai itu, menyaksikan betapa kebahagiaan tersembul seperti perahu berwarna merah muda dengan lunas kembang diujungnya, kecupan bibirmu di malam itu, atau kita yang tertidur bersama, dalam pelukan yang hangat dan kecupan di kening, seperti membiarkan malam berlalu untuk selamanya.
Kepada pelukku, lelap tidurmu tak pernah membohongi itu, ada ketenangan yang memancar,
lalu dalam mimpi, kita membicarakan tentang ingatan dan harap, segalanya dalam bunga teratai yang mengembang di dalam mimpi panjang. Lalu kau menampik segala, dan hujan deras muram mengucur diseluruh jiwa, seperti hilang diri..
Maka tiada lagi yang terucap, begitupun soal harap, awannya jadi mendung, sementara bayangan tentangmu sirna dalam riak banawa sekar, aku melukisnya dalam genggam, bahwa tiada kebahagiaan yang sendiri, namun rahsa bisa disimpan rapat
Gelombang laut diselatan menawarkan banyak guncangan, aku sadar betul kenyataannya, aku terima, berirama seperti tunas cinta yang sedang mekar, dan tiada duka, selain memupus rasa bahagia, dan menyimpan sendiri rahsanya bersama Alina.
Senja-senja di tanah Tuhan mengingatkan kembali bahwa manusia menari-nari bersama bunga, namun iramanya mungkin berubah begitu nada lain tercipta, anak manusia menyimpan rapat-rapat senja itu, meski pantulannya seperti riak-riak sungai yang hendak diluapkan kepada siapa saja
Menyimpan memang bukan sifat dari bunga cinta, begitu anak manusia menyimpannya, sinar-sinar kemilauan menerobos dari dinding rumahmu yang lapuk, pecah kembali rasa senang sekaligus sedihnya,
Bilamana langit tak ubahnya adalah kanvas yang terwarnai sinarnya,
Anak manusia tidak perlu diajari membenci, dan tak perlu membuatnya benci jika engkau menginginkannya agar pergi, cukup menyitirnya agar menyimpan bunga-bunga itu rapat didalam gubuk pertapaannya, dan didalam kesunyiannya, dalam tangis dia akan menari bersama bayangmu, dalam nada sendu dan nada-nada minor yang berlarian tak berkesudahan.
Anak manusia bukan buih, lalu memunguti bunga-bunga jatuh, tiada pengharapan dan keyakinan, namun tetap menyimpan sendiri bunga yang koyak, mendekap sendiri kepiluannya, sebagai alasan bahwa dia bukan buih yang kehilangan dirinya, terus berharap bunga-bunga itu mekar mewangi di dalam biliknya sendiri.
Ah, muara Sungai-sungai menuju pantai menjadi tenang Padma, gemilang sinar memantulkan segala keindahan dibalik diam, anak manusia tidur lelap mendekap bunga di tangan kanannya, dan tentramnya menjelma menjadi mimpi panjang tentang sebuah pondasi kebahagiaan yang kini terenggut karena duka mendalam, sangat dalam jauh diluar kekuatan anak manusia untuk mengatasinya
Sebersit ingin menenggelamkan diri lagi ke laut, namun lihatlah cahaya kasih-Nya begitu terang, pantulan dari riak-riak mengkilat putih, dan cahaya itu, cahaya yang turun bersama temaram, menggedor-nggedor kalbu kepada bisik rindu juga pilu yang tajam mendalam..
Terimakasih, sudah memaksaku mencintaimu sepenuhnya....
Sepenuhnya...
Padma, ~
Ruang Tapa, 28 Juli 2020
Jalma