image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Tuesday, July 28, 2020

Matahari dan kehilanganmu,

Anak manusia kini kehilangan segalanya, kalau sampai kehilangan cinta dari dalam dirinya sendiri, manusia bisa apa selain jadi buih, meskipun tiada sesal, selain menerima banyak kemungkinan dengan keterbatasan ruang.

Ruang-ruang terdalam yang dimilikinya sendiri, yang terhidupi dari cinta itu sendiri, bersama sedih juga hati yang patah, namun cawan-Nya penuh berisi kejujuran sekaligus kelegaan. Dalam setiap keputusan, langit selalu menjadi pisau, dan apalagi yang lebih mahal selain menjadi diri, dan diri kemudian kehilangan dirinya, lagi.

Bahagia rasanya, dan segala rahsa tersampaikan dengan baik, karena rahsa pula yang selama ini membuat bertahan, tenggelam dalam samudera peluk, dan kaki-kaki yang duduk bersimpuh di bibir pantai, angin sepoi, serta hilangnya rasa cemas, dimana sungai cinta mengalir bersemi. Dibawah alirannya menghijau tumbuh subur pohon-pohon harap, dan tebing keyakinan dan memancar kembali kebun-kebun subur Tanah Tuhan. 

Jalma menitipkan kembali hujan kepada awan-awan, dan semua memori yang tergenang dalam kenang,

Aku dan bayangan tentangmu duduk diatas batu di pinggir sungai itu, menyaksikan betapa kebahagiaan tersembul seperti perahu berwarna merah muda dengan lunas kembang diujungnya, kecupan bibirmu di malam itu, atau kita yang tertidur bersama, dalam pelukan yang hangat dan kecupan di kening, seperti membiarkan malam berlalu untuk selamanya. 

Kepada pelukku, lelap tidurmu tak pernah membohongi itu, ada ketenangan yang memancar,
lalu dalam mimpi, kita membicarakan tentang ingatan dan harap, segalanya dalam bunga teratai yang mengembang di dalam mimpi panjang.  Lalu kau menampik segala, dan hujan deras muram mengucur diseluruh jiwa, seperti hilang diri.. 

Maka tiada lagi yang terucap, begitupun soal harap, awannya jadi mendung, sementara bayangan tentangmu sirna dalam riak banawa sekar, aku melukisnya dalam genggam, bahwa tiada kebahagiaan yang sendiri, namun rahsa bisa disimpan rapat

Gelombang laut diselatan menawarkan banyak guncangan, aku sadar betul kenyataannya, aku terima, berirama seperti tunas cinta yang sedang mekar, dan tiada duka, selain memupus rasa bahagia, dan menyimpan sendiri rahsanya bersama Alina. 

Senja-senja di tanah Tuhan mengingatkan kembali bahwa manusia menari-nari bersama bunga, namun iramanya mungkin berubah begitu nada lain tercipta, anak manusia menyimpan rapat-rapat senja itu, meski pantulannya seperti riak-riak sungai yang hendak diluapkan kepada siapa saja

Menyimpan memang bukan sifat dari bunga cinta, begitu anak manusia menyimpannya, sinar-sinar kemilauan menerobos dari dinding rumahmu yang lapuk, pecah kembali rasa senang sekaligus sedihnya,

Bilamana langit tak ubahnya adalah kanvas yang terwarnai sinarnya,

Anak manusia tidak perlu diajari membenci, dan tak perlu membuatnya benci jika  engkau menginginkannya agar pergi, cukup menyitirnya agar menyimpan bunga-bunga itu rapat didalam gubuk pertapaannya, dan didalam kesunyiannya, dalam tangis dia akan menari bersama bayangmu, dalam nada sendu dan nada-nada minor yang berlarian tak berkesudahan.

Anak manusia bukan buih, lalu memunguti bunga-bunga jatuh, tiada pengharapan dan keyakinan, namun tetap menyimpan sendiri bunga yang koyak, mendekap sendiri kepiluannya, sebagai alasan bahwa dia bukan buih yang kehilangan dirinya, terus berharap bunga-bunga itu mekar mewangi di dalam biliknya sendiri.

Ah, muara Sungai-sungai menuju pantai menjadi tenang Padma, gemilang sinar memantulkan segala keindahan dibalik diam, anak manusia tidur lelap mendekap bunga di tangan kanannya, dan tentramnya menjelma menjadi mimpi panjang tentang sebuah pondasi kebahagiaan yang kini terenggut karena duka mendalam, sangat dalam jauh diluar kekuatan anak manusia untuk mengatasinya

Sebersit ingin menenggelamkan diri lagi ke laut, namun lihatlah cahaya kasih-Nya begitu terang, pantulan dari riak-riak mengkilat putih, dan cahaya itu, cahaya yang turun bersama temaram, menggedor-nggedor kalbu kepada bisik rindu juga pilu yang tajam mendalam.. 

Terimakasih, sudah memaksaku mencintaimu sepenuhnya.... 
Sepenuhnya...
Padma, ~




Ruang Tapa, 28 Juli 2020
Jalma

Monday, July 27, 2020

Kamar Gelap

Anak manusia duduk meratapi nasibnya, ketika menjelang senja hari-hari semakin berat. Kepala seperti diremuk lagi dan lagi, pada harapan anak manusia menumpu, disitu pula harapan apakah layu?

Anak manusia menikmati ulang-alik cintanya, semua terus bergerak mengitari edar matahari, sayap-sayapnya patah terseok oleh taifun menghantam sebuah batu besar di tanah makam impian.

Hatinya sangat sakit, terluka batinnya sangat dalam, betapa apa yang menjadi harapan anak manusia kini tiada lagi, rahsa yang bersemi menjelma menjadi hujan deras, kuyup, menggigilkan badan, yang setiap taburan airnya. 

Gontai, seperti kehilangan arah, kemana dan apalagi yang hendak dituju, anak manusia tersesat dalam kepedihannya, matanya kosong melihat kamar gelap, entah segalanya menjadi seperti gelap, tak bersemangat, kelu. 

Anak manusia tak kuasa lagi menahan banyak gejolak batinnya, segala kepenatan memuncaki ruang pikirannya, 

Seperti menjadi lengkap penolakan demi penolakan yang membunuh perlahan anak manusia, cahaya  meredup berpindah ke padang sabana gelap kaki manusia, sendirian, kedinginan, gelap.. 

Dimana terang? 
Dimana tambatan jiwa? 
Dimana tangan-tangan yang bisa kugapai? 
Dimana, 
Dimana lagi... 

Aku kesepian, aku sedih, aku sakit, dan mati... 






Thursday, July 23, 2020

Katamata

Katamata, 
Saling mencintai dan menyayangi lalu hati berdebar. 

Katamata,
Diammu dan diamku adalah ungkapan paling puitis tentang rahsa

Katamata,
Mencuri pandangmu adalah sebuah laku, mencuri pandangku adalah sebuah laju,
 
Katamata, 
Seperti dekap, hati kita semakin pepat, kerlingan dan kedipan menjadi rindu buta

Katamata, 
Kasih adalah palung sedalam-dalamnya,
Kasih adalah lautan seluas-luasnya,

Katamata, 
Dalam dingin malam, dalam singup rembulan, dalam sunyi sepi, dalam ruang terang 

Katamata, 
Aku mencintaimu, dan Kau mencintaiku 
Aku mengasihimu dan Kau mengasihiku

Katamata, 
Katamata, 
Katamata, 
Rahsa tercipta dari Tuhan, dan janma menyimpan, pada letih dan sedih, mengapa rahsa tumbuh, sementara janma tak bisa jumbuh

Katamata,
Bila aku tiada, akankah kau meniada?
Bila aku pergi, akankah kau kesini?
Diruang sepi, tempatku merindu tiada henti.. 

Katamata,
Berat sekali cinta janma tercipta, hanya untuk bila.. 
Lantas, kemana lagi rupa jika langit penuh lara.. 

Katamata, 
Langit menjadi beku, dingin menghampiri, 
Tapi tak kurelakan engkau pergi, 

Katamata, 
Arep golek apa, arep nggayuh apa, arep nemoni apa, arep entuk apa, arep ketemu apa

Katamata, 
Jika rasaku salah, kenapa Kau titipkan rahsa sebesar ini?
Jika hidupku cacat, kenapa Kau beri kesempatan melanjutkan?
Kemana lagi pundakku akan bersandar?
Kemana lagi pelukku akan menemui dekap?
Kemana lagi tangis akan bercucuran hebat?
Kemana lagi kucari harap?
Kemana lagi ku dendangkan nada Iman?
Kemana lagi manusia jika, hanya jika, kehilangan tresna dalam hidupnya?
Kemana lagi, 
Kemana lagi Katamata?
Kemana lagi, 

Aku, 
Aku hancur sehancur-hancurnya,
Aku tiada, aku meniada, aku tiada 
Katamata,.. Oh, katamata.. 




Makam emak menampung banjir air mata.
Jemuah Legi, 1 Besar, 1953 Wawu

Wednesday, July 8, 2020

Tridasawarsa, refleksi 30 tahun


Cahaya sinar senja turun ke peraduannya, seorang anak manusia  mengejar cahaya namun terus gagal menyemai segala edarnya, anak manusia terus kalah melawan putaran Bhumi kepada Surya, hari-hari lalu berganti, rupa kita melambat, menuju beragam sonya. Tiga dasawarsa anak manusia berjalan, ingatannya terbenam akan banyak rekam, banyak sekali kejadian yang datang silih berganti. 

Semakin banyak masalah, semakin banyak kesedihan, semakin banyak pula kekecewaan dan tentu hadir pula masa-masa manis, bahagia, juga kebingungan, abu-abu, nafas-nafas yang tersengal. Masa gelappun datang, puncak-puncak kehancuran datang belum pernah seperti sebelumnya, anak manusia pegat ingin mengakhiri hidupnya, nyaris di awal putaran tridasawarsa. 


Angin-angin segar dari pematang sawah-Nya, datang bersama tetes embun untuk memberikan beragam kesejukan untuk bertahan lagi dari kematian. Gemericik air disebelah timur pondokan terbuat dari bambu, dengan papringan apus tumbuh lebat diatasnya menawarkan sebuah jalinan menarik, embun-embun mengkristal di daun bambu. 

Pukul tigapagi lebih tigabelas, suara kentongan bernada daramuluk sayup-sayup terdengar dari desa disebelah sawah. Udara basah semakin terasa, anak manusia duduk-duduk diteras pertapaannya, menggapai segala ruang kerinduan akan beragam kebahagiaan yang pernah menyambanginya, hatinya kelu, batinnya rindu, namun kemana lagi tidak tahu menuju.

Apakah kita tak bisa tidak menua?
Rasanya masih selalu saja kurang , perasaan untuk terus membantu lebih banyak lagi manusia, menemani banyak sekali yang sedang punya masalah, duduk-duduk bersama mereka yang berat hati, terus mencintai dan saling membasuh. Rasa-rasanya hanya itu perasaan yang timbul kuat dari dalam diri, sebuah hentakan untuk tetap mengikuti rasa hati. Anak manusia sudah lama tidak pernah meminta dalam doa, segala hening tapanya hanya untuk menyebut nama dari nama-nama, yang berasal dari sebuah Nama, nama-Nya pula.

Tridasawarsa, anak manusia kemudian takut pada suatu hari hidupnya tak berguna hanya karena tak lagi punya kala, kemana lagi garam-garam jika sudah tidak lagi asin, atau kemana lagi cahaya lampu thintir yang berpendar jika suatu ketika redup. Pada Nama diatas nama, kumbul dupa terunggah, asapnya membubung kepada langit, abunya kembali ke tanah, seperti sebuah hatur sujud pada beragam benih, pada tetumbuhan yang sudah dititipkan didalam diri anak manusia. 

Lalu dinaikkanlah sebuah permintaan, permohonan atas nama cinta yang mendalam, supaya Khalik memberi lagi banyak kekuatan, banyak lagi kuda untuk menjangkau lebih banyak, memberi lagi banyak kekuatan untuk mereka yang sesak hati, dan punya lebih banyak lagi kewajaran untuk menempuh hidup.

Anak manusia berjalan dalam banyak pilihan, banyak kalkulasi didalam fikirannya, banyak asumsi dan analisis subjektif tentang banyak hal, tentang segala efek jangka panjang bagi semua teman-teman disisinya. Terkadang disalahpahami sebagai sebuah sifat  jahat, sebagai egoisme, sebagai tamparan, hasutan, trik, dan berbagai simulasi yang menyakitkan. 

Pilihan-pilihan harus ditempuh supaya banyak orang menikmati manfaat, mendidik, menghardik, berakibat? Tentu. Lalu kebanyakan membekas seperti dendam, dan  luka terasa lebih pilu dari segala kebahagiaan. Anak manusia tetap manusia yang juga menyakiti banyak orang, sekalipun membahagiakan banyak orang. Tentu tak semua, namun semampunya, supaya banyak orang naik level, supaya anak-anak terus tumbuh dari dalam, pemikirannya menjadi kritis dan tangguh menghadapi banyak polah. Banyak sembah dan maaf dihaturkan anak manusia kepada sekelilingnya.

Pola-pola terbentuk bersama waktu, anak manusia tak banyak berubah, keberadaannya lebih mudah ditebak oleh sekelilingnya. Ya secara garis besar anak manusia tetap jalma biasa, seperti manusia lain yang juga biasa namun pasti memiliki sisi-sisi yang tidak biasa dan luar biasa. 

Soal kepastian juga demikian, apa yang pasti dan dimiliki anak manusia saat ini? Segalanya masih suam, tidak ada yang dianggap mapan dalam pandangan awam di bumi anak manusia hidup. Berpegang pada ayunan waktu, anak manusia hanya terus ingin memberi, sekaligus dalam beragam keterbatasan akhirnya bias lagi apa sebenarnya arti dari memiliki, apa yang sudah dimiliki anak manusia?. 

Beberapa pertanyaan mendasar, kemana setelah kemana, apa yang dikejar lagi? Apa yang di hembuskan supaya beragam kekuatan yang masih tersisa bisa dioptimalkan lebih lagi, atau apa lagi yang dicari?.

Tidak banyak keinginan anak manusia untuk diri pribadinya, ingin hidup sedikit tenang, dan punya banyak lagi berkah untuk memberkati, lebih punya banyak lagi wadah yang luas untuk menampung, punya banyak alternatif lagi supaya mampu menjadi jalan kebermanfaatan, dan banyak hal lain yang cenderung untuk orang lain. Jikalau diberi kesempatan untuk mendapat benih-benih lagi, pada tanah yang anak manusia miliki benih-benih akan dibiarkan bertumbuh, sempurna dan berguna.

Sementara keinginan pribadi mungkin punya banyak waktu untuk merenung dan menuliskan apa saja seperti ini. Sesekali menyempatkan diri untuk berdua bersama adik, dia yang satu-satunya menemani sejak dalam rahim, rahim yang kini tumbuh subur sebagai tanah yang membuat rekah bunga-bunga kamboja. Atau duduk-duduk bersama dengan orang terkasih, menikmati banyak waktu supaya tidak kehilangan diri, sebisa mungkin disela-sela lelah, punya keajaiban untuk saling rangkul dan melegakan diri dengan cinta yang dialami. Cukup, itu menurut anak manusia yang lebih esensial daripada terlalu memburu. 

Pagipun membuncah, menyembul seperti rembulan kali ini berwarna jingga, sawah yang sepi, dan bilik dinding kayu yang mulai mendekap embun. Ah, semua berharap kepada sinar terang petani berkelakar, sepasang pemuda dan pemudi duduk-duduk mencumbu teh manis bersama rimbun daun pring apus. Anak manusia mulai menggenapi rasa kantuknya, merayakan dan berpuasa bersama sekali edar matahari.

Aku mencintaimu bunga-bunga berwarna ungu,
Aku mencintaimu bebatuan dan aliran sungai,
Aku mencintaimu setiap tetes air pada batu granit,
Aku mencintaimu pada semua hening dan sepi,
Aku mencintaimu bersama sepanjang umur, mentari kian memburu, kemudian berlalu.

Pada bilik yang diam, ranjang yang beku, secangkir wedhang uwuh yang dingin, terseliplah sebuah penerimaan akan diri yang lebih besar daripada sebelumnya. Terbenamlah keikhlasan yang sangat luar biasa, anak manusia duduk dilantai kayu, membakar dupa dan membuka pintu ruang pertapaannya, burung-burung tampak membersamai Tuhan, dan anak manusia lebih merasa rendah diri bahwa dirinya sudah dan bukan menjadi, namun memberi, menjadi luapan banyak kebaikan, dan di dalam segala cinta, bersemayamlah pula nadi dan sendi-sendi kasih Semesta Tuhan yang nyaris tak berbatas.

Pancuran air hangat mengucur, dibasahi rambut panjang yang sama kusutnya dengan anak manusia, lantas kelegaan demi kelegaan mengalir bersama suara sapu lidi yang berserak dari kejauhan.

Segelas teh hangat tersaji didepan rumah, dengan senyum ramah tentunya. Anak manusia kemudian memandangi padi menghijau dikejauhan, damai rasanya. Laptop pemberian kasih sayang Tuhan dibuka pada nyala, lalu bersama banyak kebahagiaan anak manusia menyemai aksara, dan menjadi petani, ya seorang petani kata-kata.

Indra Agusta
Omah Tembi, Bantul, Yogyakarta
08 Juli 1990-2020