image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Friday, February 21, 2020

BIAR HUJAN MENGHAPUS JEJAKMU

Damar Kurung


Detik-detik berlalu, dalam hidup ini
Perlahan tapi pasti menuju mati,
Kerap datang rasa takut menusuk di hati
Takut hidup ini terisi oleh sia-sia

Sepenggal bait dari lagu Iwan Abdulrachman ini terus saya putar hari ini, selain menikmati tahun wawu yang dipenuhi dengan perpisahan namun juga sebagai pengingat terhadap keberadaan ajal yang terkadang datang seperti kilat. Ya seperti sambaran petir secepat itu, ketika tulisan ini saya tulis penyanyi favorit banyak orang Bunga Citra Lestari sedang kehilangan suaminya karena serangan jantung. Kematian selalu saja menjadi misteri bagi semua orang, bagaimanapun datangnya kabarnya selalu menggelisahkan. Memang demikian adanya sebagai manusia siapa yang siap dengan kabar kematian?
Jika ingin membandingkan terminologi umur, usia jalma tahun ini 29 tahun yang jika ingin di­ compare dengan Yesus hidup jalma tinggal 4 tahun lagi, jika dengan Muhammad masih 34 tahun, atau jika dibandingkan dengan suami BCL jalma hidup 11 tahun lagi. Atau jika dibandingkan dengan Mbah Goto manusia tertua di sragen yang 140 baru meninggal, atau ibu dari kawan saya Mbah Herman Broto 108 tahun bukankah sebuah kemuliaan tersendiri diijinkan berumur panjang dan menimang buyut bahkan canggah (keturunan grade 4). Dan memang demikian berusia panjang serta diberi keseimbangan berfikir akan mampu merekam banyak perubahan manusia, seperti Pak Sapardi dan Prof. Ariel Heryanto, sisanya jika tak menemukan kemampuan untuk mengisi umur hanya berujung pada kebosanan hidup, lelah melakoni hidup namun tak kunjung mati, seperti Ragnar Lothbrok di serial Vikings.
Beragam harapan, visi, misi, obsesi sampai ambisi terlahir tercurah di dalam pemikiran setiap manusia, namun akhirnya manusia kalah dengan Ajal, kalah dengan “jatah detak jantung” yang sewaktu-waktu menyergap. Kerapkali dalam setiap pengamatan jalma selalu saja soal Ajal ini membolak-balikkan hati manusia, seperti tak habis-habis cerita soal pergulatan manusia. Saya teringat ketika Yesus semalam sebelum “dijual” oleh Yudas Iskariot, betapa kengeriannya ketika mengetahui saat ajalnya akan tiba, Yesus sebagai manusia juga takut, gemetar, berdoa, keluar keringat dingin. Bukankah dengan manusia modern juga sama? Kadang manusia kalah oleh ketakutannya jauh sebelum ajal, namun ada juga yang sebaliknya.
Jika berbicara soal visi tentu semua ingin baik-baik saja, baik menurut pandangan setiap manusia secara relatif, maupun baik secara mainstream sosial. Namun lagi-lagi jika mau berhitung berapa banyak yang malah jauh dari ekspektasi mereka karena mengejar visi. Yang ketika visi tercapai justru menimbulkan masalah baru yang tidak kalah hebat.
Ada teman-teman yang mengejar kekayaan, dan kekuasaan secara materi, begitu terkejar justru malah terbayar mahal dengan sakit dan akhirnya kekayaan dan kekuasaan hanya lewat begitu saja, didapat tapi yang menikmati rumah sakit. Adapula dibela-belain segera nikah karena ingin segera punya momongan, eh begitu sudah menginjak mau lairan anaknya meninggal duluan. Minggu ini seorang driver ojek online bersama anaknya balita ditabrak begitu saja oleh bus Sumber Kencono, si bapak meninggal ditempat dan menyisakan amarah. Temenku di ujung utara Jawapun begitu, saling mencintai sejak kuliah, mengusahakan hidup bebarengan, bekerja dan berharap pada kebahagiaan sembari menunggu buah hati lahir, ketika sang buah hati lahir, si istri yang keburu dinanti ajal.
Jalma sendiri mengalami kematian yang membolak-balikkan hati adalah kematian ibu jalma, di kelas 6 SD esoknya jalma harus mengikuti Ujian Nasional, dan ambyar sudah segalanya. Kemudian Ujian Nasional dikerjakan serampangan, seenaknya, sembari menahan tangis dan rindu berat ketika ditinggal ibu. Mungkin ini pula yang dirasakan BCL, menikah sejak 2008 hidup stabil dengan segala kemewahan dan kemapanan akhirnya setelah menikmati perahu rumah tangga 12 tahun tetiba dipundhut begitu saja, ya segalanya datang seperti kilat, seperti tidak percaya namun kemudian pecah tangis dan segala duka kehilangan.
Menurut jalma akhirnya yang diupayakan manusia adalah mengisi waktu. Berapapun yang diberikan manusia harus mengoptimalisasikannya, agar tercapai tujuan hidup itu sendiri yang mengaktualisasikan talenta Tuhan dan beragam bakat serta memberikan kebermanfaatan untuk semesta.
Tentu tidak sama jatah waktu manusia satu dengan yang lain, yang kalo boleh nyentil Injil lagi perumpamaan tentang benih itu adalah nyata adanya. Ada manusia yang terlahir ditanah berbatu, ada manusia yang terlahir di tanah subur. Jika dianalisis pertumbuhannya tentu akan berbeda. Benih yang lahir di tanah berbatu tidak akan tumbuh subur, bahkan seumur hidupnya bisa saja penuh kegagalan, kesesakan dan kemiskinan, jika tidak pas benih itu hanya akan jadi kecambah yang berusia 1-2 hari lalu ditumis. Benih yang terlahir ditanah subur bisa berkembang optimal, semuanya bisa berjalan lancar, tumbuh, berbunga berbuah lalu menghasilkan tunas-tunas baru yang tak kalah suburnya di tanah idaman.  Bukankah manusia begitu?
Jangan dikira selalu jalan ceritanya mulus, susah dahulu bahagia kemudian, banyak yang susah terus sepanjang perjalanan hidupnya. Lagi-lagi kepada ajal kita harus berserah. Dan pertumbuhan manusia bisa kita nilai dari kacamata lain, yaitu progres bagaimana sepanjang jatah waktu dia melakoninya, dampak dan efeknya kepada sekelilingnya dan kepada dirinya sendiri. Bagian lainnya adalah terus berposisi siap mati supaya tidak takut-takut amat menjalani setiap kehilangan, tapi siapa yang mau?
Akhirnya kepada manusia berserah, ya kepada hidup itu sendiri yang didalamnya selalu ada pilihan-pilihan. Ketika kematian datang akhirnya seperti lagu BCL featuring Ariel Noah
Lepaskan segala,
Lepaskan segalanya.
Usai sudah semua berlalu,
Biar hujan menghapus jejakmu...


Sragen, 18 Februari 2020
Indra Agusta

No comments:

Post a Comment