image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, August 30, 2017

Keadaan, Martabat dan Standar

Pertapaan e-Max 1/10 
KEADAAN, MARTABAT DAN STANDAR
Oleh : Indra Agusta

Keadaan
Proses yang tidak mudah adalah bagian yang mungkin pelik, dimana saya akhirnya hanya seorang jalma biasa, bukan anak dari tokoh terkenal dan punya keris.  Bukan pula seseorang yang punya kebebebasan tak terbatas dalam melakukan semua hal, semau-gue. 

Saya hanyalah seorang lulusan SMA yang mungkin jadi sekolah favorit untuk anak-anak muda dikota kecil saya, yang ketika teman-teman saya sudah menikmati enaknya punya sepeda motor, saya masih setia dengan sepeda kecil saya, bertahun-tahun. Atau ketika kawan-kawan sekolah saya tengah asik memperbincangkan bayangan masa depan mereka, entah melanjutkan kuliah atau mengecup manis janji-janji orang tua mereka yang siap mendaftarkan mereka diinstansi tertentu, dengan kekuasaan tertentu saya cuman duduk dibangku sepi, tanpa sepatah katapun, dengan sebuah kepastian bahwa saya tidak bisa kuliah.

Orang tua yang hanya pegawai rendahan dibumi walisongo, ternyata tak mampu menyekolahkan saya pada jenjang yang lebih tinggi. Ada semacam kegelisahan, kekecewaan yang mendalam ketika apa yang menjadi cita-cita saya terkubur begitu saja oleh keadaan. Ledakan-ledakan amarah begitu rupa, akhirnya membawa kembali ke sebuah kata yang saya cetuskan dan saya ugemi sendiri Manusia tidak bisa memilih dari rahim dan keadaan seperti apa.

Hidup harus terus berjalan, menikmati sesaknya kontradiksi-kontradiksi yang mau tidak mau harus saya alami setiap harinya, setiap sendinya. Sebagai seorang yang lumayan punya banyak teman, dan menjadi teman bicara banyak orang seringkali dalam banyak kesempatan saya harus ngempet  menetralisir diri ketika banyak teman-teman saya bercerita tentang hal-hal yang mereka alami namun saya bahkan tidak tahu arti dari itu semua, obrolan panjang soal ospek, UKM, soal senat, cinlok,kampus, IPK, diskusi-diskusi yang membuat saya kadang merasa rendah diri dengan mereka, hanya karena saya tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Martabat
Namun ternyata hati saya, jiwa saya yang memenangkan itu semua, ruang kosong tentang kehauasan saya akan ilmu dan pemikiran ternyata tidak terbendung, mulai dari main ke perpus, pinjam buku, sampai ketika berkenalan intens dengan internet, saya semakin tidak bisa diam untuk tidak membaca sesuatu.

Ternyata hal ini pula yang membuat saya semakin tua setiap harinya, banyak pemikiran-pemikiran berbeda, terkikislah sedikit demi sedikit rasa rendah diri itu, hingga saya terus menerus semakin yakin bahwa kalau memang ini lakon yang harus saya jalani, maka baiklah saya akan menjalaninya. Dan saya harus menggali kedalam diri saya sendiri siapa saya sebenarnya?

Standar
Dari berbagai pemikiran akhirnya terciptalah berbagai standar, yang akhirnya akan berbeda dengan standar anak seusia saya, seperti saya yang memilih untuk tetap tinggal di kota kecil ini, hidup seadanya demi simbah putri saya yang sudah tua, dan selama simbah tidak merestui saya kerja dimanapun disitulah saya akan melangkahkan kaki. Restu orang tua adalah hal yang krusial bagi standar hidup saya, karena dari merekalah sebenarnya Amanat Tuhan berasal, meski hal ini akan beraneka ragam variabelnya, namun pointnya tetap berbeda pendapat boleh, tapi jangan sekali-kali berani dengan orang tua!
Lalu standar lain mungkin adalah otentifikasi diri, merumuskan diri sendiri apa yang jadi dirikita sendiri, bukan karena sebuah euforia, hegemoni, atau stigma mayoritas. Hingga dari berbagai lautan ilmu, yang menyaring untuk diiyakan-ditidakkan hanyalah diri kita sendiri, disitulah yang menurut saya membawa saya pada perenungan lebih tinggi soal hidup.

Dan e-max, warnet mungil ini menjadi salah satu ajang untuk mewujudkan itu, disini saya bisa menjawab tantangan masa muda saya, berhadap-hadapan dengan berbagai wacana ilmu dari internet, untuk melengkapi sumber-sumber ilmu lainnya yang sudah saya miliki sebelumnya, juga sebagai ajang untuk ngabekti  kepada simbah, menerima keadaan, mengasah hati, dan memperdalam perenungan diri.


Bersambung...................Pertapaan e-max Jilid 2/10 - Pekerjaan Pengabdian

Thursday, August 24, 2017

Pertapan Emax - Kidung Pambuka

Akeh tuladha kang dhemen cidra, uripe rekasa milih sawiji, endi kang suci? Tangguh bisa mukti.
PERTAPAN EMAX - KIDUNG PAMBUKA
Oleh : Indra Agusta

9 Tahun memang bukan waktu yang singkat, ada ribuan cengkrama yang mengalir dari mulut jalma, ada ratusan peristiwa mengisi setiap harinya, seperti tidak pernah habis tinta-tinta mengisi pena kecil, jalma yang juga bukan siapa-siapa. Jalma yang hanya menetapi laku sebagai manusia, dengan berbagai dinamika dan percaturan keadaan yang begitu tidak menentu. 

e-Max, secara kasat mata adalah tempat biasa, yang ribuan orang pernah lewat didepannya, sekedar melihat atau ikut bercengkrama didalamnya. Sebuah warnet yang sekarang semakin kusut karena memang usianya yang sudah sangat tua, namun ada berjuta kisah didalamnya.

Bagi saya pribadi secara filosofis bukan lain ya karena esensi nama ini adalah emak, Ibu, mamak, atau terserah belahan Nusantara bagian mana yang akan menyebutnya. Bagaimana warnet ini didirikan, sebagai tanda cinta seorang anak kepada Ibunya, seorang anak yang kemudian menjadi bapak yang kemudian juga mengajarkan cinta neneknya pada sang bapak. 

Dan ternyata juga saking cintanya emak saya, pada saya, karena kebaikannya dan ketulusan hidupnya membuat Gusti tidak sabar untuk menanti kekasihnya, ibu saya ini 'pulang' keharibaannya,  ah, tentu ini hanya ke-GR-an saya, meski saya juga tidak bisa menampik ternyata memang tidak ada manusia setulus mamak saya. Dan akhirnya nama emax, emak punya tempat tersendiri disanubari saya.

Dan waktupun berlalu semenjak Ibu saya disuwun kapundhut, kasedan jati , seperti lama namun sebentar, seperti kemarin namun ternyata sudah berlalu lama, demikian saya pula dibilik ini, diruangan sempit yang menawarkan keluasan, seperti jaman yang sudah berlalu bertahun-tahun, namun saya terus menerus setia bertapa dibilik ini, bahkan sampai 8 tahun, entah Energi apa yang membuat saya kuat untuk  berlama-lama disini, jelas ini bukan soal finansial dan material, dalam intepretasi saya, akhirnya saya lukiskan lewat tembang diatas,

akhirnya harus memilih, retorika semua dimana mengambil kemungkinan terbaik dari berbagai kemungkinan yang sudah baik, atau mana kemungkinan buruk, dari berbagai macam yang terburuk.

Dan saya mulai seperti melukis foto slow-speed, blub menikmati cahaya-cahaya Tuhan dari berbagai gemerlapnya arus muda saya, arus zaman yang semakin luas saya tidak mampu menangkap kemana jalannya sang jalma.

Ternyata bukan gereja, rumah, keluarga, sekolah  ataupun institusi ini itu yang mengukir jiwa saya, justru emax-lah yang akhirnya menjadi suatu mozaik dalam penempaan batin, nurani, dan pribadi saya, dan dengan tulisan inilah saya merayakannya, semoga kalian mampu menangkap luapan batin saya dari nuansa tulisan ini.

..........milih sawiji endi kang suci, tangguh bisa mukti
- ki nartosabdo.


Bersambung.........








Wednesday, August 23, 2017

Syair Laku Buntu

Malam meninggalkan jejak-jejak kebisingan
Diantara geram dedaunan yang hambar karena buaian debu, 
gemericik jenuh kabut kota mengantarkan manusia pada Titik Nadir Kepalsuannya.
tingkap-tingkap kulminasi kebuntuan, keabsurd-an, 
Ada sangat banyak jalma yang merasa kesepian, sangat-sangat kesepian.
Agama yang ditelannya dengan rutinitas ibadah tak menjawab dinamika kosong hatinya,
Dititik pelampiasan langkahnya, tak membawanya pada sebuah oase, kegersangan meraja.
Ditelannya wibawa dan rupa dunia, kelam semu beradu, nasib mengayun tanpa langkah.
Berharap sang jalma pada ujung jalan penantian, 
Namun ujung perjalanannya diisi kesepian, seperti Syair Laku  Buntu di terjalnya jalan setapak desaku.

Kepalsuanmu merekah,
Amarahmu meledak,
Kebuntuanmu menjadi,
Kepalsuanmu tak mau bertepi,

Mengais-ngais tanah kau ratapi,  berharap kekosonganmu terpenuhi.
Kepenuhan ternyata mengoyakkan, kantung "air hidup" mu.
dari selasih sesak, terucaplah jerit sesakmu.

Hingga lepaslah, lepaslah semua, lepaslah dirimu, lepaslah sejatimu...
terombang-ambing dilautan tiada bernama.......
lelakumu, laku kebuntuan.....




untukmu, supaya tidak kehilangan dirimu, 
kesejatian dirimu sebagai jalmayang sejati.

ditulis dari bilik sepi, ketika mendengar Adzan Subuh memanggil sang jalma untuk bersujud
Kemis, 24 Agustus 2017







Ngajeni

Oleh : Indra Agusta

Di era modern, dalam berbagai pengamatan saya menemukan fakta bahwa ternyata Seseorang dengan Pendidikan yang tinggi, gelar yang seabrek, kekayaan yang menumpuk, dan berbagai macam predikat materialisme lainnya. tak menjamin seseorang berattitude setinggi pencapaian kasat matanya. 

Bisa saja seorang  mahasiswa sangat memandang rendah tukang becak, tukang kelontong, bakul sambel tumpang langganan saya hanya karena mereka merasa belajar, bertitel, mengeluarkan uang banyak untuk kuliah, seolah-olah semua orang yang tidak bertitel hanyalah remah-remah, atau sampah yang mereka ludahi.

Atau mentalitas tukang perintah yang ditanam dalam chip sanubari mereka, semenjak mereka sekolah hanya dididik untuk menerima tugas, mengerjakan tugas, menerima soal dsb, hingga ketika mereka sudah purna diperintah, himpitan tumpukan emosi, kepenatan dan kurangnya kebebasan menggiring mereka untuk seenak mereka memerintah orang-orang yang menurut mereka tidak layak dihargai, dihormati dsb.

Dalam hal ini bolehkah saya berpendapat kalau institusi pendidikan ternyata gagal mendidik anak-anak supaya berkarakter lebih baik, mengerti adab, unggah-ungguh, tahu dengan siapa dia berbicara, belajar memilah-milah kata, belajar empan-papan. 

Atau apakah ini salah si anak? anak-anak yang dari kecil mungkin sangat polos hingga mereka menelan mentah apapun yang disampaikan guru, dari sejak kecil sampai menuju dewasa.

Atau fenomena apa ini? ada banyak kekalutan dan kekosongan anak-anak itu, semakin tua mereka tidak menjadi semakin dewasa dalam bersikap dan berpikir, justru malah seperti anak kecil yang dibuai oleh tombol refresh sosmed, atau kebuntuan kita yang mengantarkan kebahagiaan kita pada memutar fidget spinnner, bahkan menginstal aplikasi fidget spinner di smartphone yang ternyata tidak membuat kita menjadi smart user.

Belajar Ngajeni adalah hal yang ingin saya utarakan disini, dimana anak-anak sekarang hampir kehilangan sama sekali sikap ngajeni, ngajeni  berasal dari kata Aji, Ngajeni itu hakikatnya adalah menghargai orang lain, menghormati Aji-nya orang lain.

dan Aji ini tidak harus selalu punya titel, tidak selalu harus punya kekuasaan, kekayaan, maupun jabatan, tapi Aji ini bisa punya kewaskitaan, punya ilmu, kebijaksanaan, atau talenta-talenta yang diberikan Tuhan, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mampu membuka "tabir-tabir Tuhan" ini.

Disini harusnya sikap setiap orang kepada orang lain adalah membuka dirinya, kalau bisa menemukan apa yang menjadi Aji dari seseorang. Dan pasti semua orang punya Aji-nya sendiri-sendiri, tiap orang tentu akan berbeda, dan pengenalan akan Aji seseorang-pun kadang kita harus menggali terus software  kita.

Jika dalam bercakap dengan seseorang kita bahkan tidak menemukan sari-pati  apapun dari orang tersebut, jangan terburu-buru menjudge bahwa orang tersebut tidak ada gunanya, dan halal untuk di ejek, dihina, disepelekan, tapi siapa tahu ternyata software , ilmu kita yang belum compatible untuk membuka ilmunya.

Maka semua orang harus berhati-hati dalam menilai seseorang, melihat seseorang bukan hanya dari luarnya, tapi juga menemukan isinya. sikap seperti ini yang harusnya diajarkan pada anak didik.

Atau kita, saya, sebagai sesama orang yang belajar dan terus belajar dibelantara ilmu, harus menuai kebuntuan, kekosongan, yang berujung pada luapan-luapan emosi yang sebenarnya tidak perlu.

Sukowati, 23 Agustus 2017