image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Monday, May 30, 2016

Belajar Jawa, supaya 'nJawa'

Pada era modern orang-orang yang berdarah Jawa banyak yang semakin luntur khazanah Jawanya. Entah karena memang tidak dibiasakan oleh orang tua mereka , tergerus arus jaman atau memang orang tua terlalu mempercayakan anaknya pada guru Bahasa Jawa [yang menurut saya tidak semua dari mereka tau betul hakikat dari Jawa itu sendiri].

Jawa memang tidak melulu soal budaya dan artistik yang keliatan, seperti tarian, wayang, naskah , konstruksi rumah, maupun tata gelar prajurit. Jika masuk ke dalam lagi kita akan menjumpai bahwa entitas Jawa adalah soal gaya hidup seseorang, soal pemikiran, soal tata bahasa, gaya berbicara, beribadah kepada Tuhan yang sekarang lambat laun memang semakin hilang.

Manusia modern terlalu percaya bahwa apa yang disebut teknologi jaman sekarang, atau kemajuan jaman sekarang adalah kemajuan sesungguhnya namun tidak mau mengulik sebentar ke sejarah peradaban dan karya-karya masa lalu. yang bahkan sampai saat ini tidak bisa dibuat lagi, atau dibkin tandingannya.

Manusia sekarang lebih setuju dengan cara berpikir praktis, kalaupun diambil sedikit dari sari-nya, Jawa akan digunakan sebagai tunggangan untuk kepentingan tertentu, meraih simpati keagamaan, atau untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

Ada banyak teman yang mengganggap saya orang yang tidak kekinian, meski sebenarnya juga tidak gaptek-gaptek amat, namun saya tetap bangga dilahirkan sebagai bangsa Jawa. Bangsa dengan segala kemajuan peradabannya, yang sekarang digerus hancur supaya orang jawa modern lebih mengakui bahwa Barat lebih maju, Amerika, Eropa, Jepang maupun China lebih maju. Boleh jadi dibilang begitu soal penemuan rasionalnya, tapi dibidang irrasional mereka tidak bisa mengerti bahkan dari segi  bahasa saja orang eropa masih kalah jauh.


Jawa punya istilahnya sendiri, yang tidak sekedar teks saja namun juga "rasa" untuk memahaminya. 

Sebut saja kata CINTA misalnya  dalam Inggris kita paling hanya akan mengenal kata LOVE.
Kesengsem : Cinta remaja yang masih malu-malu kucing
Suka, Seneng : Cinta yang biasa diungkapkan oleh remaja.
Asmara, Kasmaran : Cinta dua pemuda yang mulai melangkah ke jenjang serius.
Tresna, Katresnan  : Ini mungkin yang disebut sebagai cinta sejati bagi orang jawa, yang tidak bisa dibohongi.
Demen : Ini Cinta yang berdasarkan nafsu semata, seperti binatang, merujuk pada hubungan diluar nikah, perselingkuhan [demenan] dll.

atau kata BAWA, MEMBAWA atau CARRY 
yang akan dimaknai banyak menurut pola, suasana, dan bentuk posisi tangan.
Ngangkat, Njinjing, Njunjung, Nyengkiwing, Nyangking, Nggawa dll

contoh selanjutnya adalah BERAS, dan semua hanya diterjemahkan RICE dalam bahasa Inggris.
Winih/Wineh : Bibit padi
Pari : Adalah buah Padi ketika masih menggantung di pohonnya.
Pari Gabuk : Bulir Padi yang tidak berisi.
Gabah : Padi yang sudah selesai dipanen dari batangnya.
Brambut : Kulit Gabah setelah ditumbuk.
Beras : Isi dari bulir padi
Menir : Potongan-potongan kecil bulir padi setelah ditumbuk
Sego : Padi yang setelah dimasak atau disebut juga Nasi
Aking : Nasi yang sudah tidak dimakan, takut basi besoknya dijemur dimatahari.
Karuk : Aking yang digoreng sehingga mirip pop-corn. buat cemilan.
Karak : Nasi dipadatkan di jemur kemudian digoreng, kerupuk Beras.
Intip : Sisa nasi di Kendhil [tempat menanak nasi orang jawa] yang bisa dimakan langsung pas hangat, atau dikeringkan kemudian digoreng.

Jadi masih mau bangga dengan bahasa Inggris yang kalian pakai, ? karena masih merupakan bahasa Internasional. atau karena dianggap gaul. Boleh sih asal jangan lupa pada akar siapa sebenarnya dirimu, Kalau jawa ya pelajari jawamu, dayak ya pelajari dayakmu, madura, nias, ambon, bajo dll

Sementara Negara Lain belajar bahasa kita [bahkan S3 Sastra Jawa hanya ada di Belanda] kamu masih sibuk bikin status pake bahasa Inggris supaya dianggap gaul, dan keren. Padahal menurut saya kurang menarik dan begitu simple bahasa inggris.

Lalu kita kadang berkoar-koar di sosmed ketika salah satu dari banyak kebudayaan kita diklaim bangsa asing sementara kita sendiri hanya memposisikan kebudayaan sebagai objek yang hanya sekedar kita foto dan kita sudah merasa sangat berbudaya, tanpa mau mengenal lebih secara mendalam. Hanya numpak eksis disosial media.

Mari bersemi, mari mendalami setiap sudut yang merupakan cikal bakal dan inti dari dirimu sendiri. seperti yang pernah saya tulis dahulu Karena Manusia Tidak Bisa Memilih termasuk dilahirkan di Lingkungan bangsa [saya tidak mau menyebut suku karena terlalu sempit untuk ditafsirkan, dan mereka sudah ada sejak bangsa Indonesia ini lahir] , dan kebudayaan yang mana, kenali dirimu sendiri.

Semoga semakin nJawa. semakin tahu.

Indra Agusta.

Sunday, May 22, 2016

Mentalitas Sampah Tuan Tanah

MENTALITAS SAMPAH TUAN TANAH
Oleh : Indra Agusta

Bulan-bulan ini dalam hitungan jawa merupakan hari-hari yang paling baik dalam melaksanakan entah pesta perkawinan, sunatan, di luar itu pula banyak pula perhelatan yang digelar diluar sana entah konser, forum diskusi, bazar, makan ini itu gratis, atau sekedar Car Free Day tiap hari minggu dengan tema dan sponsor tertentu.

Entah ini kebetulan atau tidak, namun yang terjadi memang demikian atau mereka EO acara masih menggunakan perhitungan feng-shui Jawa ini. Entahlah.

Semua acara yang saya ikuti memang kebanyakan meriah, langit cerah, yang datang banyak namun yang menjadi perhatian saya adalah banyaknya sampah yang tersisa setelah perhelatan dilaksanakan. Bahkan tidak menutup kemungkinan sebuah acara kampanye Hijau namun sampah masih berserakan. Ironis memang.

Mencoba untuk bercengkrama dengan beberapa kawan memang masih banyak yang merespon untuk tidak membuang sampah sembarangan. Namun ada pula yang punya mentalitas tuan tanah, 

"Kan di Hajatan udah ada yang ngurusin sampah"
"Kan kita udah bayar tiket konser, ...sah-sah aja dong buang sampah, wong kita bayar"
"Kan udah ada Dinas Kebersihan, santai aja paling nanti kalo habis sholawatan/konser/CFD juga ada petugas yang membersihkan sampah di alun-alun" 

Begitu ringan sebenarnya jika dilihat dari sisi ini, tapi jika dilihat dari sisi yang lain orang-orang ini orang2 yang kadang bisa disebut orang kecil, tidak begitu punya tingkat finansial yang tinggi, orang yang bisa lepas tanggung jawab karena mereka sudah membeli tiket konser,atau memasrahkan semua pada dinas kebersihan yang notabene mereka bekerja bukan untuk konser tersebut.

Lalu orang-orang ini pula yang akan berbicara pedas tentang ketidakadilan ketika mereka melihat kenyataan yang melebihi kemampuan mereka. Menjadi PNS/POLISI/TENTARA dengan membayar beberapa puluh gepok misalnya. atau Untuk masuk ke Perusahaan tertentu bisa dengan memberikan uang, atau bisa melacurkan dirinya untuk masuk ke perusahaan tersebut dengan iming2 jabatan, yang tentu menghasilkan uang.

Bukankah pola-nya sama? sama-sama berpikir ketika mereka akan berkuasa ketika mereka mempunyai uang. Meski dalam wujud yang lain. Melakukan apapun sekehendak mereka dengan alasan mereka sudah membayar. 

Apakah selalu benar membuang sampah sembarangan dengan alasan dia sudah membayar tiket? Apakah benar mereka bisa ikut ujian CPNS dengan asal sembarangan, dengan alasan dia sudah bayar panitia rekrutmen? Atau apakah benar asalkan mereka sudah menggaji pembantu mereka bisa seenaknya memperlakukan pembantu, memukuli, membunuh atau memperkosa mereka?

Pola-pola ini semakin banyak hadir di masyarakat, ada yang menolak, ada yang terlibat, ada pula yang meng-iyakan sekedar senyum kepalsuan bahwa hal tersebut memang menjadi hal lumrah di jaman yang semakin tua.

Namun ada satu yang luput, kita lupa bahwa sebenarnya rakyat pun adalah seorang tuan atas dirinya dan negaranya sendiri, Rakyat sendiri lupa [atau sengaja dilupakan] bahwa mereka menyisihkan sedikit dari penghasilan mereka dikumpulkan dan untuk mempekerjakan Para pemimpin untuk mengelola negara ini.

Jokowi, Gubernur bahkan Bupati pun harusnya tau dia merupakan pembantu rumah tangga negara, dan digaji oleh rakyat. Jangan mentang-mentang diberi amanat bisa sekehendak hatinya, menjadi petugas negara namun malah merampok negara. Kalian bukan siapa-siapa, kalian cuman pembantu, tanpa dukungan rakyat kalian tidak bisa apa-apa. Sudah berapa tahun berlalu namun kalian tetap tidak memberikan kontribusi apapun yang murni untuk membangun negara ini.

Yang ada hanya utang luar negeri yang jarang diberitakan media, kemudian diinvestasikan biar seolah-olah negara ini bisa membangun tapi aslinya duitnya hutang. Lalu ekonomi lesu karena terlalu banyak uang yang beredar di sini, Inflasi, daya beli rendah dan berbagai masalah ekonomi lainnya, yang tentu akan berujung pada banyak hal dalam berbagai bidang.

Hati-hati kalian bukan tuan, kami rakyat adalah tuan atas negara kami sendiri.
Jangan mentang - mentang kalian sudah memberikan banyak bantuan kepada rakyat, membayar rakyat [yang aslinya uang tersebut memang dari rakyat dan SDA] kalian bisa berbuat seenaknya. Menipu kami dengan segala tipu daya dan bahasa politik yang manis-manis seperti yang selama ini kalian buat, yang pada akhirnya bukan kami yang menikmati namun penggelembungan perut kalian sendiri.


Kleco Wetan, 22 Mei 2016



Friday, May 20, 2016

Arah, Memposisikan diri. Njawani


ARAH, MEMPOSISIKAN DIRI
Oleh : Indra Agusta

"saking pundhi, badhe tindak pundhi mbah"

Begitu sapaan akrab sewaktu kecil kepada siapapun, pas ketemu dijalan, dipasar, regol-regol padukuhan dan dimanapun. Ketika saya kecil sudah menjadi kewajiban bahwa anak harus selalu menyapa yang lebih tua, pertama-tama memang dipaksa, namun kemudian terbiasa, ada semacam rasa mangkel dihati ketika dipaksa, geram. Dasar anak kecil.

Namun ketika dewasa akhirnya saya tahu bahwa sapaan merupakan awal dari komunikasi yang berujung pada ilmu-ilmu langit, ilmu-ilmu hidup dari orang tua yang tidak saya dapatkan dari bangku sekolah. Dan segala manfaat lainnya. Komunikasi yang sekarang dimasukkan dalam setiap fakultas2 disekolah, namun tergerus esensinya di ranah publik karena era komunikasi sekarang bergeser ke arah digital dan individualistik.


Tradisi itu hilang ditelan kemajuan teknologi, manusia semakin sibuk dengan gadget, sosmed semakin menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Dinamika massa yang semakin tergeser menuju kemunduran. Dibius, ditipu oleh reka-reka jaman.

Jagongan-jagongan akrab akhirnya tergeser menjadi ajang pamer di sosial media, atau keakraban akhirnya tergeser oleh sibuknya manusia dengan wifi. Di Desa-pun sama efeknya tidak hanya pada pemuda pemudinya, tapi juga ke ranah orang tua. Obrolan-obrolan di Cakruk semakin sepi, kalau ada yang menarik pasti sumbernya berasal dari layar kotak yang menawarkan lelucon entah video atau apa, dan komunikasi intens antar sesama manusia semakin menurun. Lalu unggah-ungguh terhadap orang tua pun hilang. Dan banyak orang tua protes karena ini, tapi mereka tidak menyadari awal benih yang ditanamankan juga mereka gunakan sehari-hari sebagai ajang agar terlihat modern dijaman yang semakin maju.

Maju? maju kemana? bukankah ini sebuah kemunduran?
Jawa ilang jawa-ne, bukan hanya secara textual namun pola hidup yang njawani akhirnya juga semakin hilang.

Orang jawa modern sudah tidak tahu ketika orang tua bilang "bocah kok dikandhani ora njawa" yang bermakna anak dikasih tahu tapi tidak mengerti. Jadi proses pemahaman untuk menjadi "mengerti" itulah hakikat dari Jawa sebagai pola hidup. Tentu untuk mengerti bukan seperti kita membeli permen lalu kita ngasih uang dan permen kita dapat. Tidak, tidak begitu, Jawa sangat berbeda dengan pola hidup modern/ barat yang sangat instan.

Proses untuk mengerti atau "njawa" memerlukan rentang perjalanan yang sangat panjang, bahkan sampai waktu yang tidak terbatas, semakin lama semakin banyak trial dan error hingga tidak sadar dimensi "rasa" kita meningkat setiap harinya, membuat manusia Jawa semakin rendah hati, dan tenang dalam menghadapi segala sesuatu.

Atau bila kita mau memaknai Serat Wulangreh, dalam tembang Pocung , kita akan bertemu bait "ngelmu iku kalakone kanthi laku" selalu ada pertanyaan dari lagu yang bahkan sejak belum sekolah saya sudah diajari untuk menyanyikannya.

Tapi mungkin benar, pewarisan nilai-nilai memang tidak selalu lewat jurnal-jurnal ilmiah yang kita pelajari ketika kita sudah dewasa, lewat tembang-tembang dolanan yang kelihatan sepele sebenarnya, disitulah letak komposisi paling kuat, pondasi pondasi yang dibentuk sejak dari kecil, yang akan berdampak sangat banyak bagi anak-anak ketika mereka sudah menginjak dewasa. Namun sekarang disulap hanya sebagai pelajaran menghafal  lagu oleh guru-guru bahasa Jawa, ironis memang. 

Tentu ada suatu maksud bahwa lirik tersebut ditaruh di akhir, atau di puncak-puncaknya Macapat, Pocung. Karena memang proses ngelmu bukan sekedar mencari ilmu. Pocung sendiri adalah akulturasi budaya yang berarti juga pocong atau simbologi kematian bagi masyarakat islam-jawa

Kembali ke "Ngelmu" kenapa kok "kalakone kanthi laku" atau kenapa proses menuju ilmu, hakikatnya didapat dari sebuah laku [jalan]. Karena memang ilmu dari sudut pandang jawa tidak seperti ilmu dari sudut pandang barat/modern yang memang mengharuskan kita duduk didikelas kemudian di beri pandangan oleh guru dan kita menelannya.

Jawa lebih menekankan pada proses, menjalani laku, seperti kata-kata awal tadi dalam menjalani laku harus menentukan titik awal dan tujuan. Dalam tembang macapat kita akan tahu hidup diawali dari Pangkur, berakhir pada Pocung kemudian dilanjutkan menuju tembang Megatruh atau Megat-Ruh.

Dari proses kita mengikuti sesuatu, menangkap arti dari sesuatu tersebut sampai menentukan sesuatu. Namun kita benar-benar menjalani laku.

Perbedaannya mendasar seperti ketika di TK kita diberikan gambar Buah Pisang dan alam pikiran kita dipaksa untuk memahami itu pisang.

Namun orang Jawa akan menyeret anaknya ke kebon belakang rumah diambilkan satu atau dua helai pisang, disuruh makan. Kemudian silahkan dimaknai sendiri tentang buah pisang, bentuk, tekstur dan rasa. Bukan hanya sekedar gambar yang dipasang dipapan tulis.  

Dari pola ini bukankah masyarakat modern-pun demikian mayoritas memakan sesuatu lewat TV, atau media sosial lainnya, tanpa mengecek dulu kebenarannya. Kemudian asal share, asal copy paste.

Dan Jawa-pun begitu, sudah hilang esensi dari 'memetik Pisang dari kebon tadi' sekarang yang penting citra yang dicitrakan, bukan citra yang natural. Proses pemilihan kepala desa pun masyarakat ditipu dengan kebaikan sesaat sebelum mereka mencalonkan diri sebagai kepala desa. 'sing Jarene' bagus itu yang dipilih, la ini jarene sapa [kata siapa] , terlalu banyak sekarang yang jualan jarene, lalu kesalahan yang mayoritas dianggap menjadi kebenaran, karena jumlah.

Dan zaman akhirnya bergerak pada koridor penipuan besar2an oleh media. Diiming-imingi oleh kebutuhan kebutuhan yang sebenarnya tidak perlu. dan negara menjadi negara yang konsumtif, tentu rakyatnya juga.

Segalanya distandarisasi, segalanya didigitalkan, dan kita dipaksa untuk menerima dan menganggap bahwa segala sesuatu yang digital itu baik, maju dan modern padahal ada efek yang sangat menakutkan dibalik segala proses pen-digital-an indonesia ini.

Kita akan menjadi bangsa yang sangat mudah dikontrol jika data2nya sudah diketahui pihak yang ingin mengeruk keuntungan dari proses ini. Seperti balon Google yang mengudara sebentar lagi. boleh dibilang masyarakat akan tertipu dengan kemudahan layanan internet yang diberikan oleh balon tersebut, tapi masyarakat lupa Google itu perushaan swasta lho, dia bukan pemerintah, dan otomatis dia akan mengeruk kepentingan untuk dirinya sendiri, atau pihak yang mendanai dia dibelakangnya. misalnya seperti pendataan SDA lewat balon google. misalnya.

Lalu hakikat kita sebagai manusia benar2 hilang, untuk memposisikan diripun semakin sulit, apalagi mereka yang sudah terjerat jaring-jaring proyek internasional tersebut.

Bangsa semakin hilang arah, semakin hilang identitas negaranya.
Rakyat juga senang dengan pembangunan yang diberikan presiden,
namun lupa bahwa utang yang dihasilkan sangat besar, yang kelak akan jadi tanggung jawab rakyat juga lewat pajak. lalu presiden akan berlalu setelah 1-2 periode. 
Melu mangan nangkane, tapi sithik, tapi gupak pulut e sakabehane..     

Ada baiknya jika kamu mengenali dirimu sendiri, sudah benar-benarkah menjadi manusia.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional.
semoga tidak semakin kehilangan arah, negara, bangsa dan masyarakatnya.
semoga semakin "Njawani" dalam arti yang global..



Kleco Wetan, 20 Mei 2016