Kematian, sebuah hal yang ditakutkan banyak orang karena dibalik peristiwanya rasa perpisahan terasa sangat dalam, gelap dan mencekam. Kabar-kabar yang tersebar kemudian juga membolak-balikkan hati mereka yang sedang dalam lingkar edar dekat dengan sang jalma. Betapa ketakutan akan berhentinya nafas, kerongkongan yang tersengal, serta tubuh yang mengejang hebat setiap detiknya adalah lenguh abadi yang pasti dialami.
Tetapi bagaimana dengan mengakhiri hidup?
Menjemput mati itu sendiri, seni yang butuh
keberanian sangat besar kata kawanku. Mengambil alih putusan hidup
melampaui ketakutan itu sendiri, dengan lantang menceraikan jasad dari ruh.
Dari surau dan media kabar kemudian terdengar isak tangis pilu, mempertanyakan
tanya yang sudah terlambat sama sekali.
Bukankah tahun ini adalah tahun kematian?
Atau kematianlah yang menjadi kala?
Mahkluk asing datang menghentikan semua
roda manusia, mencerabut segala rezeki, lalu perlahan mengenalkan kita pada
kematian yang angkanya terus naik. Orang-orang yang bejibaku didalamnya juga
tak luput dari maut. Tapi kita belajar mengalami, dan ini mahal entah berapa ratus
tahun lagi manusia diajak untuk merasakan sesuatu secara kolektif seluruh
dunia. Lalu kita cerna lagi respon masyarakat, tokoh dan kebijakan penguasa
wilayah terhadap mahkluk asing ini.
Kematian menjadi sangat dekat, beberapa
kawan dekat berpulang, juga diambilnya banyak orang-orang sepuh yang
menjangkepi kehidupan itu sendiri. Tidak ada jaman baru, dunia yang begini-begini
saja, proses pertumbuhan segera berlangsung, tunas baru tumbuh, dan raksasa
harus lapuk demi memberikan ruang bagi yang baru untuk bersemi. Dialektika jaman
kemudian membawa manusia pada pengalaman lain yang akan mengubah banyak hal di
masa mendatang.
Kegamangan hidup, kewarasan ditengah
risau-ruwetnya jalan nasib kerap menghantarkan anak manusia kepada kebisuan,
juga perasaan enggan dan menutupi yang berujung pada kematian ekspresi. Berapa yang
sangat biasa menerima kepahitan akhirnya menjadi mayat yang hidup?
Mereka yang tiba-tiba menjadi dingin,
pragmatis bahkan sangat berfikir pendek. Hantu-hantu kecemasan, pilu luka, sayatan
batin masa lalu, juga realitas kabur di masa kini menjadikan anak manusia
menjadi hambar ruang hidupnya, segala sesuatu diperbuat hanya untuk melanjutkan
hidup, mengendapkan pundi-pundi yang katupnya melebar karena kisruh keluarga,
sanak-famili atau hubungan yang tidak baik.
Kematian menerka siapa saja, membuat yang
hidup menjadi mati, dan membuat mereka yang mati semasa hidup menjadi mahkluk
buas seperti binatang yang hanya berhenti kepada fantasi tapi melupakan esensi inti
manusia, yaitu menjadi manusia itu sendiri. Manusia yang secara utuh, punya
gairah, empati, simpati, rahsa, emosi, akal, karep, dan beragam aktualisasi intuitif sebagai Sapiens.
Mereka mengambil tujuan hidup, dan membawa tujuan tersebut sebagai arah
perjalanan. Dan absurd bagi mereka yang kehilangannya.
Segalanya terpenuhi, tercapai ambisinya
tapi kemana? Hidup lalu kosong karena tidak pernah tahu kemana dan apa yang
sebenar-benarnya dicari. Jalan manusia kemudian menyusuri lorong-lorong waktu
itu semakin gelap, semakin gelap.
Deru dan nyaring bising kota-kota
disinggahi dengan hati kosong. Entah kemana lagi, asalkan tidak dirumah. Rumah?
Dimana sebenarnya rumah anak manusia, apakah dibawah genting usang dengan
tembok yang nyaris beku seperti kebekuan obrolan didalamnya? Rumah justru menjelma
pada sosok-sosok yang kepadanya pipi menjadi merah dan degup-debar kian getar? Pada
wajah yang panas dan mata yang nanar karena menahan air tumpah oleh ucapan
syukur.
Angin gelap mengantarkan anak manusia
pada kepulangan, kepulangannya yang kilat pada kesejatian batal, ditampar oleh
mereka yang ingin dikaruniai hidup. Melintas kembali dalam langit yang masih
gelap dan kaki yang terus mencari.
Lalu ruang-ruang sunyi hadir membawa kelegaan, membawa diorama sejumlah berkah. Seutas kapas yang digunakan anak manusia untuk meletakkan kepalanya. Ribuan tahun matanya tak pernah tertidur, dan kepalanya hanya sibuk memberi tumpangan. Santuary itu penuh dengan perenungan, menata ulang banyak sekali relasi, dan mempertemukan hati kepada hati. Seperti cermin besar dengan meja dan lentera di dalamnya.
Ya, lentera itu, semacam sinar sepercik
untuk terus berbicara tentang makna hidup dan didandaninya bunga bakung. Pada
pelukan hangat, kecup bibir yang mesra. Anak manusia hidup dalam jala-jala
kalbu, kebekuannya pecah, sekaligus mengingatkan kembali banyaknya darah yang
tercecer karena luka-luka yang tak pernah kering darimasa lalu.
Dalam setiap genggam, tatap dan derai
cemara udang dari langit-langit Ndalem duka itu mengalir, dan kebahagiaan tergenggam, erat. Padamu kuucapkan terimakasih orang-orang baik yang terus hadir dikala malam gelap.
ah, kini aku lengkap sudah..
Selamat memasuki lingkar edar matahari yang baru,
Yogyakarta, 31 Desember 2020
Indra ‘Jalma’ Agusta