image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Thursday, December 31, 2020

2020 : bertahan melawan kematian

 

Kematian, sebuah hal yang ditakutkan banyak orang karena dibalik peristiwanya rasa perpisahan terasa sangat dalam, gelap dan mencekam. Kabar-kabar yang tersebar kemudian juga membolak-balikkan hati mereka yang sedang dalam lingkar edar dekat dengan sang jalma. Betapa ketakutan akan berhentinya nafas, kerongkongan yang tersengal, serta tubuh yang mengejang hebat setiap detiknya adalah lenguh abadi yang pasti dialami.

Tetapi bagaimana dengan mengakhiri hidup?

Menjemput mati itu sendiri, seni yang butuh keberanian sangat besar kata kawanku. Mengambil alih putusan hidup melampaui ketakutan itu sendiri, dengan lantang menceraikan jasad dari ruh. Dari surau dan media kabar kemudian terdengar isak tangis pilu, mempertanyakan tanya yang sudah terlambat sama sekali.

Bukankah tahun ini adalah tahun kematian? Atau kematianlah yang menjadi kala?

Mahkluk asing datang menghentikan semua roda manusia, mencerabut segala rezeki, lalu perlahan mengenalkan kita pada kematian yang angkanya terus naik. Orang-orang yang bejibaku didalamnya juga tak luput dari maut. Tapi kita belajar mengalami, dan ini mahal entah berapa ratus tahun lagi manusia diajak untuk merasakan sesuatu secara kolektif seluruh dunia. Lalu kita cerna lagi respon masyarakat, tokoh dan kebijakan penguasa wilayah terhadap mahkluk asing ini.

Kematian menjadi sangat dekat, beberapa kawan dekat berpulang, juga diambilnya banyak orang-orang sepuh yang menjangkepi kehidupan itu sendiri. Tidak ada jaman baru, dunia yang begini-begini saja, proses pertumbuhan segera berlangsung, tunas baru tumbuh, dan raksasa harus lapuk demi memberikan ruang bagi yang baru untuk bersemi. Dialektika jaman kemudian membawa manusia pada pengalaman lain yang akan mengubah banyak hal di masa mendatang.

Kegamangan hidup, kewarasan ditengah risau-ruwetnya jalan nasib kerap menghantarkan anak manusia kepada kebisuan, juga perasaan enggan dan menutupi yang berujung pada kematian ekspresi. Berapa yang sangat biasa menerima kepahitan akhirnya menjadi mayat yang hidup?

Mereka yang tiba-tiba menjadi dingin, pragmatis bahkan sangat berfikir pendek. Hantu-hantu kecemasan, pilu luka, sayatan batin masa lalu, juga realitas kabur di masa kini menjadikan anak manusia menjadi hambar ruang hidupnya, segala sesuatu diperbuat hanya untuk melanjutkan hidup, mengendapkan pundi-pundi yang katupnya melebar karena kisruh keluarga, sanak-famili atau hubungan yang tidak baik.

Kematian menerka siapa saja, membuat yang hidup menjadi mati, dan membuat mereka yang mati semasa hidup menjadi mahkluk buas seperti binatang yang hanya berhenti kepada fantasi tapi melupakan esensi inti manusia, yaitu menjadi manusia itu sendiri. Manusia yang secara utuh, punya gairah, empati, simpati, rahsa, emosi, akal, karep,  dan beragam aktualisasi intuitif sebagai Sapiens. Mereka mengambil tujuan hidup, dan membawa tujuan tersebut sebagai arah perjalanan. Dan absurd bagi mereka yang kehilangannya.

Segalanya terpenuhi, tercapai ambisinya tapi kemana? Hidup lalu kosong karena tidak pernah tahu kemana dan apa yang sebenar-benarnya dicari. Jalan manusia kemudian menyusuri lorong-lorong waktu itu semakin gelap, semakin gelap.

Deru dan nyaring bising kota-kota disinggahi dengan hati kosong. Entah kemana lagi, asalkan tidak dirumah. Rumah? Dimana sebenarnya rumah anak manusia, apakah dibawah genting usang dengan tembok yang nyaris beku seperti kebekuan obrolan didalamnya? Rumah justru menjelma pada sosok-sosok yang kepadanya pipi menjadi merah dan degup-debar kian getar? Pada wajah yang panas dan mata yang nanar karena menahan air tumpah oleh ucapan syukur.

Angin gelap mengantarkan anak manusia pada kepulangan, kepulangannya yang kilat pada kesejatian batal, ditampar oleh mereka yang ingin dikaruniai hidup. Melintas kembali dalam langit yang masih gelap dan kaki yang terus mencari.

Lalu ruang-ruang sunyi hadir membawa kelegaan, membawa diorama sejumlah berkah. Seutas kapas yang digunakan anak manusia untuk meletakkan kepalanya. Ribuan tahun matanya tak pernah tertidur, dan kepalanya hanya sibuk memberi tumpangan. Santuary itu penuh dengan perenungan, menata ulang banyak sekali relasi, dan mempertemukan hati kepada hati. Seperti cermin besar dengan meja dan lentera di dalamnya.

Ya, lentera itu, semacam sinar sepercik untuk terus berbicara tentang makna hidup dan didandaninya bunga bakung. Pada pelukan hangat, kecup bibir yang mesra. Anak manusia hidup dalam jala-jala kalbu, kebekuannya pecah, sekaligus mengingatkan kembali banyaknya darah yang tercecer karena luka-luka yang tak pernah kering darimasa lalu.

Dalam setiap genggam, tatap dan derai cemara udang dari langit-langit Ndalem duka itu mengalir, dan kebahagiaan tergenggam, erat. Padamu kuucapkan terimakasih orang-orang baik yang terus hadir dikala malam gelap.

ah, kini aku lengkap sudah..

Selamat memasuki lingkar edar matahari yang baru,


 

Yogyakarta, 31 Desember 2020

Indra ‘Jalma’ Agusta

Monday, December 28, 2020

Soto Ayam Lempuyangan

Pukul setengah tiga pagi, lipatan waktu menukik tajam ke edar pertama kali menyusuri sudut-sudut sepi sekitar stasiun ini. Banyak sekali memang yang berubah di malam sedini ini. Aroma sampah sudah tidak begitu terasa, tak ada lagi penjaja rokok ketengan dan air mineral, tukang ojek masih tetap terkantuk-kantuk di tempat mangkalnya, yang lainnya sibuk bercengkrama di emperan warung 24 jam yang penjual yang menahan kantuk yang sama. 

 Sudut timur dibawah jembatan layang sekarang, penuh dengan tukang ojek digital. Tempat yang dulu tidak akan mungkin demikian sepinya karena sering dijadikan ajang nongkrong dan tawuran anak muda. Segala perkelahian, cekcok karena urusan percintaan hingga mencorat-coret tembok sebagai aksi kebanggaan.

Pasar kembang kini juga sudah lengang, tak tampak lagi sampai di jalan besar wanita-wanita yang bergelut dengan hidupnya, hingga tubuh satu-satunya yang dimiliki dijadikan komoditas untuk dirinya sendiri. Sebuah pilihan-pilihan sulit yang mengunci manusia, yang nasib menggariskannya juga jauh pintu keluar dari genggam. 

Teracung genggam tangannya, seorang lelaki tua di dekat pintu keluar, bertopi warna orange lusuh, kulit yang legam terpanggang matahari menyiratkan kebuasan hidup yang dialaminya, juga rambut memutih yang sama sekali tak terawat. Matanya tertunduk ketika bertemu mata orang-orang yang dengan tangan diatas melemparkan koin-koin ke bekas kaleng cat yang tak kalah rapuh. 

Sekilas aku berani lagi menatap mata itu, dua biji mata yang kalah oleh kahanan, entah mengalami kepahitan hidup seperti apa kegetiran dan kesedihan tampak, hingga akhirnya menyerah. 

Lalu lalang seperti tiada henti kepergian-kepulangan nampak seperti tarian mesra sepasang kekasih yang bahagia, pekerja harian nampak lebih sigap meskipun tetap saja tak mungkin terlepas dari suasana kebosanan menjalankan rutinitas. 

Di depan pintu keluar kuli panggul adalah pekerjaan yang tak pernah hilang sejak pertama kali aku kesini, mereka yang dengan segala cara menawarkan fisik dan kekuatan mereka untuk membawakan barang sekedar ke pintu taxi atau mobil keluarga yang sudah menunggu, atau bagai gayung bersambut kemudian dioper ke tukang becak yang sudah bekerja sama jika ingin segera bergeser ke penginapan atau tujuan. 

Orkestrasi semarak nampak bagai dendang lagu Iwan Fals dari pengamen. Pengamen yang seorang anak, lelaki, sandalnya swallow biru, separoh diikat dengan tali rafia ujungnya, persis seperti nafas hidupnya yang tersengal, putus-putus menjalani nasib.

Matanya sangat tajam, bahkan penuh kemarahan, mungkin tersengat oleh bentrokan keadaan setiap harinya. Dengan gitar triplek sederhana yang juga berwarna biru, stangnya sudah melengkup di strap pada fret ke-5 menggunakan pensil yang diberi karet supaya kunci-kunci nada jauh lebih empuk di tangan yang sudah kumal karena nasib. 

Sambil menyeruput soto ayam di tikar yang sudah buram seperti spanduk lesehan, seorang bapak menunggu kereta bersama anaknya yang masih kecil. Anak kecil pengamen ini hanya memandangi dari kejauhan, kerongkongannya kelu akan kenikmatan soto kuah, namun recehan yang dia dapat tak cukup untuk membeli. Anak kecil pengamen ini pergi memutar lagi deretan ruko di depan stasiun ini. 

Satu demi satu, keping demi keping didapatkan diwadahi bungkus plastik biru relaxa yang entah dapat darimana. Celana jeans-nya sudah robek, sama mungkin dengan luka di hatinya yang tiada terkira sayatan-sayatannya. 

Sementara setiap sayatan ayam di soto bapak tadi disuapkan perlahan ke mulut sang anak, satu demi satu tampak sedikit kesusahan namun akhirnya tertelan juga. Sesendok kuah soto dibenamkan lagi ke mulut sang anak. Seperti udara kasih-kasih orang tua kepada anaknya, di ruko sebelahnya anak pengamen ini terus bernyanyi, bapaknya bukan orang tua, tetapi udara-udara panas dan bising dari kereta inilah orangtuanya, yang kasihnya meneduhi disetiap langkahnya. 

Jauh jalan yang harus kau tempuh, mungkin samar, bahkan mungkin gelap 

Kereta menuju timur sudah datang, dengan tergesa berniat membeli semangkuk soto tadi, tapi ini waktunya pulang kembali ke asalnya. Sambil menahan lapar, berharap kereta akan ramai dan banyak orang yang akan memberikan rejeki kepadanya, sambil menelan ludah dia menyiapkan lagi lagu-lagunya. 

Duduk sini nak, dekat pada bapak, Engkau lelaki kelak sendiri.... 

Dan kereta tidak begitu ramai, jatah untuk rokok polsuska sudah diberi, kesempatan mengamen digerbong selesai, di dekat kamar mandi antar persambungan gerbong, anak kecil ini menghitung recehannya, keping demi keping berharap masih ada sisa untuk menyambung hidup dirumah, diam-diam memberikan separuh lebih hasilnya untuk rumah, dan tentu semangkuk soto ayam. 

Namun semuanya tak sempat dimilikinya, karena terburu dipalak preman stasiun berikutnya. Lapar makin mendera, ingin melawan tapi kalah tua. 

Lelaki di warung kopi berjaket kulit, kumisnya tebal mirip Gombloh mengamitku. 

“Sini-sini dek, kata preman yang lain, sudah makan?” 
“belum, mau makan malah dipalak ten mrika” 
“Yu, soto ayam satu,” sambil tangannya mengacung pada lelaki necis yang berdiri tak jauh dari warung, lelaki inilah yang memalak hasil ngamen anak kecil. Lalu uangnya dikembalikan. 

 “Besok lagi kalo ngamen di daerah sini, bilang kamu anakku, namaku Jono, wes pokoe ngko aman.. ” 

Delapan belas tahun berlalu, kereta api sudah semakin bersih keadaannya dan lepas dari preman. Pak Jono entah kemana. Anak kecil pengamen ini kembali ke stasiun ini, dengan nasib yang jauh berbeda, memesan semangkuk soto ayam, yang dibalut dengan kelopak mata yang pedas karena waktu menggiringnya kepada kenangan, untuk mengucap syukur dan berucap sabar.

Lempuyangan, 26 Desember 2020 
I. Agusta

Wednesday, December 2, 2020

laguku?

Lagu-lagu seperti abadi di alam berfikir Jalma. Meskipun pelantun, penggubah maupun pembuatnya sudah bosan bahkan lupa.
.
Pendar ingat itu yang kemudian jadi memori mendalam bagi kita. Tema-suara dari sebuah peristiwa penting yang dengan kuat kita genggam supaya tidak ada dalih untuk membiarkannya hilang. 
.
Lihatlah semua lagu mendapatkan pendengarnya, setiap pertemuan menjumpai peluk insan yang berdendang.
.
Lagu kemudian menjadi tonggak waktu, ada yang kemudian berlalu, ada yang tetap tinggal. Dan banyak orang yang mencecap kenikmatan kata dan nada atas berartinya sebuah romansa.
.
Panggung-panggung riuh, dalam kaca mata dan mata berkaca-kaca, lihat itu anak manusia takut berlari, dan bertahan menggenggam kebaikan dan kebahagiaan yang terlewat.
.
Apakah kamu laguku selanjutnya?.
.
Sepasang mata itu memejam, dalam genggam, doa-doa akan waktu bermuara di ranjang suci Tuhan.
.
.
Indra Agusta 
Yogyakarta, 1 Desember 2020
#agustaisme