image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Tuesday, June 12, 2018

PAHLAWAN LEBARAN

Oleh: Indra Agusta

Dalam sebuah catatan Markesot pernah berlebaran dalam kesunyian. Mengurung diri rapat-rapat menjauh dari hirukpikuk keramaian Idul Fitri. Markesot dalam kesunyiannya nlungsungi. Dikala semua orang pulang ke kampungnya, desanya Markesot malah menjauh dari itu semua.
Sebagai manusia yang tak pernah mudik, kemarin saya mengiyakan ajakan teman untuk menikmati penuh sesaknya bis dari Sragen-Surabaya PP. hanya sekedar menikmati jalanan dipadat liburan ramadhan.

Orang-orang berduyun-duyun membawa tas besar, bersama harapan-harapannya bertemu yang dikasihi di desa. Semua hilir mudik menuju titik-titik tujuan, kabupaten-kabupaten kecil yang jauh dari kota metropolit Jakarta atau Surabaya.
Sebagian pemudik sudah menikmati smartphone sebagai layanan berkabar, sisanya handphone jadul.
Disetiap terminal selalu saja menelfon menginformasikan bahwa tujuan semakin dekat. Ah, lebaran selalu menarik diamati.

Lalu pikiran saya menerawang jauh ke orang-orang dibalik layar ini semua.

Admin Operator seluler, petugas checking ATM, sopir dan kondektur, Satpam atau penjaga rumah di kota metropolit yang merelakan waktunya untuk tak berlebaran demi kelancaran mudik para perantau.

Hal yang sama berlaku buat mereka para jurnalis, reporter yang terus menerus memberikan informasi Arus mudik bahkan sampai Arus Balik, Lalu tentara, polisi dan relawan kesehatan juga memberikan pengabdiannya,  mereka mungkin akan menikmati hangatnya rumah ketika semua sudah kembali ke tanah perantauan.

Yang tak kalah pelik adalah menyaksikan  para karyawan rumah makan yang melayani sampai H-1 lebaran, dibalik semua reuni yang kita adakan, juga kumpulnya keluarga diberbagai restoran mereka masih membanting tulang demi secuil kebahagiaan dirumah sambil menahan kerinduan karena terus menerus melihat kita asik menikmati kekangenan bareng handai taulan.

Akhirnya disetiap gegap gempita keramaian bersamaan itu pula muncul kesunyian.

Libur lebaran melulu menawarkan kebahagiaan, juga tatapan kosong kawan-kawan yang seumur hidupnya mengais recehan dijalanan.

Langkah-langkah jalma menuju sholat id akan segera berdentang, bermuara pada santapan guyonan serta akrabnya kekeluargaan.

Sementara saudaraku baru bangun dari tidurnya, menguap dan menggosok mata, dimana keluarga, siapa ayah ibu? dimana kampung halaman?  Disini tempat mata kalian nanar meludah dijalanan!

Selamat lebaran pejuang-pejuang sunyi.

KlecoWetan, 13 Juni 2018

Sepurane Rek,

Sepurane yo rek yen do ngajak buber ora isa melu, ancen nembe susah iki awak posisine lagi ruwet.

Sepuranen yo rek, yen ponakan-ponakan ora isa menehi pitrah, kaya bakdan wingi-wingi mase nembe ng omah ngancani wong tuo, ra kerja.

Sepurane yo rek, yen bar lebaran akeh undangan nikah ora isa jagong, apa maneh nggo jagong nggo mangan wae sok repot.

Sepuranen yo, mbah yen sik, panggonane salah putumu ki ncen bingung nik ng omah entuk duit seka ndi, yen mrantau kon yo ra gelem ditinggal, kerja ndek kene ming dipaido ra ana duite. Lha liyane do merem ra gelem ngurusi omah.

Lah kene ki yo menungso,abot tenan iki urip, sampe arep ngancani tuku kopi ora kuat.

Sepuranen yo..sepuranen rek..
Lagi mlarat temenan iki,
Ngalah iki sak apa-apane...
Sepurane...

Klecowetan, 30 Ramadhan 1439 H
Indra Agusta


Tuesday, June 5, 2018

ORA KEMARÚK

Membuka lapak pada dini hari. Memanggul dagangan sepanjang jalan dari dan menuju rumah. Bagiku ini Pemandangan fantastis di era kita beli kopi saja gulanya dipisah dan kita disuruh mengaduk sendiri.

Satu sénik besar berisi nasi, dan satu jelai besar berisi kuah kare. Sambal, kecap dan rambak sebisanya diangkut sebagai pelengkap.

Di era kapitalisme dan kita berlomba-lomba mencari keuntungan, Bapak ini berpuasa. Menahan dirinya dari gejolak ambisius mencari laba dan keuntungan sebanyak-banyaknya.

Bapak ini tak pernah menambah atau mengurangi takaran nasi dan kuah karenya. Berapapun yang terjual itu rejekinya. Jika sudah habis dia tak lantas menambah atau memperbanyak nasinya, tapi mencukupkan dirinya, berpuasa supaya pedagang kare lain disekitar pasar ini sama-sama kebagian rejeki.

Puasanya yg lain adalah dia tidak menjual minuman, teh hangat dipesan dari angkringan disebelahnya. Supaya jalinan sosial terjaga.
Kayu bakar yang dia bawa juga secukupnya, cukup untuk terus memanasi kuah karenya.

Ora kemaruk, tidak serakah adalah nilai yang sangat mahal dimana manusia, masyarakat bahkan negara terus menerus yang ada jaringan otaknya hanya laba, laba dan laba.

Bapak ini otentik, dia ini syahadatnya murni, dia itu saksinya Allah bahwa tiada lain selain dirinya yang memberi hidup rejeki dan kematian. Sekalipun saya tak pernah tau dia berbicara agama, atau dia mengucapkan syahadat tapi menurut saya bapak ini sudah merepresentasikan dari keimanan mutlak pada Sang Khalik, berupa iman akan rejeki, cinta pada sesama, dan puasa dalam menjalani hidup bukan obsesif apalagi ambisius, ya hidup sesederhana berbagi rejeki diantara sesama pedagang makanan di Pasar Matésih ini.

Mencari ilmu Tuhan tak hanya lewat kitab, gunakan hatimu, bacalah sekeliling keadaanmu lihatlah Ayat-Ayat Tuhan bertebaran di udara.

Disemesta cinta-Nya.

Gusti mberkahi jenengan pak..
Pasar Matesih, Kab. Karanganyar.
6 Juni 2018

-Indra Agusta

#agustaisme

Sunday, June 3, 2018

Memaknai Gelap-Terang

Apa yang ada dalam benak ketika saya berkata hitam?

Setiap orang tentu akan punya jawaban berbeda tergantung representasi hitam terhadap input informasi yang tumbuh dan berjejal menjadi alur pikiran lalu mengkotak menjadi dimensi pemahaman seseorang.

Ada banyak jawaban bisa membicarakan kegelapan, warna tulisan ini, atau slogan seperti habis gelap terbitlah terang.

Di luar sana dalam sebuah iklan selalu didengung-dengungkan teknologi baru yang ketika teknologi lain berlomba-lomba memperbanyak warna dalam sebuah layar, vendor ini justru menambahkan intensitas warna hitam dalam teknologi layar mereka,  dan hasilnya memang memukau, karena hitam warna lain terlihat begitu hidup, sebuah kontradiksi yang menjadi teknologi. Menarik memang untuk diamati.

Hitam, seringkali orang menyebutnya sebagai kegelapan, tidak ada cahaya. Namun ketika saya berusaha mengenali kembali ternyata kegelapan itu tidak ada, konsep dasar darkness adalah the absence of light , absennya cahaya tentu akan berbeda dengan tidak ada. Gambaran gampangnya seseorang yang absen tidak masuk sekolah, akan berbeda dengan anak tersebut tidak sekolah.

Kegelapan hadir sebagai bukti terbatasnya indera manusia, dan sekali lagi manusia harus mengakui ketidak sempurnaannya. Meski jika dipaksa didebatkan akan dibalas dengan berbagai teknologi yang dibuat manusia untuk memecahkan kemampuan menangkap cahaya tersebut. Teropong night vision atau cctv inframerah misalnya adalah salah satu inventionmanusia dalam menjawab keterbatasannya terhadap absennya cahaya.

Bagi masyarakat yang sering nyepi tentu akan sangat tahu perbedaan dimensi kegelapan, terserah apapun lakunya, bisa bertapa, semedi, kungkum¸atau sekedar mancing pasti mata mereka terasah untuk lebih jeli menangkap cahaya di kegelapan. Di situ indera mereka diasah untuk peka terhadap sekeliling, bahkan termasuk mahkluk-mahkluk dari dimensi tertentu.

Paradoks memang akhirnya, setiap kegelapan adalah latihan peka terhadap cahaya, over lighting pun terpaksa melatih mata kita untuk mengurangi intensitas cahaya, menutupinya entah dengan kacamata atau sekedar tangan. Manusia terus bergaung-gaung gelombangnya, memadat – meruang dengan berbagai dialektika paradoksnya.

Jika mundur lagi pun, saya sebagai pendaki gunung pun akan bisa bercerita banyak bagaimana tumbuhan bergerak kearah matahari (Cahaya) membimbing mereka, bagaimana mereka melesat menjulang, kadang berdesakan untuk sekedar mendapat cipratan cinta-Nya lewat sang surya. Atau absence of light  adalah waktu terbaik bagi mahkluk nocturnal berburu melangsungkan hidupnya, dan dari hitamnya malam kita manusia justru mampu menangkap rentangan galaxy milky way yang semakin pepat malam hasilnya akan lebih jernih, sekalipun mata telanjang tak mampu menangkapnya, namun teknologi mengejarnya.

Manusia dalam perkembangan peradabannya sebisa mungkin menembus batasan-batasannya, termasuk terhadap cahaya, semuanya bergerak karena cahaya, terbangun hidup menjalani aktivitas karena cahaya, terlelap dan lelah pun ketika cahayanya meredup, meski anomali nocturnal juga terasa tak hanya hewan namun manusia malam juga mencahayai dirinya sendiri dipepatnya malam.

Semua tergerak menuju inti dari semesta yaitu Cahaya diatas Cahaya. Tinggal bagaimana kita merefleksikannya, hitam yang kegelapan ternyata bukanlah sebuah ketakutan seperti yang ditakutkan anak-anak kita. Justru dari malam-malamnya ada banyak obrolan, gurauan, bahkan diskusi serius menyoal bagaimana mewujudkan adanya cahaya-cahaya ‘substansial’ yang bermanfaat bagi semesta sesama, sebagaimana kewajiban kita semua manusia.

Lalu hitam yang dianggap sebagai negasi dari terang, menjadi tringger penentu jumlah cahaya, justru karena hitamlah manusia bisa membedakan mana terang, mana yang samar dan mana yang gelap meski gelapnya ini juga bisa diterawang lebih mendalam.


Cak Nun dalam suluknya lingsir wengi tan kendhat seperti mengisyaratkan bahwa kegelapan yang sangat pepat, entah dari dimensi mana kita melihat kegelapan dalam tembang  tersebut, yang jelas lingsir wengi adalah batas dan selangkah lagi bang-bang wetan  itu akan bersinar menyiratkan kaca benggalan zaman baru. Anak-anak saya yang berlatih berkegiatan speologi dipepatnya gua juga akan memahami betul bagaiman manusia juga sangat punya refleks terhadap cahaya. Dan justru pengenalan akan kegelapan itu menjadikan mereka sangat menghargai cahaya.

Ulang-alik kesadaran, terus menerus mengajar jalma untuk menghargai akal, jaman segera berubah banyak sekali kegelapan akan datang dipenghujung jaman, namun seberapa siap indera menafsirkannya sebagai sebuah terobosan, atau malah justru jatuh kelubang-lubang yang lebih kelam hingga manusia menemukan batas kejeliannya terhadap kegelapan. Tinggal bagaimana mata sang jalma diasah menjawab dan menelisik jaman.

Seperti lirik band Down For Life  :

 “Terbanglah-terbanglah tinggi menuju matahari, “

Selamat melangkah menafsiri berbagai tingkat kegelapan, selamat berburu terang.


 


Kleco Wetan, 08 Mei 2018

Indra Agusta


Gerbang Jaman Baru

Geliat perubahan jaman dibarengi dengan pertarungan politik semakin terasa getarnya. Di sudut-sudut desa riuhnya perkumpulan, konsentrasi massa mulai dicetak menuju rangkaian gerbong dalangnya. Manusia-manusia itu diagitasi, diprovokasi, demi sebuah pencapaian yang gemilang. Lalu polarisasi tercipta, namun kemenangannya untuk siapa?

Di zona luarnya semakin terasa arus pembangunan dan investasi semakin tak keruan ujungnya. Kasus demi kasus korupsi merebak mewarnai layar televisi kita hari-hari ini. Pantaskah kita bertanya kembali sebenarnya kemajuan untuk siapa? Untuk apa? Apakah benar pembangunan yang digadang-gadang ini adalah yang dibutuhkan masyarakat?

Arus laut dari Utara terus mengancam, angkanya dari sektor pekerja terus naik tiap tahun, juga wisatawan yang tinggal di negeri semakin tinggi traffic­-nya. Ini jaman mau digiring kemana, anak-anak kita terus dijejali game online, trending dance dan music, yang juga semuanya dari utara.

Guruku berkata, barat sebentar lagi akan redup, dan negeri akan makmur, namun bukan kita yang menguasai melainkan arus besar dari utara. Namun dengan apakah membendung arus derasnya, sementara kerannya terus dibuka oleh senopati-senopati palsu negeri. Kawula yang butuh masuk pondok sehat saja harus menunggu beberapa hari, ini mereka maksimal 2 hari diperbolehkan senopati bekerja disini.

Seberapa siap negeri menerimanya, atau terkhusus saudaraku maiyah seberapa kuat menghadapinya. Kuda-kuda harus dipasang sekarang, kuncinya sudah diberikan Sang Guru temukan thariqat, minat, bakat, dan Jadilah Ahli. Tinggal bagaimana kita menafsirkan dan mengapresiasi mutiara sang guru.

Arus informasi juga tak kalah derasnya, setiap detik selalu ada informasi baru yang tak kalah perlu lebih jeli dalam mengenalinya, juga tuntutan mutlak untuk saudaraku Maiyah supaya lebih tenang dalam menyikapi berbagai keadaan kedepan, setiap lini pasti akan diserang untuk diarahkan dalam kontestasi dukung mendukung yang tentu tak kalah sengit dengan pertandingan bola akhir-akhir ini.

Sisi lainnya adalah budaya Talbis  akan dibuka kembali  krannya dengan maksud tujuan untuk mendukung, menolak calon tertentu yang sangat mungkin akan bersinggungan dengan rutinitas kehidupan kita juga harus kita waspadai.

Dialektika Ketakutan

Masalah yang akhir-akhir ini timbul tentunya adalah dialektika ketakutan. Massa semakin agresif, dalam kumpulan pendapat berbeda sangat bisa jadi bahan keroyokan dan bualan mereka yang menguasai mayoritas. Atau kasus hashtagyang bisa menimbulkan persekusi berat di media sosial. Diktator Mayoritas ini berbahaya untuk masa depan negara, ketakutan dan teror bagi siapapun yang anti kubu tertentu hanya akan menambah jurang polarisasi kubu, jika semakin memanas outputnya bisa menjadi bentrok bahkan kekacauan yang menimbulkan luka sejarah. Seberapa siap ?

Ketidaksiapan dengan perbedaan, malasnya berfikir, rasialis, dan gampang terprovokasi seperti borok  yang menahun. Akhirnya jika penindasan terhadap pikiran minor hanya berbuntut rerasan dan diakhiri dengan cemooh, ya jangan berharap ada pemikiran dan penemuan baru. Apalagi presiden baru?

Bagaimana mau membuat rumah kuat, sementara membangunnya dari pondasi yang bobrok? Padahal jika kita paham realitasnya, pondasi yang bobrok ini terus menerus dipakai caranya, black campaign, money campaign, agitasi massa, polarisasi, bagaimana masa depan negara jika terus menerus kita ikut diam dengan pondasi sekarang, ditambah lagi dengan teror-teror keberpihakan.

Soal fiksi dan fiktif saja kita begitu hangat, belum lagi peringatan may day hanya digiring menuju percaturan politik, esensi memperjuangkan buruh akhirnya menjadi slogan-slogan yang ditunggangi mereka para calon perebut kursi raja.  Dan di akhirnya kita tahu syarikat buruh terbelah satu mendukung A satu mendukung B.  Lalu siapa yang memperjuangkan nasib buruh? Pengangguran? Gaji rendah, serta kemlaratan seantero negeri? Harus percaya bualan lagi?. Kita sebagai rakyat juga begitu gampang digiring sepersekian derajat saja dari tujuan awal sebuah pergerakan akhirnya muspro nir-pencapaian.

Selamat berjernih-pikir saudaraku, dizaman penuh citra, penuh rekayasa dari alam berpikir sampai struktural kenegaraan. Juga guna memahami kedatangan revolusi besar 4.0 dimana, kenali gelombangnya, kenali perkembangan keadaan dan berbagai transformasi teknologinya, yang terpenting kenali betul titik-titik dimana jangan justru menjadi korban dari revolusi tersebut, jangan sampai tergilas, kuncinya sama sudah dipaparkan Sang Guru tinggal mutiara airnya mau dikemas menjadi wedang  atau air mineral, tergantung bagaimana kita membawanya.

“Begitulah pengetahuan ilmu, pandangan hidup, peta politik, nilai-nilai kebudayaan dan peradaban saat ini: bergelimang talbis.

Namun semua itu berada diujung jalan, kemudian beralih ke Zaman Baru. Anak-anak saya harus menjadi bagian dari fajar terbitnya Matahari Peradaban Baru. “ (EAN, di buku Kiai Hologram)

 

Sragen, 2 Mei 2018

Indra Agusta

Mas Dan, Manusia Pusaka Sastra dari Sukowati

DANARTO, adalah salah satu dari beberapa nama sastrawan yang karyanya saya simpan di rak usang rumah saya. Tulisan-tulisannya sangat kental dengan refleksi ketuhanan, kemanusiaan, memaksa saya yang masih timur ini untuk berulang-ulang membaca satu judul, guna menelaah maksud dari sang begawan.


Sragen kota tanah kelahiran saya, juga merupakan bumi dimana beliau membuka mata, memulai dimensi awal kehidupan. Lahir sebelum republik berdiri, beliau lahir sebagai anak buruh pabrik gula Mojo, menjalani berbagai jaman tentu menjadi jalan panjang menuju kelahiran sebuah perenungan dan kemudian sastra-sastra yang mencengangkan Godlob misalnya.


Dari kesamaan kota kelahiran ini pula saya mencari-cari siapa yang menorehkan nama harum ke bumi sukowati di dunia sastra selain Koo Ping Ho, dan Mas Danarto adalah jawabannya.


Ngunu tapi ya aja ngunu, itulah idiom yang pertama kali saya kenal dari beliau. Idiom jawa yang seringkali hanya dicap sebagai sikap plin-plan oleh manusia modern. Namun tentu tidak demikian bagi kami yang biasa dengan tradisi jawa. Proses begitu tapi begitu tapi mbok jangan begitu adalah proses terus menerus mencari mana yang paling benar, olak alik pendaran pada setiap keputusan, menimbang-nimbang terus menerus setiap efek yang ditimbulkan dari sebuah keputusan atau perbuatan.


Selanjutnya adalah perhatian beliau yang mendalam menyangkut kasus kemanusiaan yang menimpa tanah kelahirannya, Kasus Kedungombo. Penggusuran yang dilanjutkan penenggelaman paksa beberapa desa, menggugat nuraninya untuk menyampaikan kritik pedas pada rezim, melalui tulisan maupun melalui pentas teater sesuatu yang langka dilakukan oleh manusia jaman itu.


Kritik pedasnya tidak berhenti sampai disitu, beberapa kasus seperti Marsinah,Wiji thukul kenaikan harga pokok, perang Iran – Irak juga membuatnya tak bisa diam untuk mengutuk berbagai ketidak adilan.


Soal carut marut negeri memang berkali-kali beliau memberikan referensi gagasan meski sama sekali tidak pernah dielaborasi oleh pemerintah.


Penempatan Sastrawan harus setara Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung dan DPR  misalnya, adalah loncatan pemikiran yang menarik untuk dipelajari, bagaimana sastrawan yang sama sekali tidak punya pamrih material, justru karena itu akan melahirkan pemikiran-pemikiran bening untuk kewibawaan sebuah negara. Namun ide itu juga selama ini hanya semu, tidak pernah menjadi realitas, bahkan manusia modern mengira sastrawan sama dengan penulis, atau menganggap pentas teater hanya sebagai lelucon hiburan, benar-benar degradasi pemahaman.


Kehidupan yang sederhana menikah dengan seorang psikolog yang kemudian berbeda perjalanan keber-agamaan adalah pengalaman hidup tersendiri bagi seorang Danarto, bagaimana istri beliau kemudian memutuskan untuk menjadi pengikut Lia Eden, perceraian tanpa dikaruniai buah hati dan berbagai lakon seperti harus berhutang kesana kemari untuk menjalani hidup sangat tidak pantas rasanya bagi seorang Danarto ditelantarkan negara sedemikian rupa.


Gagasan perlu adanya Semar yang menjadi rujukan permasalahan bangsa juga pernah dituliskan Danarto. Bagaimana ketika jagad gonjang ganjing ada dewa yang mau menemani rakyat. Soal kebegawanan ini dalam tulisan di Republika berjudul Batas kekuatan dan Ajal beliau menyebutkan  ada beberapa tokoh yang layak disebut Semar diantaranya : Harry Roesli, Iwan Fals, Nano Riantiarno, Nurcholis Majid dan tentu adalah guru kita semua Emha Ainun Najib.


Mengutip mbah Danarto:
lima orang Semar ini selalu mengayomi dan memberikan kesadaran sejarah bagi jamaahnya. Mereka menyodorkan pilihan sistem dan budaya yang selama ini dicari-cari. Mereka membentuk ideologi kelas menengah ke atas (dan juga ke kelas bawah) sehingga kelas ini tidak merasa kesepian dalam mengarungi jaring-jaring sosial politik, ekonomi, dan kebudayaan yang sangat ruwet dan berbahaya”


Beberapa sudah meninggal yang tersisa gaungnya tinggal Emha dan Iwan Fals. Memang mereka berdua ini yang menjadi inspirasi bagi banyak orang sekarang. Menyoal Emha tentu Danarto lebih banyak menulis tentang beliau karena kedekatannya soal sastra, teater juga berbagai permasalahan politik negeri.


Di mata Danarto Emha adalah Begawan-nya Indonesia, tempat dimana limpahan masalah dicurahkan kepadanya, terkadang dengan kelakar “Emha tak lelah-lelahnya beredar terus membangunkan para petani gurem, meskipun sandungannya semakin banyak dan fantastis”memang tidak mudah menemani Indonesia. Dan banyak cerita lagi soal Emha, nampak sekali Danarto menaruh harapan masa depan pada Emha yang berumur jauh dibawahnya.


Malam tadi, setelah kecelakaan yang menimpanya  Mas Danarto berpulang. Sedih rasanya karena belum sempat bertemu dan ngobrol dengan beliau. Saya jadi teringat Cak Rusdi Mathari dulu pernah menuliskan ketakutan mas Danarto pada kiamat, Jika semuanya musnah kita jadi mahkluk terakhir, atau takutnya beliau naik ambulan. Tahun ini keduanya sudah kekal, cak Rusdi juga sudah mendahului berpulang, sementara malam ini Mas Danarto diperjalanan terakhirnya justru melewati perjalanan panjang Jakarta-Sragen menaiki ambulan. Begitu namun ya tidak begitu akhirnya.


Maturnuwun mas, selama ini memasuki ruang pemikiran mendalam perenungan saya, banyak ilmu dan goresan makna yang sampai saat ini belum selesai saya serap, namun pelan-pelan semoga waktu menjawabnya.


Sugeng tindak Mas Danarto, selamat lahir dan kembali ke bumimu tercinta. Sukowati.


 Sragen, 11 April 2018


Indra Agusta


Inkonsistensi Logika

Bagaimana mengisi air di gelas yang bocor?
Bukankah cara terbaiknya adalah menambal, atau mengganti yang baru.

Seringkali logika kemiskinan menawarkan kerentanan, kemlaratan menimbulkan rasa haus yang sangat, kebutuhan menjadi jerat, ingin akhirnya sesat.

Terus menerus ingin menuang air lagi dengan gelas, dengan konsekuensi lubang gelas yang semakin besar.

Ini in- konsistensi logika.

Atau karakter ini membudaya,  mau dikasih permen manis namun seisi ladang kalian dirampok dan dijadikan lahan tebu penjajah.

Ini kan teori etis Van Deventer, sekilas kita diberi pendidikan tapi pekerjaan yang diberi hanya sempit,lalu apapun dikejar demi "status" dan cap mentereng "sukses menjadi pegawai".

Berbondong-bondong anak wedana bersekolah, namun hanya satu-dua pekerjaan yang ada di jawatan belanda.

Jumlah lulusan banyak, tapi lapangan kerja yg didamba sedikit. Sebagian berlomba dengn cara apapun, sebagian mburuh, untung sekarang ada anomali pekerjaan kreatif.

Ada jalan keluar bagi mereka yang gagal mendapatkan kesempatan kerja di disiplin ilmu yang mengkacamata kudai mereka. Syaratnya memang harus membuka mata, membaca dan memanfaafkan potensi yang ada, meski tak elak juga harus berhadapan dengan raksasa.

Tapi jaman terus bergeliat "ownering" menjadi "sharing", akhirnya kelak di masa depan ada formula baru menutup gelas yang bocor harus bersama-sama supaya efektif, dan saling terjalin mesra rajutan benang.

Berpuasa, atau minta tolong mereka yang berlebih tanpa menambah kadar 'haus' dalam membenahi segalanya.

Ini jaman sudah pincang, kemana angin berhembus semoga hembusannya tak menambah duka dari semua luka-luka. Justru kalo ada setiap tintanya menjadi senjata untuk menambal kembali bendera kemiskinan yang robek.

Kleco Wetan, 4 Juni 2018
Indra Agusta.