image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, March 15, 2017

Kemakmuran Individu bagi sebagian Rakyat Indonesia


KEMAKMURAN INDIVIDU BAGI SEBAGIAN RAKYAT INDONESIA
Oleh : Indra Agusta

Berawal dari berbagai perngamatan saya terhadap menurun drastisnya sikap empati pelajar pada sesamanya, kejadian-kejadian yang berulang-ulang memaksa saya untuk menulis hal ini.

KASTA - KASTA SOSIAL

Pernah ketika suatu hari datang ke sebuah SMA, yang disana saya banyak bertukar pikiran, sikap anak-anak sekarang terhadap Penjaga Sekolah terhadap mereka yang lebih tua sangat tidak beradab, sopan santunnya menurun drastis. Mereka kira dengan mereka membayar biaya sekolah disitu, mereka bisa seenaknya apalagi terhadap orang-orang "yang menurut mereka lebih rendah" dari kasta mereka di sekolah itu. Mereka dididik untuk menghormati guru, kepala sekolah lalu mengapa tidak dengan penjaga sekolah? dengan Tukang sapu di sekolah? Apa karena pendidikan mereka rendah? apa karena anak-anak ini sudah merasa mampu membayar (padahal itupun uang dari orang tua mereka).

Lalu sekumpulan pemuda dari sebuah Gereja yang mendiskusikan program bantuan untuk desa tertentu yang kekurangan air, bantuan sembako juga. Dan mereka mendiskusikan ini di cafe-cafe yang makanan seporsinya bisa membeli 2-3 porsi makan biasa. Ini kan Ironis. Harusnya uang bisa dilimit untuk dialokasikan ke bantuan tersebut. Atau Himpunan mahasiswa yang mau bikin baksos buka puasa bersama anak-anak yatim dan tukang becak,  sementara mereka membuat programnya juga di Warung makan berlabel "Internasional" , "Pencitraan" Mereka akan sukses sebagai kaum kapitalis yang peduli dengan kemanusiaan, lalu menggunakan citra tersebut untuk kepentingan pribadinya, mendongkrak namanya, atau komunitasnya. Lalu dimanakah ikhlasnya sisi kemanusiaan? 

Apakah tidak ada kesadaran empati, apakah dikirannya kalian itu kastanya lebih tinggi dari mereka tukang-tukang becak, anak-anak yatim, yang perlu dibantu? Apakah karena kondisi yang terlihat oleh mata mereka kita boleh men-judge bahwa kita lebih tinggi levelnya dari mereka.?

Saya dulu sudah pernah menulis soal bagaimana manusia tidak bisa memilih dilahirkan dikondisi seperti apa, (tulisannya klik disini : Personalitas) dan bersyukurlah kalian diposisi yang lebih nyaman dari mereka. Perbedaan personalitas inilah yang harusnya menjadikan orang berbuat sesuai dengan porsinya, bukan malah menindas mereka yang lemah, mereka yang  dari lahir kemampuan mereka sudah lemah.

 
Fenomena-fenomena seperti ini menjamur dimana-mana, yang entah ini salah siapa, karena mereka yang diposisi pelakupun saya hampir yakin tidak menyadari dimana ketimpangan mereka.

Salah kurikulumkah? Pola Asuh? Lingkungan? TV? Internet? Atau apa. 
Yang jelas hal-hal seperti ini tidak bisa dibangun hanya beberapa hari tentu ada rentetan kejadian peristiwa pola pikir dsb. Saya tak menyalahkan kalian yang terbiasa dengan pola hidup seperti ini, tapi saya berharap dengan tulisan ini kalian sadar posisi kalian jadilah manusia yang memanusiakan manusia seperti kata Gus Dur.

SEKOLAH SANG PENDORONG INDIVIDUALISME ANAK DIDIK

Dari kejadian diatas "kasta-kasta" yang terbentuk ini saya hampir yakin  ada part dari sekolah yang mempengaruhinya. Bagaimana siswa menggolongkan dirinya untuk pantas dan tidak pantas duduk sama rata dengan siswa lain dalam satu sekolah, dan akan terus berlanjut ketika mereka menjadi masyarakat.

Saya masih ingat dulu ada guru SMP saya yang mengawasi betul setiap proses pendidikan bagaimana saya akan mendapat nilai jelek ketika saya nekat "njiplak" atau "mencontek" tugas siswa lain. 

Dari sisi nilai, nilai saya seharusnya sama dengan  teman saya namun outputnya tetap saja nilai saya hancur , Guru menilai siswa bukan dari jawaban yang diterima namun dari proses setiap hari, ulangan, pembelajaran dll. 

Pertanyaan saya seberapa besar presentase guru dengan kapasitas seperti ini ? 

BUDAYA PENCAPAIAN

Ini mungkin yang dari kecil selalu digaung-gaungkan oleh orang tua kita. Pencapaian. Bagus namun harus tidak menghilangkan sikap empati pada orang tersebut. Boleh pintar tapi tidak boleh sombong dengan kepintaran, adigung, adigang, adiguna. Kata pepatah Jawa.

Namun yang berkembang kemudian adalah lain, kalau dahulu waktu SD saya masih ditanya mau jadi apa, misalnya saya jawab tentara pun akan ditanya lagi kalau jadi tentara nanti pinginnya apa? tentu saya jawab polos dengan perang musuh penjajah. 

Apakah sekarang ada, setahu saya hanya ada beberapa orang guru, sisanya dituntut ini itu nilai harus bagus, raport tidak boleh merah, harus nurut atau guru entah benar atau salah, guru seolah-olah diposisi yang selalu benar, tidak bisa dibantah, atau ada guru yang mengadakan les privat dan akan menjadi tolak ukur nilai subjektif guru, mereka yang les nilainya akan baik, mereka yang tidak jangan harap nilainya lebih baik dari les. Tentu hal ini akan berkaitan dengan kemampuan material-finansial orang tua.


Ya, kalau orang tua mereka cukup mampu untuk membiayai pendidikan diluar sekolah, kalau tidak? apakah dengan demikian siswa yang miskin sangat tidak berhak untuk mendapatkan nilai yang lebih baik daripada mereka yang kaya, kalo memang demikian, berarti Pendidikan kitapun sudah mengarah kepada Kapitalisme, mereka yang punya modal mereka yang menang.
Dan Pencapaian anak didik tidak lepas dari angka yang dengan cara apapun akan dipertaruhkan, pendidikan akhirnya keluar dari esensinya mendidik anak agar memiliki output seorang anak yang berkarakter, juga punya sopan santun yang tinggi, tapi hanya sebatas angka, entah karena memang akademisnya bagus, atau jiplak, atau nyogok guru lewat model les-lesan privat. 

Dan di sisi orang tua juga tidak peduli-peduli amat kelakuan anaknya, yang penting anak dapat ranking, dan semua biaya dilunasi.  Yang penting anak-anak bisa punya gelar Sarjana di Univ tertentu, Cumlaude terlepas dari bagaimana sikap mereka terhadap orang lain.
 
INDIVIDUALISME OUTPUT  EGOISME PRIBADI

Lalu muncullah tabiat Individualis, bagi anak sekolah akan sangat penting nilai, daripada membantu temannya yang tidak bisa sarapan hanya karena tidak punya uang. Sangat penting bagi anak sekolah untuk menampilkan yang terbaik bagi dirinya sendiri, tanpa harus berpikir apakah yang menjadi permasalahan teman-temannya. 

Atau yang lebih dangkalnya, sekarang  tidak akademis yang menjadi taruhan gengsi, tapi cenderung ke gadget, nonton konser, nongkrong di cafe, nge-mall, game online dan semua lingkaran-lingkaran yang ditawarkan dunia modern, Dengan bius iklannya seolah-olah jatidiri akan dicapai dengan hal tersebut. 

Lalu akan dibawa ke dunia pekerjaan, dibawa ke keluarga, ke lingkungan. Pencapaiannya akan mengantarkan pada sikap individualis, bahkan tidak jarang memanfaatkan orang lain untuk kepentingan pencapaiannya.  Dari sisi Kapitalisme nya, yang penting membayar berapapun asal terlaksana semua pencapaian Individualnya.

Men
ghalalkan segala cara agar apa yang diinginkannya tercapai, Yang penting saya senang, orang lain tidak usah dipikirin, atau datang ke orang lain kalo cuman ada maunya, kalo butuh dst. Semua demi pamrih pribadi, sama sekali tidak ada tujuan sosial.


KEMAKMURAN SOSIAL BAGI SEBAGIAN RAKYAT INDONESIA

Dengan pengamatan dalam dunia pendidikan yang begitu saja, kita sudah tau outputnya. Bagaimana mau menuju "Masyarakat yang Adil dan Makmur" padahal mereka dididik untuk "Makmur" saja untuk dirinya sendiri, konsep Adil itu jauh dari perbendaharaan kata di otak mereka. 

Lalu di level atas Kasus Korupsi merajalela, Pemimpinnya mementingkan Partainya menjadi Raja untuk golongannya, Dosen akan subjektif pada mahasiswanya pada siapa yang telah membantu proyek Dosennya, Guru akan sayang pada mereka yang les atau nurut apa yang menjadi "dalil" nya, Ekonomi negara dikuasai koorporasi, perusahaan menguasai semua lini asal pemerintah 'kecipratan' sedikit.  

Keadilan nampaknya masih jauh, ketika fakta dilapangan sangat mudah ditemukan orang yang intelek, berdana besar, bertitle, masih selalu berpikir bahwa dia tidak pantas duduk sejajar dengan bakul tumpang, atau siomay langganan saya, mereka akan datang pada masyarakat kelas bawah kalo ada maunya (balik lagi ke egoisme individu) misal mau nyalon ketua partai, nyalon ketua RT, atau Presiden.

Adil dan Makmur tidak tercapai, nampaknya Sila ke-5 baru berbunyi "Kemakmuran Individu bagi Sebagian Rakyat Indonesia"


Di-era yang sangat jauh dari Sila ke-5 Pancasila ini, maka tidak terkejut jika selalu ada mereka yang akan menjadi beringas, apatis, brutal, karena itu merupakan salah satu representasi dari timbunan ledakan-ledakan amarah mereka yang ingin disalukan atas semua ketidakadilan di Negeri ini, yang ketika saya menulis tulisan ini ada 4 orang kaya di Indonesia, kekayaaannya sama dengan 100 juta masyarakat kaum miskin. Nampaknya Ledakan-ledakan akan selalu hadir, ketika Keadilan semakin jauh diperjuangkan, mereka yang dilevel atas sebagai pengelola Pemerintahan.

Demikianlah jaman dari sudut padang tertentu berjalan, 
kata guru saya "Begini ini Negara? Negara kok Begini?"

Kleco Wetan, 11 Maret 2017
Temanmu.
   




 
 

 

No comments:

Post a Comment