image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, October 7, 2015

Jangan bandingkan saya dengan,

Hidup dengan berjuta warnanya selalu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan yang beragam pula. Setiap langkah, kemajuan, pencapaian harkat dan martabat dimana-mana kita dapat menemukan ragamnya, 

Semua ragam inipun akhirnya menciptakan tatanan-tatanan tertentu di masyarakat. Bahkan boleh dibilang akhirnya menciptakan sebuah standar yang harus dipatuhi oleh generasi-generasi berikutnya.

Lalu, dari berjuta perbedaan itu "COMPARE" bermula.

MEMBANDING-BANDINGKAN
Membandingkan, sesuatu yang bisa kita rasakan setiap harinya, dirumah, disekolah, ditempat kerja, di lingkungan masyarakat, mungkin di planet lain juga begitu.

Kalo mau jujur mungkin kita semua pernah dibandingkan (apalagi buat temen-temen yang ada di Jawa, kultur ini sangat kuat). Dari usia kecil dari kita belum bisa jadi apa-apa saya mengamati ada banyak orang tua yang mulai pamer keadaan anaknya, anakku bisa jalan, anakku bisa bicara, jika sebatas ini pun menurutku baik, tapi ada juga yang berlebih-lebihan seolah tidak mau kalah dengan ibu-ibu lain maka mereka mulai berbohong untuk sekedar yah.. biar sama lah kayak ibu2 yang lain, atau justru karena tidak ingin direndahkan, dan memegang gengsi dirinya. 

Menginjak bangku sekolah perbandingan ini mulai berlanjut ke tahap institusional, kita mulai dipilah-pilah berdasarkan tingkat intelegensia kita, sayangnya perbandingan ini tidak fair. Anak-anak yang pandai berhitung dan menulis saja yang dianggap pintar, mereka yang jago berenang di kali tidak mendapat reward dari pengajar, pengajar sekarang masih berpikir bahwa kepintaran hanya dibangku sekolah. Akhirnya kita kembali pada standar itu.

Bagi saya pribadi setiap anak itu spesial, memang kebutuhan standar anak seperti membaca dan berhitung wajib dikuasai, tapi tidak berarti potensi mereka untuk berkembang hanya dibatasi oleh kurikulum, yang kemudian dilukiskan lewat angkat-angka di raport setiap semesternya.  Siapa yang tahu masa depan seorang anak?, memang ada benarnya bahwa anak yang pintar dibangku sekolah akan bisa berlanjut terus ke jenjang yang lebih tinggi, tapi siapa yang berani menjamin masa depan mereka ?, apakah kita mulai jadi Tuhan untuk membatasi dan mengklaim masa depan seorang anak?
kalo mengusahakannya mungkin iya, tapi jangan dibatasi potensi-potensi yang demikian. Siapa tau anak yang hobinya berenang di kali ini, jika kita mau berkorban sedikit mendorong potensinya masuk klub-klub renang, bukankah kita tidak tau, mungkin saja anak ini akan menjadi atlet renang profesional  dikemudian hari?, seandainya tak tercapai, paling tidak kan kita sudah berusaha meng-upgrade cara pandang dia tentang dunia.
Yang terjadi sekarang secara global sebelum anak itu tau potensinya, sudah di cut, oleh pengajar. Bukankah ini pembunuhan karakter? dan ironisnya terjadi di dunia pendidikan?.

Analisis diatas bukan isapan jempol, kegilaan saya terhadap cerita sejarah, folklore dan wayang di masa kecil, akhirnya berujung pada cita-cita yang diketawain oleh guru-guru saya.  Ketika anak kelas 5-6 SD saya masih ingat ketika ditanya tentang cita-cita saya akan jawab bahwa saya ingin jadi Mpu (pembuat keris), atau jadi dhalang (pementas wayang kulit) dari situ saya dianggap aneh, karena tidak sama dengan anak2 lain, dibanding2in,biasanya guru-guru akan meng-iyakan, atau menjawab pintar kamu.. ketika mampu punya cita-cita seperti guru, pegawai pemerintahan, tentara, dokter, dan jabatan struktural lainnya.

Memang tidak salah ketika seorang anak punya cita-cita demikian, namun jangan diketawakan mereka yang punya cita-cita lain (yang tidak sesuai dengan apa yang guru inginkan dan ajarkan) bagaimana seorang anak ingin jadi tentara jika anak tersebut adalah anak petani, dan bukankah wajar jika ada seorang anak bercita-cita sebagai petani, apakah petani jelek? tentu tidak, bisa dibilang kita semua membutuhkan beras untuk dimakan, lalu kenapa tenaga pengajar tidak membombong hati mereka saja, supaya berbesar hati. Mungkin ada clue, semisal iya jadi petani bagus, kamu bisa punya sawah beratus-ratus hektar, dan bisa membantu negara ini dari krisis pangan, bukankah demikian lebih baik daripada sebuah judge perbandingan tentang cita-cita seseorang.

PERBANDINGAN DI DALAM KELUARGA.
Dulu saya pernah membahas tentang paradoks, dimana dunia memang diciptakan untuk seimbang. segala sesuatu yang punya skup kecil jika dianalisis memang juga akan berdampak pada skup yang lebih besar. maka dari itu saya akan membahas dari sesuatu bagian terkecil dari sebuah masyarakat. Keluarga.

Pengamatan saya selama beberapa tahun ketika bercengkrama dengan seseorang dan bicara tentang perbandingan hasilnya, hampir 80% mereka akan berkata bahwa orang tua tidak adil, tentu dalam banyak hal, perlakuan yang berbeda, sikap yang berbeda antara anak satu dengan yang lain, hal-hal yang sangat sulit dipahami anak-anak muda yang masih bergejolak, namun tidak mau memahami bahwa kondisi emosional orang tua pun akan berubah, begitu juga kondisi finansial, sosial kemasyarakatan, yang pastinya akan berpengaruh pada sikap mereka kepada kita, naifnya ada juga karena faktor internal personal keluarga tersebut menganggap bahwa anak yang ini lebih baik dari yang lain.

hal demikian bisa terjadi dimana saja, di lingkungan kerja, dikampus, bahkan ditempat2 ibadah kadang perlakuan berbeda pun bisa terjadi oleh pemuka-pemuka agama setempat, entah karena apapun faktornya.

RENDAH DIRI , STRESS, DAN TERTUTUPNYA PERSONALITAS.
Dari sekian perbandingan2 yang terjadi memang tidak bisa dipungkiri bahwa membawa dampak mendalam bagi pribadi, merasa tidak berguna, bersalah, stress dan jika berulang-ulang mereka akan benar-benar kehilangan siapa dirinya. Dan jangan berpikir seseorang yang kehilangan diri ini akan berhenti disini, tidak.

soe hok gie pernah menulis :
"Ketiadaan pegangan menciptakan rangsangan untuk mendapatkan suatu pegangan"

 Sampai ketitik kehilangan diri saja belum cukup, jika ditarik lagi mereka akan mencari dirinya keluar, (lucu bukan mencari diri kok keluar), dari mulai dibandingin dirumah, akhirnya mencari orang yang menerima dia apa adanya diluar, jika tidak ketemu akan mencari diorang lain lagi dan seterusnya, ya tidak akan pernah ketemu. Kemudian kasus potensi anak kali  yang tertutup lagi, akhirnya mereka ketika dewasa hidup apa adanya, merasa rendah diri tdak berguna apa-apa, kemudian bekerja selayaknya orang lain, keterpaksaan demi keterpaksaan yang menambah stress, dan tidak ada seraut kejujuran apalagi kebahagiaan, semakin parah dan kemudian menyalahkan Tuhan ujung-ujunya. 

Hal ini pun terjadi pada penutupan potensi oleh orang tua yang cukup mampu, banyak dari orang tua yang memaksakan kehendak supaya anaknya menjadi seperti apa yang mereka inginkan, bukan apa yang Tuhan inginkan (melalui potensinya). Beruntung jika apa yang orang tua inginkan sama dengan potensi yang dimilikinya, jika tidak bukankah akhirnya si anak akan berkarir tanpa passion, expert tapi itu bukan passion dia, kosong.


Akhirnya bukankah lebih baik memotivasi diri, keluarga atau orang untuk hidup sesuai blueprint-Nya, untuk tidak terburu-buru bilang tidak pada jalan yang dipilih seseorang, siapa tau dalam hal-hal yang menurut kita tidak pas, jika dia yang ngembangin justru malah bisa berkembang pesat, siapa yang tau?

Ketika dewasapun saya akhirnya ketemu orang-orang yang diberi kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri, dan menorehkan namanya expert dibidang-bidang yang dianggap sebelah mata oleh pendidik semasa kecil. Ada pembuat keris di karanganyar yang belajar keris, hingga mampu menjadi Mpu yang menghasilkan karya-karya fenomenal, menjadi dosen pula untuk bidang yang sama, dan bahkan sebagai bonusnya omsetnya bisa miliaran.

atau Wayang yang mereka ketawakan pun, mengantarkan saya pada nama-nama dalang muda seperti Purbo Asmoro,

Akhirnya baiklah kita melihat orang dari potensi yang dia kenali, mencobalah di-rem dulu untuk menjudge ini-itu, siapa tau ada sesuatu yang dapat kita serap,tak melulu dari mereka yang bernama, dan tokoh besar, bahkan dari orang-orang yang tidak dianggap pun saya pernah ketemu, ngobrol, dan mendapat ilmu dari mereka. Tentunya kemampuan menangkap inipun harus selalu diasah, supaya lebih tajam.

Jangan menjudge orang dari cover, sekalipun kita akan melihat orang dari covernya, dulu, baru  melihat apa yang ada dalam kacamata-nya. Percayalah, setiap penerimaan yang mampu kamu berikan kepada orang akan membawamu pada pengetahuan tak terbatas.

Ah, Subuh mulai terdengar, jago mulai berkokok sebentar lagi pagi.
terpejamlah sejenak, untuk nanti kembali nyawah kembali.


Kleco Wetan, 7 Oktober 2015
Indra Agusta

1 comment:

  1. kualitas guru mas yang saat ini masih kurang ,guru-guru anyaran lulusan universitas itu mindset nya sama ,wawasanya kurang luas ,sekarang cuma ngejar materi | kadang merasa kasian adik2 kecil kita dihadapkan guru-guru muda yg masih naif itu ,pr dan materinya terlalu banyak untuk ukuran anak sd |yg tua pun juga sedikit mindset nya terbuka ,dan mau menerima wawasan baru

    ReplyDelete