Lalu mengayuh sepeda, menyempatkan diri menikmati minggu pagi di jalanan yang masih lengang, melewati desa-desa sepi di puluhan kilo dari kotapraja, melihat desa-desa yang mulai bergeliat memutar roda kehidupan.
Lampu-lampu teras sebagian masih menyala, lengkap pula dengan kepulan asap dari dapur mereka yang masyarakatnya sebagian masih takut menggunakan kompor gas. Berhenti sejenak menikmati sejuknya buaian sawah, embunnya, anginnya..ah... terasa lengkap hari libur ini..
Mampir di sebuah warung soto dipinggir sawah, seperti biasa ada beberapa tatapan aneh beberapa petani, yang melihat pemuda mengayuh sepeda sendirian kemudian mampir di warung kecil yang penuh dengan petani yang masih berlumuran lumpur, petani yang merehatkan badannya sejenak demi secangkir teh hangat, atau secuil jadah goreng. Tapi kemudian segera cair, mereka ramah, tersajilah semangkok soto dan teh panas membuka pagi itu,
Kelakar demi kelakar khas pedesaan pun riuh, dari permasalahan sawah, sampai ributnya proses pemilihan lurah yang meninggalkan cerita tersendiri. Lalu obrolan berlanjut ke obrolan yang serius.. ya, mereka berbicara tentang kesuksesan (*Dadi wong tenan begitu mereka menyebutnya) ini pengamatanku atas pembicaraan itu.. mungkin jika diinterprestasikan di kota, atau di kehidupan modern hasilnya akan tetap sama.
1.Sukses Iku Sugih (kaya)
"wong urip ki dadi wong tenan nik wes duwe apa-apa, sugih bandha donya"
Mungkin salah satu parameter kesuksesan seseorang adalah ketika mereka mempunyai uang yang sangat banyak, investasi yang sangat banyak, bisnis yang banyak,punya banyak perusahaan atau saham, kalo orang desa punya tanah dan sawah yang banyak.
Melakukan segala sesuatunya dengan uang dan untuk mendapatkan uang semata.
Tak bisa dipungkiri, memang manusia membutuhkan uang sebagai pelengkap kehidupan, tapi apakah kesuksesan hakiki itu soal punya banyak uang? pastinya setiap orang punya jawaban masing-masing.
2.Sukses iku Kadunungan Pangkat
(punya jabatan / kekuasaan)
(punya jabatan / kekuasaan)
"....dadi wong kudu Dadi lurah, bayan, Pak puh, duwe drajat..."
begitu salah satu kelakar bapak-bapak itu. Orang bisa dikatakan sukses ketika mempunyai pengaruh atas suatu wilayah. Ngendhikannya didengarkan banyak orang, pas ada hajatan selalu duduk di kursi terdepan, menyampaikan pidato pembukaan dll.
begitu salah satu kelakar bapak-bapak itu. Orang bisa dikatakan sukses ketika mempunyai pengaruh atas suatu wilayah. Ngendhikannya didengarkan banyak orang, pas ada hajatan selalu duduk di kursi terdepan, menyampaikan pidato pembukaan dll.
Dikotapun kita mungkin kita bisa menemui beberapa orang yang harus bertitel Haji, serentetan gelar sarjana (ini mengacu pada mereka yang rela membeli ijazah demi sebuah Gelar, bagi mahasiswa yang benar-benar fokus pada disiplin ilmunya saya mohon maaf, kalau dalam konteks ini gelar yang diberikan kepada anda memang sebagai penghormatan atas apa yang anda pelajari dan perjuangkan), atau disisi lain ada yang dibela-belain membeli gelar keraton supaya terlihat punya trah Kerajaan dan punya gengsi tersendiri.
Bisa jadi seperti ini mengingat syahwat politik masyarakat Jawa yang begitu tinggi, hingga punya jabatan prestisius pun menjadi tolak ukur kesuksesan. Gelar menjadi bagian penting dalam proses interaksi sosial.
whatever-lah setiap orang boleh menentukan standar kesuksesannya.
3.Sukses iku dadi Pegawai Negeri
(jadi PNS/TNI/POLRI)
(jadi PNS/TNI/POLRI)
" sinau sing pinter le, ben dadi pegawe "
Ini yang agak santer dipemikiran para petani tersebut mereka mematok kesuksesan ketika anaknya jadi PNS, atau jadi tentara selain jadi itu enggak akan dibilang sukses :D
Lucu sih, tapi itu faktanya menjadi Pengawai Negeri masih jadi pekerjaan yang sangat diminati dikalangan masyarakat bawah. Atau ini memang sisa praktik feodalisme nya -londho yang seakan mendoktrin masyarakat secara turun temurun harus jadi pegawai.
Di hajatan pun kadang seperti itu, ketika beberapa orang bertutur dengan "sedikit sombong" ketika berbicara anaknya bisa bekerja di instansi ini/itu, jadi guru disini/disitu, jadi polisi atau tentara tugas di daerah mana. Mungkin PNS bisa dianggap sebagai kasta tersendiri di struktur sosial masyarakat kita, mereka melingkar men-eksklusifkan diri (meski tak semuanya sih) dan membuat jaringan tersendiri. sebuah paradoks fenomena pegawai dan menjadi sosialita.
4.Sukses iku dadi awake dewe
.. nik aku ya milih ning sawah wae, karo ngopeni sapi ning omah.. ati tentrem ayem...
begitu celetuk seorang bapak yang sudah agak lanjut usia, ini yang agak menarik perhatianku. Bagaimana dia memilih menjadi dirinya sendiri, melakukan apa yang dia lakukan karena memang bener-bener seneng tidak terpengaruh dengan trend memiliki uang banyak, atau punya jabatan karena dia hanya ingin menjadi dirinya sendiri.
Tak hanya didesa, dikotapun demikian banyak dari mereka yang fokus menjadi diri mereka sendiri menjadi ahli gempa, peneliti, ilmuan, ahli pemerintahan dll karena mereka memang benar-benar suka pada bidang tersebut dan menggelutinya sampai ke perguruan tinggi, bukan hanya obsesi lahan kerja yang "basah" saja.
Dibeberapa keilmuan yang kata orang "meh dadi apa/mau jadi apa" banyak juga ditemui orang yang fokus pada apa yang menjadi passion-nya seperti menjadi penulis, musisi, ahli rias, penari, sejarawan, dll..
Dibeberapa keilmuan yang kata orang "meh dadi apa/mau jadi apa" banyak juga ditemui orang yang fokus pada apa yang menjadi passion-nya seperti menjadi penulis, musisi, ahli rias, penari, sejarawan, dll..
they do what they can do.. and just be their self..
5.Sukses iku migunani marang liyan
Ini yang jauh diluar penalaran ada beberapa orang yang membaktikan dirinya untuk membantu orang lain tanpa peduli akan keuntungan finansial atau lainnya. Mereka hanya ingin membaktikkan dirinya untuk menjadi berguna buat orang lain.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Jesus, Mother Teresa, Malcom X, Gandhi orang-orang yang namanya mendunia karena memberikan hidupnya buat orang lain. Dan itu jadi standar nilai kesuksesan mereka.
Di Indonesia, kita bisa menemukan nama-nama seperti Romo Mangun dan Kyai Hamam Jafar yang bikin donasi, bergerak dan bertahan melawan rezim waktu itu, agar masyarakat di seputar Waduk Kedungombo tidak tergusur bisa makan dan tetap sekolah,
Atau Butet manurung dengan Sokola rimba-nya. Juga beberapa orang yang rela meninggalkan pekerjaan nyaman mendedikasikan diri di Indonesia Mengajar/ SM3T-nya kemdikbud.
Diberbagai daerah pun ada banyak yang mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan, menjadi relawan penanggulangan bencana, tanpa digaji tanpa diiming-imingi jadi apapun. Bahkan dengan resiko kehilangan nyawa setiap saat ketika tugas,
tentara-tentara langit begitu aku menyebutnya. ..
tentara-tentara langit begitu aku menyebutnya. ..
Soto-pun habis, percakapan kami berlalu, meninggalkan banyak pemikiran dalam benak hingga terciptalah tulisan ini.
Begitu banyak standar kesuksesan seseorang, akhirnya semua akan kembali kepada manusia-nya, kayuhan sepedaku pulang, menyisakan peluh yang mengalir...
Begitu banyak standar kesuksesan seseorang, akhirnya semua akan kembali kepada manusia-nya, kayuhan sepedaku pulang, menyisakan peluh yang mengalir...
Ini kesuksesan menurut pengamatanku, Menurutmu?
Kletjo Wetan, Februari 2015
Temanmu.
Indra Agusta.
No comments:
Post a Comment