image1 image2 image3 image4

MENATA HATI|MENYAMBUT GERHANA PERADABAN|MENJENGUK MALAM DI SEPI REMBULAN|MENUNGGU PAGI|SANG PIJAR DARI UFUK TIMUR

Wednesday, January 1, 2014

Dari Jalan Mencari Cahaya, tapi dimana?

Entah sampai dimana perjalananku mengayuh, aku rasa hidup ini belum pernah semakin baik, masalah terus menerus menumpuk, masalah terus bertambah, semakin aktual hingga aku tak tau kemudian menjadi sarang laba-laba besar dibenakku. Apakah ini memang kehendak, atau memang akibat dari proses pergeseran jaman, Kalabendu katanya.


Bulan yang dingin semilir bergantikan titik-titik embun, tahun ini pun kemudian berganti

disisi sebuah kopi yang menjadi dingin, lalu melihat berbagai macam polemik kehidupan yang semakin tidak menentu, termasuk hidupku tentunya.


Di pergantian tahun ini, intinya semacam ada perasaan resah, nanti saya akan jadi apa? yang jelas saya tidak mungkin terus terusan di dunia ini di bilik ini terus menerus, sementara saya akan menjadi tua dan kemudian akan berpijak pada step-step selanjutnya. tapi berbekal passport yang saya miliki ternyata dunia pilih kasih saya tidak bisa memasuki perusahaan perusahaan yang kompetitif karena pasport saya cuman jalan jalan, enggak bekerja. IQ mu candak kan?



Lantas bagaimana dengan kehidupan saya? keluarga saya? adik saya? yang mau tidak mau dia adalah tanggung jawab saya. banyak tuntutan yang mengharuskan saya untuk menjadi "orang sebenarnya dalam sisi material" tapi ternyata kenyataan berkata lain, saat ini saya cuman seorang operator warnet, ya dengan gaji yang belum bisa dibilang  cukup untuk membuat sebuah keluarga beserta rumah dan isinya.



Memang setiap hari saya terus bersyukur, tiap hari saya diberi kesehatan, diberi matahari gratis, nafas gratis, untuk kehidupan pribadi saya rasa ini memang berkat yang tidak terkira buat saya..



saya bisa menjalani hidup senyaman apa yang hati saya inginkan, saya bisa berjalan-jalan ke tanah-tanah tertinggi, tanpa ada gangguan tentang ijin orang tua, kemudian menelisik berbagai sendi-sendi kehidupan dari paling bawah sampai paling atas, paling sederhana sampai ke level super hedon, memaknai berbagai pelajaran yang saya rasa tidak akan mendapatkannya di bangku sekolah maupun kuliah..memaknai, mengapresiasi teduhnya daun-daun jatuh dikala hujan.



Sampai tahun ini, memang sudah banyak yang berubah.

banyak yang sudah pergi, merantau, kawan-kawan dulu bercengkrama 
satu demi satu kini mulai menjadi "orang" menjadi kebanggaan orang tua mereka.
bahkan sayapun ikut bangga dengan semua reputasi yang mereka capai.

Adik-adikku pun satu demi satu mulai berkelana, menggayuh sepeda dijalurnya masing-masing untuk mencapai sebuah reputasi ya paling tidak orang tua mereka akan bangga ketika mereka dapat bekerja di tempat2 strategis yang dicita-citakan orang tua mereka, 
atau yang menjadi tujuan dari sebuah pencapaian maksimal mereka di bangku kuliah.


Meski untukku pribadi reputasi material  belum bisa dibilang cukup tanpa sebuah karakter yang kuat.


Kalau mau jujur sebenarnya saya tidak begitu peduli dengan semua kesuksesan yang kasat mata karena pada akhirnya semua akan saya kembalikan (atau mau tidak mau akan kembali dengan sendirinya) kepada Yang Maha Kuasa.



Karena bagi saya secara filosofis orang bekerja itu di jawa disebut "nyambut dhamel" nyambut sendiri adalah meminjam. Memang kita hidup ini seperti meminjam aja pekerjaan yang dipinjamin Tuhan ke kita, mengusahakannnya dengan baik setelah itu kita kembalikan dan kasih pertanggungjawaban pada-Nya, selesai.


Ironisnya saya juga seorang mahkluk sosial, saya mau tidak mau juga tidak harus selalu menjadi seorang yang religius-filsuf terus menerus dalam kenyataannya saya akan kembali dihadapkan pada realita-realita semu kehidupan nyata.



Dimana orang harus punya materi yang cukup biar bisa besarin anak2, biar bisa ngidupin keluarga, disinilah saya masih lemah.. untuk hidup sendiri saja saya masih pas2an apalagi untuk memulai hidup keluarga, saya semakin tua.. 

kembali ke pertanyaan awal apakah saya akan seperti ini terus menerus?
apakah memang jalan ini yang betul dan harus saya tempuh..?
pertanyaan itu kembali dan terus berputar2 di kepala...


Ketika beberapa kawan langsung bisa memulai hidup mulus sekolah, kuliah, kerja di tempat yang mapan , kemudian menikah, membina rumah tangga yang harmonis kemudian menghasilkan keturunan2 yang mapan pula, Lantas bagaimana dengan saya? 


ini mungkin lebih kepada sebuah protes ketidakpercayaan kepada Tuhan ,
ketika saya kurang lepas nyerahin masa depan pada Tuhan..
namun jika setiap hari anda dituntut untuk menjadi orang sukses dan anda ternyata belum bisa dan anda terus dituntut oleh keluarga anda? rasa gelisah itu pasti yang akan selalu datang dan selalu datang kegelisahan demi kegelisahan. Ada rentang yang sangat jauh target kesuksesan pribadi saya dengan orang tua.

Kemudian saya takut dengan kenyataan bahwa sembah sujud  pada Tuhan hanya akan sia2 karena terus dihimpit oleh realita kehidupan, yang sebenarnya hanya moralitas semu belaka. Sebuah gurita besar yang cengkeramannya sampai menjadi gaya hidup tiap bilik rumah didesa-desa.
lalu apa yang akan saya cari?
lalu kepada siapa rasa ini dicurahkan?

Sementara Tuhan sudah menyatu dalam dalam di lubuk hati,
Selalu memberi bisikan-bisikannya untuk memberi sebuah "pencerahan"
dan itupun selalu berlawanan dengan parameter gurita tadi.

Hari terus berganti, angin semilir berganti mendung yang menurunkan hujan.
lalu kemana dan jalan mana jalma manusia mungil ini akan melangkah, ?
Kemana malam-malam larut ini akan terisi cahaya-Nya? Jika semua resah terus saja berkisah. Lalu mata terpejam, sesaat kemudian terbangun karena matahari tahun baru sudah diujung kepala.

Ah, Selamat menapaki Edar Matahari baru. 


sebuah catatan usang, dimana kota berpesta dengan gemerlapnya kembang api.
dan saya bertapa di gubuk kesunyian, 
Kleco Wetan, 1 Januari 2014
temanmu
Indra Agusta                                                                     






No comments:

Post a Comment